Oleh Agus Widarjono *
Rupiah memang benar-benar sulit dikendalikan pascakrisis keuangan di AS. Rupiah terus bertengger pada posisi Rp 11 ribu per USD. BI sebagai penjaga gawang kestabilan rupiah telah mengeluarkan semua jurus untuk mengerem merosotnya rupiah. Tetapi, tetap saja rupiah terus-menerus melemah.
Lihat saja bagaimana BI dengan sekuat tenaga menjaga kestabilan rupiah akhir-akhir ini. Untuk menstabilkan rupiah, cadangan devisa sudah terkuras dari USD 57,11 miliar pada awal Oktober turun menjadi USD 50,58 sampai awal November ini atau telah keluar dana sebesar USD 6,53 miliar. Selain intervensi ke pasar, BI menggunakan kebijakan uang ketat dengan mematok BI rate pada posisi 9,5 persen walaupun banyak pelaku ekonomi menolak kebijakan moneter ketat ini.
Karena rupiah tetap terus melemah, akhirnya BI mengeluarkan jurus yang bersifat nonkonvensional melalui regulasi tata cara pembelian devisa. Melaui PBI No 10/28/2008, BI mengatur bahwa pembelian valuta asing yang jumlahnya di atas angka USD 100 ribu harus merupakan transaksi untuk kegiatan bisnis (underlying transaction). Nasabah individu diwajibkan mencantumkan NPWP untuk transaksi dalam jumlah tersebut (Jawa Pos, 13/11).
Meski BI telah mengeluarkan peraturan tentang pembelian valuta asing dengan tujuan untuk membatasi spekulasi di pasar valas, nilai tukar rupiah masih terus tertekan. Bahkan, pada perdagangan Kamis lalu (13/11) rupiah sempat menyentuh level Rp 11.998 per USD. Posisi tersebut merupakan level terburuk sejak 2001.
Destabilizing Speculation
Posisi rawan rupiah sebagai mata uang lemah (soft currency) sudah terlihat sejak pertengahan September lalu. Setelah IHSG mengalami masa bubble, di mana menyentuh level di atas 2000, saat itulah posisi rupiah sangat rawan. Bubble-nya saham pasti akan diiringi oleh jatuhnya harga saham dengan cukup tajam pula. Anjloknya harga saham pada pertengahan September lalu berimbas pada melemahnya rupiah. Rupiah sempat mendekati Rp 9.500 per USD.
Pada saat yang bersamaan, fundamental ekonomi juga kurang mendukung. Ini terlihat dari tingginya tingkat inflasi pada 2008. Sampai dengan Oktober lalu tingkat inflasi sudah mencapai 11,78 persen. Berdasar teori paritas daya beli (purchasing power parity), depresiasi rupiah tidak bisa terhindari. Kondisi rupiah tertekan.
Tetapi, tekanan rupiah tidak berhenti sampai di sini. Ada variabel di luar kontrol kita yang membuat rupiah semakin terjerembap, yaitu krisis keuangan di AS sebagai pusat lokomotif pasar keuangan dan ekonomi dunia. Krisis keuangan tersebut menjadikan harga saham di New York rontok dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Harga saham di seantero dunia, termasuk Indonesia, berguguran. Bahkan, pemerintah akhirnya menghentikan beberapa hari perdagangan saham.
Secara logika ekonomi, krisis keuangan di AS tersebut menjadikan dolar melemah dan rupiah seharusnya menguat. Tetapi, anomali terjadi. USD justru tidak melemah, namun malah menguat. Hal ini terjadi karena banyak investasi jangka pendek (hot money) dari para investor Amerika kembali ke negeri asalnya. Ada dua alasan. Pertama, repatriasi modal jangka pendek ini dilakukan karena para investor ingin melakukan konsolidasi internal untuk mengatasi krisis keuangan tersebut.
Kedua, secara bersamaan repatriasi modal tersebut dilakukan karena ada harapan baru dari presiden terpilih Barrack Obama tentang perubahan dan perbaikan ekonomi.
Imbas dari jatuhnya harga saham dan semakin menguatnya dolar AS mengakibatkan para pemilik modal beralih ke jenis investasi finansial yang berdominasi dolar. Jadilah rupiah turun terus. Tetapi, tekanan rupiah tidak berhenti sampai di sini. Ketika BI gagal membendung kemerosotan rupiah menjadikan pelaku pasar mengalami kepanikan. Spekulasi pun akhirnya marak dilakukan oleh pelaku pasar. Spekulasi yang liar (destabilizing speculation) tersebut menjadikan rupiah begerak liar tak terkendali. Dus, kebijakan standar seperti intervensi BI ke pasar dengan menggelontorkan dolar akhir-akhir ini ataupun kebijakan uang ketat dengan suku bunga tinggi tidak akan efektif untuk melakukan stabilisasi rupiah.
Babak Baru
Melihat maraknya spekulasi itu dan tidak efektifnya kebijakan moneter yang standar dalam melakukan stabilisasi rupiah, akhirnya BI mengeluarkan kebijakan dalam aturan main pembelian dolar untuk mengurangi spekulasi. Inilah babak baru dalam sejarah stabilisasi rupiah pascakrisis rupiah 1997 melalui kontrol langsung ke pasar.
Melihat tipisnya volume perdagangan di pasar valas yang kurang dari USD 1 miliar per hari dan pasokan dolar sangat terbatas, kebijakan BI mengatur pembelian valuta asing yang jumlahnya di atas angka USD 100 ribu per bulan harus merupakan underlying transaction merupakan kebijakan tepat. Kebijakan tersebut memang belum efektif dalam jangka pendek, mengingat masih terjadi kepanikan di pasar.
Banyak pelaku justru memborong dolar karena takut mendapatkan dolar di kemudian hari. Mereka yang memiliki dolar juga takut kesulitan mendapatkan dolar kembali ketika mereka mengonversi dolar ke rupiah. Alhasil, justru rupiah melemah karena permintaan dolar tinggi, sedangkan supply terbatas.
Seharusnya, pelaku pasar tidak perlu panik dengan aturan main ini. BI tetap akan menjamin setiap warga negara bisa mendapatkan dolar asal kebutuhan dolar memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan transaksi. Kebijakan itu tidak menoleransi mereka yang membeli dolar untuk kegiatan spekulasi di pasar valas yang akhir-akhir ini tidak terkontrol.
Kebijakan pengontrolan dari sisi permintaan itu merupakan bagian dari sistem kontrol devisa. Kebijakan kontrol devisa BI saat ini masih merupakan kebijakan kontrol devisa yang paling ringgan.
Namun, sejarah membuktikan bahwa kebijakan kontrol devisa dalam bentuk apa pun lebih efektif dalam mengatasi krisis mata uang suatu negara ketika krisis mata uang terjadi karena adanya destabilizing speculation. Malaysia adalah faktanya saat krisis mata uang Asia pada 1997. Sehingga, ke depan, kebijakan kontrol devisa baik dari sisi permintaan maupun penawaran (repatriasi devisa) seharusnya juga menjadi pilihan bagi BI untuk menstabilkan rupiah.
*. Agus Widarjono, mahasiswa S3 Oklahoma State University, USA, dosen FE Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta.
Sumber Jawa Pos, 17 November 2008
10 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar