Oleh : Romi Febriyanto Saputro
Artikel ini telah dinobatkan sebagai Juara 1 Lomba Menulis Artikel tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI.
A. Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, Perpustakaan Nasional adalah lembaga pemerintah non departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibukota negara.
Mencermati paragraf di atas, terlihat bahwa fungsi yang diemban oleh Perpustakaan Nasional RI tidaklah ringan. Perlu suatu langkah yang cerdas agar aneka fungsi tersebut dapat terlaksana dengan baik. Salah satu langkah cerdas yang dapat ditempuh adalah dengan memberdayakan keberadaan teknologi Informasi dan bukan sekedar menggunakannya untuk menggantikan layanan manual.
Aneka fungsi di atas tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak ditunjang dengan pemberdayaan teknologi Informasi. Dengan teknologi Informasi, aneka fungsi tersebut akan lebih terasa manfaatnya oleh masyarakat. Dengan kata lain teknologi Informasi akan mampu meningkatkan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI.
B. Teknologi Informasi
Teknologi Informasi (selanjutnya disingkat TI) adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global (Wawan Wardiana, 2002)
Melihat perkembangan TI di tanah air terasa seperti ada sesuatu yang salah. Ibaratnya seperti, “sayur tanpa garam”. Kebangkitan Korea Selatan dengan TI menarik untuk dipergunakan sebagai “pisau analisa” untuk membedah fenomena ini. Negara ini terbukti mampu menjadi pemain utama sebagai negara produsen TI.
Korea adalah negara pertama yang meluncurkan produk layanan telepon mobile CDMA secara komersial pada tahun 1996. Dua tahun kemudian, jasa layanan internet broadband yang pertama di dunia juga diluncurkan di negeri ini. Disusul capaian spektakuler lain, seperti digital broadcasting (2001), peluncuran e-government (2002), pembangunan layanan percontohan Wireless Broadbank Internet/Wibro (2004), dan peluncuran Digital Multimedia Broadcasting/DMB (2005).
Booming industri teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadi salah satu faktor penting di balik cepat pulihnya ekonomi Korsel dari krisis finansial 1997 dan menjadi perekonomian yang jauh lebih kuat. Dalam tiga tahun transaksi e-commerce meningkat dari 7,2 juta transaksi (2003) menjadi 12,8 juta (2006).
Ekspor produk ICT pun melonjak dari 48,4 miliar dolar AS (2001) menjadi 113,3 miliar dollar AS (2006). Sumbangan komponen ICT dalam produk domestik bruto (PDB) riil nasional melonjak dari 10,1 persen (2001) menjadi 16,2 persen pada kurun waktu yang sama.
Pertumbuhan pesat internet dari industri ICT ini dipicu oleh dua hal. Pertama, cepatnya adaptasi masyarakat terhadap teknologi baru. Antusiasme ini tak bisa dilepaskan dari budaya self education bangsa Korsel. Revolusi di bidang teknologi digital tak mungkin terjadi tanpa ada dukungan konsumen yang sangat terbuka pada teknologi dan inovasi baru.
Tingkat penetrasi internet di level rumah tangga mencapai hampir 80 persen, sementara di kalangan industri hampir 100 persen. Internet dengan cepat menggantikan TV sebagai sumber utama informasi. Dari ibu rumah tangga, siswa SD, pedagang kecil, hingga pekerja kantoran sudah memanfaatkan jasa internet. Dalam empat tahun, pendapatan bisnis jasa internet melonjak 10.000 persen dari 36,4 miliar won (1999) menjadi 3.700 miliar won (2003)
Faktor kedua adalah ketatnya persaingan antar penyedia jasa internet, seperti Korea Telecom, Hanaro, dan Thrunet, yang menyebabkan konsumen bisa menikmati harga murah. Tak kalah penting adalah dukungan kebijakan pemerintah lewat strategi IT839 dan e-korean program melalui pembangunan jaringan infrastruktur informasi dan komunikasi berkecepatan tinggi sejak 1995.
Hasilnya, Korsel berhasil mewujudkan ambisi menjadi information society pada abad ke-21, jauh lebih cepat dari yang ditargetkan. Dalam indeks informatisasi global, posisi Korsel terus meningkat dari urutan 22 (1998) menjadi 12 (2003) dan 3 (2005). Untuk Digital Oppurtinity Index yang disusun Inter national Telecommunication Union, Korsel di urutan teratas selama dua tahun berturut-turut. Sebagai kota, ibu kota Seoul juga masih tetap teratas dalam e-gonernance, mengalahkan Hongkong, Heksinki, Singapura, Madrid, dan London.
Basis pengetahuan dan kultur baca tulis yang kuat merupakan rahasia utama kesuksesan Korea. Basis pengetahuan yang kuat memungkinkan Korea untuk melakukan loncatan besar dalam sebuah creative innovation, hingga akhirnya mampu melakukan inovasi sendiri dan menjadi negara maju saat ini.
Ketika perang Vietnam usai dan Presiden Amerika menawarkan bantuan untuk Korea atas jasanya selama perang tersebut, tak banyak yang diminta Presiden Park saat itu. Amerika akhirnya membangunkan untuk Korea laboratorium Iptek besar yang kemudian bernama KIST (Korean Institute of Science and Technology). KIST inilah yang memiliki peran besar dalam membangun basis pengetahuan yang kuat di Korea.
Basis pengetahuan yang kuat akan sulit diwujudkan tanpa adanya kultur baca tulis yang kuat pula. Hampir semua informasi dan ilmu pengetahuan tersedia dalam bentuk tulisan (buku, majalah, jurnal, koran, brosur, pamflet, dsb). Informasi dalam bentuk tulisan memiliki banyak keunggulan dibanding media-media dalam bentuk lain. Walaupun kini telah tersedia internet yang membantu kita menyediakan berbagai informasi, tapi buku tetap menjadi instrumen utama. Kebijakan yang paling penting dalam mendorong budaya baca tulis ini adalah adanya perpustakaan.
TI dan perpustakaan dapat diibaratkan sebagai “dua sisi dari satu mata uang yang sama”. Keberadaan TI akan memudahkan perpustakaan dalam mengaplikasikan konsep manajemen ilmu pengetahuan. TI akan memudahkan perpustakaan dalam melakukan pengembangan pangkalan data, penelusuran informasi, transformasi digital, dan promosi.
TI tanpa dukungan perpustakaan hanya akan menghasilkan teknologi konsumtif, teknologi yang mandul. Perpustakaan berperan meletakkan dasar yang kuat untuk membentuk masyarakat yang melek informasi. Masyarakat yang mampu memberdayakan informasi bukan sekedar mengkonsumsi informasi. Jadi, perpustakaan berperan untuk menyiapkan masyarakat agar “siap menikmati” TI.
Kesiapan ini cukup penting agar masyarakat dapat memaksimalkan peran TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ironisnya, sampai saat ini kesiapan masyarakat untuk mengoptimalkan TI belum menggembirakan. Fenomena ketidaksiapan ini, tampak pada : pertama, fenomena pornografi dan chatting di internet.
Masyarakat yang tidak siap hanya akan tertarik dengan informasi sampah yang ada di internet dan alergi dengan informasi penuh gizi yang juga disediakan oleh internet. Realitas membuktikan hampir delapan puluh persen pengguna internet kita menyukai situs-situs yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Internet juga hanya dipergunakan untuk keperluan yang tidak produktif semacam “chatting” yang merupakan kemasan baru dari kebiasaan “ngerumpi” masyarakat. Dalam hal ini adanya internet malah makin mengukuhkan tradisi lisan bukan tradisi baca dan tulis masyarakat.
Kedua, fenomena hotspot. Hotspot dengan mudah bisa ditemukan di setiap tempat. Sekolah, kampus, kedai, angkringan, kafe, dan mal. Dengan hanya bermodalkan laptop dan duduk lesehan di kafe, seseorang bisa berselancar sepuasnya di dunia maya. Hal inilah yang mendorong meningkatnya penjualan laptop.
Namun ironisnya, demam hotspot yang saat ini melanda masyarakat belum memicu bangkitnya kesadaran untuk memanfaatakan teknologi dan hanya menunjukkan perayaan konsumerisme belaka. Menurut Arie Sujito (2008), sosiolog Universitas Gadjah Mada, demam hotspot yang terjadi baru sebatas trend gaya hidup. Yakni masih sebatas sebagai pengguna dan belum benar-benar memanfaatkan teknologi itu untuk meningkatkan kualitas pribadi. Buktinya, kawasan hotspot yang sering diserbu bukan perpustakaan melainkan kafe atau mal.
Ketiga, fenomena buku paket elektronik dari Depdiknas. Sekolah diperkirakan tidak bisa menggunakan buku paket elektronik secara maksimal dengan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung, seperti komputer yang terkoneksi internet. Sekolah harus mengeluarkan biaya besar untuk mengadakan teknologi pendukung buku paket elektronik tersebut.
C. Revolusi Layanan
Pada bagian pendahuluan, penulis sudah sedikit mengungkapkan tentang urgensi peningkatan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI. Peningkatan kualitas layanan ini sangat terkait dengan kedudukan Perpustakaan Nasional RI sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan. Keenam fungsi ini dituntut dapat memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat. Dengan kata lain dapat memberikan kepuasan kepada pemustaka di seluruh pelosok tanah air.
Peningkatan kualitas layanan secara holistik ini lebih tepat disebut dengan istilah “Revolusi Layanan”. Mengapa ? Karena untuk mencapainya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang heroik dari semua unsur di Perpustakaan Nasional RI. Perlu kerja keras dan kerja sama semua pihak dalam memberikan kepuasan kepada pemustaka.
Revolusi layanan perpustakaan diharapkan dapat membawa Perpustakaan Nasional RI menjadi perpustakaan penelitian. Menurut Soeatminah (1999) ada tiga tahap perkembangan perpustakaan, pertama, tahap gudang buku (Store House Period). Dalam tahap ini, perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan dan merawat buku, dengan tujuan utama menyelamatkannya dari kerusakan.
Kedua, tahap layanan (Service Period). Tahap ini ditandai dengan meningkatnya jumlah koleksi bahan pustaka dan jumlah masyarakat pemakainya. Bidang layanan perpustakaan mendapat tantangan dari masyarakat pengguna yang berharap dapat memperoleh layanan yang baik.
Ketiga, tahap pendidikan dan penelitian (Educational and Research Period). Perpustakaan pada tahap ini berfungsi sebagai tempat untuk mendidik dan mengembangkan masyarakat penggunanya. Perpustakaan dituntut untuk mampu memberi kepuasan kepada masyarakat pemakainya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama bagi mereka yang betul-betul menekuni bidang ilmunya. Perpustakaan bagi pendidik dan peneliti merupakan penyalur informasi sekaligus sebagai sumber inspirasi.
1. Revolusi layanan perpustakaan pembina.
Sebagai perpustakaan pembina, Perpustakaan Nasional RI dituntut untuk memberikan layanan tentang tata cara pengelolaan perpustakaan yang baik dan benar kepada seluruh perpustakaan yang ada di tanah air. Situs resmi Perpustakaan Nasional RI mesti memuat buku pedoman penyelenggaraan perpustakaan yang mudah diakses oleh publik. Tata cara pengolahan bahan pustaka seperti : klasifikasi, inventarisasi, pemasangan kelengkapan buku, dan katalogisasi merupakan menu yang wajib ada dalam website Perpustakaan Nasional RI. Demikian pula dengan tata cara layanan perpustakaan, juga harus menjadi bagian dari “menu” pembinaan tersebut.
Perpustakaan Nasional RI dapat membuat buku pedoman klasifikasi DDC (Decimal Dewey Classification), pedoman tajuk subyek, dan Peraturan Katalogisasi Indonesia dalam bentuk buku digital yang bebas didownload oleh pengelola perpustakaan maupun masyarakat. Selama ini publik masih mengalami kesulitan untuk memperoleh buku-buku yang notabene merupakan “kitab suci” dunia perpustakaan di tanah air. Dengan kebijakan ini diharapkan segala peraturan yang berkaitan dengan dunia perpustakaan makin dipahami oleh pengelola perpustakaan di tanah air.
Modul-modul diklat yang selama ini diproduksi oleh Pusat Diklat Perpustakaan Nasional RI dapat dibuat dalam format digital dan ditampilkan dalam situs resmi Perpustakaan Nasional RI agar dapat diakses publik secara terbuka. Selama ini yang ada dalam website hanya buku-buku yang dapat dikategorikan dalam “pedoman umum dan petunjuk umum”. Belum secara spesifik dan rinci mengajarkan ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Dengan demikian mereka yang awam tentang perpustakaan pun diharapkan dapat secara cepat dan praktis memahami dunia perpustakaan.
Selain itu, dengan digitalisasi modul-modul belajar tersebut Pusdiklat Perpustakaan Nasional RI juga dapat menggelar program diklat perpustakaan jarak jauh. Diklat perpustakaan jarak jauh ini merupakan wujud praktis pemberdayaan TI untuk semakin mempercepat proses pembinaan perpustakaan di tanah air.
2. Revolusi layanan perpustakaan rujukan.
Arah pengembangan revolusi layanan rujukan adalah terwujudnya perpustakaan hibrida (hybrid library). Christine L Borgman (2003), mengungkapkan bahwa perpustakaan hibrida adalah perpustakaan yang didesain untuk mengelola teknologi dari dua sumber yang berbeda, yaitu sumber elektronik dan sumber koleksi yang tercetak yang dapat diakses melalui jarak dekat maupun jarak jauh.
Berbeda dengan perpustakaan digital, konsep perpustakaan hibrida berusaha mempertahankan koleksi tercetak, bukan menggantikan semuanya dengan koleksi digital. Perpustakaan hibrida memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya. Perpustakaan hibrida berusaha memperluas konsep dan cakupan jasa informasi, sehingga penambahan koleksi digital dan penggunaan teknologi komputer tidak bisa dipisahkan dari jasa berbasis koleksi tercetak.
Negara yang termasuk paling aktif melakukan penelitian dan pengembangan konsep perpustakaan hibrida adalah Inggris. Negara ini menyelenggarakan lima proyek perpustakaan hibrida, masing-masing diberi nama BUILDER, AGORA, MALIBU, Headline, dan Hylife. Kelimanya merupakan bagian dari proyek besar E-Lib. Masing-masing proyek ini memiliki ciri tersendiri namun secara bersama mereka mencari cara terbaik mengembangkan jasa perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi terbaru.
BUILDER Hybrid Library, dikembangkan di University of Birmingham untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tinggi, mulai dari mahasiswa, pengajar, sampai para pengelola kampus. Proyek ini berkonsentrasi pada pengamatan tentang lingkungan penyediaan jasa informasi yang menggabungkan jasa perpustakaan biasa dan jasa elektronik. Kebetulan, pada saat bersamaan University of Birmingham juga sedang mengembangkan lingkungan belajar baru yang memanfaatkan teknologi komputer.
AGORA merupakan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh University of East Anglia dengan konsentrasi pada Hybrid Library Management System. Dalam proyek ini, perhatian diberikan kepada pengembangan sistem informasi berbasis konsep “ cari-temukan, diminta-sajikan”. Berbagai eksperimen dilakukan untuk mengembangkan sebuah layanan terintegrasi, menggunakan standar Z39.50, yang menyatukan berbagai fungsi dan jasa perpustakaan ke dalam satu layanan berbasis web. Pemakai diharapkan dapat terbantu oleh sebuah layanan yang serupa untuk berbagai macam keperluan menggunakan berbagai jenis media, baik yang ada di koleksi lokal perpustakaan, maupun yang ada di koleksi perpustakaan yang lain.
MALIBU dikembangkan oleh King’s College London. Khusus untuk mempelajari pengembangan perpustakaan hibrida di bidang ilmu budaya (humanities). Menarik untuk dicatat, proyek ini mempelajari pula kemungkinan keterlibatan para pemakai jasa dengan mengajak mereka membuat sebuah User Scenario. Para teknolog dan pustakawan kemudian menerapkan skenario ini pada rencana pengembangan dan manajemen jasa.
Headline Project dikerjakan oleh London School of Economics, bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal dengan mengembangkan sebuah portal yang memungkinkan para pengguna perpustakaan mengakses informasi secara digital maupun manual secara terintegrasi. Portal ini dapat diubah sesuai selera pengguna dan memberikan fasilitas untuk menghimpun pengguna yang memiliki kepentingan sama dalam satu kelompok khusus.
HuLife di University of Northumbria memfokuskan diri pada masalah-masalah non-teknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasil proyek ini adalah Hybrid Library Toolkit, sebuah panduan yang ingin mengembangkan jasa elektronik mereka yang sesuai dengan kebutuhan institusi.
3. Revolusi layanan perpustakaan deposit.
Salah satu tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional RI adalah sebagai pusat deposit terbitan nasional dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Berdasarkan undang-undang tersebut, Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Nasional Provinsi mendapat tugas untuk melakukan penghimpunan, penyimpanan, dan pelestarian bahan karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan di wilayah Indonesia.
Namun upaya untuk menghimpun terbitan nasional ini masih mengalami hambatan, antara lain masih kurangnya kesadaran penerbit, terutama penerbit pemerintah, untuk menyerahkan terbitannya kepada Perpustakaan Nasional RI guna dilestarikan. Hambatan ini diperparah dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang menyebabkan Perpustakaan Nasional Provinsi menjadi asset Pemerintah Provinsi.
Dari terbitan buku per tahun sebesar 7.500 judul (hasil survei kajian terbitan buku tahun 2002 dan 2003 di Indonesia oleh Perpustakaan Nasional bekerja sama dengan Lembaga Penelitian IPB), baru 375 judul (tahun 2002) dan 400 judul (tahun 2003) yang diserahkan penerbit kepada Perpustakaan Nasional. Sebagian besar dari yang diserahkan itu terdiri dari terbitan non-pemerintah.
Untuk mengoptimalkan pengumpulan serah-simpan karya cetak dan karya rekam Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan daerah provinsi harus melakukan “layanan jemput bola”. Untuk memaksimalkan hasil layanan jemput bola, libatkan keberadaan perpustakaan umum kabupaten/kota. Lagi pula saat ini adalah era otonomi daerah, sehingga wajar jika perpustakaan umum kabupaten/kota mendapat peran yang cukup signifikan.
Setiap bulan perpustakaan umum kabupaten/kota dapat diminta partisipasinya untuk memantau jumlah penerbitan karya cetak dan karya rekam baru di masing-masing kabupaten/kota di tanah air. Perpustakaan umum kabupaten/kota juga dapat dijadikan sebagai tempat transit sementara bagi penerbit/pengusaha rekaman yang ingin menyerahkan karya cetak/karya rekam terbarunya. Selanjutnya perpustakaan umum kabupaten/kotalah yang mengirimkan kepada perpustakaan daerah provinsi untuk diteruskan kepada perpustakaan nasional. Dengan demikian penerbit dan pengusaha rekaman tak perlu repot-repot menyerahkan sendiri ke perpustakaan nasional.
Layanan jemput bola ini akan semakin efektif jika disatukan dengan desentralisasi pemberian nomor ISBN (International Standart Book Numbers) dan barcode harga yang sangat diperlukan penerbit untuk memasarkan produknya baik di dalam maupun luar negeri/internasional.
Dengan desentralisasi ISBN, maka penerbit cukup mengurus ISBN di perpustakaan umum kabupaten/kota yang dirancang online dengan perpustakaan daerah provinsi dan perpustakaan nasional. Desentralisasi ISBN akan semakin memudahkan proses pemantauan dan pengumpulan karya cetak dari penerbit karena dilayani secara langsung oleh perpustakaan umum kabupaten/kota. Layanan penerbitan ISBN yang terpadu dengan layanan untuk menerima serah-simpan karya cetak ini diharapkan dapat meminimalkan tidak terdeteksinya penerbitan buku baru oleh perpustakaan seperti yang terjadi selama ini.
Untuk lebih meningkatkan partisipasi penerbit, Perpustakaan Nasional RI dapat memberikan alternatif kepada penerbit untuk mengirimkan buku terbitannya dalam bentuk buku digital. Buku digital ini dapat dimuat di situs deposit Perpustakaan Nasional RI agar dapat diakses oleh publik.
Publik dapat membuka layanan buku digital ini, namun tidak dapat mendownload buku ini. Dalam hal ini perpustakaan deposit juga berfungsi sebagai media promosi buku baru sehingga akan menguntungkan penerbit buku. Jika seseorang menghendaki buku baru tersebut, dapat membeli secara langsung di toko buku.
4. Revolusi layanan perpustakaan penelitian/riset.
Revolusi layanan ini dapat dimulai dengan mengembangkan Perpustakaan Nasional RI sebagai pusat riset/penelitian. Perpustakaan riset punya berbagai ciri, yaitu, pertama, koleksinya yang komprehensif dan mengarah khusus pada bidang kajian penelitian tertentu. Jadi, koleksi buku Perpustakaan Nasional RI perlu diarahkan pada terwujudnya aneka pusat koleksi bidang penelitian tertentu. Seperti pusat koleksi penelitian bidang bahasa, pusat penelitian bidang sains, dan pusat penelitian bidang ilmu sosial.
Kedua, koleksinya selalu mutakhir. Kemutakhiran koleksi perpustakaan riset sangat penting, karena peneliti membutuhkan informasi tentang perkembangan terbaru di bidang yang menjadi kajian penelitiannya. Biasanya, koleksi mutakhir tersebut berupa jurnal ilmiah.
Ketiga, dominan pemakai perpustakaan riset ialah para peneliti profesional ataupun civitas akademika yang sedang menjalankan aktivitas penelitian. Spesialisasi layanan perpustakaan riset ialah Current Awareness Service (CAS) sebagai layanan yang mendukung dinamika kebutuhan dan mobilitas para peneliti sebagai kliennya.
Sebagai perpustakaan riset, Perpustakaan Nasional RI perlu melakukan inovasi-inovasi layanan agar lebih dikenal oleh para peneliti dan akademikus. Menurut Fadil Hasan, sebagaimana dikutip Tempo Interaktif, 23 Mei 2005, hanya 20 persen peneliti yang memanfaatkan fasilitas Perpustakaan Nasional. Survey dilakukan terhadap 60 orang peneliti di Jakarta dan Bogor. Dari survey itu, 65 persen lainnya malah sama sekali belum pernah ke Perpustakaan Nasional. Sisanya, hanya sesekali berkunjung.
Menurut Fadil, para responden umumnya berpendapat bahwa perpustakaan yang terdapat di bilangan Salemba, Jakarta Pusat ini, koleksinya tidak lengkap dan kurang spesifik. Selain itu, mereka lebih banyak menggunakan internet untuk memperdalam penelitiannya. Sebanyak 70 persen menggunakan internet.
Fungsi sebagai perpustakaan riset menghendaki Perpustakaan Nasional mampu memberikan layanan kepada pemustaka yang hendak melakukan penelusuran informasi. Fungsi ini perlu di respon oleh Perpustakaan Nasional RI dengan melakukan revolusi diri menjadi perpustakaan digital yang senantiasa “up to date” memberikan informasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat.
Perpustakaan riset dapat melengkapi diri dengan menyusun secara mandiri ensiklopedia digital, kamus digital, handbook digital, guidebook digital, direktori digital, dan almanak digital. Tanpa langkah ini, fungsi sebagai perpustakaan riset tidak akan berjalan dinamis.
Subhan (2006) mengungkapkan bahwa digitalisasi merupakan salah satu langkah agar akses informasi dan kerjasama antarperpustakaan menjadi semakin lancar. Dengan digitalisasi, para peneliti dapat dengan mudah mengakses informasi untuk kebutuhan penelitiannya.
Perpustakaan riset memberikan harapan kemajuan dan kemakmuran. Dengan riset, ilmu pengetahuan makin berkembang. Harapannya, perkembangan itu melahirkan efek bola salju berupa meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Negara-negara maju sejak lama menyadari besarnya manfaat riset. Lewat riset, berbagai inovasi bermunculan sehingga bisa dijadikan komoditas bernilai jual dan daya saing tinggi.
5. Revolusi layanan perpustakaan pelestarian.
Arah revolusi dalam layanan bidang pelestarian adalah mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional RI dalam format digital. Saat ini Perpustakaan Nasional RI memang telah memiliki beberapa naskah kuno yang sudah dialihmediakan dalam format digital, seperti Barmartani (Soerakarta, 1855) dan Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858).
Namun, naskah-naskah kuno ini belum dapat diakses oleh publik melalui internet (format digital). Padahal salah satu tujuan dari pelestarian naskah-naskah kuno adalah adanya proses eksplorasi dan eksploitasi terhadap naskah kuno tersebut. Pembukaan akses secara terbuka terhadap publik akan meningkatkan kadar kegunaan dan keterpakaian naskah-naskah tersebut.
Alangkah indahnya, jika publik dapat mengakses koleksi surat kabar milik Perpustakaan Nasional RI yang terbit pada masa Perang Diponegoro melalui internet. Hal ini tentu akan menambah wawasan sejarah anak bangsa ini melalui rekaman tertulis para jurnalis pada masa itu.
Bila selama ini pengetahuan tentang Perang Aceh, Perang Diponegoro dan Perang Padri, hanya diperoleh dari buku sejarah, maka surat kabar yang terbit di zaman penjajahan memberi informasi secara langsung kejadian tersebut. Dengan demikian publik dapat mengikuti dengan lebih rinci mengenai tokoh dan peristiwa penting yang kelak dikemudian hari menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini.
Selain itu, Perpustakaan Nasional RI juga harus membuat “tafsir/penjelasan” dari naskah-naskah kuno yang menjadi koleksinya. Penjelasan naskah ini menjadi penting pula untuk dipublikasikan dalam website Perpustakaan Nasional RI agar warisan luhur budaya bangsa lebih dikenal dan di sayang oleh masyarakat.
6. Revolusi pusat jejaring perpustakaan.
Menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, tentang Perpustakaan, menyebutkan bahwa perpustakaan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka. Tujuan kerjasama ini adalah untuk meningkatkan jumlah pemustaka yang dapat dilayani dan meningkatkan mutu layanan perpustakaan. Kerjasama ini dilakukan dengan memanfaatkan sistem jejaring perpustakaan yang berbasis TI dan komunikasi.
Sampai saat ini tak ada satupun perpustakaan yang dapat menahbiskan dirinya sebagai perpustakaan paling lengkap di dunia. Tahbis yang ada baru sebatas perpustakaan dengan jumlah koleksi terbanyak. Untuk itu diperlukan kerjasama antar perpustakaan guna saling asah, asih, dan asuh dalam meningkatkan layanan kepada pemustaka.
Perpustakaan Nasional RI yang merupakan “payungnya” seluruh perpustakaan di tanah air sudah sewajarnya memelopori terbentuknya jaringan perpustakaan berbasis TI di tanah air. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk jaringan nasional Perpustakaan Daerah Provinsi di Indonesia.
Langkah kedua adalah membentuk jaringan nasional perpustakaan umum kabupaten/kota dalam setiap provinsi. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan setiap Perpustakaan Daerah Provinsi yang ada di Indonesia. Berikutnya, membentuk jaringan nasional perpustakaan perguruan tinggi se-Indonesia. Hal ini dapat dimulai dari perpustakaan perguruan tinggi negeri (PTN) .
Untuk mempercepat terbentuknya jaringan perpustakaan ini, Perpustakaan Nasional RI perlu melakukan langkah revolusi dengan membuat program otomasi perpustakaan gratis yang dapat diunduh oleh masyarakat di website Perpustakaan Nasional RI. Penyusunan format MARC untuk Indonesia (INDOMARC) tanpa diikuti dengan langkah nyata ini tidak akan banyak membawa arti. Mengingat tidak semua perpustakaan di tanah air mampu membeli program otomasi secara mandiri.
Perpustakaan Nasional RI dapat menyempurnakan program otomasi gratis dari UNESCO seperti CDS/ISIS maupun WIN ISIS sehingga selain dapat dipergunakan untuk pangkalan data juga dapat dipergunakan untuk layanan. Dengan langkah ini, seluruh perpustakaan di tanah air dapat memperoleh program otomasi yang mudah dan murah yang kelak akan mempercepat proses pembentukan jaringan informasi nasional perpustakaan.
E. Revolusi Pustakawan
Untuk mendukung keberhasilan revolusi layanan Perpustakaan Nasional RI diperlukan revolusi sumber daya manusia, khususnya revolusi kualitas pustakawan. Revolusi ini diarahkan guna meningkatkan apresiasi pustakawan terhadap TI. Apresiasi yang tinggi terhadap TI akan memperkuat kedudukan pustakawan dalam menghadapi pesatnya perkembangan TI.
Pustakawan sebenarnya memiliki modal yang kuat untuk berkiprah di dunia TI. Untuk merancang sebuah program seorang programmer komputer selalu mengadakan konsultasi dengan bidang yang berhubungan dengan masalah tersebut. Mengingat rancang bangun program ini tidak dapat dapat dibuat sembarangan. Sebut saja dalam dunia Web site khusus masalah konten atau isi web site mereka harus mengadakan brainstorming dengan pihak yang dianggap ahli, yakni pustakawan.
Hal ini disebabkan pustakawanlah yang paling tahu dalam hal penelusuran dan kemauan netter atau penelusur. Maka jelas para ahli TI hanya bisa membuat sistem programnya, tetapi bukan isinya. Kemampuan mengkategori, memfiling dokumen file adalah kemampuan pustakawan yang sangat diandalkan. Pembagian nama domain untuk file, lokasi koding bahkan sampai bentuk format penyimpanan metadata sangat tergantung pada pustakawan.
Jadi secara sederhana programmer yang membuat kerangka, dan pustakawanlah yang mengisi konten dengan kebijakan dari pihak redaksional. Pemasukan konten data ini sangat tergantung kemampuan knowledge si pustakawan tersebut. Misalnya seorang setelah membrowsing internet didapat bahan yang bagus dapat dimasukkan ke dalam alamat email atau engine (data entri) kepada reporter. Bila tidak ada yang berbasis web dapat discan dari buku atau majalah. Lalu si reporter membuat berita dengan bimbingan pustakawan.
Kemudian pustakawan juga mulai mendata semua bahan yang pernah fetch (tampil) di web site dan dikemasulang dalam CD, baik dalam bentuk data teks, gambar, ataupun MP3 atau MPVG dan lain-lain.
Pustakawan dengan modal yang dimilikinya juga dapat merevolusi diri menjadi seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, pustakawan harus mampu memberdayakan informasi bukan sekadar melayankan informasi. Andy Alayyubi (2001) mengungkapkan bahwa pustakawan yang ideal selain profesional ia juga seorang ilmuwan.
Selama ini, khususnya di lembaga-lembaga riset, pekerjaan pustakawan hanya menyediakan informasi bagi para ilmuwan. Para pustakawan sudah merasa puas bila para ilmuwan sudah mendapatkan informasi yang dicarinya.
Fenomena ini harus diubah. Kalau kita pikirkan lagi, kita seharusnya mempertanyakan, mengapa pustakawan selalu menjadi "pembantu" ilmuwan kalau semua keperluan "majikan" kita miliki. Yah, pustakawan mempunyai keperluan ilmuwan dalam bentuk informasi. Keilmuwanan pustakawan akan terbukti jika ia mampu melahirkan karya tulis. Kegiatanvmenulis ini merupakan lahan basah dalam memperoleh angka kredit. Kelemahan pustakawan saat ini, mereka hanya terfokus pada kegiatan rutin yang celakanya memiliki angka kredit kecil.
Pustakawan juga dapat merevolusi diri menjadi seorang pendidik. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain (termasuk pustakawan) yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
F. Penutup
Perpustakaan dan teknologi informasi dapat diibaratkan “dua sisi dari satu mata uang yang sama”. Perpustakaan memerlukan TI untuk meningkatkan kualitas layanan dan kepuasan pemustaka. Sebaliknya, TI tanpa pedampingan perpustakaan hanya sebatas melahirkan masyarakat informasi yang semu. Masyarakat yang merasa sudah mengerti TI, tetapi pengetahuannya tentang TI tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan kualitas hidupnya.
Sinergi perpustakaan dan TI akan menghasilkan kultur masyarakat yang bukan sekedar “memakai” TI melainkan memberdayakan TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu “Revolusi Layanan Perpustakaan Nasional RI Berbasis TI” menjadi suatu keniscayaan. Revolusi ini di masa depan akan mampu merevolusi diri karakter bangsa ini dari bangsa “pemakai” TI menjadi bangsa yang mampu memberdayakan TI. Revolusi yang mampu membangunkan bangsa ini dari keterpurukan.
Daftar Pustaka
Borgman, Christine L. Designing Digital Libraries for Usability, in Digital Library Use. Messachusetts : The MIT Press, 2003.
Mardiko, Rahmatri. 2002. Teknologi Informasi dan Budaya Baca Tulis
Soeatminah. Perpustakaan, Kepustakawanan, dan Pustakawan. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Wardiana, Wawan. 2002. Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia. Jakarta : Seminar dan Pameran Teknologi Informasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar