30 Desember 2008
Jejak Profesionalisme TNI
Reformasi ABRI (sebelum menjadi TNI) menjadi salah satu tuntutan para demonstran -yang dimotori mahasiswa-- saat menumbangkan kekuasaan Orde Baru (Orba). Para demonstran meminta militer tidak terlibat dalam politik. Kaum reformis menginginkan pasukan berkonsentrasi dalam fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Militer harus kembali ke barak.
Reformasi militer masuk menjadi paket tuntutan perubahan karena di era Soeharto, militer sudah melangkah terlalu ''jauh''. Memasuki semua bilik yang seharusnya menjadi ranah sipil. Tak hanya di eksekutif, para serdadu juga merambah legislatif. Bahkan di bidang yudikatif, sejumlah hakim agung adalah perwira militer.
Keterlibatan militer yang terlalu jauh inilah yang membuat anatomi negara dalam bentuk otoriter. ABRI bukan lagi menjadi alat negara yang mengabdi ke konstitusi, tapi menjadi alat pemerintahan yang mengabdi kekuasaan. Karena itu, tuntutan reformasi militer sudah tak bisa ditawar lagi begitu Soeharto lengser. Sama kuatnya dengan tuntutan pemberantasan korupsi dan reformasi ekonomi.
Apakah TNI benar-benar bersedia meninggalkan dunia politik yang selama ini mereka bungkus dengan legitimasi dwifungsi? Apakah TNI benar-benar siap menjadi institusi yang hanya mengurus persoalan pertahanan seperti yang dikatakan Samuel Huntington bahwa profesionalisme militer ditentukan oleh ketidakterlibatan mereka dalam panggung politik. Militer semata-mata menjadi alat pertahanan negara.
Lewat buku Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI, Muhadjir Effendy mengungkapkan anatomi keterlibatan militer dalam politik. Dengan melacak akar sejarah embrio kelahiran militer Indonesia, buku ini berhasil menjawab pertanyaan mengapa TNI di Indonesia menguasai intitusi sipil.
TNI masih enggan keluar dari ranah politik. Ini terlihat dengan masih dipertahankannya institusi teritorial seperti Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil. Institusi militer di daerah yang paralel dengan berbagai level di pemerintah daerah itu tetap berpotrensi menjadi pintu gerbang militer untuk menjangkau bilik non-pertahanan.
Rupanya, tentara merasa berhak dalam mengelola persoalan non-militer karena ada legitimasi masa lampau. Sejumlah momentum sejarah telah menempatkan angkatan bersenjata merasa menjadi ''superior''. Misalnya, di awal kemerdekaan, para anggota militer membangun pemerintahan sipil dengan cara menjadi kepala desa atau lurah. Sebuah debut militer untuk mendapatkan pengakuan ''manunggal dengan rakyat'' sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang.
Konsepsi ''jalan tengah'' yang dilontarkan Jenderal Nasution memberi roh bagi militer untuk memasuki wilayah sipil. Nasution menyebut militer tidak boleh hanya jadi penonton dalam akrobatik panggung politik nasional. Dia menilai kristalisasi dwifungsi TNI dengan pandangan bahwa, ''Posisi TNI bukanlah sekadar alat sipil seperti di negara barat, tapi juga bukan rezim militer yang memegang kekuasaan. Dia adalah sebagai kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya'' (hlm. 222).
Jika Nasution memberi landasan ''moral'' bahwa militer tak boleh diam mengontrol panggung politik, sedangkan Soeharto yang berkuasa di era Orba melakukan aplikasi yang mendalam. Bila Nasution memberi spirit, Soeharto melegalisasi.
UU no. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan memberi basis legitimasi kepada militer untuk berkiprah di bidang sosial politik. Soeharto yang merancang sekaligus mengaplikasi aturan itu telah memberi lapangan seluas-luasnya kepada militer untuk memainkan peran-peran politik, ekonomi, sosial, dan birokrasi dengan bungkus dinamisator dan stabilisator.
Militer menikmati madu sebagai ''penguasa'' di era Orba, baik sebagai menteri, kepala daerah, diplomat, dan berbagai jabatan sipil lainnya, hingga menguasai unit bisnis pemerintah dan swasta. Inilah yang disebut kenikmatan yang sulit dilepas sebagian petinggi militer. Sebuah langkah yang melebihi batas ''jalan tengah'' dan telah menjadi syahwat politik dan ekonomi.
Langkah TNI melakukan reformasi internal seperti merombak nama ABRI menjadi TNI, menghapus Fraksi TNI/Polri di parlemen maupun penghapusan Kasosspol (Kepala Staf Sosial Politik) -kemudian diganti dengan Kaster (Kepala Staf Teritorial) - belum memuaskan kelompok-kelompok yang menginginkan tentara cukup berada di barak. TNI masih dianggap di luar rel.
Apalagi TNI menerjemahkan profesionalisme sangat berbeda dengan negara yang menganggap militer hanya mesin perang. Simak pandangan Jenderal Ryamrizard Ryacudu saat menjabat KSAD: ''Yang menyebut TNI profesional adalah parjurit yang tidak hanya mahir perang dan menembak, tapi juga manunggal dengan rakyat dan berada di tengah rakyat.''
Itulah sebabnya Ryamrizard menolak penghapusan komando teritorial yang dia sebut sebagai bagian untuk manunggalnya TNI dengan rakyat.
Perbedaan pandangan Ryamrizard dengan kelompok yang menginginkan TNI kembali ke barak, tak akan pernah selesai. Sebuah perdebatan yang tak akan menemukan pintu tengah. Lewat buku ini Muhadjir Effendy tak hanya melacak jejak sejarah TNI namun juga melihat persoalan di lapangan seperti rendahnya kesejahteraan prajurit, doktrin serta kultur TNI. Dan, akhirnya penulis buku ini menemukan jawaban : bahwa arah perkembangan profesionalisme TNI memang berbeda dengan negara lain. (*)
*) Taufik Lamade, Wartawan Jawa Pos
Judul Buku: Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI
Penulis: Muhadjir Effendy
Penerbit : UMM Press, Malang
Cetakan : I, 2008
Tebal : 339 halaman
Sumber Jawa Pos, 28 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar