10 Desember 2008

Resensi Buku: Kepemimpinan SBY di Mata Dino

Oleh Budi Setiawanto

Jakarta (ANTARA News) - Wimar Witoelar pernah menulis buku "No Regret" berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid.

Kini giliran Dino Patti Djalal menulis buku "Harus Bisa! Seni Memimpin a la SBY" juga berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden mengenai gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kedua buku itu mengungkap pencitraan figur Presiden dari kaca mata penulisnya.

Wimar menyebut Abdurrahman Wahid sebagai "the greatest man" (orang termasyhur), Dino menyebut SBY sebagai atasan, sahabat, dan mentor yang tidak ada bandingannya.

Bedanya, Wimar menulis tatkala Gus Dur alias Abdurrahman Wahid telah lengser, sedangkan Dino menulis buku itu saat SBY masih berkuasa. Buku Wimar ditulis dalam bahasa Inggris, buku Dino dalam bahasa Indonesia.

Buku Dino lebih detil dalam penulisan karena ditulis berdasar catatan harian selama mendampingi SBY meskipun tak bisa ditemui hal-hal yang berisi ketidaksetujuan penulis terhadap SBY apalagi kritik penulis terhadap kekurangan SBY.

Padahal SBY telah berpesan, "Dino, kalau engkau ingin menulis tentang apa yang saya pikir dan lakukan, tulislah secara obyektif. Ceritakan tentang kebenaran, say what I do, what I have done. Itu abadi, Din."

Dino hanya mengatakan, "Buku ini saya tulis dengan hati nurani yang bersih."

Sebenarnya ada "ketidaksetujuan" Dino ketika SBY memutuskan akan langsung ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari Jayapura tatkala mendengar kabar terjadi gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.

Saat itu mereka dan rombongan sedang berada di Bumi Cenderawasih untuk menghadiri perayaan Natal.

Dino menyarankan SBY ke Jakarta terlebih dahulu dengan pertimbangan antara lain kondisi korban dan kerusakan di Aceh masih belum jelas dan kedatangan di Jakarta bisa memberi waktu untuk mempersiapkan kunjungan ke Aceh yang lebih matang.

Namun Dino tak berani menunjukkan ketidaksetujuannya secara langsung ke SBY. Ia ungkapkan hal itu pada halaman 4 dengan kalimat "Jujurnya, malam itu saya masih bertanya dalam hati apakah kepergian Presiden ke Aceh merupakan keputusan yang tepat."

Alhasil Dino berujar, "Keputusan Presiden SBY untuk segera `maju ke depan` dan tiba di Aceh pada hari kedua setelah tsunami adalah keputusan yang tepat dan sangat strategis bagi proses pembuatan kebijakan pemerintah setelahnya." (halaman 6).

Sebaliknya Dino mengkritisi Amien Rais yang juga telah berada di Aceh tetapi tidak merespon tawaran SBY saat rapat darurat bersama di Pendopo Gubernur Aceh untuk memberi komentar, tambahan, atau usulan penanganan bencana dahsyat itu.

"Beliau justru memilih mengeluarkan kritik pedas di luar melalui media, ketimbang memberi usulan konstruktif dalam rapat bersama seluruh pejabat," tulis Dino tentang Amien Rais dalam buku yang diterbitkan oleh "Red & White Publishing" itu.

"Saya dulu kebetulan juga pengagum Amien Rais namun dari peristiwa itu ada satu pelajaran penting yang saya petik untuk para pemimpin masa depan: ada masanya di mana semua pemimpin bangsa harus dapat melupakan ego politiknya dan bahu-membahu bersatu menangani suatu krisis nasional."(halaman 8).

Buku setebal 437 halaman plus 18 halaman untuk lembar dedikasi, kata pengantar, dan daftar isi ini berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY.

Dalam Bab I bertajuk "Memimpin Dalam Krisis", dari bencana Aceh, Dino menyimpulkan kepemimpinan SBY sangat tepat karena dalam krisis selalu berada di depan dan mengubah krisis menjadi peluang tercipta perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Dari kasus penculikan wartawan Metro TV oleh gerilyawan Irak, Dino menilai SBY merespon masalah secara "realtime" (seketika), ketika menaikkan harga BBM pada 2005 Dino menilai SBY pemimpin yang berani mengambil risiko, saat prihatin atas penculikan bocah berusia 5 tahun bernama Raisya, SBY dinilai Dino sebagai pemimpin yang melakukan hal tepat.

Bab II bertajuk "Memimpin Dalam Perubahan" berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY dalam birokrasi. Dino menilai SBY sebagai pendobrak birokrasi.

"SBY tahu sekali bahwa birokrasi tidak akan mengubah dirinya sendiri kecuali mulai diubah oleh pimpinan politik," tulis Dino pada halaman 78.

SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang bisa melakukan transformasi diri. Menurut Dino, sejak SBY dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2004 ada empat transformasi diri yang dilakukan yakni menjadi seorang ekonom, menjadi "crisis leader", mendudukkan diri di atas kepentingan golongan (above politics), dan menjadi negarawan internasional.

Pendek kata, menurut Dino, SBY telah memaksa diri dan dipaksa situasi untuk menggali kemampuan baru sekaligus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya.


"SBY Tidak"

Bab III bertajuk "Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan" menggambarkan kepemimpinan SBY yang merakyat dan penuh ketulusan hati.

Dino memperhatikan ada teknik SBY yang baik disimak oleh calon pemimpin.

Kalau SBY menjabat tangan seseorang maka untuk dua atau tiga detik itu perhatiannya akan terfokus hanya pada orang di depannya: tangannya diremas erat, matanya menatap bola mata orang itu, dan senyumnya diarahkan hanya pada orang itu.

SBY seolah-olah mengatakan kepada orang yang disapanya, "Di sini, detik ini, hanya ada saya dan kamu."

"Hal ini penting karena bagi saya tidak ada yang lebih menyebalkan daripada menjabat tangan seseorang yang matanya menerawang pada orang lain," tulis Dino pada halaman 153.

SBY juga digambarkan Dino sebagai pemimpin yang ingin langsung mendapat masukan dari rakyat untuk mewujudkan demokrasi langsung.

Contoh yang tampilkan adalah ketika dialog SBY dengan para petani di Waduk Jatiluhur pada 11 Juni 2005.

Pada acara itu SBY memberi nomor telepon genggamnya (0811109949, buku Dino tidak menyebutkan nomornya) yang bisa dihubungi 24 jam sehari.

Akibatnya, nomor telepon SBY itu mengalami gangguan karena tak mampu menampung banyaknya orang yang mengirim pesan melalui layanan pesan singkat (SMS).

Hal terpenting dalam Bab III itu adalah kesan Dino bahwa SBY merupakan pemimpin yang konsisten menjaga warna politiknya dan menjunjung tinggi etika politik.

"Yang lain bisa saja berpolitik kotor: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan isu bohong melalui SMS atau fitnah keji melalui media: SBY tidak. Yang lain bisa bermain politik uang: SBY tidak. Yang lain bisa kampanye hitam: SBY tidak. Yang lain bisa melancarkan politik penghancuran: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan selebaran gelap: SBY tidak. Yang lain bisa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan: SBY tidak." (halaman 178).

Sejumlah penebar fitnah disebut seperti Eggi Sudjana dan Zaenal Ma`arif tetapi terhadap salah seorang mantan petinggi TNI Dino hanya berani menyebut "Jenderal X".

Dino pun menjadi tahu perilaku standar dari penebar fitnah. Pertama, mereka melontarkan fitnah biasanya dengan cara bombastis dan sikap penuh keyakinan. Kedua, mereka dengan keras kepala mengancam membeberkan bukti-bukti untuk mendukung fitnah itu. Ketiga, setelah proses hukum berjalan mereka meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada orang yang difitnah agar terhindar dari bui.

Dari kasus tersebut, Dino menggambarkan bahwa SBY merupakan pemimpin yang pemaaf, tiada dendam.

Surat balasan SBY atas permohonan maaf dari Zaenal Ma`arif pun tertera pada halaman 211-214 buku ini. Surat balasan itu ditulis sendiri oleh SBY dan orang yang membacanya akan melihat dengan jelas akhlak dari SBY, kata Dino.

Bab IV bertajuk "Memimpin Tim dan Membuat Keputusan" memaparkan gaya kepemimpinan SBY yang sangat mementingkan kekompakan kabinet karena banyak menteri yang berasal dari partai politik. SBY selalu menegaskan bahwa selama menjadi menteri maka loyalitas adalah kepada Presiden dan Pemerintah.

Namun kenyataan mencatat bahwa SBY beberapa kali merombak kabinet dengan beragam alasan yang intinya menunjukkan bahwa kekompakan kabinet merupakan salah satu kerikil pemerintahan SBY.

Pada bab ini pula digambarkan bahwa SBY membela juru bicara Andi Mallarangeng atas desakan pimpinan DPR agar jangan terlalu banyak berkomentar dan Dino yang disebut-sebut sebagai agen asing.

Atas tudingan sebagai agen asing, Dino pada halaman 225 menulis, "Saya sudah mengabdi untuk Republik selama 20 tahun lebih dan saya lahir dari keluarga Pegawai Negeri yang nasionalis. Jadi bisa anda bayangkan betapa gregetnya perasaan saya mendengar celotehan `edan` seperti itu."

Dalam pengambilan keputusan, Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas).

Dalam ilmu manajemen ada istilah "thinking on your feet" atau orang yang dapat berpikir sambil berdiri. Bagi Dino, SBY melakukan lebih dari itu: beliau bisa "deciding on the run" atau mengambil keputusan sambil berlari.

Judul buku ini diambil dari subbab bertajuk "Harus Bisa!" dalam Bab IV. Dalam menghadapi setiap situasi, SBY selalu mengatakan kepada pembantunya,"Harus Bisa!".

"Beliau paling tidak suka kalau ada pembantunya yang sudah kalah atau jatuh mental sebelum bertarung. Berkali-kali SBY menyatakan dalam pidato publiknya: Kita jangan menjadi bangsa yang cengeng dan manja," tulis Dino pada halaman 254.

Pada Bab V bertajuk "Memimpin Di Pentas Dunia", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin nasionalis dan internasionalis.

"Sebagai diplomat profesional, saya berpendapat bahwa SBY adalah salah satu `foreign policy President" terbaik selama ini," tulis Dino pada halaman 284-285. "Foreign policy President" merupakan istilah diplomasi tentang tipe Presiden yang mempunyai perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi.

Selain sebagai sosok nasional dan internasionalis, pada bab ini Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menyentuh hati dan menyembuhkan luka, percaya diri dalam mengambil sikap, peka terhadap situasi, menanam dan memanfaatkan "political capital" dalam diplomasi, mengukir sejarah diplomasi, dan menggagas ide melahirkan inovasi.

Pada bab VI bertajuk "Memimpin Diri Sendiri", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menghormati ketepatan waktu, menjadi diri sendiri, pemimpin yang tidak mendewasakan kekuasaan, dan pemimpin bermental tangguh.

Bila Wimar tak ada penyesalan menjadi juru bicara Gus Dur, Dino tentu saja sangat bangga menjadi juru bicara seorang Presiden yang ia gambarkan sangat perfeksionis.

"Saya sering merasa seperti kuda lumping yang mengejar kuda balap," tulis Dino dalam epilog.

Banyak pernyataan SBY dan cerita menarik yang belum diberitakan sebelumnya dapat disimak dalam buku yang dihiasi parade ratusan foto kegiatan SBY.

Dalam pengabdian kepada SBY, Dino menulis bahwa yang ada hanyalah kehormatan dicampur kecemasan apakah telah memberikan yang terbaik kalau tiba masanya meninggalkan Istana. (*)

Tidak ada komentar: