Jika bertemu dengan Sigit Susanto, penulis buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia (1&2), mintalah ia berkisah lagi tentang Klab Baca Yayasan James Joyce di kota Zurich, Switzerland, yang beberapa kali ia ikuti. Klab baca ini unik oleh dua hal: peserta dan prosedur mereka membaca buku.
Nyaris semua peserta klab adalah orang-orang ''magriban'' yang sisa hidup mestinya mereka pakai untuk memperbanyak doa. Masing-masing orang tua ini dengan khusyuk memangku buku babon karya James Joyce yang berjudul Ulysses. Ada yang membawanya dari rumah, tapi bagi yang tak punya atau tertinggal langsung saja mengambilnya dari rak yang tersedia dalam ruangan. Saya tak tahu pasti apa yang ada di pikiran orang-orang tua itu berhadapan dengan buku bantal tersebut. Mungkin disamakan dengan kitab suci dan karena itu diperlakukan layaknya benda sakral.
Ke-23 anggota klab itu dipandu seseorang yang juga tak kalah tuanya. Namanya Fritz Senn, seorang pegawai pengairan. Lantaran kegilaan pada karya-karya Joyce ia dibaptis oleh dunia sebagai joycean dan menjadi alamat pertanyaan bagi siapa pun yang ingin tahu tentang Joyce dan karya-karyanya. Atas kegilaan ini, ia diganjar anugerah: 3 kali menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Koln, Zurich, dan Dublin.
Senn inilah yang menjadi pemandu membaca buku Ulysses setebal bantal itu. Setiap pekan, secara reguler, diperlukan waktu 1.5 jam. Tentu tak digilir satu per satu membacanya. Sang ''imam'' memutarkan CD yang berisi rekaman bacaan atas buku itu. Kurang lebih tiga halaman. Yang lain menyimak, seperti mendengarkan doa keselamatan dari dunia lain. Setelah itu dipersilakan peserta bertanya apa saja yang berhubungan dengan teks yang dibacakan tadi. Lalu bubar.
Yang membuat Sigit Susanto tersentak adalah, kelas membaca Ulysses ini sudah berlangsung, allamak, 3 tahun. Itu pun belum rampung. Jadi sudah 3 tahun setiap pekan orang-orang tua itu datang, duduk tenang menyimak, lantas pulang. Mereka --membaca lambat seperti siput-- barangkali ingin menghikmati dan menapaktilasi bagaimana buku itu ditulis Joyce dengan menghabiskan waktu selama 8 tahun.
Dan, membaca sampai 3 tahun lamanya satu buku jangan harapkan bisa dilakukan anak-anak muda yang suka mengambil jalan pintas menyelesaikan sesuatu. Itu hanya bisa terjadi oleh penggila buku dan oleh mereka yang terperangkap-sadar dengan pamor yang dipancarkan penulis buku itu. Mungkin mereka menganggap Joyce adalah nabi yang mereka percaya bisa memberi ketenangan hidup di usia mereka yang sudah senja.
Kisah klab baca Joyce itu adalah kisah bagaimana orang-orang melakukan intimasi dengan buku dalam sebuah prosedur yang disepakati. Jika bukan tradisi panjang bergelut dengan buku, pastilah orang-orang itu tak mau berpayah-payah membaca buku yang mereka tahu benar bahwa itu hanyalah reka-reka penulisnya saja, tapi anehnya mereka percaya seperti mereka percaya pada hisab masa depan yang dilakukan para penujum. Apalagi sampai menitip secara sukarela sebagian usianya untuk melahap sebuah buku dengan cara yang rada aneh.
Di Indonesia klab baca buku seperti yang dilakukan Yayasan James Joyce itu nyaris tak ada. Apalagi mengkaji sastra. Pernah ada satu klab baca di Bandung yang khusus membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Klab Baca Pramoedya namanya. Dikelola oleh Tobucil dan diikuti semua umur. Tapi, tampaknya klab baca ini mulai kehabisan darah dan perlahan masuk peti mati. Tapi mereka sudah meninggalkan tradisi baik.
Bukan klab baca itu yang membuat saya tertegun, melainkan apa yang setiap subuh saya lihat di sebuah langgar Muslimat NU dekat rumah kontrakan saya di Krapyak Jogja dan barangkali nyaris di semua pesantren yang bertebaran di seluruh Nusantara. Sekira subuh para mbah putri dan mbah kakung itu sudah berbondong-bondong ke langgar mendengarkan santiaji dari kiai, setelah sebelumnya didahului pembacaan doa-doa rutin yang jadi prosedur baku. Dan itu dilakukan saban minggu dengan jadwal berkumpul yang tetap.
Menurut saya, ini adalah klab baca tradisional yang spektakuler dan luar biasa tuanya dalam tradisi lisan di Indonesia. Aturan main dalam ''klab baca'' tak kalah didaktiknya dengan Klab Baca Joyce. Ada buku (kitab) yang dibaca. Jika Klab Baca Joyce menggunakan dua bahasa (teks berbahasa Jerman dan pengantar diskusi bahasa Inggris beraksen Irlandia), maka ''klab baca'' para mbah ini juga menggunakan dua bahasa (bahasa teks dari Arab, sementara penyampaiannya memakai bahasa Jawa yang diaduk dengan bahasa Indonesia).
Misalnya, sang kiai menyitir satu hadis dan satu ayat, lalu diterangkan serat-serat maknanya. Dibuka sesi pertanyaan. Lantas pulang. Dan akan kembali pekan berikutnya dengan melangkah ke hadis dan ayat berikutnya. Saya kira metode ''klab baca'' ini secara tak langsung tersusun tanpa sadar dari pengalaman mereka menanggap wayang yang umumnya lebih banyak mendengarkan ketimbang berbantahan sebagaimana kita saksikan dalam seminar-seminar adu kepintaran. Mereka kerap memperlakukan dan menempatkan buku (kitab) sebagai sumur kebenaran yang menuntun kepada ketenangan jiwa. Karena begitu sakralnya sebuah buku, maka memperlakukannya pun harus dengan cara-cara yang arkaik dan santun.
Mungkin klab baca para mbah itu terlalu rudin dan arkaik untuk kita praktikkan di era ketika tradisi membaca (buku) masih diperjuangkan oleh para penganutnya yang fanatik. Tapi jangan remehkan tradisi membaca gaya para mbah ini yang justru ditimba dari tradisi lisan yang berbaur dengan tradisi menonton (nanggap wayang).
Di titimangsa ini kita memang tak boleh menjadi terlalu fakir dan pasrah melahap metode dan prosedur yang bersifat liyan dari pengalaman autentik masyarakat jika kita tak ingin sebuah klab baca mati sejak langkah awal.
Klab baca para mbah itu bisa dijadikan contoh ihwal prosedur pembacaan (membaca sedikit demi sedikit dan barangkali juga sesekali diisi oleh musikalisasi teks); pilihan bacaan (misalnya membaca bersama Kitab Babad Tanah Djawi, Centhini, atau ratusan kitab sastra yang sudah menjadi klasik dan sekaligus ini usaha menghidupkan warisan budaya yang terkubur); cara memperlakukan bacaan (ini soal intimasi dan kemudahan akses bacaan jika anggota tak memilikinya); dan semangat mempertahankan konsistensi waktu yang tak lapuk diganyang usia. (*)
Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku (I:BOEKOE) Jogjakarta
10 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar