Oleh Irfan Ridwan Maksum *
Sudah menjadi perhelatan rutin, menjelang akhir tahun, menurut peraturan perundang-undangan, semua daerah otonom di Indonesia harus sudah mempersiapkan RAPBD tahun berikutnya untuk disampaikan kepada pejabat yang berwenang agar mendapat approval (persetujuan). RAPBD kabupaten-kota sudah harus disiapkan untuk disampaikan ke gubernur selaku wakil pemerintah, sedangkan RAPBD provinsi disampaikan ke menteri dalam negeri.
Di tiap daerah seantero republik ini seharusnya sudah dilakukan penggodokan RAPBD 2009 antara DPRD dan pemerintah daerahnya. Jika ingin otonomi itu efektif, semua pihak di daearah harus memperhatikan penahapan tersebut.
Kenyataannya di Indonesia, baik daerah yang kaya sumber-sumber pendapatan sendiri maupun daerah yang mengandalkan kucuran dana perimbangan, masih alot membahas RAPBD-nya, bahkan ada yang berada di tahap KUA (kebijakan umum anggaran) dan PPAS (pagu anggaran sementara).
Persoalan yang dihadapi sangat bervariasi. Beberapa daerah serius memperhatikan pos anggaran bagi pemilu yang akan digelar pada 2009 di daerah masing-masing. Terdapat pula daerah yang terkendala justru karena pembengkakan akibat penyesuaian ortala baru karena PP 41 Tahun 2007 mengenai susunan organisasi dan perangkat daerah. Selebihnya ada daerah yang menyalahkan jerat Permendagri 32 Tahun 2008 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah yang tidak fleksibel terhadap pos DAU.
Peyorasi
Hampir semua daerah mengartikan pelaksanaan otonomi daerah secara kaku dengan mengikuti mekanisme prosedural dari pemerintah yang kadang justru mengorbankan kepentingan daerahnya. Kalau diperhatikan, itu sesungguhnya bermuara di elite yang menerjemahkan aturan main di tingkat nasional. Bahasa elite daerah, mereka tidak ingin dikorbankan aturan-aturan tersebut.
Terjadi peyorasi otonomi daerah. Kondisi tersebut diperparah sikap mental elite dalam organ-organ pemerintahan daerah yang kurang aksesibel serta tidak sensitif terhadap keadaan setempat. Keadaan itu membawa kepada otonomi daerah yang jauh dari harapan masyarakat.
Peyorasi otonomi daerah di Indonesia sudah lama terjadi. Diakui para pakar otonomi daerah di Indonesia, penyelenggaraan otonomi daerah di negeri ini dilakukan sejak Hindia Belanda. Hindia Belanda mengembangkan otonomi daerah diawali dengan otonomi yang bercorak mendua: pertama, bangun kelembagaan untuk kaum pribumi yang elitis; kedua, kelembagaan otonomi daerah bagi kepentingan bangsa Belanda sendiri yang ada di pelosok Nusantara. Dalam dua kelembagaan tersebut, masyarakat Indonesia pada umumnya terpinggirkan.
Kelembagaan yang kedualah yang diteruskan hingga saat ini. Perubahan kelembagaan terutama ditandai dengan pergantian rezim dan beberapa hal teknis pemerintahan. Mulai pergantian rezim kolonial diganti rezim kemerdekaan hingga pergantian antarrezim di era kemerdekaan ditandai pula perubahan tata kelola pemerintahan yang bersifat teknis, termasuk diadopsinya pilkada.
Tampak peyorasi yang tertanam lama tersebut sudah membudaya. Sesuatu yang unik terjadi, mengapa peyorasi tersebut sangat tampak justru di era demokratisasi yang amat kental sejak reformasi bergulir di negeri ini? Bahkan, pilkada dan pemilu legislatif tidak mampu menghadirkan otonomi daerah yang berdampak positif bagi masyarakat.
Jika dikaitkan dengan perjalanan sejarah bangsa ini, teori dari pemikir pembangunan yang mengatakan berbagai sistem tata kelola kenegaraan di negara berkembang yang diadopsi dari negara maju hanyalah imitasi merupakan jawaban tepat untuk menjelaskan fenomena peyorasi (Shah: 2005).
Kesadaran Elite
Idealnya, program pembangunan dan pemerintahan haruslah untuk rakyat. Tetapi, pikiran peyorasi membawa kepada anggaran yang terbatas -khususnya di berbagai daerah yang minus, dimaknai dihabiskan dulu (terutama) untuk belanja tak langsung (ongkos tukang) berdasarkan Permendagri. Hal inilah yang menyebabkan beberapa daerah yang minus sedang kelabakan merancang APBD 2009 karena acuan DAU lama sesuai Permendagri tersebut tidak cukup lagi seiring dengan perubahan desain organisasi dan tata laksananya.
Seharusnya, berapa yang dibutuhkan untuk pembangunan di daerahnya dikembangkan terlebih dahulu setelah membahas ke mana daerah mau membangun. Jika uangnya terbatas, elite daerah harus berani mengatakan belanja tidak langsung dikurangi, dan jika terjadi perubahan kelembagaan (organ pemerintahan), semestinya jangan berpikiran membesarkan struktur, tetapi kembangkan pemikiran miskin struktur, kaya fungsi.
Kesadaran elite lokal di sini menjadi penentu. Para elite lokal lebih dominan memikirkan apa yang menjadi kepentingannya dalam penyelenggaraan otonomi daerah di tempatnya dan tidak didasari ideologi untuk membangun kepentingan bersama daerahnya.
Kondisi itu diperparah oleh kerangka kerja di tingkat nasional yang masih kaku. Kerangka kerja di tingkat nasional amat ditentukan oleh persepsi Departemen Dalam Negeri yang tidak memiliki desain otonomi daerah yang jelas. Departemen ini langsung berperan dalam perubahan yang bersifat struktural melalui wacana perubahan UU Pemerintahan Daerah dan peraturan organiknya yang dicekoki pula oleh peyorasi otonomi daerah, serta sangat dihinggapi persepsi lemahnya sumberdaya lokal dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Walhasil, kondisi lokal dan nasional semakin memperkeruh peyorasi otonomi daerah.
Dengan demikian, elite lokal dan nasional harus sama-sama memiliki perspektif yang kontra terhadap peyorasi otonomi daerah. Hilangkan imitasi otonomi daerah di Indonesia dan berpkirlah ameliyorasi terhadap otonomi daerah untuk kemajuan Indonesia.
*. Irfan Ridwan Maksum, pengajar pada program Pascasarjana Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Depok
Sumber Jawa Pos, 22 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar