10 Desember 2008

Membangun Rumah Kebahagiaan

Tempo hari saya berkirim SMS ke Arvan Pradiansyah, penulis buku The 7 Laws of Happiness, karena sejak awal saya sangat menyukai tulisan-tulisannya. Buku pertamanya You Are a Leader (2003), lalu kedua Life is Beautiful (2004), dan buku ketiga Cherish Every Moment (2007). Semua bukunya begitu memesona dan menjadi best seller di pasar. Hadirnya buku The 7 Laws of Happiness (2008) semakin mempertebal positioning Arvan sebagai penulis buku-buku laris dan bermutu di bidang pengembangan diri.

Ada ungkapan bijak dari Dave Gardner: ''Success is getting what you want, happiness is wanting what you get.'' Ungkapan sederhana ini menunjukkan bahwa kesuksesan berbeda dengan kebahagiaan. Jika kita amati secara seksama, sudah begitu banyak buku-buku yang mengupas dan menjelaskan bagaimana cara menjadi orang sukses. Sukses di sini identik dengan pencapaian sesuatu (sifatnya material-kuantitatif). Namun, masih banyak yang belum menyadari bahwa kesuksesan tersebut ternyata tidak identik dengan kebahagiaan (happiness). Karena yang terakhir ini lebih bersifat spiritual-kualitatif.

Kebahagiaan memang intangible dan bersifat relatif tergantung dari sudut mana orang melihat. Perumpamaan pengendara mobil mewah melihat penarik becak dengan enak bisa tidur pulas tanpa masalah setelah bekerja. Sedangkan dirinya yang bermobil mewah tak bisa menikmati tidur pulas karena terbebani banyak masalah. Ini setidaknya mengartikulasikan relativitas kebahagiaan itu. Boleh jadi si penarik becak juga akan beranggapan sama bahwa enak sekali si pengendara mobil mewah, ke mana-mana ada yang melayani, sampai membuka pintu mobil saja ada yang membukakan.

Melalui buku The 7 Laws of Happiness ini, Arvan menunjukkan kepada kita bahwa sifat relatif dari kebahagiaan itu dikendalikan oleh pikiran. Arvan menjelaskan bahwa menjaga pikiran adalah kunci dari kebahagiaan (hlm. 35-39). Jika Anda ingin bahagia maka jagalah pikiran agar tetap berpikiran positif terhadap segala sesuatu. Karena itu, otak yang menjadi alat (tool) pikiran harus senantiasa dipelihara agar tetap sehat dalam operasionalnya. Bagaimana caranya? Anda bisa baca selengkapnya di halaman 40-60 buku ini.

Sejatinya, cara membaca buku ini tidaklah sulit. Meski tergolong buku tebal (jika dibandingkan dengan buku-buku Arvan sebelumnya), tapi kerangka teori buku ini sudah sangat jelas disampaikan sejak awal. Inilah kelebihan Arvan dibanding penulis-penulis buku pengembangan diri lainnya. Bangunan teori (meski di pengantar Arvan membantah bukan buku teori) yang disampaikan penulis buku memberikan pesan bahwa ada tujuh pikiran yang mesti kita pilih untuk mengantarkan kita pada ruang kebahagiaan.

Tiga pikiran pertama terkait dengan diri kita sendiri yaitu sabar (patience), syukur (gratefulness), dan sederhana (simplicity). Tiga pikiran kedua berkaitan hubungan kita dengan orang lain yaitu kasih (love), memberi (giving), dan memaafkan (forgiving). Satu pikiran terakhir yang menjadi puncak adalah berkaitan hubungan kita dengan sang Pencipta yaitu berserah (surrender).

Arvan mengakui bahwa bangunan teori praktis yang ditulis di buku ini bukanlah sesuatu yang baru. Jika kita membaca bukunya yang kedua yang menjadi best seller yaitu Life is Beautiful, konsep tentang kesabaran, bersyukur, rela memaafkan, pasrah, ikhlas, dan sebagainya sudah pernah dibahas. Hanya, bedanya di buku Life is Beautiful konsepnya masih berserakan. Nah, di buku The 7 Laws of Happiness konsep-konsep luhur nan agung tersebut dikumpulkan agar terbentuk bangunan konsep teori yang utuh, mudah diingat, dan ada tahap-tahapannya. Dengan begitu penerapannya mudah dilakukan (aplicable) oleh siapa saja.

Di tengah dominasi kultur masyarakat yang serba instan saat ini, membangun rumah kebahagiaan bagi saya bukanlah sesuatu yang mudah. Sabar yang menjadi fondasi utama bangunan bagi kebanyakan orang masih terasa sulit. Orang yang sabar terkesan lambat meski esensinya tidak. Karena jika kita bersabar maka kebahagiaan terasa mudah dirasakan. Sabar di sini saya maknai sebagai sikap proaktif mengendalikan emosi dan nafsu untuk tujuan sesaat.

Arvan menempatkan sabar sebagai fondasi dan pasrah sebagai plafon bangunan bukan tanpa alasan. Bagi saya, dua jalan itulah yang menjadi intisari jika kita mau memeras saripati buku ini. Jika sabar sudah mewujud dalam perilaku maka hanya kepasrahanlah tempat mengembalikan segala masalah. Karena itu, sabar dan pasrah bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Hadirnya buku ini akan semakin mempertebal keyakinan kita bahwa sejatinya yang dicari dalam hidup bukanlah kesuksesan namun lebih pada kebahagiaan yang abadi. Bukankah agama juga mengajarkan pada kita berdoa agar senantiasa hidup dalam kebahagiaan (fiddunyaa hasanah) dan mati pun juga dalam kebahagiaan (aakhiroti hasanah)? (*)

---

Judul Buku : The 7 Laws of Happiness; Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia

Penulis : Arvan Pradiansyah

Penerbit : Kaifa, Bandung

Cetakan : I, September 2008

Tebal : 423 halaman

---

Abdul Muid Badrun, Entrepreneur dan Associates Researcher Circle of Information and Development (CID) Jakarta

Sumber Jawa Pos, 7 Desember 2008

Tidak ada komentar: