10 Desember 2008

Hari Antikorupsi Menjelang Tahun Politik

Tanggal 9 Desember merupakan hari yang cukup bersejarah bagi gerakan pemberantasan korupsi, karena inilah hari internasional antikorupsi. Hari yang disematkan sebagai pernyataan keinginan masyarakat dunia untuk melawan korupsi pada 2003 dan mulai dirayakan secara reguler sejak 2004.
Korupsi sebagai musuh keseluruhan umat manusia karena membahayakan banyak hal, termasuk hak ekonomi dan sosial. Bagi Indonesia, perayaan kali ini tentu akan menjadi momentum penting. Betapa tidak, inilah hari antikorupsi menjelang dimasukinya pesta demokrasi, pemilihan umum (pemilu).

Masa-masa menggeliatnya gairah perpolitikan nasional. Secara beruntun, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan pada 2009.Pemilu yang tentunya akan menentukan garis kebijakan dan kebajikan politik Indonesia, paling tidak lima tahun ke depan hingga pemilu berikutnya diadakan.

Mengapa tahun politik 2009 menjadi agenda penting yang harus dilihat di hari antikorupsi ini? Setidaknya oleh beberapa hal.Pertama, agenda pemberantasan korupsi di Indonesia masih diselimuti agenda perpolitikan secara formal. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga perwakilan rakyat yang menjadi representasi partai politik punya kewenangan besar dalam urusan menguatkan atau melemahkan penegakan hukum antikorupsi.

Mereka sangat menentukan format penegakan hukum antikorupsi. Contoh paling kini adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor).Hingga saat ini,rancangan peraturan tentang Pengadilan Tipikor tertahan di DPR dan belum kunjung mengada.Padahal,jika tidak juga disahkan hingga akhir 2009,berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tipikor menjadi inkonstitusional dan karenanya harus dihilangkan.

Memang hingga akhir 2009 adalah waktu yang cukup lama.Tapi mengingat ketatnya agenda politik nasional pada 2009, nasib Pengadilan Tipikor sesungguhnya telah berada di ”ujung tanduk”. Padahal, tanpa UU Pengadilan Tipikor,mustahil untuk lebih leluasa mendirikan pengadilan khusus ini di dalam ruang lingkup pengadilan negeri di daerahdaerah.

Batas waktu ini menarik untuk dianalisis.Jika hingga bulan Maret tahun depan belum kunjung mengada, kemungkinan besar hanya bisa berharap pada anggota legislatif baru untuk menyelesaikan. Itu pun hanya sampai akhirtahun,yang berarti hanya beberapa bulan setelah anggota legislatif baru ini dilantik.

Masa kampanye pemilu, pemilihan, kemudian masa sengketa pemilu legislatif akan menyita waktu banyak. Belum lagi untuk pemilihan presiden. Putaran pertama,lalu sengketa di MK,hingga memasuki putaran kedua dan sengketanya juga akan mewarnai kerjakerja partai politik di tengah kewajiban menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Rasanya,mustahil selesai di tengah agenda politik yang ketat ini.

Berharap pada anggota legislatif baru juga sangat meragukan. Mukamuka lama masih mendominasi kancah perpolitikan saat ini. Praktis, kalaupun jika masa legislatif baru mengisi DPR, belum tentu ada perubahan signifikan cara pandang mereka terhadap kewenangan formal dalam membuat peraturan antikorupsi.

Sesungguhnya bukan hanya batasan waktu yang menjadi masalah Pengadilan Tipikor, tapi juga besarnya kemungkinan terbajak secara substantif.Meski DPR ”berbaik hati” menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor, tetap ada kebutuhan mutlak untuk mengawal RUU ini agar substansinya tidak menjadi cacat.

Besar kemungkinan RUU ini terbajak secara substantif, baik disengaja maupun tidak disengaja. Karenanya, jika kewenangan formal para pelaku politik di lembaga legislatif ini tidak mereka gunakan secara baik untuk tujuan pemberantasan korupsi, maka yang kita peroleh hanyalah Pengadilan Tipikor yang tak kunjung mengada atau malah cacat.

Hal yang sama akan terjadi pada keseluruhan aturan yang menjadi bagian dari upaya penegakan hukum antikorupsi. Agenda politik ini juga menentukan aktor-aktor pelaku politik serta berbagai agenda-agenda berikutnya. Pemberantasan korupsi menjadi salah satu jualan politik yang tergolong ”laris”, tapi hingga kini tetap tanpa aksi yang berarti. Bukan hanya pada ranah legislatif, tetapi juga eksekutif.

Kita masih ingat betul harapan besar terhadap pemberantasan korupsi di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gebrakan melalui Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Pembentukan Timtastipikor pada Mei 2005 sedikit banyak mendapatkan apresiasi yang cukup berarti.Kemudian, pemberantasan korupsi menjadi slogan tanpa aksi.

Gerakan pemberantasan korupsi mengalami ”masa dahaga” terobosan pemberantasan korupsi hingga menjelang peringatan Hari Antikorupsi kali ini. Jika pun ada, saat ini sudah teramat sulit untuk membedakannya menjadi gerakan substantif pemberantasan korupsi atau hanya politik pemanis menjelang tahun politik.

Fakta menyebutkan banyaknya aktor partai politik yang kemudian terjerat perkara korupsi. Tahun 2008 banyak mengungkapkan perkara korupsi yang dilakukan oleh aktor politik atau orang yang dekat dengan aktor politik tersebut. Pada saat yang sama, tahun 2008 memperlihatkan wajah pemberantasan korupsi yang banyak melakukan pengungkapan perkara, tapi sangat minim penuntasan perkara.

Bahkan satu pola lainnya, perkara korupsi yang terungkap dan melibatkan para aktor politik ini juga banyak berhubungan dengan perkara korupsi yang terjadi pada rezim pemilu sebelum ini. Hal ini juga menjadi hal yang menarik. Pergantian rezim politik melalui pemilu sering membuat pengungkapan model-model korupsi di rezim sebelumnya mengalami eskalasi,walau kemudian sangat jarang yang tuntas dan aparat antikorupsi melakukan penghukuman substantif untuk semua orang yang terlibat.

Artinya, secara keseluruhan nasib pemberantasan korupsi masih sangat erat dengan kehidupan perpolitikan. Pascatahun politik, dengan masa pemerintahan baru, lebih banyak memperlihatkan kemungkinan suram. Walau setiap perubahan tentu juga menawarkan perbaikan.

Wajar jika di Hari Antikorupsi ini kita kemudian menanti dengan waswas dan berharap penuh cemas terhadap nasib pemberantasan korupsi menuju dan pascatahun politik. Semoga ada perbaikan. Sekali lagi, semoga.(*)


Zainal Arifin Mochtar

Dosen Fakultas Hukum
dan
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) FH UGM

Sumber www.seputar-indonesia.com

Tidak ada komentar: