Pernah membeli buku dan kecewa karena ternyata Anda pernah membeli buku yang sama dengan judul berbeda? Saya pernah. Berkali-kali malah. Sebut saja beberapa buku tes CPNS yang saya beli untuk persiapan menjajal nasib menjadi pegawai negeri. Lalu buku-buku psikotes ketika berburu pekerjaan dan memerlukan tes psikologi. Kemudian juga buku-buku Kahlil Gibran yang booming di awal 2000-an. Yang terakhir saya beli kumpulan cerpen laris Budi Darma, Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat.
Buku-buku kumpulan soal tes CPNS dan psikotes diterbitkan beberapa penerbit dengan judul yang kurang lebih sama. Buku disegel sehingga saya hanya berpaku pada pengantar di setiap sampul belakang untuk mengira-kira isinya. Ternyata setelah dibeli, isi buku-buku dengan penerbit berbeda itu banyak kesamaan, bahkan ada yang nyaris sama. Hanya nomor soalnya saja yang diubah-ubah. Karena itu, banyak kunci jawaban yang tak sesuai dengan soalnya. Saya selaku konsumen yang ingin mendapatkan informasi soal yang variatif tentu saja kecewa.
Buku Kahlil Gibran setali tiga uang. Ini mungkin buku yang paling banyak diterbitkan dalam banyak versi melebihi karya orisinil penulisnya. Adhe dalam bukunya Declare (2008) menuliskan bahwa karya-karya Gibran telah diterbitkan oleh lebih dari 20 penerbit dengan 76 judul berbeda. Luar biasa bukan? Ini fenomena yang menarik sekaligus memprihatinkan. Sosok Gibran yang sufi itu dikenal hingga ke kalangan anak-anak remaja SMP. Ada memang karya yang orisinil, seperti Sayap-sayap Patah dan Sang Nabi. Tapi selebihnya adalah judul-judul baru hasil ''kreativitas'' penerbit yang isinya kebanyakan potongan cuplikan dan bahkan saduran. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang Gibran, pembeli akan mengira itu semua karya baru (lain) dari Gibran.
Sementara itu, buku Budi Darma, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, diterbitkan oleh Bentang (anak penerbitan Mizan), merupakan daur ulang dari buku kumpulan cerpen yang terbit sebelumnya dengan judul Kritikus Adinan. Buku ini dikemas dengan gaya buku baru. Sampul sama sekali berbeda dan pengantar sampul belakang menarik, plus foto diri pengarang. Pada buku baru ini ditambahkan satu karya baru. Jika Anda pernah membeli kaset dari penyanyi yang merupakan repacked atau recycled --lagu-lagu lama ditambahi satu-dua lagu baru-- buku ini menggunakan strategi pemasaran yang sama.
Bagi fans berat --yang selalu ingin mengoleksi karya idolanya-- edisi recycled pun akan disikat meski mengeluarkan sejumlah uang untuk karya yang sudah pernah dimiliki. Tapi, bagi konsumen yang ingin membaca dan mengetahui hal baru apa lagi yang disuguhkan dari seorang begawan seperti Budi Darma, membeli karya recycled tentu mengecewakan.
Segendang sepenarian dengan Bentang, Qanita (lagi-lagi, anak penerbitan Mizan) menerbitkan karya fenomenal Fatima Mernissi berjudul Perempuan-perempuan Harem. Buku ini pernah diterbitkan Mizan dengan judul berbeda, Teras Terlarang. Tak ada keterangan sama sekali di buku edisi baru itu, bahwa dua buku dengan judul berbeda itu memiliki isi yang sama, terjemahan dari Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood. Hanya sedikit keterangan di lembar copyright: Edisi baru, cetakan 1, Juni 2008. Keterangan ini pun bias karena melahirkan asumsi rancu bahwa buku ini baru.
Penerbit Serambi, juga melakukan hal yang sama. Tapi mereka agak fair karena mencantumkan judul lamanya dengan font yang lebih kecil, Event Angel Ask: Bahkan Malaikat pun Bertanya karya terjemahan dari Jeffrey Lang dari judul yang digunakan untuk penerbitan sebelumnya; Bahkan Malaikat pun Bertanya.
ScriPtaManent adalah penerbit yang menerbitkan ulang Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M. Dahlan dengan judul baru Jalan Sunyi Seorang Penulis. Yang terakhir ini lebih ''jujur'' karena memberikan keterangan di sampul belakang --meski dengan tulisan kecil dan samar: ''edisi terbaru: aku, buku, dan sepotong sajak cinta''.
Buku-buku recycle yang disajikan dengan judul baru tanpa informasi lengkap tentang kebaruan dan perbedaannya dengan terbitan sebelumnya, bagi saya, merugikan pembaca. Apalagi pembeli tak diberi kesempatan yang berlebih untuk melakukan pemeriksaan. Sebab buku-buku yang tergelar di toko kerap terbungkus segel plastik (wrapping) dan tak boleh dibuka sebelum menyelesaikan ''administrasi'' di meja kasir.
Calon pembeli hanya berbekal narasi singkat atau komentar-komentar pembaca yang umumnya figur publik agar calon pembeli terpikat dan terjerat. Menurut saya, ini gaya pengelabuhan yang tak bertanggung jawab.
Dalam menegakkan ''mata rantai'' perbukuan, penerbit adalah pilar yang memegang peran penting di antara penulis, percetakan, distributor, toko buku, perpustakaan, dan pembaca. Penerbit adalah filter pertama dari transfer ilmu pengetahuan yang akan diterima konsumen. Penerbit yang menentukan naskah mana yang akan terbit dan mana yang tak perlu dikonsumsi pembaca.
Sebagai konsumen, pembaca buku tentu saja akan terampas haknya untuk mendapatkan pengetahuan yang utuh dikarenakan ulah penerbit yang ugal-ugalan mengganti-ganti judul dengan isi buku yang sama. Kenapa tak tetap diterbitkan dengan judul sama saja? Tambahan isi baru atau beberapa revisi bisa diberikan sebagai keterangan. Dengan begitu, pembeli bisa mendapatkan bahan pertimbangan yang layak apakah ingin membeli lagi edisi terbarunya atau tidak. Jika memang buku itu laris dan dicari pembaca, pastilah buku itu akan tetap habis.
Namun, jika penerbit memang meniatkan untuk mengelabuhi pembaca, maka ini sebentuk penipuan publik yang bekerja di dunia perbukuan. Calon pembeli tak mendapat informasi yang utuh tentang apa-apa yang akan dibeli dan dibacanya.
Mestinya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang kritis atas barang niaga demi perlindungan hak konsumen juga mencermati soal ini. Sehingga pembodohan ini tak bekerja terus-menerus, bahkan di dalam sebuah dunia yang menjadi agen pencerahan akal budi dan selalu merapalkan jargon besar: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. (*)
*) Diana A.V. Sasa, pegiat buku, tinggal di Surabaya
Sumber www.jawapos.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar