06 Desember 2008

Diperlukan G-20 Pendidikan

Oleh Supriyoko *

Pertemuan G-20 baru saja berlangsung di Washington DC, Amerika Serikat (AS). Pertemuan yang berlangsung pada 15-16 November 2008 tersebut dihadiri beberapa kepala negara sekaligus, termasuk Presiden SBY dari Indonesia. Selaku tuan rumah, Presiden AS Bush tentu menghadiri pertemuan yang sangat penting tersebut.

Dalam pertemuan yang berlangsung secara rutin tiap tahun itu, biasanya masing-masing kepala pemerintahan didampingi birokrat, pakar, bahkan praktisi ekonomi di negaranya seperti menteri ekonomi, gubernur bank sentral, analis ekonomi, dan sebagainya. Presiden SBY pun mengajak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Demikian pula, Presiden Bush menyertakan menteri keuangannya.

Sebelum, sesudah, atau di sela-sela pertemuan berlangsung, biasanya dilakukan pertemuan bilateral antarnegara yang berkepentingan untuk membahas kasus ekonomi yang tengah terjadi. Misalnya, pertemuan menteri keuangan Indonesia dengan Tiongkok untuk membahas peredaran ilegal obat-obatan, batik, dan sebagainya yang secara langsung berdampak pada keuangan di kedua negara. Pertemuan bilateral tersebut tidak melibatkan negara lain yang tidak berkepentingan.

Pentingnya G-20

Nama asli Kelompok G-20 adalah The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Dua Puluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Mengapa 20? Sebab, anggotanya terdiri atas 20 negara, atau tepatnya 19 negara ditambah satu Uni Eropa.

Kelompok G-20 terdiri atas negara-negara dengan perekonomian besar yang sangat menentukan perekonomian dunia. Ada pun negara-negara yang dimaksud adalah Afrika Selatan, Argentina, AS, Australia, Britania Raya, Brazilia, Kanada, Tiongkok, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Meksiko, Prancis, Rusia, Arab Saudi, Turki, dan Uni Eopa.

Kalau kita perhatikan, negara berpenduduk besar seperti Tiongkok, AS, India, dan Indonesia bergabung dalam G-20. Dengan demikian, wajar kelompok itu ''menyita'' lebih dari duapertiga total penduduk dunia dan wajar kalau hasil pertemuan tersebut sangat menentukan perekonomian dunia, setidak-tidaknya perekonomian yang melibatkan duapertiga penduduk dunia.

Ketika dunia sedang dilanda krisis ekonomi seperti sekarang, pertemuan G-20 sangat diharapkan bisa mencarikan solusi. Itu memang sangat beralasan. Krisis ekonomi sekarang memang tidak separah sepuluh tahun lalu, 1998. Namun, bila tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin krisis dahsyat sepuluh tahun lalu akan berulang.

Indonesia memiliki pengalaman pahit dengan krisis ekonomi sepuluh tahun silam. Nilai rupiah melemah, harga-harga naik, dan ketergantungan pada negara lain makin kuat. Ketika George Soros ''ngoceh'' di mana-mana, kita tidak mampu melawan; hanya Mahathir yang mampu menangkis. Dulu dengan Rp 2 juta, orang bisa membeli motor. Setelah krisis, diperlukan dana setidaknya Rp 10 juta untuk bisa naik ''sepeda mesin''. Dulu dengan Rp 7 juta orang Islam bisa naik haji ke Makkah dan Madinah. Setelah krisis, diperlukan lebih dari Rp 25 juta untuk menjalankan perintah Allah tersebut.

Lahirnya G-20 memang diilhami peristiwa krisis ekonomi 1998 tersebut dan selanjutnya bekerja untuk memecahkan berbagai kompleksitas ekonomi dunia, khususnya yang dihadapi negara-negara anggotanya.

G-20 Pendidikan

Kalau kita jujur, yang mengalami krisis sekarang ini tidak saja bidang ekonomi dan keuangan. Tapi, bidang pendidikan pun sebenarnya juga sedang mengalami.

Krisis pendidikan yang paling mencolok sekarang adalah terjadinya jurang (gap) antara negara-negara maju dengan negara-negara terbelakang. Dengan dukungan teknologi informasi (information technology) yang serbacanggih, pendidikan di negara-negara maju melesat bagai anak panah yang lepas dari busurnya.

Sebaliknya, dengan memanfaatkan fasilitas seadanya, pendidikan di negara-negara terbelakang mengalami stagnasi dan bersikutat di tempat duduknya. Di negara-negara berkembang, pendidikan mengalami tarik-ulur antara pemanfaatan teknologi dan pelestarian tradisi.

Janganlah heran kalau perguruan tinggi berkelas dunia (world class university) versi Times, SJTU, dan ARWU didominasi oleh negara-negara maju seperti AS dan Inggris; apalagi versi CINDOC yang kriterianya sejauh mana perguruan tinggi bisa memanfaatkan fasilitas teknologi informasi (web) seperti mengakses internet. Dengan kriteria seperti itu, setengah abad ke depan pun tidak pernah akan ada perguruan tinggi dari negara tertinggal yang mampu tampil. Inilah salah satu bentuk krisis pendidikan yang tengah melandan dunia, meski tidak disadari banyak orang.

Jangan heran pula kalau sekolah berkelas dunia (world class school) versi IBO didominasi negara-negara maju. Mengapa? Sekolah-sekolah di negara terbelakang, bahkan negara berkembang, sangat sulit memenuhi kriteria yang dibuat dan diselerai negara maju. Ini konkret, dan ini krisis!

Bagaimanakah dengan anak-anak Indonesia yang tercerabut dari akar budayanya? Bagaimana dengan anak-anak India yang mengalami demam Amerika? Bagaimana dengan anak-anak Thailand yang mulai meninggalkan kesantunannya? Itu merupakan bagian krisis pendidikan yang lain.

Kita memerlukan Kelompok G-20 di bidang pendidikan. Ada pun tugas utamanya adalah menyelesaikan berbagai kompleksitas pendidikan dunia sebagaimana G-20 (ekonomi) yang tugas utamanya menyelesaikan berbagai kompleksitas ekonomi dunia.

Siapa anggota G-20 pendidikan? Negara-negara yang unggul di bidang teknologi pendidikan seperti AS dan Inggris perlu masuk. Negara-negara berkembang berpenduduk besar seperti Tiongkok dan Indonesia perlu masuk. Negara-negara tertinggal yang berpenduduk besar seperti Pakistan perlu masuk. Jangan lupa, negara-negara yang terbukti berhasil memadukan teknologi dengan tradisi seperti Jepang juga perlu masuk.

Problematika pendidikan di satu negara memang menjadi tangung jawab negara bersangkutan. Namun, pada era globalisasi sekarang ini, masalah besar pendidikan yang muncul memang saling kait-mengait antara negara satu dengan lain. Dalam hal seperti inilah eksistensi dan peran Kelompok G-20 diperlukan.

* Prof Dr Ki Supriyoko MPd, pamong Tamansiswa; wakil Presiden PAPE Tokyo, Jepang; kini juga pembina sekolah unggulan Insan Cendekia Jogjakarta
Dikutip dari Jawa Pos, 22 November 2008

Tidak ada komentar: