Oleh Muhidin M. Dahlan
"I have imagined that paradise will be a kind of library." (Jorge Luis Borges)
MENGANDAIKAN surga seperti perpustakaan, memang pembayangan berlebihan. Hanya orang kecanduan bau buku dan gila baca yang bisa demikian. Dan Jorge Luis Borges (1899-1986) adalah orang gila itu. Ia adalah manusia multitalenta dan kebiasaannya nyaris absurd. Ia adalah penjelajah dan perancang munculnya pelbagai bentuk gaya penulisan sastra yang kebanyakan lahir secara orisinal dari dirinya. Tapi yang pasti ia adalah legenda penjaga perpustakaan Argentina hingga matanya nyaris buta.
Borges menjadi penjaga perpustakaan bukan karena kebutuhan birokrasi, tapi panggilan hidup, panggilan jiwa, panggilan cinta. Ia menjadi salah satu penggila dan pembau buku --sebagaimana pustakawan abad 17 Antonio Magliabechi dari Fiorentina. Dan, perpustakaan adalah simbol perut di mana pengetahuan diikat dalam buku lalu berkumpul dan bermusyawarah.
Lalu saya teringat bahwa saya tinggal di Indonesia. Negeri di mana lahir banyak sekali penulis-penulis agung dengan serat dan kitab-kitab besar yang membuat banyak intelektual Barat terpukau. (Pada pekan pertama April 2006 ini sekitar 100 pakar dunia yang konsens mengaji ihwal teks, sejarah, dan keajaiban peradaban Indonesia berkumpul di Rusia dalam sebuah forum yang disebut Parlemen Nusantara).
Yang saya ingat ketika menyebut nama Borges adalah perpustakaan. Bagaimana sebuah pengetahuan disimpan di dalam perpustakaan dan para pemburu pengetahuan yang haus itu datang dan bermeditasi dengan buku. Tapi sayang, perpustakaan di Indonesia --utamanya yang besar-besar semacam perpustakaan nasional, kota, atau provinsi-- tutupnya mengikuti jam kantor pegawai negeri. Saya mungkin memaklumi bahwa Indonesia adalah Republik Pegawai, bukan Republik Buku. Saya juga memaklumi setelah teman baik saya Titik Mar dari Houston Baptist University di Texas memberi tahu bahwa dia sedang menunggu temannya yang masih memburu buku di perpustakaan hingga jam 12 malam.
Di kampus-kampus Indonesia juga demikian?
Dulu, sewaktu masih kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta perpustakaan kami bisa buka sampai malam setelah sekelompok mahasiswa mendesak dan meyakinkan birokrasi kampus. Dikabulkan memang, karena kepala perpustakaanya masih muda dan idealis. Tapi itu hanya berlangsung 4 bulan. Ketika ia diganti, perpustakaan kampus kembali buka sampai jam 5 sore. Kembali ke aturan normal, aman, dan sejahtera --bersama kita pulang sore. Ai ai ai, asyiknya.
Bandingkan saja, perpustakaan kampus saja begitu, apalagi perpustakaan-pepustakaan umum. Saya memang selalu membayangkan perpustakaan buka sampai larut malam. Hah, di sana kita bisa membaca dan menulis, bermeditasi dalam samudera pengetahuan dengan tenang tanpa diburu waktu. Maklum saja, perpustakaan adalah tempat terbaik untuk belajar. Gedungnya yang serupa kastil atau genisa dalam sinagog yang besar, luas, lapang, dan beraroma bau kertas yang khas memberi perasaan damai dan ekstatik.
Tapi di sini, perpustakaan masih mengikuti aturan-aturan umum lazimnya. Seperti jam kerja kantoran lainnya. Petugasnya pun kerap tak mencerminkan perilaku seorang kerani yang menuntun kita menyusuri lorong waktu pengetahuan, tapi lebih bertindak sebatas administratur belaka yang malas dan jutek.
Saya membayangkan jika petugas perpustakaan itu seperti penjaga perpustakaan Dora the Explorer, wah asyik sekali. Kalau kita bertanya, mana buku Ulysses, dia tak hanya menunjukkan tempat, tapi juga menunjukkan kelebihan dan kedahsyatan buku itu. Kalau kita bertanya, mana buku Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, dengan tulus kita dipapahnya untuk tahu siapa Hamka, apa isi buku legendaris itu, dan juga skandal miring soal plagiasi naskah itu oleh pengarangnya. Bila kita bertanya apa ada buku puisi Wiji Thukul di sini. Ah, ia menjawab, lagi dipinjam aktivis kiri kampus; tapi, ia lalu bercerita sendiri siapa Wiji Thukul dan bagaimana hidup dan karyanya berhadapan dengan muka murka kekuasaan Orde Baru.
Ya ya, bahkan saya membayangkan para kerani perpustakaan itu juga menyusun ensiklopedia dunia fiksi, berupa nama-nama manusia, tempat, sejarah peperangan, perdamaian, sampai peristiwa mantenan yang pernah hadir dalam dunia fiksi, novel, cerita pendek, puisi, maupun dongeng Indonesia --sebagaimana dilakukan Luis Borges.
Tapi, itu hanya dalam bayangan saya saja. Mengharap para kerani itu senyum dan tidak merengut seperti penjaga loket kebun binatang saja sudah senang kok.
Aha, kalau saya punya waktu banyak, maka ke depan akan saya wisatai setiap perpustakaan Indonesia. Saya pingin melihat wajah Indonesia dari wajah perpustakaannya. Dan melihat wajah manusia Indonesia dari wajah penjaga perpustakaannya. []
*) Muhidin M. Dahlan, kerani di Indonesia Buku (iBuKu) Jakarta
Sumber Jawa Pos, 16 April 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar