04 Februari 2009

Mempromosikan Perpustakaan Melalui Blog

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Menurut Wikipedia, blog merupakan singkatan dari "web log" adalah bentuk aplikasi web yang menyerupai tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting) pada sebuah halaman web umum. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urut terbalik (isi terbaru dahulu baru kemudian diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Situs web seperti ini biasanya dapat diakses oleh semua pengguna internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut.
Media blog pertama kali dipopulerkan oleh Blogger.com, yang dimiliki oleh PyraLab sebelum akhirnya PyraLab diakuisi oleh Google.Com pada akhir tahun 2002. Semenjak itu, banyak terdapat aplikasi-aplikasi yang bersifat sumber terbuka yang diperuntukkan bagi perkembangan para penulis blog tersebut.
Blog mempunyai fungsi yang sangat beragam, dari sebuah catatan harian, media publikasi, media promosi, sampai dengan program-program media dan perusahaan-perusahaan. Sebagian blog dipelihara oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis.
Blog memiliki fasilitas interaksi dengan para pengunjungnya, yang dapat memperkenankan para pengunjungnya untuk meninggalkan komentar atas isi dari tulisan yang dipublikasikan. Namun demikian ada juga yang yang sebaliknya atau yang bersifat non-interaktif.
Uraian di atas menunjukkan bahwa blog merupakan media yang murah meriah untuk melakukan promosi maupun publikasi baik bagi perseorangan maupun sebuah organisasi. Blog tidak membutuhkan server sebagaimana sebuah website. Hanya berbekal sebuah email, seseorang sudah bisa membuat blog secara gratis. Di dunia maya, aktivitas membuat blog ini lebih sering disebut dengan istilah “ngeblog”.
Dunia blog adalah dunia yang penuh warna. Ironisnya, sampai hari ini penulis masih jarang menjumpai kehadiran perpustakaan umum kabupaten/kota di dunia blog. Padahal blog merupakan media yang cukup tepat bagi sebuah perpustakaan untuk mempublikasikan jati dirinya di dunia maya secara gratis.
Sepinya dunia blog dari suara perpustakaan inilah yang mendorong penulis untuk membuat sebuah blog guna menghadirkan UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen di dunia maya dengan alamat www.perpustakaansragen.blogspot.com.
Dengan artikel ini pula, penulis mengajak para pembaca untuk mengunjungi kami di dunia maya. Berikan saran dan kritik Anda kepada kami demi kesempurnaan blog kami. Mengingat kami masih dalam proses belajar dan belajar terus untuk menghadirkan blog perpustakaan yang memiliki manfaat bagi publik.
Langkah ini memang sedikit terlambat penulis lakukan karena memang baru akhir September lalu perpustakaan kami mendapatkan akses internet resmi dari Pemerintah Kabupaten Sragen. Tetapi, seperti kata pepatah, “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”.
Di blog perpustakaan Sragen ini, pengunjung dapat menikmati berita perpustakaan, profil perpustakaan, berita foto, kegiatan lomba, opini, resensi buku, dan koleksi digital.
Dunia blog dan dunia perpustakaan memiliki fungsi yang hampir sama yaitu menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota memiliki kewajiban moral untuk tidak hanya hadir di dunia nyata yang hanya melayani masyarakat satu kabupaten/kota saja. Melainkan juga hadir di dunia maya melayani masyarakat lintas kabupaten/kota.
Inilah fungsi perpustakaan sesungguhnya, menjadi transportasi literasi informasi yang mampu melintasi batas-batas territorial. Menuju nuansa nasional bahkan internasional tanpa menanggalkan nuansa lokal.
Dunia blog memungkinkan sebuah perpustakaan untuk mempromosikan nilai lebih sebuah perpustakaan. Sejak kehadiran internet, peran perpustakaan seolah menjadi terpinggirkan. Kesaktian mesin pencari seperti google dan yahoo seolah menenggelamkan fungsi perpustakaan sebagai pusat informasi. Masyarakat lebih senang menelusuri informasi di google daripada di perpustakaan.
Untuk menyikapi hal ini tentu diperlukan suatu langkah terobosan yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang untuk selangkah lebih maju. Kehadiran mesin pencari seperti google justru akan semakin memudahkan perpustakaan dalam menjalankan visi dan misinya.
Dengan google, perpustakaan dapat membuat kumpulan artikel, karya ilmiah, maupun jurnal berdasarkan masing-masing subyek ilmu pengetahuan. Kumpulan informasi yang sudah terolah seperti ini tentu memiliki daya tarik tersendiri ketika ditampilkan diblog perpustakaan.
Dengan kata lain, google menyediakan bahan mentah, perpustakaanlah yang mengolah menjadi barang jadi yang siap dikonsumsi oleh masyarakat penggunanya. Semakin spesifik subyek kumpulan informasi ini tentu akan semakin memiliki nilai lebih baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Selain itu, sebuah blog merupakan arena bagi pustakawan untuk melakukan aktualisasi diri. Blog dapat menjadi arena yang cukup representatif bagi pustakawan untuk belajar menulis.
Menuliskan ide secara bebas tanpa harus dibatasi oleh kekuasaan redaksi surat kabar. Ketika tulisan-tulisan pustakawan tidak dapat dipublikasikan di media cetak, blog dapat menjadi alternatif untuk menampung ide, gagasan, maupun kreatifitas pustakawan. Menyuarakan aspirasi dunia perpustakaan ke seluruh dunia.
Blog merupakan lahan basah bagi pustakawan untuk mencari tambahan angka kredit. Mengapa ? Karena salah satu syarat agar sebuah tulisan mendapatkan angka kredit adalah dipublikasikan melalui media massa. Menulis di blog termasuk kategori ini karena blog kini telah menjelma menjadi media massa online yang dapat diakses oleh jutaan penduduk di planet bumi.
* Romi Febriyanto Saputro, PNS pada UPTD Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen, Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.

02 Februari 2009

Dunia Perbankan, Dunia Baca yang Terlupakan

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Tanggal 27 Januari 2008 lalu, Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan tahun 2008 sebagai Tahun Edukasi Perbankan dengan tema ‘’Ayo ke Bank’’. Kini di Tahun 2009 program ini seharusnya tetap berjalan mesti tanpa pencanangan.. Mengingat edukasi dilakukan untuk memberikan pemahaman seluas-luasnya kepada masyarakat tentang jasa yang ditawarkan perbankan.
Edukasi adalah suatu usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Edukasi perbankan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mendidik masyarakat agar lebih memahami seluk beluk dunia perbankan guna mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Edukasi perbankan pada dasarnya merupakan suatu proses belajar baik bagi pihak bank maupun masyarakat. Keduanya merupakan obyek sekaligus subyek belajar. Dalam hal ini pihak perbankan berfungsi sebagai “pendidik” dan masyarakat berfungsi sebagai “peserta didik”. Antara perbankan dan masyarakat harus terjalin pola komunikasi yang efektif dan efisien.
Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang dunia perbankan diharapkan akan mampu mendorong masyarakat untuk melakukan proses pemberdayaan diri. Strategi ini dapat ditempuh dengan pendekatan literasi informasi.
Pendekatan Literasi Informasi
Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.
Sebenarnya yang kita perlukan ialah penguasaan informasi hasil olahan kemampuan berpikir. Informasi yang diperoleh di dalam proses pembelajaran bukanlah informasi yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan informasi tersebut merupakan suatu rangkaian di dalam suatu pola jaringan sehingga memiliki arti. Informasi tersebut adalah hasil karya banyak pakar sehingga nanti akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan bermakna.
Membudayakan literasi informasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keharusan. Proses edukasi perbankan harus diartikan sebagai suatu proses membangun literasi bangsa.
Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan. Di banyak negara, di mana angka kemiskinan tinggi, tingkat literasi cenderung rendah. Literasi menyebabkan tingkat penghasilan perkapita rendah. Seperti yang terjadi di Banglades, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique. Lebih dari 78 persen penduduknya, penghasilan per hari di bawah 2 dollar AS.
Manusia yang memiliki kemampuan literasi ekonomi akan lebih mudah untuk mengakses informasi bisnis dan memberdayakannya menjadi sebuah usaha mandiri. Manusia dengan kualifikasi semacam inilah yang akan mampu memanfaatkan aneka jasa perbankan guna meningkatkan kualitas hidupnya.
Edukasi perbankan perlu diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini setiap bank yang ada di tanah air dapat membuat program pojok baca di setiap ruang tunggu bank. Pojok baca ini mesti didukung dengan koleksi buku, majalah, surat kabar, brosur, koleksi audio visual, maupun koleksi digital yang mendukung program edukasi perbankan.
Selama ini ruang tunggu merupakan sebuah ruang publik yang sepi dari aktivitas yang bermanfaat dan produktif. Duduk diam, “ngobrol”, “ngerumpi” dan menonton televisi merupakan aktivitas yang biasa terjadi di ruang tunggu. Dalam ruang tunggu seolah-olah fungsi otak dihentikan.
Kehadiran pojok baca di ruang tunggu bank selain untuk membunuh rasa bosan nasabah juga merupakan media komunikasi bagi pihak bank untuk melakukan proses edukasi perbankan. Di pojok baca inilah masyarakat dapat belajar lebih mendalam tentang perhitungan bunga tabungan, istilah popular perbankan, mediasi perbankan, anti pencucian uang, waspada dengan penawaran yang menggiurkan, electronic banking, dan manfaat call center bank.
Adanya pojok baca juga sejalan dengan semangat undang-undang perpustakaan. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, menyebutkan bahwa pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat dilakukan melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu (pasal 48 ayat 4).
Menurut penjelasan undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan tempat umum adalah kantor, ruang tunggu, terminal, bandara, rumah sakit, pasar, mall dan lain-lain.
Kehadiran pojok baca di ruang tunggu diharapkan dapat menjadi salah satu daya ungkit untuk mengubah budaya lisan menjadi budaya baca sekaligus meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Membaca buku sambil menunggu panggilan dari teller bank tentu lebih baik daripada sekedar duduk menunggu sambil “bengong”.Daya ungkit ini mempunyai kekuatan yang sangat besar karena pertumbuhan industri perbankan sangat pesat bahkan telah menembus hingga ke tingkat desa.
Jika setiap nasabah bank dapat menularkan kebiasaan membaca ini kepada lingkungan keluarga dan tetangga, maka akan terjadi proses percepatan terwujudnya masyarakat yang gemar membaca. Kebiasaan membaca yang terus berkembang pada gilirannya akan menghasilkan masyarakat yang literate alias “melek” informasi. Masyarakat yang literate inilah yang akan menunjang dan mensukseskan program edukasi perbankan.
Edukasi perbankan akan semakin tersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat jika pojok baca ini juga membuka diri terhadap masyarakat. Artinya, masyarakat umum terutama kalangan pelajar juga bebas untuk mengakses pojok baca ini.
Pojok baca yang ada di setiap bank tentu akan lebih bermanfaat daripada fasilitas hotspot yang ada di ruang publik. Hal ini mengingat sampai saat ini Laptop hanya bisa diakses oleh masyarakat golongan menengah ke atas, sedangkan pojok baca dapat dinikmati oleh siapapun dan dari golongan manapun tanpa mengenal stratifikasi sosial.
Partisipasi dunia perbankan dalam menghadirkan pojok baca ini akan membuat slogan edukasi perbankan “Ayo ke Bank” akan semakin bernilai edukatif. Mengapa ? Karena masyarakat akan pergi ke bank bukan sekedar untuk menabung melainkan juga untuk membaca. Menabung dan membaca di bank tentu sangat sejalan dengan program edukasi perbankan sekaligus akan mempercepat tersebarnya budaya membaca di masyarakat.
Edukasi perbankan berbasis literasi merupakan suatu upaya untuk memberdayakan masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat semakin memahami dunia perbankan sekaligus mengajak masyarakat untuk gemar membaca. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan kualitas literasi masyarakat. Peningkatan literasi merupakan kunci pembuka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

*Romi Febriyanto Saputro, PNS Pada UPTD Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN.

Gempur Narkoba Dengan Minat Baca !

Oleh : Romi Febriyanto Saputro*

A. Belajar Dari Sejarah
Sejarah telah membuktikan bahwa narkoba dapat menjelma menjadi “senjata pemusnah massal”. Peradaban sebuah bangsa dapat dihancurkan dengan meracuni generasi mudanya dengan narkoba. Sejarah perang candu di Cina membuktikan bahwa kekuatan sebuah bangsa dapat ditaklukkan dengan tipu daya narkoba. Pasukan kolonialis Inggris sukses menaklukkan negeri Cina setelah mampu membuat bangsa Cina ketagihan candu.
Sejak awal abad ke -19, para pedagang Inggris secara gelap melakukan perdagangan candu ke Cina dan mendapatkan untung besar. Cinalah yang menanggung akibat-akibat buruk yang timbul dari perdagangan ini. Karena itu, Cina melakukan gerakan anti candu.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) menyebutkan pada tahun 1837, Cina melakukan propaganda anticandu secara gencar dan memperketat pengawasan pengawasan perdagangan dengan menutup pelabuhan-pelabuhan penting Cina bagi para pedagang Inggris. Di samping itu, Cina juga menerapkan hukuman mati bagi pemakai candu, termasuk para cendekiawan dan militer.
Inggris merasa dirugikan dan ingin memaksa Cina membuka pelabuhannya bagi para pedagang Inggris. Ketegangan terjadi, dan setelah terjadi peristiwa pembunuhan atas penduduk desa oleh orang Inggris yang sedang mabuk, meletuslah peperangan. Cina menuntut agar orang-orang yang bersalah itu diserahkan kepada mereka, tetapi Inggris dengan karakteristik kolonialnya menolak.
Akibatnya, Kaisar memutuskan untuk menghancurkan semua gudang candu milik Inggris beserta isinya di Kanton. Pada Bulan Maret 1839, terjadilan peristiwa pembakaran beribu-ribu peti candu milik Inggris di Kanton.
Pada tahun itu juga Inggris menyatakan perang terhadap Cina. Beberapa kota pantai Cina diserang dan direbut oleh Inggris. Setelah peperangan berlangsung selama tiga tahun, Inggris memperoleh kemenangan dan berhasil memaksakan suatu perjanjian dengan Cina. Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Nanking yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842.
Dalam perjanjian ini antara lain ditetapkan : Cina harus membuka pelabuhan Kanton, Amoy, Foochow, Ninghsien, dan Shanghai untuk para pedagang Inggris; orang Eropa di Cina mendapatkan hak-hak istimewa; Hongkong diserahkan kepada Inggris; penetapan bea impor oleh pemerintah Inggris dan Cina harus membayar kerugian perang kepada pihak Inggris. Perjanjian Nanking ini memicu negara-negara kolonialis lainnya seperti Perancis, Jerman, dan Rusia menuntut pula hak-hak istimewa.
Peperangan antara Cina dan Inggris meletus kembali pada tahun 1856, ketika Inggris hendak melampiaskan syahwat kolonialismenya dengan memperluas jaringan perdagangan di Cina. Perancis kemudian membantu Inggris untuk menuntut balas atas terbunuhnya Misionaris Perancis di daerah pedalaman Cina. Cina kembali menderita kekalahan dalam perang ini dan dipaksa menandatangani perjanjian Tientsien pada tahun 1858.
Perjanjian ini sangat menghina harga diri bangsa Cina karena Inggris memaksa melegalkan perdagangan Candu. Pertempuran pun pecah kembali hingga tahun 1860. Inggris yang bersekutu dengan Perancis berhasil merebut Peking dan sekaligus merampok kekayaan istana. Cina kembali dipaksa menandatangani Konvensi Peking, yang menegaskan bahwa Cina siap menerima ketentuan dalam Perjanjian Tientsien yang melegalkan perdagangan Narkoba. Negeri Cina pun takluk di tangan terorisme narkoba yang tersenyum gembira.
B. Terorisme Peradaban
Malik bin Nabi, seorang intelektual asal Al Jazair menulis dalam bukunya yang berjudul Syuruut Al-Nahdhah, bahwa bangun dan runtuhnya sebuah peradaban tergantung siapa yang menjadi “panglimanya”. Dia mengatakan, bahwa sebuah peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi “panglimanya” adalah ruh. Dengan ruh sebuah peradaban akan menjadi peradaban yang bersih dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan dianggap mencapai puncak sebenarnya.
Pada tahapan kedua, peradaban akan mengalami pelebaran dan pemekaran bukan pengembangan, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu adalah akal. Peradaban yang dikendalikan akal akan mengalami tarik menarik yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu. Terjadinya tarik menarik ini akan mengakibatkan peradaban terus merentang dan bukan mengalami kenaikan nilai.
Pada fase selanjutnya, sebuah peradaban akan mengalami kehancuran dan kebangkrutan tatkala yang menjadi “panglimanya” adalah hawa nafsu. Pada titik inilah peradaban akan dengan deras meluncur ke titik yang paling bawah
Ungkapan Malik Bin Nabi tersebut memberikan suatu pelajaran kepada kita, bahwa peradaban manusia akan selalu mengalami pasang surut. Tatkala ruh spiritualisme dan moralitas menjadi panglima maka suatu peradaban akan mampu menggapai puncak peradaban. Namun tatkala akal dan hawa nafsu telah mengalahkan moralitas, maka peradaban tersebut akan jatuh meluncur ke titik nol.
Peradaban Cina yang dikenal sebagai peradaban tertua dalam sejarah dunia takluk oleh terorisme narkoba. Hal ini terjadi karena peradaban ini gagal merespon tantangan dan ancaman yang sedang berkembang. Kaisar Cina tentu tak pernah membayangkan bahwa candu akan menjadi biang keladi kehancuran peradaban Cina dari bangsa yang berdaulat menjadi bangsa yang terjajah.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Arnold J Toynbee dalam buku A Study of History yang menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban adalah diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku peradaban itu untuk merespon tantangan yang sedang berkembang.
Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban terhadap tantangan-tantangan yang berkembang dan tenggelam dalam kejumudan, maka bisa dipastikan peradaban itu akan mengalami pembusukan. Ketidakmampuan memberi respon terhadap tantangan ini mengindikasikan adanya impotensi dalam peradaban tersebut.

Sejarah akan terus berulang. Narkoba yang pada awal abad ke -19 telah berhasil menghancurkan peradaban Cina, kini di era milenium tiga narkoba telah bereinkarnasi menjadi terorisme yang berpotensi besar menghancurkan peradaban manusia.
Narkoba yang bersinergi dengan teknologi canggih telah memodifikasi dirinya menjadi ancaman serius bagi semua peradaban bangsa. Pada tahun 2005, PBB menyebutkan bahwa data pecandu narkotika di seluruh dunia mencapai 200 juta orang.
Di tanah air, survey BNN tahun 2006 menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba semasa hidup sebesar 8,3%. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka angka prevalensinya semakin tinggi. Prevalensi narkoba di SLTP sebesar 6%, meningkat menjadi 9% di SLTA, dan 12% di perguruan tinggi. Mereka yang berada sekolah swasta di jenjang SLTA (10%) dan perguruan tinggi (12%) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan sekolah negeri dan agama.
Hasil survei ini juga menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan angka penyalahgunaan narkoba pernah pakai dari sebesar 5,8% di tahun 2003 menjadi 8,3% di tahun 2006. Ini mengindikasikan bahwa peredaran narkoba menjadi semakin luas, terlihat di seluruh propinsi telah ditemukan angka penyalahgunaan narkoba dan hampir tidak ada banyak perbedaan persentase antara angka penyalahgunaan di kota maupun kabupaten.
Lebih dari separuh penyalahguna narkoba berada pada kelompok umur 15-19 tahun (58%), terutama pada mereka yang duduk di bangku SLTA (94%). Ini dapat dimaklumi karena usia sekolah di SLTA berada pada kisaran umur ini. Ada perbedaan kelompok umur antara penyalahguna di kota dengan kabupaten. Pada kelompok umur yang kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok umur diatas 20 tahun lebih banyak ada di kota.
Data statistik di atas semakin meneguhkan eksistensi narkoba sebagai terorisme peradaban nomor satu di dunia. Mengapa ? Karena penyalahgunaan narkoba akan memicu krisis di berbagai bidang kehidupan. Narkoba menghasilkan efek domino yang luar biasa.
Pertama, mendegradasikan moral masyarakat. Penelitian BNN tahun 2006 menyebutkan bahwa pencurian, penipuan, perampasan, dan penodongan merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh penyalahguna narkoba. Persentase yang pernah mencuri barang milik keluarga sekitar 16% pada kelompok teratur-pakai dan 24% pada pecandu; yang pernah mencuri barang milik orang lain adalah 5% pada kelompok teratur pakai dan 13% pada pecandu. Sedangkan yang pernah menipu, merampas, atau menodong sekitar 4% pada kelompok teratur-pakai dan 9% pada pecandu.
Kedua, menghancurkan sistem ekonomi. Pecandu narkoba akan cenderung menghabiskan penghasilannya untuk membeli narkoba. Kerugian ekonomi dan sosial penyalahgunaan narkoba di Indonesia tahun 2004 diperkirakan Rp.23,6 triliun, dan jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan 2,9 juta sampai 3,6 juta orang atau setara 1,5% penduduk Indonesia (BNN & Puslitkes UI, 2005).
Ketiga, menimbulkan gangguan kesehatan jasmani maupun rohani. Menurut Dadang Hawari (Republika, Juli 2003), orang yang telah tergantung narkoba, maka hidupnya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak lagi mampu berfungsi secara wajar di masyarakat. Hasil penelitian Dadang Hawari menunjukkan bahwa 53,5 % pemakai heroin mengalami kelainan paru, 55,1 % mengalami kelainan fungsi hati, 56,6 % mengalami infeksi hepatitis C, serta 33,3 % mengalami infeksi virus HIV/AIDS.
Selain itu, data Departemen Kesehatan RI, menyebutkan selama kurun waktu 1987 s/d 2006 kasus AIDS yang disebabkan penggunaan jarum suntik narkoba menembus angka 4.122 dari (8.194 kasus) jauh di atas faktor pemicu AIDS lainnya. Seperti transfusi darah, homoseksual, dan transmisi perinatal.
C. Pendidikan Karakter
Menurut Jalal Amin (2006), globalisasi adalah penciutan cepat dalam jarak antara masyarakat manusia baik yang berkaitan dengan perpindahan komoditi, orang, modal, informasi, gagasan atau nilai. Hal ini berarti globalisasi merupakan proses eliminasi batas-batas territorial antara satu bangsa dengan bangsa lain. Proses eliminasi ini terus berlanjut hingga menginjak ranah kebudayaan suatu bangsa.
Ironisnya, generasi muda kita menerima globalisasi tanpa filter. Pengagungan yang over dosis terhadap globalisasi telah menyebabkan masyarakat kita kehilangan akar budaya dan sejarah. Budaya asing dengan segala bentuknya telah memarginalisasi budaya nasional maupun budaya lokal. Dominasi produk asing tiga F, food (makanan), fashion (pakaian), dan fun (hiburan) dalam kehidupan sehari-hari begitu kentara.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa remaja kita sangat rentan terhadap pengaruh budaya asing. Segala sesuatu yang asing dianggap ”baik dan modern”. Hal ini mengakibatkan generasi muda kita suka mencoba-coba sesuatu yang dianggap mewakili kehidupan modern.
Dalam persepsi generasi muda, narkoba merupakan sesuatu yang cukup menantang untuk dicoba. Semula hanya sekedar mencoba, setelah merasakan efek nikmat merekapun ketagihan. Setelah ketagihan mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan barang terlarang itu. Pertahanan generasi masa depan ini pun akhirnya bobol.
Survey BNN tahun 2005 menemukan bahwa rata-rata umur pertama kali memakai narkoba sekitar 18-19 tahun dengan rentang 10 sampai 32 tahun. Alasan memakai narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan penyalah-guna di rumah tangga adalah bersenang-senang (56%) dan karena paksaan (22%). Sedangkan pada penyalah guna narkoba di rumah kos, alasan memakai narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan adalah ingin mencoba (62%) dan karena ajakan/bujukan ternan (18%).
Ironisnya, sebagian besar responden di rumah tangga dan di rumah kos pemah dengar narkoba, tetapi yang tahu apa itu narkoba dan bahaya narkoba hanya 65% di rumah tangga dan 85% di rumah. Artinya, mereka menjadi pemakai narkoba bukan disebabkan faktor ketidaktahuan mereka melainkan justru karena pengetahuan yang ada pada mereka. Mengetahui bahaya narkoba tetapi tetap ingin mencoba narkoba membuktikan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita.
Pendidikan nasional gagal membangun karakter para remaja kita. Pendidikan menghasilkan lulusan yang sekedar menghafal pengetahuan bukan memahami, menghayati, dan meyakini sebuah pengetahuan. Akibatnya, generasi muda kita mudah terbius oleh pesona budaya pop
Menurut Yasraf Amir Piliang (2003), dalam konteks budaya pop dan korelasinya dengan fenomena gaya hidup, serta bagaimana seluruhnya itu dibangun oleh industrialisasi dan kapitalisme mutakhir yang menjadikan media sebagai agen ”propaganda”-nya inilah, budaya pop seringkali dicurigai sebagai sebuah kekuatan hegemonik yang fasis, ketika identitas dan imajinasi seseorang ditentukan dari atas. Jelas semua ini ada pengaruhnya pada cara pandang terhadap realitas.
Budaya pop membawa kita pada realitas yang serba permukaan. Realitas yang hanya sekadar kulit luarnya, realitas palsu, sebuah simulakra. Budaya pop adalah anak kandung kapitalisme sebab ia tak bisa dilepaskan dari industrialisasi. Diakui atau tidak, budaya pop turut andil dalam penyebaran penyalahgunaan narkoba. Tanpa disadari, budaya pop telah mengambil peran sebagai katalisator penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja.
Film ataupun sinetron picisan dilayar kaca maupun lebar sering mempromosikan gaya hidup populer anak muda seperti dugem, pacaran over dosis, mabuk-mabukan bahkan sampai teknik menginjeksi narkoba. Ironisnya, sinetron yang dimaksudkan agar anak muda kita menjauhi narkoba tanpa disadari malah berubah menjadi mempromosikan penggunaan narkoba.
Untuk memerangi narkoba, pendidikan nasional harus menyiapkan konsep pendidikan yang berkarakter kuat. Selama ini metodologi belajar mengajar hanya difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.
Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah.
Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (aspek kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (aspek psikomotorik).
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Foerster menjelaskan ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang cukup penting untuk menyuntikkan semangat anti narkoba di hati peserta didik, pertama, keteraturan interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Peserta didik yang memahami hierarki nilai dengan baik tidak akan mudah tergoda oleh rayuan narkoba karena memiliki aneka standar nilai untuk mencegahnya. Norma agama, masyarakat, keluarga, maupun negara merupakan “imunisasi jiwa” terbaik untuk menolak narkoba.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Keberanian memegang prinsip kebenaran merupakan kompetensi yang wajib dimiliki oleh peserta didik. Jika sekolah mampu menanamkan dengan baik sifat ini, maka di luar sekolah pun peserta didik akan memiliki keberanian untuk berkata, “Tidak” pada ajakan teman bergaul untuk menggunakan narkoba.
Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain. Kedaulatan jiwa peserta didik perlu dibangun oleh pendidik agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh bujuk-rayu setan-setan narkoba yang terus bergentayangan.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Keteguhan dan komitmen pada nilai-nilai moral merupakan tujuan utama dari pendidikan karakter. Dengan demikian jurang pemisah antara cita-cita moral dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat terus dipersempit. Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.
D. Minat Baca
Pendidikan karakter hanya dapat dilaksanakan jika sekolah-sekolah di tanah air dapat merangsang tumbuhnya minat baca pada peserta didik. Sebuah penelitian membuktikan bahwa minat baca seseorang akan mempengaruhi karakternya.
Majalah Child Development (Januari/Februari 2006) sebagaimana dikutip H. Witdarmono (Kompas, 8 September 2006) menerbitkan hasil penelitian tentang hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif siswa sekolah dasar. Penelitian Miles dan Stipek menemukan adanya keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam penelitian ini, sikap agresif dibatasi dalam empat golongan, "suka berkelahi", "tidak sabaran", "suka mengganggu", dan "kebiasaan menekan anak lain (bullying)".
Anak-anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga, anak-anak kelas 3, yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat di kelas 5. Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka, anak-anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustrasinya kian menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka menjadi agresif. Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap sosial adalah "suka menolong", "mengerti perasaan orang lain", "punya empati", "punya perhatian kepada yang susah", dan "menolong/menghibur teman yang kecewa". Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat di TK dan kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan kelas 5 SD.
Penelitian di atas membuktikan bahwa peserta didik yang memiliki minat baca yang tinggi akan cenderung memiliki karakter yang kuat. Hal ini karena membaca merupakan sebuah proses yang kompleks. Tidak hanya proses membaca itu yang kompleks, tetapi setiap aspek yang ada selama proses membaca juga bekerja dengan sangat kompleks.
Ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu aspek sensori, persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Boleh dikata, ketika proses membaca berlangsung, seluruh aspek kejiwaan bekerja aktif. Generasi muda yang berkarakter kuat inilah yang kelak akan menjelma menjadi generasi anti narkoba. Generasi yang memiliki imunitas tinggi terhadap narkoba.
Ironisnya, sebagian besar generasi muda kita adalah generasi yang miskin minat baca. Data yang dilansir BPS pada 2003 menggambarkan, penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Yang membaca majalah atau tabloid 29,22 %, buku cerita 44,28 %, dan buku pengetahuan lainnya 21,07 %. Dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat membaca hanya naik sekitar 0,2 %, jauh jika dikomparasikan dengan menonton televisi yang kenaikannya mencapai 21,1 %.
Data BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan membaca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 %. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 %, dan mendengarkan radio 40,3 %. Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Education in Indonesian from Crisis to Recovery), mengutip hasil Vincent Greannary tahun 1998, menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI sekolah dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Fakta di atas sungguh membuat hati kita khawatir. Ternyata, sistem pendidikan nasional telah gagal melahirkan generasi yang membaca. Pendidikan kita hanya sekedar menghasilkan generasi yang membaca agar disebut ”sudah belajar”. Generasi yang membaca hanya untuk menggapai kelulusan belaka. Bukan generasi yang terus membaca sepanjang hidupnya. Generasi semacam ini sangat berpotensi menjadi generasi yang hilang dalam pelukan tsunami narkoba.
Salah satu metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan minat baca peserta didik adalah metode pembelajaran konstruktivisme. Menurut E. Mulyasa (2002) , fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam penelitian dan praktek pendidikan. Daya tarik dari model konstruktivisme ini adalah pada kesederhanaannya
Strategi pokok dari model belajar mengajar konstruktivisme adalah meaningful learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik seperti : pelajaran agama, moral maupun budi pekerti sudah sepantasnya mengadopsi model pembelajaran ini. Sehingga peserta didik dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan kaidah moral dan agama dengan baik. Selama ini, pelajaran agama di sekolah baru mencapai taraf ”penghapalan agama”, pelajaran moral baru sampai pada tahap ”penghapalan moral” dan pelajaran budi pekerti pun sesungguhnya baru mencapai tahap ”penghapalan budi pekerti”.
Strategi ini menghendaki baik siswa maupun guru memiliki kedudukan sebagai subyek belajar. Sebagai subyek belajar keduanya dituntut aktif untuk mencari data-data, informasi, dan interpretasi dari materi pelajaran. Siswa dituntut untuk bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran bukan sekedar meniru, copy-paste, dan menghafal apa yang diberikan oleh guru. Dengan strategi ini siswa dan guru didorong untuk memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Hasil yang diperoleh dengan strategi meaningful learning ini akan jauh lebih baik dari pembelajaran tradisional yang oleh Paulo Freire disebut cara belajar sistem bank. Cara belajar sistem bank ini tidak akan mendorong siswa untuk gemar membaca. Selanjutnya filsuf Paulo Freire menganjurkan agar supaya proses belajar mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan cara memotivasi siswa belajar mencari data-data, menganalisis data-data tersebut dalam arti yang sebenarnya.
Cara belajar sistem bank hanya akan menghasilkan pemahaman materi pelajaran yang bersifat instan dan tidak menyeluruh. Ada kalanya ada beberapa unsur materi pelajaran yang susah dipahami oleh siswa, tetapi siswa terpaksa menerima begitu saja dengan menghafal. Model penerimaan materi pelajaran yang demikian hanya akan menghasilkan pemahaman yang miskin pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana statis, monoton dan membosankan.
Strategi belajar meaningful learning sangat memerlukan dukungan perpustakaan sebagai sumber belajar. Perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh siswa dan guru sebagai tempat pembelajaran di luar kelas. Kebutuhan siswa untuk melakukan active playing (belajar aktif), interpretation (interpretasi), make sense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama), dan inquiry (menyelediki) dapat dilakukan di perpustakaan sekolah.
Di perpustakaan siswa juga dapat melaksanakan konsep belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be); dan belajar seumur hidup (life long learning).
E. Kesimpulan
Perang terhadap narkoba tanpa dilakukan dengan memperkuat karakter bangsa adalah mubadzir. Mengapa ? Karena pertahanan terkuat terhadap godaan narkoba ada pada diri individu itu sendiri. Narkoba tidak akan berdaya jika berhadapan dengan generasi bangsa yang berkarakter kuat. Kekuatan karakter ini akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan meningkatnya minat baca.
BNN dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum untuk menyuntikkan semangat anti narkoba. Buku, VCD, majalah dan brosur tentang kampanye anti narkoba dapat dilayankan di perpustakaan. Bahkan, jika memungkinkan BNN dapat mengajak Perpustakaan Nasional RI untuk membuat sebuah jaringan bersama, yaitu jaringan bersama anti narkoba. Jaringan ini akan melibatkan seluruh perpustakaan yang ada di tanah air.
Jadi, sinergi antara pendidikan karakter dan minat baca akan melahirkan generasi masa depan yang mengetahui, memahami, menghayati, dan meyakini bahwa narkoba adalah racun yang harus dijauhi, dimusuhi, diingkari, dan dibenci. Generasi inilah yang akan menghasilkan pejabat negara, penegak hukum, pendidik, dan aparatur negara yang bersikap keras terhadap narkoba. Sebuah bangsa yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan moralitas menjadi aksi nyata, ”Perang Terhadap Narkoba, dan Menang!”.
Referensi
Adhim, Fauzil. 2007. Membuat Anak Gila Membaca. Bandung : Mizan.
Mulyasa,E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung : Remaja Rosda Karya.
Kumpulan Hasil Litbang BNN Tahun 2003 – 2006. Jakarta : BNN, 2006.
Martianto, Dwi Astuti. 2002. Pendidikan Karakter Paradigma Baru Dalam Pembentukan Manusia Berkualitas. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Pikiran Rakyat Online, 2003. Aku Bergaya, Karena Itu Aku Ada.
Tilaar, H.A.R.1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera.
Witdarmono, H. Membaca dan Agresivitas. Kompas, 8 September 2006

*Romi Febriyanto Saputro, Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.

Berbakti Kepada Negeri Sepanjang Hayat


Oleh Romi Febriyanto Saputro




Polisi lalu lintas mengatur lalu lintas, itu sudah biasa. Tetapi jika hal ini dilakukan oleh warga sipil tanpa pamrih apa pun itu baru luar biasa. Inilah yang dilakukan oleh seorang Kakek yang berusia lanjut di tepi JL Raya Sukowati Sragen, tepatnya di depan SD Negeri 15 Sragen. Pada pukul 10.00 WIB, tatkala anak-anak kelas 1 pulang sekolah, Mbah No, panggilan akrab Kakek ini dengan sukarela menyebrangkan anak-anak negeri ini. Dengan seragam mirip polisi, pengabdian Kakek ini mendapat pengakuan dari masyarakat. Tatapan matanya seolah menyanyikan lagu “Padamu negeri , aku berbakti. Padamu negeri, aku mengabdi, dan padamu negeri jiwa raga kami. Teruslah mengabdi Mbah No….

Memaksa Anak Membeli Buku di Sekolah

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Buku pelajaran atau buku paket sudah lama menjadi polemik dalam dunia pendidikan di tanah air. Setiap tahun ajaran baru, buku pelajaran ini selalu mengalami pergantian. Meski sudah dilarang oleh Menteri Pendidikan Nasional sampai saat ini praktik sekolah menjual buku kepada peserta didik masih berlangsung dengan “aman dan terkendali”.
Secara resmi sekolah memang tidak pernah memaksa anak didik untuk membeli buku. Tetapi yang saat ini terjadi, pihak sekolah mengkondisikan anak didik agar membeli buku di sekolah sesuai dengan selera pihak sekolah. Sekolah berusaha semaksimal mungkin menghilangkan rasa nyaman pada anak ketika sang anak tidak membeli buku di sekolah.
Gejala semacam ini penulis rasakan ketika penulis berusaha mengarahkan anak penulis yang baru masuk kelas 1 SD agar menggunakan buku pelajaran milik kakak sepupunya pada sekolah yang sama. Alhamdulillah, anak saya menerima dengan baik. Penulis pun juga sudah meminta dukungan guru kelas agar memberi dorongan moril kepada anak saya meski tidak memakai buku baru.
Sepertinya rencana penulis akan berjalan dengan baik tetapi di tengah jalan masalah mulai muncul. Ada beberapa kebijakan sekolah yang menghambat, pertama, pihak pengajar tidak mengarahkan anak-anak untuk menuliskan jawaban soal dari buku pelajaran di buku tulis. Melainkan menuliskan jawaban langsung di buku pelajaran.
Kebijakan ini tentu saja menyebabkan buku pelajaran berfungsi seperti jarum suntik, hanya sekali pakai. Setelah itu tidak bisa diwariskan kepada adik-adiknya. Mengapa ? Karena sudah barang tentu buku itu berisi coretan-coretan jawaban sang kakak. Anehnya pula, guru juga langsung memberi nilai pada buku pelajaran.
Buku pelajaran yang difungsikan sebagai “jarum suntik sekali pakai” sangat memprihatinkan. Guru tidak mendidik murid untuk menjadi pemakai buku yang baik. Dalam dunia perbukuan, ada semacam kode etik untuk melestarikan buku. Buku dianjurkan tidak dicorat-coret, tidak dilipat kertasnya, dan tidak boleh terkena noda.
Hal ini agar sebuah buku terjaga kelestariannya. Sehingga buku ini dapat terus-menerus diambil manfaatnya oleh generasi sekarang maupun yang akan datang.
Perlakuan yang baik pada sebuah buku secara kontekstual juga mendidik anak-anak agar bersikap hemat dan dermawan. Jika buku dalam kondisi bersih tentu dapat diwariskan pada adik-adik kelas melalui perpustakaan sekolah. Sikap kedermawanan semacam inilah yang seharusnya dibangun pada hati anak didik. Bukan mengajarkan pemborosan dalam menggunakan buku.
Arahan guru pada anak untuk menuliskan jawaban soal langsung pada buku pelajaran tanpa disadari merupakan proses pembelengguan ilmu pengetahuan. Sebuah buku yang seharusnya mampu memberi pengetahuan berulang-ulang bagi semua orang dibatasi perannya. Buku hanya boleh diambil manfaatnya oleh satu individu dan terbatas pada satu generasi saja.
Kedua, pergantian buku pelajaran dengan penerbit yang berbeda. Jika dulu pihak sekolah hanya bekerja sama dengan satu penerbit, sekarang pola ini sudah berubah. Pihak sekolah sekarang membagi secara “adil dan merata” buku pelajaran yang ada kepada banyak penerbit.
Misalnya, tahun ini untuk buku pelajaran matematika dan bahasa Inggris diberikan pada penerbit A. Sementara penerbit B memperoleh jatah untuk buku pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Untuk pelajaran PPKN dan Sains diberikan pada penerbit C.
Untuk tahun depan pola ini bisa mengalami persilangan antar penerbit. Mengapa? Agar proses pewarisan sebuah buku terhenti sekaligus melestarikan budaya ganti buku pada setiap tahun ajaran baru. Dan sekolah pun tanpa “terkesan memaksa” dapat memaksakan kehendaknya pada anak didik.
Ketiga, politik menumbuhkan rasa sungkan. Hal ini ditempuh pihak sekolah dengan membagikan buku pelajaran secara langsung kepada anak tanpa konsultasi dengan orang tua. Seorang teman penulis sangat terkejut ketika tiba-tiba mendapat kwitansi tagihan pembelian buku sebesar Rp 300.000 dari pihak sekolah.
Sebenarnya ia mau menempuh jalur hemat dengan memfotokopi buku pelajaran tersebut. Tetapi tagihan kwitansi tersebut membuat posisinya sebagai orang tua tidak nyaman. Ia merasa sungkan untuk mengembalikan buku pelajaran yang terlanjur dipakai oleh anaknya.
Tiga gejala di atas ternyata tidak hanya terjadi pada sekolah anak penulis. “Survei amatiran” penulis pada beberapa orang tua murid sekolah lain di Kota Sragen juga menunjukkan gejala yang sama. Kota lain ada kemungkinan terjadi hal yang sama. Hal ini mengingat buku pelajaran sudah didesain sedemikian rupa oleh penerbit sehingga guru akan mengarahkan anak didiknya untuk menulis jawaban langsung pada buku pelajaran.
Pembelajaran Multiteks
Untuk mengakhiri praktik semacam ini perlu ada perubahan paradigma dari pembelajaran monoteks ke multiteks. Saat ini pola pembelajaran yang terjadi di sekolah dapat dikategorikan dalam pembelajaran monoteks.
Anak didik seolah diinstall dengan satu program yang sama. Buku pelajaran harus sama dengan selera guru dengan dalih untuk mempermudah proses belajar-mengajar. Haram hukumnya menggunakan buku lain yang bertentangan dengan selera guru. Haram pula hukumnya menggunakan buku bekas milik sang kakak.
Dalam pembelajaran monoteks terjadi monopoli pengetahuan dan komunikasi searah. Pengetahuan yang diajarkan hanya dianggap benar jika sesuai dengan kehendak buku pelajaran pilihan guru. Pengetahuan dari buku lain dianggap angin lalu.
Hal ini berbeda dengan model pembelajaran multiteks. Dalam model ini buku apa pun yang menjadi pegangan anak didik tidak menjadi persoalan. Sepanjang masih relevan dengan topik pelajaran yang diajarkan sang guru. Guru pun tidak memaksa anak didik untuk menggunakan buku yang sama dengan seleranya.
Model pembelajaran ini memungkinkan guru dan murid untuk saling berdialog dengan literatur yang berbeda. Dalam hal ini guru memang perlu bekerja lebih keras daripada model pembelajaran monoteks yang bersifat instan.
Guru juga dituntut untuk lebih kreatif menyampaikan suatu pengetahuan sehingga tetap dapat diterima dengan baik oleh anak didik meski menggunakan buku yang tidak sama.

* Romi Febriyanto Saputro, S.IP, Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI. PNS Pada UPT Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen

Revolusi Birokrasi Indonesia

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufik Effendy menyampaikan keprihatinan mengenai kondisi SDM di pemerintahan. Menurut Taufik Effendy, jumlah pegawai negeri sipil kita sudah terlampau banyak dan melebihi kebutuhan. Misalnya, Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang memiliki 20 ribu PNS padahal jumlah penduduknya hanya 200 ribu. Kota Surabaya, seharusnya cukup dilayani 6.000 PNS namun kenyataannya sekarang memiliki 25.000 PNS.
Siapapun presidennya, kualitas birokrasinya tetap memprihatinkan. Ungkapan ini sangat tepat untuk melukiskan kondisi birokrasi di Indonesia. Reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, dan kini SBY tidak banyak membawa perubahan.
Reformasi birokrasi telah menjadi lips service belaka. Menjadi pembicaraan berbagai kalangan “atas” tetapi minim implementasi di ranah akar rumput.
Reformasi birokrasi baru diartikan sebatas upaya menaikkan gaji PNS dan rasionalisasi jumlah pegawai. Kebijakan ini tidak akan pernah bisa meningkatkan kinerja PNS.
Reformasi birokrasi tak akan cukup untuk mengubah karakter birokrasi Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu ”Revolusi Birokrasi Indonesia”. Revolusi ini dapat dimulai dengan melakukan fungsionalisasi birokrasi.
Menurut Miftah Thoha (2002), lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumber daya manusianya.
Dengan demikian revolusi birokrasi pada hakekatnya merupakan revolusi sumber daya manusia (SDM). Sudah menjadi rahasia umum, kinerja SDM birokrasi kita cukup buruk. Hal ini terjadi karena SDM di birokrasi didominasi oleh tenaga administrasi umum dan minim tenaga fungsional.
Jumlah tenaga adminstrasi umum yang berlebihan membuat tolok ukur kinerja seorang pegawai menjadi tidak jelas. Ia, seolah-olah hanya menunggu pekerjaan datang. Tanpa upaya kreatif untuk jemput bola atau menghadirkan pekerjaan yang bermanfaat bagi instansinya.
Sedikitnya jumlah tenaga fungsional pada suatu instansi menyebabkan irama kerjanya cenderung lambat dan monoton. Hal ini akan terlihat jelas ketika pemerintah kita menghadapi kejadian luar biasa.
Minimnya tenaga fungsional dinas peternakan menyebabkan pemerintah agak gugup dalam menghadapi wabah flu burung. Sebagaimana yang diberitakan salah satu TV swasta, kekurangan ini telah menyebabkan lambannya proses sertifikasi dan vaksinasi unggas.
Jadi, birokrasi kita tidak dapat dikatakan kelebihan pegawai. Yang terjadi adalah birokrasi kita kelebihan jumlah pegawai yang disfungsional. Fungsionalisasi birokrasi bertujuan untuk membalik komposisi ini. Birokrasi masa depan adalah birokrasi yang didominasi oleh tenaga fungsional.
Dominasi tenaga fungsional diharapkan dapat meningkatkan laju kerja birokrasi. Birokrasi kita diharapkan dapat berbuat lebih banyak dan lebih baik lagi untuk mengatasi permasalahan yang kian hari kian bertambah kompleks.
Untuk melaksanakan fungsionalisasi birokrasi pemerintah sudah memiliki bekal. Keppres Nomor 87 Tahun 1999 mengatur dengan jelas rumpun jabatan fungsional PNS.
Menurut keppres ini, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Keppres ini menetapkan 25 jenis rumpun jabatan fungsional PNS, antara lain : rumpun matematika dan statistik, rumpun kekomputeran, rumpun ilmu hayat, rumpun pengawasan dan keamanan, dan rumpun pustakawan dan arsiparis.
Dalam setiap rumpun jabatan fungsional, terbagi menjadi jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional ketrampilan. Jabatan fungsional keahlian mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal S-1 (sarjana), sedangkan jabatan fungsional ketrampilan mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal setingkat SMA atau Diploma III..
Tugas jabatan fungsional keahlian meliputi kegiatan penelitian dan pengembangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori, serta metode operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsional yang bersangkutan.
Tugas jabatan fungsional ketrampilan meliputi kegiatan teknis operasional yang berkaitan dengan penerapan konsep atau metode operasional dari suatu bidang profesi.
Untuk mengawali fungsionalisasi birokrasi, pemerintah dapat membuat peraturan yang mewajibkan setiap PNS yang tidak menduduki jabatan struktural agar beralih ke jabatan fungsional. Dengan demikian di masa depan semua PNS di birokrasi memiliki jabatan baik itu jabatan struktural maupun fungsional. Tidak ada lagi istilah staf administrasi umum.
Jenjang karier seorang PNS dimulai dari jabatan fungsional. Mereka yang diangkat dalam jabatan struktural pun harus sudah pernah menduduki jabatan fungsional.
Kebijakan ini sangat penting guna menghasilkan pejabat struktural yang benar-benar menguasai bidang pekerjaannya. Bukan sekedar fungsi manajerial, melainkan fungsi manajerial plus.
Saat ini banyak pejabat struktural yang tidak menguasai bidang tugasnya dengan baik. Mengapa ? Karena mereka bukan berasal dari pejabat fungsional. Mereka hanya mengandalkan senioritas belaka. Mungkin inilah yang disebut dengan jenjang karir karbitan.
Fenomena kecelakaan transportasi di darat, laut, maupun udara sesungguhnya mencerminkan bahwa para pejabat struktural di bidang transportasi kurang menguasai bidang tugasnya. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa hal ini sekedar kelalaian dalam bidang pengawasan.
Kepala dinas pendidikan akan lebih tepat jika dijabat oleh mantan guru. Kepala dinas pertanian, akan lebih baik jika dijabat oleh mantan penyuluh pertanian. Kepala perpustakaan daerah juga akan lebih maju jika dijabat oleh seorang PNS yang pernah menjadi pustakawan.
Dengan menjadi pejabat fungsional, maka setiap PNS diwajibkan untuk mengumpulkan angka kredit dari setiap pekerjaan/kegiatan yang dilakukannya . Pengumpulan angka kredit inilah yang nanti akan dipergunakan sebagai syarat kenaikan pangkat setiap PNS.
Tidak ada lagi yang namanya kenaikan pangkat otomatis (reguler) empat tahunan bagi seorang PNS. Untuk naik pangkat, seorang PNS harus memenuhi jumlah angka kredit minimal yang telah ditentukan.
Makin rajin seorang PNS bekerja akan semakin cepat naik pangkat (minimal 2 tahun). Sebaliknya, bagi PNS yang malas boleh jadi pangkatnya akan jalan ditempat. Jadi, tidak ada lagi istilah RMS, rajin malas sama saja.
Untuk meningkatkan etos kerja seorang PNS, maka setiap kenaikan pangkat akan memperoleh tambahan tunjangan fungsional yang signifikan. Bukan seperti sekarang, di mana kenaikan pangkat seorang PNS hanya dihargai dengan kenaikan penghasilan “ala kadarnya”.
Dengan langkah ini, kinerja seorang PNS diharapkan akan meningkat. Karena kalau malas tidak akan bisa naik pangkat dan penghasilannya pun akan jalan di tempat.

* Romi Febriyanto Saputro, S.IP, PNS pada UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN.