04 Februari 2009

Mempromosikan Perpustakaan Melalui Blog

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Menurut Wikipedia, blog merupakan singkatan dari "web log" adalah bentuk aplikasi web yang menyerupai tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting) pada sebuah halaman web umum. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urut terbalik (isi terbaru dahulu baru kemudian diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Situs web seperti ini biasanya dapat diakses oleh semua pengguna internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut.
Media blog pertama kali dipopulerkan oleh Blogger.com, yang dimiliki oleh PyraLab sebelum akhirnya PyraLab diakuisi oleh Google.Com pada akhir tahun 2002. Semenjak itu, banyak terdapat aplikasi-aplikasi yang bersifat sumber terbuka yang diperuntukkan bagi perkembangan para penulis blog tersebut.
Blog mempunyai fungsi yang sangat beragam, dari sebuah catatan harian, media publikasi, media promosi, sampai dengan program-program media dan perusahaan-perusahaan. Sebagian blog dipelihara oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis.
Blog memiliki fasilitas interaksi dengan para pengunjungnya, yang dapat memperkenankan para pengunjungnya untuk meninggalkan komentar atas isi dari tulisan yang dipublikasikan. Namun demikian ada juga yang yang sebaliknya atau yang bersifat non-interaktif.
Uraian di atas menunjukkan bahwa blog merupakan media yang murah meriah untuk melakukan promosi maupun publikasi baik bagi perseorangan maupun sebuah organisasi. Blog tidak membutuhkan server sebagaimana sebuah website. Hanya berbekal sebuah email, seseorang sudah bisa membuat blog secara gratis. Di dunia maya, aktivitas membuat blog ini lebih sering disebut dengan istilah “ngeblog”.
Dunia blog adalah dunia yang penuh warna. Ironisnya, sampai hari ini penulis masih jarang menjumpai kehadiran perpustakaan umum kabupaten/kota di dunia blog. Padahal blog merupakan media yang cukup tepat bagi sebuah perpustakaan untuk mempublikasikan jati dirinya di dunia maya secara gratis.
Sepinya dunia blog dari suara perpustakaan inilah yang mendorong penulis untuk membuat sebuah blog guna menghadirkan UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen di dunia maya dengan alamat www.perpustakaansragen.blogspot.com.
Dengan artikel ini pula, penulis mengajak para pembaca untuk mengunjungi kami di dunia maya. Berikan saran dan kritik Anda kepada kami demi kesempurnaan blog kami. Mengingat kami masih dalam proses belajar dan belajar terus untuk menghadirkan blog perpustakaan yang memiliki manfaat bagi publik.
Langkah ini memang sedikit terlambat penulis lakukan karena memang baru akhir September lalu perpustakaan kami mendapatkan akses internet resmi dari Pemerintah Kabupaten Sragen. Tetapi, seperti kata pepatah, “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”.
Di blog perpustakaan Sragen ini, pengunjung dapat menikmati berita perpustakaan, profil perpustakaan, berita foto, kegiatan lomba, opini, resensi buku, dan koleksi digital.
Dunia blog dan dunia perpustakaan memiliki fungsi yang hampir sama yaitu menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota memiliki kewajiban moral untuk tidak hanya hadir di dunia nyata yang hanya melayani masyarakat satu kabupaten/kota saja. Melainkan juga hadir di dunia maya melayani masyarakat lintas kabupaten/kota.
Inilah fungsi perpustakaan sesungguhnya, menjadi transportasi literasi informasi yang mampu melintasi batas-batas territorial. Menuju nuansa nasional bahkan internasional tanpa menanggalkan nuansa lokal.
Dunia blog memungkinkan sebuah perpustakaan untuk mempromosikan nilai lebih sebuah perpustakaan. Sejak kehadiran internet, peran perpustakaan seolah menjadi terpinggirkan. Kesaktian mesin pencari seperti google dan yahoo seolah menenggelamkan fungsi perpustakaan sebagai pusat informasi. Masyarakat lebih senang menelusuri informasi di google daripada di perpustakaan.
Untuk menyikapi hal ini tentu diperlukan suatu langkah terobosan yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang untuk selangkah lebih maju. Kehadiran mesin pencari seperti google justru akan semakin memudahkan perpustakaan dalam menjalankan visi dan misinya.
Dengan google, perpustakaan dapat membuat kumpulan artikel, karya ilmiah, maupun jurnal berdasarkan masing-masing subyek ilmu pengetahuan. Kumpulan informasi yang sudah terolah seperti ini tentu memiliki daya tarik tersendiri ketika ditampilkan diblog perpustakaan.
Dengan kata lain, google menyediakan bahan mentah, perpustakaanlah yang mengolah menjadi barang jadi yang siap dikonsumsi oleh masyarakat penggunanya. Semakin spesifik subyek kumpulan informasi ini tentu akan semakin memiliki nilai lebih baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Selain itu, sebuah blog merupakan arena bagi pustakawan untuk melakukan aktualisasi diri. Blog dapat menjadi arena yang cukup representatif bagi pustakawan untuk belajar menulis.
Menuliskan ide secara bebas tanpa harus dibatasi oleh kekuasaan redaksi surat kabar. Ketika tulisan-tulisan pustakawan tidak dapat dipublikasikan di media cetak, blog dapat menjadi alternatif untuk menampung ide, gagasan, maupun kreatifitas pustakawan. Menyuarakan aspirasi dunia perpustakaan ke seluruh dunia.
Blog merupakan lahan basah bagi pustakawan untuk mencari tambahan angka kredit. Mengapa ? Karena salah satu syarat agar sebuah tulisan mendapatkan angka kredit adalah dipublikasikan melalui media massa. Menulis di blog termasuk kategori ini karena blog kini telah menjelma menjadi media massa online yang dapat diakses oleh jutaan penduduk di planet bumi.
* Romi Febriyanto Saputro, PNS pada UPTD Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen, Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.

02 Februari 2009

Dunia Perbankan, Dunia Baca yang Terlupakan

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Tanggal 27 Januari 2008 lalu, Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan tahun 2008 sebagai Tahun Edukasi Perbankan dengan tema ‘’Ayo ke Bank’’. Kini di Tahun 2009 program ini seharusnya tetap berjalan mesti tanpa pencanangan.. Mengingat edukasi dilakukan untuk memberikan pemahaman seluas-luasnya kepada masyarakat tentang jasa yang ditawarkan perbankan.
Edukasi adalah suatu usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Edukasi perbankan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mendidik masyarakat agar lebih memahami seluk beluk dunia perbankan guna mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Edukasi perbankan pada dasarnya merupakan suatu proses belajar baik bagi pihak bank maupun masyarakat. Keduanya merupakan obyek sekaligus subyek belajar. Dalam hal ini pihak perbankan berfungsi sebagai “pendidik” dan masyarakat berfungsi sebagai “peserta didik”. Antara perbankan dan masyarakat harus terjalin pola komunikasi yang efektif dan efisien.
Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang dunia perbankan diharapkan akan mampu mendorong masyarakat untuk melakukan proses pemberdayaan diri. Strategi ini dapat ditempuh dengan pendekatan literasi informasi.
Pendekatan Literasi Informasi
Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.
Sebenarnya yang kita perlukan ialah penguasaan informasi hasil olahan kemampuan berpikir. Informasi yang diperoleh di dalam proses pembelajaran bukanlah informasi yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan informasi tersebut merupakan suatu rangkaian di dalam suatu pola jaringan sehingga memiliki arti. Informasi tersebut adalah hasil karya banyak pakar sehingga nanti akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan bermakna.
Membudayakan literasi informasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keharusan. Proses edukasi perbankan harus diartikan sebagai suatu proses membangun literasi bangsa.
Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan. Di banyak negara, di mana angka kemiskinan tinggi, tingkat literasi cenderung rendah. Literasi menyebabkan tingkat penghasilan perkapita rendah. Seperti yang terjadi di Banglades, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique. Lebih dari 78 persen penduduknya, penghasilan per hari di bawah 2 dollar AS.
Manusia yang memiliki kemampuan literasi ekonomi akan lebih mudah untuk mengakses informasi bisnis dan memberdayakannya menjadi sebuah usaha mandiri. Manusia dengan kualifikasi semacam inilah yang akan mampu memanfaatkan aneka jasa perbankan guna meningkatkan kualitas hidupnya.
Edukasi perbankan perlu diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini setiap bank yang ada di tanah air dapat membuat program pojok baca di setiap ruang tunggu bank. Pojok baca ini mesti didukung dengan koleksi buku, majalah, surat kabar, brosur, koleksi audio visual, maupun koleksi digital yang mendukung program edukasi perbankan.
Selama ini ruang tunggu merupakan sebuah ruang publik yang sepi dari aktivitas yang bermanfaat dan produktif. Duduk diam, “ngobrol”, “ngerumpi” dan menonton televisi merupakan aktivitas yang biasa terjadi di ruang tunggu. Dalam ruang tunggu seolah-olah fungsi otak dihentikan.
Kehadiran pojok baca di ruang tunggu bank selain untuk membunuh rasa bosan nasabah juga merupakan media komunikasi bagi pihak bank untuk melakukan proses edukasi perbankan. Di pojok baca inilah masyarakat dapat belajar lebih mendalam tentang perhitungan bunga tabungan, istilah popular perbankan, mediasi perbankan, anti pencucian uang, waspada dengan penawaran yang menggiurkan, electronic banking, dan manfaat call center bank.
Adanya pojok baca juga sejalan dengan semangat undang-undang perpustakaan. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, menyebutkan bahwa pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat dilakukan melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu (pasal 48 ayat 4).
Menurut penjelasan undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan tempat umum adalah kantor, ruang tunggu, terminal, bandara, rumah sakit, pasar, mall dan lain-lain.
Kehadiran pojok baca di ruang tunggu diharapkan dapat menjadi salah satu daya ungkit untuk mengubah budaya lisan menjadi budaya baca sekaligus meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Membaca buku sambil menunggu panggilan dari teller bank tentu lebih baik daripada sekedar duduk menunggu sambil “bengong”.Daya ungkit ini mempunyai kekuatan yang sangat besar karena pertumbuhan industri perbankan sangat pesat bahkan telah menembus hingga ke tingkat desa.
Jika setiap nasabah bank dapat menularkan kebiasaan membaca ini kepada lingkungan keluarga dan tetangga, maka akan terjadi proses percepatan terwujudnya masyarakat yang gemar membaca. Kebiasaan membaca yang terus berkembang pada gilirannya akan menghasilkan masyarakat yang literate alias “melek” informasi. Masyarakat yang literate inilah yang akan menunjang dan mensukseskan program edukasi perbankan.
Edukasi perbankan akan semakin tersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat jika pojok baca ini juga membuka diri terhadap masyarakat. Artinya, masyarakat umum terutama kalangan pelajar juga bebas untuk mengakses pojok baca ini.
Pojok baca yang ada di setiap bank tentu akan lebih bermanfaat daripada fasilitas hotspot yang ada di ruang publik. Hal ini mengingat sampai saat ini Laptop hanya bisa diakses oleh masyarakat golongan menengah ke atas, sedangkan pojok baca dapat dinikmati oleh siapapun dan dari golongan manapun tanpa mengenal stratifikasi sosial.
Partisipasi dunia perbankan dalam menghadirkan pojok baca ini akan membuat slogan edukasi perbankan “Ayo ke Bank” akan semakin bernilai edukatif. Mengapa ? Karena masyarakat akan pergi ke bank bukan sekedar untuk menabung melainkan juga untuk membaca. Menabung dan membaca di bank tentu sangat sejalan dengan program edukasi perbankan sekaligus akan mempercepat tersebarnya budaya membaca di masyarakat.
Edukasi perbankan berbasis literasi merupakan suatu upaya untuk memberdayakan masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat semakin memahami dunia perbankan sekaligus mengajak masyarakat untuk gemar membaca. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan kualitas literasi masyarakat. Peningkatan literasi merupakan kunci pembuka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

*Romi Febriyanto Saputro, PNS Pada UPTD Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN.

Gempur Narkoba Dengan Minat Baca !

Oleh : Romi Febriyanto Saputro*

A. Belajar Dari Sejarah
Sejarah telah membuktikan bahwa narkoba dapat menjelma menjadi “senjata pemusnah massal”. Peradaban sebuah bangsa dapat dihancurkan dengan meracuni generasi mudanya dengan narkoba. Sejarah perang candu di Cina membuktikan bahwa kekuatan sebuah bangsa dapat ditaklukkan dengan tipu daya narkoba. Pasukan kolonialis Inggris sukses menaklukkan negeri Cina setelah mampu membuat bangsa Cina ketagihan candu.
Sejak awal abad ke -19, para pedagang Inggris secara gelap melakukan perdagangan candu ke Cina dan mendapatkan untung besar. Cinalah yang menanggung akibat-akibat buruk yang timbul dari perdagangan ini. Karena itu, Cina melakukan gerakan anti candu.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) menyebutkan pada tahun 1837, Cina melakukan propaganda anticandu secara gencar dan memperketat pengawasan pengawasan perdagangan dengan menutup pelabuhan-pelabuhan penting Cina bagi para pedagang Inggris. Di samping itu, Cina juga menerapkan hukuman mati bagi pemakai candu, termasuk para cendekiawan dan militer.
Inggris merasa dirugikan dan ingin memaksa Cina membuka pelabuhannya bagi para pedagang Inggris. Ketegangan terjadi, dan setelah terjadi peristiwa pembunuhan atas penduduk desa oleh orang Inggris yang sedang mabuk, meletuslah peperangan. Cina menuntut agar orang-orang yang bersalah itu diserahkan kepada mereka, tetapi Inggris dengan karakteristik kolonialnya menolak.
Akibatnya, Kaisar memutuskan untuk menghancurkan semua gudang candu milik Inggris beserta isinya di Kanton. Pada Bulan Maret 1839, terjadilan peristiwa pembakaran beribu-ribu peti candu milik Inggris di Kanton.
Pada tahun itu juga Inggris menyatakan perang terhadap Cina. Beberapa kota pantai Cina diserang dan direbut oleh Inggris. Setelah peperangan berlangsung selama tiga tahun, Inggris memperoleh kemenangan dan berhasil memaksakan suatu perjanjian dengan Cina. Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Nanking yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842.
Dalam perjanjian ini antara lain ditetapkan : Cina harus membuka pelabuhan Kanton, Amoy, Foochow, Ninghsien, dan Shanghai untuk para pedagang Inggris; orang Eropa di Cina mendapatkan hak-hak istimewa; Hongkong diserahkan kepada Inggris; penetapan bea impor oleh pemerintah Inggris dan Cina harus membayar kerugian perang kepada pihak Inggris. Perjanjian Nanking ini memicu negara-negara kolonialis lainnya seperti Perancis, Jerman, dan Rusia menuntut pula hak-hak istimewa.
Peperangan antara Cina dan Inggris meletus kembali pada tahun 1856, ketika Inggris hendak melampiaskan syahwat kolonialismenya dengan memperluas jaringan perdagangan di Cina. Perancis kemudian membantu Inggris untuk menuntut balas atas terbunuhnya Misionaris Perancis di daerah pedalaman Cina. Cina kembali menderita kekalahan dalam perang ini dan dipaksa menandatangani perjanjian Tientsien pada tahun 1858.
Perjanjian ini sangat menghina harga diri bangsa Cina karena Inggris memaksa melegalkan perdagangan Candu. Pertempuran pun pecah kembali hingga tahun 1860. Inggris yang bersekutu dengan Perancis berhasil merebut Peking dan sekaligus merampok kekayaan istana. Cina kembali dipaksa menandatangani Konvensi Peking, yang menegaskan bahwa Cina siap menerima ketentuan dalam Perjanjian Tientsien yang melegalkan perdagangan Narkoba. Negeri Cina pun takluk di tangan terorisme narkoba yang tersenyum gembira.
B. Terorisme Peradaban
Malik bin Nabi, seorang intelektual asal Al Jazair menulis dalam bukunya yang berjudul Syuruut Al-Nahdhah, bahwa bangun dan runtuhnya sebuah peradaban tergantung siapa yang menjadi “panglimanya”. Dia mengatakan, bahwa sebuah peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi “panglimanya” adalah ruh. Dengan ruh sebuah peradaban akan menjadi peradaban yang bersih dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan dianggap mencapai puncak sebenarnya.
Pada tahapan kedua, peradaban akan mengalami pelebaran dan pemekaran bukan pengembangan, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu adalah akal. Peradaban yang dikendalikan akal akan mengalami tarik menarik yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu. Terjadinya tarik menarik ini akan mengakibatkan peradaban terus merentang dan bukan mengalami kenaikan nilai.
Pada fase selanjutnya, sebuah peradaban akan mengalami kehancuran dan kebangkrutan tatkala yang menjadi “panglimanya” adalah hawa nafsu. Pada titik inilah peradaban akan dengan deras meluncur ke titik yang paling bawah
Ungkapan Malik Bin Nabi tersebut memberikan suatu pelajaran kepada kita, bahwa peradaban manusia akan selalu mengalami pasang surut. Tatkala ruh spiritualisme dan moralitas menjadi panglima maka suatu peradaban akan mampu menggapai puncak peradaban. Namun tatkala akal dan hawa nafsu telah mengalahkan moralitas, maka peradaban tersebut akan jatuh meluncur ke titik nol.
Peradaban Cina yang dikenal sebagai peradaban tertua dalam sejarah dunia takluk oleh terorisme narkoba. Hal ini terjadi karena peradaban ini gagal merespon tantangan dan ancaman yang sedang berkembang. Kaisar Cina tentu tak pernah membayangkan bahwa candu akan menjadi biang keladi kehancuran peradaban Cina dari bangsa yang berdaulat menjadi bangsa yang terjajah.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Arnold J Toynbee dalam buku A Study of History yang menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban adalah diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku peradaban itu untuk merespon tantangan yang sedang berkembang.
Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban terhadap tantangan-tantangan yang berkembang dan tenggelam dalam kejumudan, maka bisa dipastikan peradaban itu akan mengalami pembusukan. Ketidakmampuan memberi respon terhadap tantangan ini mengindikasikan adanya impotensi dalam peradaban tersebut.

Sejarah akan terus berulang. Narkoba yang pada awal abad ke -19 telah berhasil menghancurkan peradaban Cina, kini di era milenium tiga narkoba telah bereinkarnasi menjadi terorisme yang berpotensi besar menghancurkan peradaban manusia.
Narkoba yang bersinergi dengan teknologi canggih telah memodifikasi dirinya menjadi ancaman serius bagi semua peradaban bangsa. Pada tahun 2005, PBB menyebutkan bahwa data pecandu narkotika di seluruh dunia mencapai 200 juta orang.
Di tanah air, survey BNN tahun 2006 menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba semasa hidup sebesar 8,3%. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka angka prevalensinya semakin tinggi. Prevalensi narkoba di SLTP sebesar 6%, meningkat menjadi 9% di SLTA, dan 12% di perguruan tinggi. Mereka yang berada sekolah swasta di jenjang SLTA (10%) dan perguruan tinggi (12%) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan sekolah negeri dan agama.
Hasil survei ini juga menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan angka penyalahgunaan narkoba pernah pakai dari sebesar 5,8% di tahun 2003 menjadi 8,3% di tahun 2006. Ini mengindikasikan bahwa peredaran narkoba menjadi semakin luas, terlihat di seluruh propinsi telah ditemukan angka penyalahgunaan narkoba dan hampir tidak ada banyak perbedaan persentase antara angka penyalahgunaan di kota maupun kabupaten.
Lebih dari separuh penyalahguna narkoba berada pada kelompok umur 15-19 tahun (58%), terutama pada mereka yang duduk di bangku SLTA (94%). Ini dapat dimaklumi karena usia sekolah di SLTA berada pada kisaran umur ini. Ada perbedaan kelompok umur antara penyalahguna di kota dengan kabupaten. Pada kelompok umur yang kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok umur diatas 20 tahun lebih banyak ada di kota.
Data statistik di atas semakin meneguhkan eksistensi narkoba sebagai terorisme peradaban nomor satu di dunia. Mengapa ? Karena penyalahgunaan narkoba akan memicu krisis di berbagai bidang kehidupan. Narkoba menghasilkan efek domino yang luar biasa.
Pertama, mendegradasikan moral masyarakat. Penelitian BNN tahun 2006 menyebutkan bahwa pencurian, penipuan, perampasan, dan penodongan merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh penyalahguna narkoba. Persentase yang pernah mencuri barang milik keluarga sekitar 16% pada kelompok teratur-pakai dan 24% pada pecandu; yang pernah mencuri barang milik orang lain adalah 5% pada kelompok teratur pakai dan 13% pada pecandu. Sedangkan yang pernah menipu, merampas, atau menodong sekitar 4% pada kelompok teratur-pakai dan 9% pada pecandu.
Kedua, menghancurkan sistem ekonomi. Pecandu narkoba akan cenderung menghabiskan penghasilannya untuk membeli narkoba. Kerugian ekonomi dan sosial penyalahgunaan narkoba di Indonesia tahun 2004 diperkirakan Rp.23,6 triliun, dan jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan 2,9 juta sampai 3,6 juta orang atau setara 1,5% penduduk Indonesia (BNN & Puslitkes UI, 2005).
Ketiga, menimbulkan gangguan kesehatan jasmani maupun rohani. Menurut Dadang Hawari (Republika, Juli 2003), orang yang telah tergantung narkoba, maka hidupnya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak lagi mampu berfungsi secara wajar di masyarakat. Hasil penelitian Dadang Hawari menunjukkan bahwa 53,5 % pemakai heroin mengalami kelainan paru, 55,1 % mengalami kelainan fungsi hati, 56,6 % mengalami infeksi hepatitis C, serta 33,3 % mengalami infeksi virus HIV/AIDS.
Selain itu, data Departemen Kesehatan RI, menyebutkan selama kurun waktu 1987 s/d 2006 kasus AIDS yang disebabkan penggunaan jarum suntik narkoba menembus angka 4.122 dari (8.194 kasus) jauh di atas faktor pemicu AIDS lainnya. Seperti transfusi darah, homoseksual, dan transmisi perinatal.
C. Pendidikan Karakter
Menurut Jalal Amin (2006), globalisasi adalah penciutan cepat dalam jarak antara masyarakat manusia baik yang berkaitan dengan perpindahan komoditi, orang, modal, informasi, gagasan atau nilai. Hal ini berarti globalisasi merupakan proses eliminasi batas-batas territorial antara satu bangsa dengan bangsa lain. Proses eliminasi ini terus berlanjut hingga menginjak ranah kebudayaan suatu bangsa.
Ironisnya, generasi muda kita menerima globalisasi tanpa filter. Pengagungan yang over dosis terhadap globalisasi telah menyebabkan masyarakat kita kehilangan akar budaya dan sejarah. Budaya asing dengan segala bentuknya telah memarginalisasi budaya nasional maupun budaya lokal. Dominasi produk asing tiga F, food (makanan), fashion (pakaian), dan fun (hiburan) dalam kehidupan sehari-hari begitu kentara.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa remaja kita sangat rentan terhadap pengaruh budaya asing. Segala sesuatu yang asing dianggap ”baik dan modern”. Hal ini mengakibatkan generasi muda kita suka mencoba-coba sesuatu yang dianggap mewakili kehidupan modern.
Dalam persepsi generasi muda, narkoba merupakan sesuatu yang cukup menantang untuk dicoba. Semula hanya sekedar mencoba, setelah merasakan efek nikmat merekapun ketagihan. Setelah ketagihan mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan barang terlarang itu. Pertahanan generasi masa depan ini pun akhirnya bobol.
Survey BNN tahun 2005 menemukan bahwa rata-rata umur pertama kali memakai narkoba sekitar 18-19 tahun dengan rentang 10 sampai 32 tahun. Alasan memakai narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan penyalah-guna di rumah tangga adalah bersenang-senang (56%) dan karena paksaan (22%). Sedangkan pada penyalah guna narkoba di rumah kos, alasan memakai narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan adalah ingin mencoba (62%) dan karena ajakan/bujukan ternan (18%).
Ironisnya, sebagian besar responden di rumah tangga dan di rumah kos pemah dengar narkoba, tetapi yang tahu apa itu narkoba dan bahaya narkoba hanya 65% di rumah tangga dan 85% di rumah. Artinya, mereka menjadi pemakai narkoba bukan disebabkan faktor ketidaktahuan mereka melainkan justru karena pengetahuan yang ada pada mereka. Mengetahui bahaya narkoba tetapi tetap ingin mencoba narkoba membuktikan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita.
Pendidikan nasional gagal membangun karakter para remaja kita. Pendidikan menghasilkan lulusan yang sekedar menghafal pengetahuan bukan memahami, menghayati, dan meyakini sebuah pengetahuan. Akibatnya, generasi muda kita mudah terbius oleh pesona budaya pop
Menurut Yasraf Amir Piliang (2003), dalam konteks budaya pop dan korelasinya dengan fenomena gaya hidup, serta bagaimana seluruhnya itu dibangun oleh industrialisasi dan kapitalisme mutakhir yang menjadikan media sebagai agen ”propaganda”-nya inilah, budaya pop seringkali dicurigai sebagai sebuah kekuatan hegemonik yang fasis, ketika identitas dan imajinasi seseorang ditentukan dari atas. Jelas semua ini ada pengaruhnya pada cara pandang terhadap realitas.
Budaya pop membawa kita pada realitas yang serba permukaan. Realitas yang hanya sekadar kulit luarnya, realitas palsu, sebuah simulakra. Budaya pop adalah anak kandung kapitalisme sebab ia tak bisa dilepaskan dari industrialisasi. Diakui atau tidak, budaya pop turut andil dalam penyebaran penyalahgunaan narkoba. Tanpa disadari, budaya pop telah mengambil peran sebagai katalisator penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja.
Film ataupun sinetron picisan dilayar kaca maupun lebar sering mempromosikan gaya hidup populer anak muda seperti dugem, pacaran over dosis, mabuk-mabukan bahkan sampai teknik menginjeksi narkoba. Ironisnya, sinetron yang dimaksudkan agar anak muda kita menjauhi narkoba tanpa disadari malah berubah menjadi mempromosikan penggunaan narkoba.
Untuk memerangi narkoba, pendidikan nasional harus menyiapkan konsep pendidikan yang berkarakter kuat. Selama ini metodologi belajar mengajar hanya difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.
Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah.
Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (aspek kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (aspek psikomotorik).
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Foerster menjelaskan ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang cukup penting untuk menyuntikkan semangat anti narkoba di hati peserta didik, pertama, keteraturan interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Peserta didik yang memahami hierarki nilai dengan baik tidak akan mudah tergoda oleh rayuan narkoba karena memiliki aneka standar nilai untuk mencegahnya. Norma agama, masyarakat, keluarga, maupun negara merupakan “imunisasi jiwa” terbaik untuk menolak narkoba.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Keberanian memegang prinsip kebenaran merupakan kompetensi yang wajib dimiliki oleh peserta didik. Jika sekolah mampu menanamkan dengan baik sifat ini, maka di luar sekolah pun peserta didik akan memiliki keberanian untuk berkata, “Tidak” pada ajakan teman bergaul untuk menggunakan narkoba.
Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain. Kedaulatan jiwa peserta didik perlu dibangun oleh pendidik agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh bujuk-rayu setan-setan narkoba yang terus bergentayangan.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Keteguhan dan komitmen pada nilai-nilai moral merupakan tujuan utama dari pendidikan karakter. Dengan demikian jurang pemisah antara cita-cita moral dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat terus dipersempit. Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.
D. Minat Baca
Pendidikan karakter hanya dapat dilaksanakan jika sekolah-sekolah di tanah air dapat merangsang tumbuhnya minat baca pada peserta didik. Sebuah penelitian membuktikan bahwa minat baca seseorang akan mempengaruhi karakternya.
Majalah Child Development (Januari/Februari 2006) sebagaimana dikutip H. Witdarmono (Kompas, 8 September 2006) menerbitkan hasil penelitian tentang hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif siswa sekolah dasar. Penelitian Miles dan Stipek menemukan adanya keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam penelitian ini, sikap agresif dibatasi dalam empat golongan, "suka berkelahi", "tidak sabaran", "suka mengganggu", dan "kebiasaan menekan anak lain (bullying)".
Anak-anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga, anak-anak kelas 3, yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat di kelas 5. Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka, anak-anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustrasinya kian menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka menjadi agresif. Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap sosial adalah "suka menolong", "mengerti perasaan orang lain", "punya empati", "punya perhatian kepada yang susah", dan "menolong/menghibur teman yang kecewa". Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat di TK dan kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan kelas 5 SD.
Penelitian di atas membuktikan bahwa peserta didik yang memiliki minat baca yang tinggi akan cenderung memiliki karakter yang kuat. Hal ini karena membaca merupakan sebuah proses yang kompleks. Tidak hanya proses membaca itu yang kompleks, tetapi setiap aspek yang ada selama proses membaca juga bekerja dengan sangat kompleks.
Ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu aspek sensori, persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Boleh dikata, ketika proses membaca berlangsung, seluruh aspek kejiwaan bekerja aktif. Generasi muda yang berkarakter kuat inilah yang kelak akan menjelma menjadi generasi anti narkoba. Generasi yang memiliki imunitas tinggi terhadap narkoba.
Ironisnya, sebagian besar generasi muda kita adalah generasi yang miskin minat baca. Data yang dilansir BPS pada 2003 menggambarkan, penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Yang membaca majalah atau tabloid 29,22 %, buku cerita 44,28 %, dan buku pengetahuan lainnya 21,07 %. Dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat membaca hanya naik sekitar 0,2 %, jauh jika dikomparasikan dengan menonton televisi yang kenaikannya mencapai 21,1 %.
Data BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan membaca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 %. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 %, dan mendengarkan radio 40,3 %. Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Education in Indonesian from Crisis to Recovery), mengutip hasil Vincent Greannary tahun 1998, menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI sekolah dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Fakta di atas sungguh membuat hati kita khawatir. Ternyata, sistem pendidikan nasional telah gagal melahirkan generasi yang membaca. Pendidikan kita hanya sekedar menghasilkan generasi yang membaca agar disebut ”sudah belajar”. Generasi yang membaca hanya untuk menggapai kelulusan belaka. Bukan generasi yang terus membaca sepanjang hidupnya. Generasi semacam ini sangat berpotensi menjadi generasi yang hilang dalam pelukan tsunami narkoba.
Salah satu metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan minat baca peserta didik adalah metode pembelajaran konstruktivisme. Menurut E. Mulyasa (2002) , fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam penelitian dan praktek pendidikan. Daya tarik dari model konstruktivisme ini adalah pada kesederhanaannya
Strategi pokok dari model belajar mengajar konstruktivisme adalah meaningful learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik seperti : pelajaran agama, moral maupun budi pekerti sudah sepantasnya mengadopsi model pembelajaran ini. Sehingga peserta didik dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan kaidah moral dan agama dengan baik. Selama ini, pelajaran agama di sekolah baru mencapai taraf ”penghapalan agama”, pelajaran moral baru sampai pada tahap ”penghapalan moral” dan pelajaran budi pekerti pun sesungguhnya baru mencapai tahap ”penghapalan budi pekerti”.
Strategi ini menghendaki baik siswa maupun guru memiliki kedudukan sebagai subyek belajar. Sebagai subyek belajar keduanya dituntut aktif untuk mencari data-data, informasi, dan interpretasi dari materi pelajaran. Siswa dituntut untuk bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran bukan sekedar meniru, copy-paste, dan menghafal apa yang diberikan oleh guru. Dengan strategi ini siswa dan guru didorong untuk memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Hasil yang diperoleh dengan strategi meaningful learning ini akan jauh lebih baik dari pembelajaran tradisional yang oleh Paulo Freire disebut cara belajar sistem bank. Cara belajar sistem bank ini tidak akan mendorong siswa untuk gemar membaca. Selanjutnya filsuf Paulo Freire menganjurkan agar supaya proses belajar mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan cara memotivasi siswa belajar mencari data-data, menganalisis data-data tersebut dalam arti yang sebenarnya.
Cara belajar sistem bank hanya akan menghasilkan pemahaman materi pelajaran yang bersifat instan dan tidak menyeluruh. Ada kalanya ada beberapa unsur materi pelajaran yang susah dipahami oleh siswa, tetapi siswa terpaksa menerima begitu saja dengan menghafal. Model penerimaan materi pelajaran yang demikian hanya akan menghasilkan pemahaman yang miskin pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana statis, monoton dan membosankan.
Strategi belajar meaningful learning sangat memerlukan dukungan perpustakaan sebagai sumber belajar. Perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh siswa dan guru sebagai tempat pembelajaran di luar kelas. Kebutuhan siswa untuk melakukan active playing (belajar aktif), interpretation (interpretasi), make sense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama), dan inquiry (menyelediki) dapat dilakukan di perpustakaan sekolah.
Di perpustakaan siswa juga dapat melaksanakan konsep belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be); dan belajar seumur hidup (life long learning).
E. Kesimpulan
Perang terhadap narkoba tanpa dilakukan dengan memperkuat karakter bangsa adalah mubadzir. Mengapa ? Karena pertahanan terkuat terhadap godaan narkoba ada pada diri individu itu sendiri. Narkoba tidak akan berdaya jika berhadapan dengan generasi bangsa yang berkarakter kuat. Kekuatan karakter ini akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan meningkatnya minat baca.
BNN dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum untuk menyuntikkan semangat anti narkoba. Buku, VCD, majalah dan brosur tentang kampanye anti narkoba dapat dilayankan di perpustakaan. Bahkan, jika memungkinkan BNN dapat mengajak Perpustakaan Nasional RI untuk membuat sebuah jaringan bersama, yaitu jaringan bersama anti narkoba. Jaringan ini akan melibatkan seluruh perpustakaan yang ada di tanah air.
Jadi, sinergi antara pendidikan karakter dan minat baca akan melahirkan generasi masa depan yang mengetahui, memahami, menghayati, dan meyakini bahwa narkoba adalah racun yang harus dijauhi, dimusuhi, diingkari, dan dibenci. Generasi inilah yang akan menghasilkan pejabat negara, penegak hukum, pendidik, dan aparatur negara yang bersikap keras terhadap narkoba. Sebuah bangsa yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan moralitas menjadi aksi nyata, ”Perang Terhadap Narkoba, dan Menang!”.
Referensi
Adhim, Fauzil. 2007. Membuat Anak Gila Membaca. Bandung : Mizan.
Mulyasa,E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung : Remaja Rosda Karya.
Kumpulan Hasil Litbang BNN Tahun 2003 – 2006. Jakarta : BNN, 2006.
Martianto, Dwi Astuti. 2002. Pendidikan Karakter Paradigma Baru Dalam Pembentukan Manusia Berkualitas. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Pikiran Rakyat Online, 2003. Aku Bergaya, Karena Itu Aku Ada.
Tilaar, H.A.R.1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera.
Witdarmono, H. Membaca dan Agresivitas. Kompas, 8 September 2006

*Romi Febriyanto Saputro, Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.

Berbakti Kepada Negeri Sepanjang Hayat


Oleh Romi Febriyanto Saputro




Polisi lalu lintas mengatur lalu lintas, itu sudah biasa. Tetapi jika hal ini dilakukan oleh warga sipil tanpa pamrih apa pun itu baru luar biasa. Inilah yang dilakukan oleh seorang Kakek yang berusia lanjut di tepi JL Raya Sukowati Sragen, tepatnya di depan SD Negeri 15 Sragen. Pada pukul 10.00 WIB, tatkala anak-anak kelas 1 pulang sekolah, Mbah No, panggilan akrab Kakek ini dengan sukarela menyebrangkan anak-anak negeri ini. Dengan seragam mirip polisi, pengabdian Kakek ini mendapat pengakuan dari masyarakat. Tatapan matanya seolah menyanyikan lagu “Padamu negeri , aku berbakti. Padamu negeri, aku mengabdi, dan padamu negeri jiwa raga kami. Teruslah mengabdi Mbah No….

Memaksa Anak Membeli Buku di Sekolah

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Buku pelajaran atau buku paket sudah lama menjadi polemik dalam dunia pendidikan di tanah air. Setiap tahun ajaran baru, buku pelajaran ini selalu mengalami pergantian. Meski sudah dilarang oleh Menteri Pendidikan Nasional sampai saat ini praktik sekolah menjual buku kepada peserta didik masih berlangsung dengan “aman dan terkendali”.
Secara resmi sekolah memang tidak pernah memaksa anak didik untuk membeli buku. Tetapi yang saat ini terjadi, pihak sekolah mengkondisikan anak didik agar membeli buku di sekolah sesuai dengan selera pihak sekolah. Sekolah berusaha semaksimal mungkin menghilangkan rasa nyaman pada anak ketika sang anak tidak membeli buku di sekolah.
Gejala semacam ini penulis rasakan ketika penulis berusaha mengarahkan anak penulis yang baru masuk kelas 1 SD agar menggunakan buku pelajaran milik kakak sepupunya pada sekolah yang sama. Alhamdulillah, anak saya menerima dengan baik. Penulis pun juga sudah meminta dukungan guru kelas agar memberi dorongan moril kepada anak saya meski tidak memakai buku baru.
Sepertinya rencana penulis akan berjalan dengan baik tetapi di tengah jalan masalah mulai muncul. Ada beberapa kebijakan sekolah yang menghambat, pertama, pihak pengajar tidak mengarahkan anak-anak untuk menuliskan jawaban soal dari buku pelajaran di buku tulis. Melainkan menuliskan jawaban langsung di buku pelajaran.
Kebijakan ini tentu saja menyebabkan buku pelajaran berfungsi seperti jarum suntik, hanya sekali pakai. Setelah itu tidak bisa diwariskan kepada adik-adiknya. Mengapa ? Karena sudah barang tentu buku itu berisi coretan-coretan jawaban sang kakak. Anehnya pula, guru juga langsung memberi nilai pada buku pelajaran.
Buku pelajaran yang difungsikan sebagai “jarum suntik sekali pakai” sangat memprihatinkan. Guru tidak mendidik murid untuk menjadi pemakai buku yang baik. Dalam dunia perbukuan, ada semacam kode etik untuk melestarikan buku. Buku dianjurkan tidak dicorat-coret, tidak dilipat kertasnya, dan tidak boleh terkena noda.
Hal ini agar sebuah buku terjaga kelestariannya. Sehingga buku ini dapat terus-menerus diambil manfaatnya oleh generasi sekarang maupun yang akan datang.
Perlakuan yang baik pada sebuah buku secara kontekstual juga mendidik anak-anak agar bersikap hemat dan dermawan. Jika buku dalam kondisi bersih tentu dapat diwariskan pada adik-adik kelas melalui perpustakaan sekolah. Sikap kedermawanan semacam inilah yang seharusnya dibangun pada hati anak didik. Bukan mengajarkan pemborosan dalam menggunakan buku.
Arahan guru pada anak untuk menuliskan jawaban soal langsung pada buku pelajaran tanpa disadari merupakan proses pembelengguan ilmu pengetahuan. Sebuah buku yang seharusnya mampu memberi pengetahuan berulang-ulang bagi semua orang dibatasi perannya. Buku hanya boleh diambil manfaatnya oleh satu individu dan terbatas pada satu generasi saja.
Kedua, pergantian buku pelajaran dengan penerbit yang berbeda. Jika dulu pihak sekolah hanya bekerja sama dengan satu penerbit, sekarang pola ini sudah berubah. Pihak sekolah sekarang membagi secara “adil dan merata” buku pelajaran yang ada kepada banyak penerbit.
Misalnya, tahun ini untuk buku pelajaran matematika dan bahasa Inggris diberikan pada penerbit A. Sementara penerbit B memperoleh jatah untuk buku pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Untuk pelajaran PPKN dan Sains diberikan pada penerbit C.
Untuk tahun depan pola ini bisa mengalami persilangan antar penerbit. Mengapa? Agar proses pewarisan sebuah buku terhenti sekaligus melestarikan budaya ganti buku pada setiap tahun ajaran baru. Dan sekolah pun tanpa “terkesan memaksa” dapat memaksakan kehendaknya pada anak didik.
Ketiga, politik menumbuhkan rasa sungkan. Hal ini ditempuh pihak sekolah dengan membagikan buku pelajaran secara langsung kepada anak tanpa konsultasi dengan orang tua. Seorang teman penulis sangat terkejut ketika tiba-tiba mendapat kwitansi tagihan pembelian buku sebesar Rp 300.000 dari pihak sekolah.
Sebenarnya ia mau menempuh jalur hemat dengan memfotokopi buku pelajaran tersebut. Tetapi tagihan kwitansi tersebut membuat posisinya sebagai orang tua tidak nyaman. Ia merasa sungkan untuk mengembalikan buku pelajaran yang terlanjur dipakai oleh anaknya.
Tiga gejala di atas ternyata tidak hanya terjadi pada sekolah anak penulis. “Survei amatiran” penulis pada beberapa orang tua murid sekolah lain di Kota Sragen juga menunjukkan gejala yang sama. Kota lain ada kemungkinan terjadi hal yang sama. Hal ini mengingat buku pelajaran sudah didesain sedemikian rupa oleh penerbit sehingga guru akan mengarahkan anak didiknya untuk menulis jawaban langsung pada buku pelajaran.
Pembelajaran Multiteks
Untuk mengakhiri praktik semacam ini perlu ada perubahan paradigma dari pembelajaran monoteks ke multiteks. Saat ini pola pembelajaran yang terjadi di sekolah dapat dikategorikan dalam pembelajaran monoteks.
Anak didik seolah diinstall dengan satu program yang sama. Buku pelajaran harus sama dengan selera guru dengan dalih untuk mempermudah proses belajar-mengajar. Haram hukumnya menggunakan buku lain yang bertentangan dengan selera guru. Haram pula hukumnya menggunakan buku bekas milik sang kakak.
Dalam pembelajaran monoteks terjadi monopoli pengetahuan dan komunikasi searah. Pengetahuan yang diajarkan hanya dianggap benar jika sesuai dengan kehendak buku pelajaran pilihan guru. Pengetahuan dari buku lain dianggap angin lalu.
Hal ini berbeda dengan model pembelajaran multiteks. Dalam model ini buku apa pun yang menjadi pegangan anak didik tidak menjadi persoalan. Sepanjang masih relevan dengan topik pelajaran yang diajarkan sang guru. Guru pun tidak memaksa anak didik untuk menggunakan buku yang sama dengan seleranya.
Model pembelajaran ini memungkinkan guru dan murid untuk saling berdialog dengan literatur yang berbeda. Dalam hal ini guru memang perlu bekerja lebih keras daripada model pembelajaran monoteks yang bersifat instan.
Guru juga dituntut untuk lebih kreatif menyampaikan suatu pengetahuan sehingga tetap dapat diterima dengan baik oleh anak didik meski menggunakan buku yang tidak sama.

* Romi Febriyanto Saputro, S.IP, Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI. PNS Pada UPT Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen

Revolusi Birokrasi Indonesia

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufik Effendy menyampaikan keprihatinan mengenai kondisi SDM di pemerintahan. Menurut Taufik Effendy, jumlah pegawai negeri sipil kita sudah terlampau banyak dan melebihi kebutuhan. Misalnya, Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang memiliki 20 ribu PNS padahal jumlah penduduknya hanya 200 ribu. Kota Surabaya, seharusnya cukup dilayani 6.000 PNS namun kenyataannya sekarang memiliki 25.000 PNS.
Siapapun presidennya, kualitas birokrasinya tetap memprihatinkan. Ungkapan ini sangat tepat untuk melukiskan kondisi birokrasi di Indonesia. Reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, dan kini SBY tidak banyak membawa perubahan.
Reformasi birokrasi telah menjadi lips service belaka. Menjadi pembicaraan berbagai kalangan “atas” tetapi minim implementasi di ranah akar rumput.
Reformasi birokrasi baru diartikan sebatas upaya menaikkan gaji PNS dan rasionalisasi jumlah pegawai. Kebijakan ini tidak akan pernah bisa meningkatkan kinerja PNS.
Reformasi birokrasi tak akan cukup untuk mengubah karakter birokrasi Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu ”Revolusi Birokrasi Indonesia”. Revolusi ini dapat dimulai dengan melakukan fungsionalisasi birokrasi.
Menurut Miftah Thoha (2002), lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumber daya manusianya.
Dengan demikian revolusi birokrasi pada hakekatnya merupakan revolusi sumber daya manusia (SDM). Sudah menjadi rahasia umum, kinerja SDM birokrasi kita cukup buruk. Hal ini terjadi karena SDM di birokrasi didominasi oleh tenaga administrasi umum dan minim tenaga fungsional.
Jumlah tenaga adminstrasi umum yang berlebihan membuat tolok ukur kinerja seorang pegawai menjadi tidak jelas. Ia, seolah-olah hanya menunggu pekerjaan datang. Tanpa upaya kreatif untuk jemput bola atau menghadirkan pekerjaan yang bermanfaat bagi instansinya.
Sedikitnya jumlah tenaga fungsional pada suatu instansi menyebabkan irama kerjanya cenderung lambat dan monoton. Hal ini akan terlihat jelas ketika pemerintah kita menghadapi kejadian luar biasa.
Minimnya tenaga fungsional dinas peternakan menyebabkan pemerintah agak gugup dalam menghadapi wabah flu burung. Sebagaimana yang diberitakan salah satu TV swasta, kekurangan ini telah menyebabkan lambannya proses sertifikasi dan vaksinasi unggas.
Jadi, birokrasi kita tidak dapat dikatakan kelebihan pegawai. Yang terjadi adalah birokrasi kita kelebihan jumlah pegawai yang disfungsional. Fungsionalisasi birokrasi bertujuan untuk membalik komposisi ini. Birokrasi masa depan adalah birokrasi yang didominasi oleh tenaga fungsional.
Dominasi tenaga fungsional diharapkan dapat meningkatkan laju kerja birokrasi. Birokrasi kita diharapkan dapat berbuat lebih banyak dan lebih baik lagi untuk mengatasi permasalahan yang kian hari kian bertambah kompleks.
Untuk melaksanakan fungsionalisasi birokrasi pemerintah sudah memiliki bekal. Keppres Nomor 87 Tahun 1999 mengatur dengan jelas rumpun jabatan fungsional PNS.
Menurut keppres ini, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Keppres ini menetapkan 25 jenis rumpun jabatan fungsional PNS, antara lain : rumpun matematika dan statistik, rumpun kekomputeran, rumpun ilmu hayat, rumpun pengawasan dan keamanan, dan rumpun pustakawan dan arsiparis.
Dalam setiap rumpun jabatan fungsional, terbagi menjadi jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional ketrampilan. Jabatan fungsional keahlian mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal S-1 (sarjana), sedangkan jabatan fungsional ketrampilan mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal setingkat SMA atau Diploma III..
Tugas jabatan fungsional keahlian meliputi kegiatan penelitian dan pengembangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori, serta metode operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsional yang bersangkutan.
Tugas jabatan fungsional ketrampilan meliputi kegiatan teknis operasional yang berkaitan dengan penerapan konsep atau metode operasional dari suatu bidang profesi.
Untuk mengawali fungsionalisasi birokrasi, pemerintah dapat membuat peraturan yang mewajibkan setiap PNS yang tidak menduduki jabatan struktural agar beralih ke jabatan fungsional. Dengan demikian di masa depan semua PNS di birokrasi memiliki jabatan baik itu jabatan struktural maupun fungsional. Tidak ada lagi istilah staf administrasi umum.
Jenjang karier seorang PNS dimulai dari jabatan fungsional. Mereka yang diangkat dalam jabatan struktural pun harus sudah pernah menduduki jabatan fungsional.
Kebijakan ini sangat penting guna menghasilkan pejabat struktural yang benar-benar menguasai bidang pekerjaannya. Bukan sekedar fungsi manajerial, melainkan fungsi manajerial plus.
Saat ini banyak pejabat struktural yang tidak menguasai bidang tugasnya dengan baik. Mengapa ? Karena mereka bukan berasal dari pejabat fungsional. Mereka hanya mengandalkan senioritas belaka. Mungkin inilah yang disebut dengan jenjang karir karbitan.
Fenomena kecelakaan transportasi di darat, laut, maupun udara sesungguhnya mencerminkan bahwa para pejabat struktural di bidang transportasi kurang menguasai bidang tugasnya. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa hal ini sekedar kelalaian dalam bidang pengawasan.
Kepala dinas pendidikan akan lebih tepat jika dijabat oleh mantan guru. Kepala dinas pertanian, akan lebih baik jika dijabat oleh mantan penyuluh pertanian. Kepala perpustakaan daerah juga akan lebih maju jika dijabat oleh seorang PNS yang pernah menjadi pustakawan.
Dengan menjadi pejabat fungsional, maka setiap PNS diwajibkan untuk mengumpulkan angka kredit dari setiap pekerjaan/kegiatan yang dilakukannya . Pengumpulan angka kredit inilah yang nanti akan dipergunakan sebagai syarat kenaikan pangkat setiap PNS.
Tidak ada lagi yang namanya kenaikan pangkat otomatis (reguler) empat tahunan bagi seorang PNS. Untuk naik pangkat, seorang PNS harus memenuhi jumlah angka kredit minimal yang telah ditentukan.
Makin rajin seorang PNS bekerja akan semakin cepat naik pangkat (minimal 2 tahun). Sebaliknya, bagi PNS yang malas boleh jadi pangkatnya akan jalan ditempat. Jadi, tidak ada lagi istilah RMS, rajin malas sama saja.
Untuk meningkatkan etos kerja seorang PNS, maka setiap kenaikan pangkat akan memperoleh tambahan tunjangan fungsional yang signifikan. Bukan seperti sekarang, di mana kenaikan pangkat seorang PNS hanya dihargai dengan kenaikan penghasilan “ala kadarnya”.
Dengan langkah ini, kinerja seorang PNS diharapkan akan meningkat. Karena kalau malas tidak akan bisa naik pangkat dan penghasilannya pun akan jalan di tempat.

* Romi Febriyanto Saputro, S.IP, PNS pada UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN.

29 Januari 2009

Siapa Penghancur Majapahit, Bung?

Sejarah mulanya bak segelembung ingatan dalam proses kehancurannya sendiri hingga akhirnya musnah. Maka, saya sepakat dengan kegelisahan Derek Walcott untuk berkata: ''Jika sejarah di ambang sirna, maka yang lahir adalah tirani dan kebodohan.'' Ini terbukti kala kecerobohan kebijakan Jero Wajik disambut dengan kebandelan Bupati Mojokerto Suwandi yang tetap mendukung proyek Pusat Informasi Majapahit diteruskan di Trowulan (Radar Mojokerto: 15/1/09). Bagaimana pula praktik jual-beli satu batu-bata situs seharga Rp 500 dibiarkan terjadi sejak 30 tahun silam (Radar Mojokerto: 20/1/09)? Barangkalikah ada unsur politis menjelang Pemilu 2009 (dan siapa saja yang bersilat-jurus di situ?) hingga menyorong, mengoar-koarkan, malah membesar-besarkan soal penistaan situs Majapahit itu?

Cukupkah sekarang memelihara wacana historisitas dengan cara sekadar mengelap-elap kejayaan Majapahit sekaligus menyumpahi kefasadannya saja? Sebab, wacana ini hanya berseliweran, bahkan mungkin tidak bergemuruh di batin dan kesadaran kita untuk bertindak jujur dan positif. Kejayaan Majapahit telah berakhir 700-an tahun silam dan kehancurannya juga disorong atas meluasnya pengaruh Kasultanan Demak (baca: Slamet Muljana, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara. Bhratara: Djakarta, 1968) dan gerakan tabligh Walisongo. Terbayangkah kita akan kiprah para sunan dalam mengislamkan kaum Hindu-Buddha? Cobalah tilik Babad Khadiri, tatkala Sunan Bonang mencocori Arca Butalacaya di daerah Kedah, Kediri. Juga dalam Suluk Darma Wasesa anggitan Ki Brajasastra yang mengisahkan Sunan Bonang menceceli arca berkepala kuda kembar yang merupakan karya pahat di zaman Prabu Jayabaya. Jadi, siapa lagi yang dengan tampang geram menghancurkan Majapahit, Bung? Menanggapi tulisan Muhidin M. Dahlan bertajuk ''Ayo, Hancurkan Majapahit!'' (JP,18/1/09), saya merasa ia agak paranoid dengan menyodokkan geger situs Trowulan pada kebobrokan perpustakaan Kota dan Kabupaten Mojokerto. Di dua perpustakaan tersebut, ia bercerita (anehnya perjalanan itu terjadi dua tahun lalu) menemukan hanya dua buku sejarah yang, bagi saya, sebenarnya ''salah alamat'' untuk menyinggung seabrek sengkarut ihwal kesadaran warga Mojokerto dalam memelihara peninggalan Majapahit.

Kondisi pahit perpustakaan tak bisa dijadikan satu-satunya alibi atas pengabaian situs Trowulan. Jika ditanya siapa di Mojokerto yang menghargai bacaan sejarah? Bagi saya, yang paling mendasar adalah tidak adanya tradisi literasi yang kuat dan mengakar untuk menghargai dan menopang segala warisan bangsa. Generasi muda mana sekarang yang beruntung dapat dan tergerak membaca Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa 1292-1525 (Yayasan Prapantja: 1962) karya Muhammad Yamin, dan 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai (Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, 1992) yang disusun Prof Dr Sartono Kartodirdjo dkk. Perihal dua buku ini; buku yang pertama saya peroleh dengan cara memfotokopi di Perpustakaan Kolese Ignatius Jogja. Sedang yang kedua saya dapat di Perpustakaan Pesantren Wahid Hasyim Tebuireng, yang malah lebih lengkap koleksinya ketimbang Perpustakaan Umum Mastrip Jombang.

Ada lagi buku 6000 Tahun Sang Merah Putih (Balai Pustaka: Jakarta, 1958. 349 hlm) karya Muhammad Yamin, juga ada di Perpustakaan Max Arifin di Perum Griya Japan Raya, Sooko. Buku Yamin yang mengurai telaah kritis ihwal Majapahit ini juga terdapat di Perpustakaan Kradenan, dekat Alun-alun Mojokerto. Bagi kawula muda kini, buku-buku sejarah macam itu sudah tidak lagi diminati --bahkan bacaan yang ringan sekalipun seperti novel, cersil, atau komik yang bercerita seputar Majapahit ataupun tidak. Semisal novel Senapati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto; novel serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hadi; cersil Kho Ping Hoo, Kemelut di Majapahit (37 jilid); 50 jilid cerbung karya S. Djatilaksana berjudul Gajah Kencana Manggala Majapahit (Margajaya: Surakarta, 1977); dan lain-lain sudah nyaris tidak ada di persewaan buku atau taman bacaan di Mojokerto. Hanya ada dua persewaan buku plus toko buku loak di kota yang masih bertahan. Yakni TB Taman Pustaka ''Remadja'' di Jl Kapten Pierre Tendean No. 4, milik Kiswanto Kosasih (ia akrab disebut Pak Kishiang); dan Taman Baca ''Muda'' milik pensiunan Angkatan Laut bernama Pak Padi, di Jl Majapahit No. 437. Di dua tempat persewaan ini, hanya komik Jepang dan Taiwan serta novel-novel picisan yang paling banyak disewa.

Jika pemerintah dan kaum terpelajar banyak yang tak paham dan tak menggubris sejarah Majapahit, apalagi dengan generasi mudanya? Seharusnya di luar lembaga pemerintah, perlu kiranya ada semacam lembaga independen atau LSM untuk pelestarian situs-situs Majapahit. Namun, sebagaimana kita maklumi di negeri ini, citra dan orang-orang LSM memang banyak yang tidak jelas visi-misinya dan karena itu tidak maksimal kerjanya: jika donor asing cair, mereka bekerja ''memainkan'' distribusi dananya. Jika mampet, berhenti pula.

Di Mojokerto ada satu LSM yang bergerak dalam pelestarian-perlindungan seputar peninggalan Majapahit: Yayasan Gotrah Wilwatikta. LSM ini berkandang di Perumahan Gatoel di Jl Jawa No. 78. Sebagaimana yang dilansir Koran Tempo (10/1/09), LSM ini dirintis Anam Anis sejak 2001 bersama lima kawannya. Dalam menyikapi perkara situs Trowulan, Gotrah berkomentar bahwa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim di Trowulan tersebut tidak efektif melindungi situs. Di antara mereka berargumen, ''Sudah terjadi perusakan, apa yang bisa diperbuat?'' Dalih apa pula ini. Gotrah sejatinya dan semustinya mampu bergerak lebih progresif dan kritis sejak 9 tahun lalu. Saya sempat berharap LSM ini memiliki kontribusi cemerlang. Namun saya jadi kecewa, ketika beberapa hari lalu saya diberitahu teman untuk membuka blognya: http://gotrah.multiply.com. Ternyata, blog itu cuma berisi peta Majapahit yang juga terpajang dengan warna berlumut di kantornya.

Hanyalah segelintir yang terbangun dari mimpi buruk ini. Selain keprihatinan arkeolog Mundardjito, di Mojokerto sesungguhnya menyimpan sekian sosok sebagai ''perpustakaan berjalan'' yang terus bergerak atas nama Majapahit. Di antara mereka: si pematung Ribut Sumiyono dan Nanang Muni dari Desa Jatisumber, Trowulan. Ada pula Umar Muzakky dan Muhsinun di kawasan Miji Gang III, di mana mereka serius melakukan pembuatan film dokudrama dan riset soal naskah-naskah kuno dan batas-batas wilayah Kerajaan Majapahit. Alangkah ''Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan,'' begitu ungkap Temujin, si penghancur peradaban dari tlatah Mongol itu. (*)

*) Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2009

Ayo, Hancurkan Majapahit!

Merujuk kronik Indonesia 2009, media massa pada pekan pertama tahun ini menyuguhkan dua isu ''besar'': Perang Gaza dan hancurnya situs Trowulan. Penyerbuan Israel di Jalur Gaza, Palestina, yang barbarian mencabik nalar waras sebagai masyarakat beradab dalam masyarakat ultrateknologi. Sementara ''penghancuran'' situs Trowulan oleh pemerintah atas nama pembangunan Trowulan Information Centre adalah jalan pemusnahan sejarah diri sendiri. Terutama sejarah peradaban Majapahit yang terpaku di bawah tanah Trowulan.

Arkeolog berteriak. Koran-koran menulis seram-seram. Berhalaman-halaman lagi. Banyak yang menyatakan keprihatinannya. Pemerintah lalu minta maaf dan meninjau kembali pembangunan pusat informasi ''pelestarian'' kejayaan masa silam itu.

Apa-apaan ini semua. Mengapa baru brangasan sekarang. Begitu sibuk sepertinya kiamat sejarah sudah di muka pintu. Dan mengapa pula pemerintah mesti repot sembah sujud untuk memohon maaf atas kesalahan yang sudah sangat dan sangat biasa dilakukannya.

Penghancuran ingatan atas warisan (cerita) Majapahit itu toh sudah berlangsung dengan sangat lama, sistematis, dan halus. Dan itu dilakukan pemerintah yang dibantu sikap bisu masyarakat (terpelajar) Mojokerto sendiri.

Kalau tak percaya, datangi saja dua perpustakaannya: perpustakaan kabupaten dan kota. Dua perpustakaan itu menjadi cermin terbaik bagaimana sejarah Majapahit yang menaungi kota ini menjadi cerita yang telah kehilangan pukaunya. Dua perpustakaan itu nyaris sama buruknya dengan perpustakaan Kediri dari hasil kelana saya di perpustakaan kota-kota yang pernah punya nama besar di masa silam.

Kata para pemangku buku, perpustakaan dibuat untuk mencerdaskan masyarakat. Tapi bukan sekadar itu. Perpustakaan juga dibuat sebagai benteng pertahanan ingatan (sejarah) kolektif masyarakat dari gerusan waktu. Perpustakaan adalah jangkar kesadaran dari mana masyarakat itu berasal dan bagaimana menyiasati masa depan dengan jangkar informasi kejayaan dan dosa masa lalu. Maka itulah perpustakaan mesti selalu berada di tengah kota, di jantung kesibukan masyarakat.

Tapi di perpustakaan Mojokerto (kabupaten dan kota), kisah kejayaan Majapahit hanyalah puing-puing yang tiada berguna.

Ayo, mari masuk ke perpustakaan kabupaten yang ada di Jalan RA Basuni. Jangan lupa buka sepatu/sandal. Tak tahu bagaimana asal muasal aturan yang mirip masuk musala ini. Ruangan itu tak terlalu besar dan mirip puskesmas kecamatan. Buku-buku tak tersusun rapi. Pengategorian buku awut-awutan. Di rak yang mestinya dikuasai kesusastraan juga disusupi buku-buku pendidikan wiraswasta.

Hanya satu buku tentang sejarah Kota Mojokerto di sini dengan tampang yang memelas: Sejarah Mojokerto, Sebuah Pendekatan Administratif dan Sosial Budaya. Buku yang disusun Tim Penulisan Sejarah Kabupaten Mojokerto pada 1993 itu tampak kusam. Selain karena ''ketuaan'', juga barangkali tak ada yang menjamahnya. Bayangkan, untuk menjaga warisan sejarah besar Majapahit dengan armada maritim yang demikian tangguh di masa silam itu, perpustakaan kabupaten ini cukup mempercayakannya pada satu buku itu!

Tapi, masih lumayan. Dari satu buku sekunder itu saya mencoret-coret beberapa keterangan tentang sejarah Majapahit walau tanpa meninggalkan decak kagum sama sekali. Beberapa paragraf informasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.

Sudahlah. Lupakan. Tak usah rewel menanyakan di mana Kitab Negarakertagama yang masyhur itu. Mari masuk kota, lewat Jalan Majapahit, lurus ke Raden Wijaya, dan berhenti di Gajah Mada. Tiga nama jalan itu membuat saya sedikit masygul: O, saya benar-benar berada dalam episentrum sejarah.

Apalagi, perpustakaan kota berada di salah satu bahu (Jalan) Gajah Mada. Sosok yang sumpah kuasanya menggetarkan tanah-tanah Nusantara. Ya, Gajah Mada memang jaya, tapi perpustakaannya tidak. Bahkan curiculum vitae (cv) Gajah Mada tak tercatat dalam perpustakaan kota ini. Satu-satunya buku yang saya temui adalah: Perundangan Madjapahit karya Prof Dr Slamet Muljana (Jakarta: Bharata, 1967, 167 hlm.). Di halaman buku itu masih ada stempel Proyek Pengembangan Perpustakaan Jawa Timur T.A. 1984/1985.

Saya berpikir, barangkali saja masih ada judul lain, tapi sedang dipinjam orang. Maka, saya buka katalog buku 1997 yang tertudung dalam map kuning yang sudah lecet dan sobek-sobek. Tak ada lagi. Memang cuma itu. Aneh juga, bagaimana bisa perpustakaan kabupaten dan kota bersepakat untuk seri: 1-1. Satu buku di perpustakaan kabupaten, satu buku di perpustakaan kota.

Ketimbang pulang ke Jogja dengan penuh kesal, maka kuputuskan bertahan tiga jam dalam perpustakaan yang riuh dan sempit itu. Hanya ngelangut. Membuka buku apa saja dan sesekali menimang koran. Memperhatikan dua kipas angin yang sedang tancap gas dengan didorong mesin pendingin. Mendongak ke atas. Hanya satu neon yang menyala untuk menerangi empat meja besar.

Saya memang memegang brosur tentang sejarah berdiri dan kegiatan pengurus perpustakaan yang bersisian dengan taman kanak-kanak ini. Tapi bukan mencatat apa yang ada di brosur itu yang membuat saya mesti jauh-jauh ke kota ini dengan menumpang sepeda motor. Saya ingin melihat dan merasakan langsung bagaimana kota ini memelihara sejarah dirinya sendiri dalam sebuah gedung eksotik bernama perpustakaan.

Karena kecewa itu, saya pun urung menuliskan apa pun tentang (perpustakaan) kota ini. Hingga dua tahun kemudian ketika semua orang ramai-ramai berteriak untuk menyelamatkan (situs) Majapahit dari pembangunan bergaya barbar yang ironisnya justru atas nama pembangunan pusat informasi Majapahit, catatan suram kunjungan itu pun saya tarik dari laci dan menyalinnya kembali.

Tiba-tiba suara parau novelis Ceko Milan Kundera mendengung: ''Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.''

O, Tuan Kundera, bagaimana kalau pernyataan tuan itu saya modifikasi sedikit. Jadinya begini: Untuk menyempurnakan kepahitan nasib (sejarah) Majapahit (dan Mojokerto), selain buku-buku yang merekam sejarah kota itu disingkirkan dari perpustakaan kota, seluruh situs masa silam yang menandai sejarah kota itu juga sudah harus dirusakbinasakan atau jual secuil demi secuil di pasar gelap benda purbakala.

Dengan begitu, insya Allah, tiga generasi lagi penghuni kota ini akan diserang epidemi amnesia atas kejayaan masa lalu mereka sendiri. Berdoa saja. (*)

Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku. Tinggal di Jogjakarta
Sumber Jawa Pos, 18 Januari 2009

Kisah Ibunda Barack Obama

Sukses Barack Husein Obama Jr dalam pemilu presiden AS membuat apa pun di sekitar dirinya menarik, termasuk buku Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriiving Against All Odds yang diterjemahkan menjadi Pendekar-Pendekar Besi Nusantara. Demikian juga buku yang ditulis Barack Obama sendiri yang berjudul Dreams from My Father yang juga menyebut sosok S. Ann Dunham, ibundanya. Seperti judul dalam kajian aslinya, buku ini mengulas tentang para petani yang menjadi pandai besi atau perajin logam di Jawa Tengah dan sedikit di Bali serta beberapa daerah lain di Indonesia.

Buku ini ditulis berdasar disertasi doktor S. Ann Dunham di University of Hawaii at Manoa, karenanya dianggap penting mencantumkan kata pengantar oleh Teguh Santosa dari East West Center. Pengantar ini memberi penjelasan ringkas mengenai penulisnya serta riwayat hidupnya, termasuk di dalamnya pengalaman kerjanya beberapa tahun sebagai konsultan dan sekaligus peneliti di Indonesia yang memungkinkan Ann Dunham berhubungan lebih akrab dengan objeknya, yakni para pandai besi dan perajin logam di sejumlah tempat di Jawa Tengah.

Teguh Santosa juga menceritakan sekilas tentang kehidupan perkawinan Ann Dunham dengan Barack Obama Sr, mahasiswa yang dikenalnya di Hawaii yang berasal dari Kenya. Mereka menikah pada 2 Februari. Pernikahan mereka sebenarnya ditentang orang tua Obama Sr, yakni Onyango Hussein Obama. Setelah kelahiran Barack Obama Jr pada 4 Agustus 1961, Obama Sr melanjutkan studi di Harvard University pada 1963. Dia meninggalkan istri dan anaknya. Mendapat gelar master bidang ekonomi pada 1965 dia kembali ke Kenya.

Pada 1970 dia sempat menemui Obama Jr di Honolulu yang merupakan pertemuan mereka terakhir karena pada 1982 Obama Sr tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Kenya. Akan halnya Ann, dia menikah dengan Lolo Soetoro, mahasiswa Jurusan Geografi asal Indonesia, dan keluarga itu pindah ke Indonesia. Dari pernikahan mereka lahir Maya Soetoro 15 Agustus 1970 di Jakarta. Jadi, Maya Soetoro adalah saudara tiri Presiden AS Barack Obama.

Kata pengantar kedua ditulis Alice G. Dewey yang menjadi ketua Komite PhD saat Ann menempuh program doktor. Ada juga tulisan Janny Scott yang diterjemahkan Andityas |Prabantoro. Menurut Janny, dalam diri Barack Obama tertanam pengaruh kuat ibunya, Ann Dunham Soetoro, seorang kulit putih yang cerdas dan berpikiran merdeka. Ann menikah dengan ayah Obama yang berkulit hitam. Setelah berpisah dengan suami pertama, Ann menikah dengan pemuda Jawa Lolo Soetoro dan pindah ke Indonesia bersama Obama. Sejak saat itulah, tumbuh kecintaan Ann kepada Indonesia.

Buku yang merupakan bagian-bagian terpilih dari disertasinya setebal 800 halaman itu dapat memberi gambaran tentang pandangan Ann terhadap bangsa Indonesia. Dia bekerja sebagai konsultan dan koordinator riset untuk BRI yang didanai Bank Dunia dan USAID. Dia juga bekerja sama dengan Dr Pujiwati Sayogyo dari IPB untuk pengembangan riset tentang perempuan dalam sektor pertanian. Pernah pula menjadi konsultan pembangunan desa untuk Departemen Perindustrian yang didanai USAID. Pada Mei-Juni 1978 Ann menjadi konsultan jangka pendek untuk lapangan kerja non- agrikultural ILO di Jakarta. Pernah pula mengajar kuliah singkat untuk staf Bappenas.

Dari segudang pengalaman kerja itu dia menulis disertasinya dan dinyatakan lulus pada Departement Anthropologi, University of Hawaii, Agustus 1992. Buku ini tidak sekadar menelisik kehidupan para pandai besi di Jawa Tengah tetapi juga membahas aspek kultural pekerjaan pandai besi. Dia sempat menemukan empu pembuat keris. Walau status sosial dan ekonominya di bawah para birokrat, empu itu mempunyai status spiritual lebih tinggi. Dia mendapat tempat terhormat sebagaimana dicontohkannya dalam sebuah studi kasus. Ann juga membeber kekuatan dan kelemahan para peneliti tentang Indonesia seperti Hildred Geertz, Alice Dewey, Robert Jay serta Clifford Geertz, tentang asumsi-asumsi yang mereka buat dan relevansi hasil penelitian mereka.

Dengan membaca buku ini para peneliti muda dapat memperhatikan objek-objek penelitian yang mungkin luput dari perhatian karena sering dianggap remeh dan tak ada gunanya. (*)

*) Sunaryono Basuki Ks, sastrawan, tinggal di Singaraja

Judul buku: Pendekar-Pendekar Besi Nusantara

Penulis: S. Ann Dunham

Penerbit : Mizan Bandung

Terbitan: November 2008

Tebal: 219 halaman + indeks

Sumber Jawa Pos 25 Januari 2009

Kado 10 Tahun Lepasnya Timtim





''Anda, pada suatu titik dalam perjalanan hidup, barangkali pernah terjebak jalan buntu. Anda terperangkap di persimpangan jalan. Ke kiri menuju neraka. Ke kanan mengarah ke neraka. Maju ke depan mengantarkan ke neraka. Berbalik arah Anda akan sampai di neraka juga. Tidak ada lagi yang bisa Anda lakukan. Anda sungguh mendamba jalan keluar. Dan, Anda beruntung. Malaikat penolong datang menyelamatkan Anda dari situasi kritis, dilematis, atau kematian.''

Metafora Peter Kingsley dalam buku In the Dark Places of Wisdom dengan tepat menggambarkan pergulatan Cordula Maria Rien Kuntari menekuni jurnalisme. Buku Timor Timur Satu Menit Terakhir adalah memoar Rien Kuntari saat meliput lepasnya Timor-Timur dari Indonesia. Wartawan sebuah media ibukota itu mendapat tugas untuk meliput referendum Timor Timur Juli hingga September 1999.

Jalan terjal, berkelok, dan berliku ditempuh Rien untuk bisa masuk ke markas Falintil di hutan Uai Mori, Viqueque guna mewawancarai Taur Matan Ruak. Tak hanya diterima Wakil Panglima Falintil, sayap militer CNRT, itu, Rien juga berhasil masuk sarang bawah tanah gerakan pro-kemerdekaan di lingkungan pegawai pemda. Tak heran bila jauh sebelum jajak pendapat dilaksanakan, Rien melaporkan prediksi bahwa pro-otonomi bakal kalah sekitar 70 persen.

Menurut Rien yang sudah mengunjungi lebih 50 negara itu, meliput konflik Timtim paling sulit. Lebih sulit ketimbang perang Teluk, Irak, konflik etnis di Rwanda, dan perang saudara di Vietnam. Sebab, wartawan dianggap bukan orang netral yang berada di luar gelanggang, melainkan sebagai ''pemain'' di tengah arena perang. Rien Kuntari dinilai telah melakukan dosa tak terampuni karena memberi porsi seimbang dalam pemberitaan kepada pihak pro-kemerdekaan. Ia dituduh tidak nasionalis karena menurunkan laporan tentang Falintil tepat pada HUT Falintil 24 Agustus 1994.

Rien dianggap menghapus garis batas tegas yang lama membelah jurnalis menjadi dua kubu: pro-otonomi atau pro-kemerdekaan. Keputusannya menyantuni profesionalisme, kredibilitas, dan netralitas dengan masuk ke markas Falintil telah memudarkan garis demarkasi kelompok wartawan. Berkat keberanian Rien mengambil segala risiko, sesudahnya, hampir seluruh wartawan Indonesia, bahkan TVRI, meliput HUT Falintil di markas kantonisasi mereka.

Status wartawan dengan aspirasi pribadi kadang tidak bisa satu garis. Nasionalisme dengan profesi tidak selalu berjalan seiring. Ancaman teror, intimidasi, penculikan, dan mutilasi pun menghampiri Rien Kuntari. Kalau sampai Rien tidak terpegang, ancam peneror, para wartawan media lain yang akan menanggung risiko. Itu sebabnya, saat terjadi eksodus para wartawan Indonesia ke Jakarta, di Bandara Komoro, Dili, 2 September 1999, tak satu pun yang mau menyapa Rien Kuntari. Bahkan dua karib dan tetangga rumah kontrakan, memalingkan muka pura-pura tidak mengenal Rien. Konon, itulah teror mental bagi wartawan, asing maupun lokal, agar tidak berani bekerja di Timtim. Harapannya, bila terjadi politik bumi hangus, tidak ada lagi saksi mata.

Pada 16 September 1999, Rien kembali ke Timtim mengikuti rombongan Mabes TNI. Timor Loro Sa'e (Negeri Matahari Terbit) sudah luluh lantak secara fisik maupun kejiwaan. Dengan gamblang dilukiskan panorama bekas jajahan Portugis itu sebagai ketenangan sesudah badai yang memusnahkan. Seluruh bangunan fasilitas umum hangus terbakar. Saluran air, listrik, dan telepon putus. Rumah-rumah kaum tajir dengan beranda luas dilalap api dengan nafsu yang sama dengan perataan seng-seng atap orang miskin. Penduduk kocar-kacir tercerai-berai. Gelombang pengungsian terjadi besar-besaran. Teror, pembunuhan, dan penculikan bergentayangan menghantui sekujur negeri. Hukuman telak dari pasukan pendudukan bagi masyarakat yang mau menanggung risiko besar memilih kemerdekaan. Mereka yang bertahan hanyalah kaum perempuan rombeng dan anak-anak memelas.

Timtim menjadi negeri di titik nol pasca pengumuman jajak pendapat yang dimenangi pro-kemerdekaan. Ribuan pengungsi yang menumpuk di Gereja Maria Fatima, Suai, Kabupaten Kovalima diserang kelompok pro-integrasi. Dalam kerusuhan masal itu 27 orang tewas termasuk Romo Tarsisius Dewanto SJ, Pastor Hilario Medeira Pr, dan Pastor Francisco Tavares dos Reis Pr. Romo Dewanto adalah pastor Jesuit dari Magelang yang baru tiga bulan ditahbiskan menjadi imam di Jogjakarta. Dia menjadi martir perdamaian dengan jasad hancur sulit dikenali lagi.

Romo Albrecht Karim Arbie SJ tewas ditembak di halaman Pastoran Loyola, Taibesi, Dili. Jesuit sepuh berkebangsaan Jerman itu dibunuh karena dituduh berpihak pada kelompok pro-kemerdekaan. Sabtu, 25 September 1999, Agus Mulyawan, bersama dua biarawati misionaris Italia, tiga frater calon pastor, dua remaja putri, dan seorang sopir dibunuh secara sadis di Pelabuhan Qom. Jasad para korban ditemukan di Lautem, Kabupaten Los Palos. Pembunuhan Agus bermula dari keinginan wartawan Asia Press itu keluar dari markas Falintil di Uai Mori. Taur Matan Ruak mencegah. Agus bergeming hendak pulang ke Jakarta. Sudah lama ia dipagut rindu pada keluarga.

Kematian Agus kembali menggugah kesadaran Rien Kuntari akan bahaya di pelupuk mata. Agus dan Rien memang target milisi pro-integrasi sejak Agustus 1999. Rien diungsikan Romo Josephus Ageng Marwata SJ ke Palang Merah Internasional (ICRC). Berkat lobi dan jasa baik pastor heroik itulah Rien bisa pulang ke Jakarta. Dia satu pesawat dengan German Mintapradja --satu-satunya juru kamera yang merekam prosesi pemakaman korban tragedi Lautem untuk RCTI.

Sehari setelah dievakuasi paksa ke Jakarta, awal September 1999, Rien mendapat kiriman daftar 14 orang yang dianggap berkhianat berikut hari eksekusi atas mereka. Leandro Isaac dan David Diaz Ximenes masuk dalam daftar. Kedua tokoh CNRT itu selamat karena berhasil dikontak Rien Kuntari. Xanana Gusmao memberi pujian, ''Keputusan dia tetap berada di Timtim contoh nyata bahwa kita tidak pernah bermusuhan dengan rakyat Indonesia.''

Rien Kuntari memang seorang pacifist total. Dia lebih percaya pada jalan damai untuk menyelesaikan sengketa ketimbang kekerasan bersenjata. Inilah sikap dasarnya dalam memandang Timtim. Dia tidak pernah membedakan orang. Siapa pun orang Timtim yang terancam bahaya akan ditolong. Baginya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh dunia.

Timor Timur sesudah jajak pendapat merupakan negeri yang sangat menjunjung tinggi cinta kasih sekaligus wilayah yang tidak berperikemanusiaan. Pada 2006 terjadi lagi kerusuhan horizontal. Pengusiran besar-besaran masyarakat Loro Sa'e (sektor timur) oleh masyarakat Loro Moro (sektor barat). Dendam kesumat Loro Sa'e kini tinggal menunggu momentum untuk meletus. Konflik horizontal itu dipicu kegeraman Fretelin sebagai pemenang pemilu yang terpaksa jadi partai oposisi. Pemerintahan dan parlemen dikuasai orang-orang yang di zaman pendudukan justru memihak Indonesia.

Memoar jurnalistik Rien Kuntari tentang sejarah dramatis ini merupakan kado indah, menegangkan, dan mengharukan perihal 10 tahun lepasnya Timor Timur. (*)

* J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta

Judul Buku: Timor Timur Satu Menit Terakhir

Penulis: C.M. Rien Kuntari

Penerbit: Mizan Bandung

Terbitan: Desember 2008

Tebal: 483 halaman
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2008

04 Januari 2009

Kepemimpinan Lembut nan Cerdik



Seiring dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden AS, warga dunia sangat mengharapkan perubahan gaya kepemimpinan di Gedung Putih yang pada gilirannya kelak bisa mempengaruhi situasi dunia. Gaya kepemimpinan kaum neo-konservatif AS seperti George W. Bush Jr. selama ini terbukti lebih banyak membuat warga AS merugi terus daripada untung. Kalaupun dapat untung, maka hal itu cuma dinikmati segelintir orang di sekitar Bush. Sementara akibat kebijakan Bush yang bertangan besi, sudah banyak membuat orang sengsara. Oleh karena itu, slogan Obama yang berbunyi ''Change, we believe in'' sesungguhnya merupakan pintu masuk untuk merombak gaya kepemimpinan walaupun saat ini sudah banyak pula orang yang mulai ragu pada slogan itu, untuk bisa dipraktikkan di tengah kepungan kaum neo-konservatif. Kaum ini tak mengenal pemimpin, mereka hanya tahu penguasa.

Pemimpin bukanlah penguasa karena ia lahir bukan hendak semata menguasai, melainkan pemimpin dilahirkan untuk membimbing masyarakat menuju ketenteraman dan kemakmuran. Pemimpin yang hanya ingin memakmurkan masyarakatnya dengan segala macam cara, termasuk cara kekerasan yang dihalalkan, jelas akan membawa petaka. Seperti tampak pada beberapa tahun belakangan ini ketika kepemimpinan Presiden AS George W. Bush, yang lebih menonjolkan kekerasan untuk menguasai ladang-ladang minyak di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah. Bush lebih suka cara kekerasan dengan mengeksploitasi tragedi 11 September 2001, ketimbang menggunakan pola cerdik berdiplomasi. Kepemimpinan semacam ini kontras sekali dengan masa kepresidenan Bill Clinton, yang cenderung mengedepankan cara-cara budaya dan diplomasi.

Buku ini merupakan kelanjutan karya mahaguru ilmu pemerintahan JFK School of Government Universitas Harvard, Joseph Nye. Karya Nye sebelumnya yang berjudul ''Soft Power'' (2004) menarik perhatian karena membuka kembali wacana kekuasaan yang mempunyai perlekatan dengan sejarah umat manusia. Kepemimpinan dalam sejarah umat manusia merupakan soal gaya dan karakter. Gaya kepemimpinan keras selalu mengutamakan cara-cara cepat, kasar, dan seringkali brutal. Sebaliknya, gaya kepemimpinan lembut selalu mengutamakan pendekatan dan pengaruh. Nye membedakan secara tegas antara dua gaya kepemimpinan itu sekaligus dampak yang bisa ditimbulkannya. Bagi Nye, gaya kepemimpinan ini cenderung destruktif. Gaya kepemimpinan keras (hardpower) memang bisa dijalankan secara cepat dan memaksa, seperti yang diperlihatkan para diktator dalam sejarah politik dan kekuasaan umat manusia.

Tentu saja, mencapai dan mempertahankan kekuasaan dengan cara kekerasan bukanlah jalan satu-satunya bagi seorang calon pemimpin atau pemimpin yang ingin terus berkuasa. Melainkan, dengan cara lembut pun kekuasaan bisa digenggam. Jalan lembut kekuasaan ini mewujud pada diplomasi, dialog atau negosiasi. Faktor penting dalam gaya kepemimpinan lembut ini adalah pengaruh terhadap objek kekuasaan. Jika objek itu adalah masyarakat, maka seorang pemimpin dengan gaya softpower akan lebih memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Cara damai seperti perundingan antara juru-runding RI dan GAM pada Agustus 2005 terbukti sampai sejauh ini berhasil meredam gejolak di tanah rencong itu. Memang, ada sebagian pihak yang menilai perundingan itu menunjukkan kelemahan dari pihak perunding, namun sesungguhnya efektivitas perundingan-lah yang terpenting.

Entah kebetulan atau tidak, buku Nye yang pertama itu diterbitkan setahun sebelum perjanjian Helsinki Agustus 2005 yang mengakhiri kekerasan antara RI versus GAM. Walau tidak terkait langsung dengan perjanjian itu, jelas sekali tergambar arah baru dunia saat ini ketika para pihak ingin menyelesaikan sengketa tidak melulu bersifat zero sum game, melainkan semua pihak bersengketa layak memperoleh kekuasaan untuk menang atau win-win solution.

Nye berhasil membaca tanda-tanda zaman ini bahwa kekerasan bukan lagi mode satu-satunya untuk menguasai sebuah objek. Menurutnya, kelembutan dibutuhkan dalam proses-proses penyelesaian masalah antar-pihak, utamanya untuk menggapai puncak kepemimpinan. Selain diperlukan cara lembut, ditambah pula cara cerdik tanpa kekerasan perlu bagi seorang pemimpin. Kelembutan dalam kepemimpinan menunjukkan kearifan menyelesaikan masalah. Gaya kepemimpinan lembut semacam itu kiranya sudah mulai jamak ditemui dalam forum-forum lintas negara atau ketika para pemimpin negara saling bertemu untuk membahas sebuah masalah global lainnya.

Nye bertumpu pada argumen historis, bahwa sejarah kepemimpinan umat manusia menunjukkan sang pemimpin yang selalu menggunakan kekerasan terbukti sangat mahal dan bisa menyedot sumberdaya habis-habisan. Para pemimpin dunia yang memakai kekerasan untuk meraih sekaligus mempertahankan kekuasaan terbukti harus mengeluarkan ongkos besar. Hitler (Jerman), Mussolini (Italia), Franco (Spanyol), Stalin (Rusia), dan pemimpin bengis lain perlu menguras biaya negara luar biasa besar agar bisa terus menciptakan ketakutan, teror, serta ketundukan total rakyatnya. Para diktator itu hanya memikirkan bagaimana cara efektif menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka menciptakan gaya kepemimpinan otoriter yang menghalalkan kekerasan atas nama demi stabilitas nasional. Kalaupun harus mempraktikkan rayuan kepada lawan-lawan politik, ternyata kemudian seringkali ketundukan lawan-lawan politik dari para diktator ini muncul akibat takut atau pasrah. Bukan dikarenakan merasa ikut bersama di bawah sebuah kepemimpinan.

Agaknya, belakangan ini tema kepemimpinan terus menghangat seiring dengan perkembangan sosial-politik di tanah air. Ketika Pemilu 2009 semakin dekat pada saat bersamaan mulai muncul para calon presiden alternatif. Oleh karena itu, semakin banyak latihan kepemimpinan yang diperlukan oleh seorang calon pemimpin, selain khalayak luas di luar bidang pemerintahan dan politik. Kalangan bisnis dan non-politik lainnya juga terlihat sangat berminat, terutama untuk pembentukan karakter yang bertujuan membentuk sikap seorang pemimpin. Latihan yang terstruktur dengan baik, secara berkelanjutan diharapkan bisa membangun sikap kepemimpinan dalam bidang-bidang tertentu. Akan tetapi, tulis Nye, banyak pakar yang berpendapat bahwa kepemimpinan otentik bersifat alamiah. Sejarah kuno telah menunjukkan hal itu. Para pemimpin merupakan sosok yang dilahirkan, bukan dibentuk melalui latihan. Pemimpin dilahirkan oleh komunitas, tidak dibentuk oleh latihan yang dibuat komunitas tersebut. Namun demikian, Nye cenderung sepakat pada pelatihan kepemimpinan dengan menyatakan bahwa dalam dunia modern pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan.

Menurut Nye lagi, kepemimpinan adalah seni, bukan sains. Oleh karena itu, seni memimpin merupakan perwujudan kedalaman rasa, bukan semata logika kekuasaan. Dalam praktik kepemimpinan, seni memimpin tidak hanya berasal dari mereka yang berada di puncak pemerintahan, melainkan para CEO perusahaan pun sering menyumbangkan pola kepemimpinan yang layak untuk dikaji (hlm. 74). Kepemimpinan kaku yang hanya bertumpu pada protokoler baku sekarang sudah harus ditinjau-ulang. Kepemimpinan semacam ini terbukti telah menjauhkan sang pemimpin dari mereka yang dipimpin. Mekanisme umpan-balik dalam hubungan atas-bawah yang diperlihatkan dari masukan para pekerja kepada atasan mereka bisa menjadi contoh untuk tata kelola pemerintahan yang partisipatoris.

Kepemimpinan cerdik dengan mekanisme umpan-balik tepat, bisa menggeser gaya kepemimpinan yang bertumpu pada kekuasaan keras (hard power) atau kepada kekuasaan lunak (soft power). Tidak lagi diperlukan gertakan, ancaman atau memasang muka sangar hanya untuk mempertahankan kekuasaan, melainkan cukup menunjukkan rasa empati yang tulus, sikap simpati serta dialog emansipatoris. Maka, seorang pemimpin bisa menyelami alam pikir dan rasa dari mereka yang dipimpin. Proses seperti ini bukan hanya layak dilakukan saat akan meraih kekuasaan, namun saat berada di puncak kekuasaan pun seorang pemimpin harus melakukannya jika ia hendak menaklukkan ''hati dan pikiran'' (heart and mind) yang dipimpinnya. Nye mengamati justru pada proses inilah yang tersulit sebab seringkali para pimpinan tak sadar jika ia telah menggunakan kekuasaan keras, bukan lunak. (*)

---

Judul buku : The Powers to Lead

Pengarang : Joseph S. Nye Jr

Penerbit : Oxford University Press, UK

Cetakan : I, Oktober 2008

Tebal : 226 halaman

Rosdiansyah, direktur eksekutif pada Surabaya Readers Club

Sumber Jawa Pos, 4 Desember 2009

Buku, Seni, dan Kemewahan

Buku bukan hanya barang cetakan asal jadi. Atau melulu teks yang dibaca. Buku juga adalah seni. Seluruh proses penciptaan buku hingga hadir di pangkuan para pembaca yang budiman, pastilah dikerjakan dengan kecintaan yang melimpah-limpah. Termasuk soal pameran buku. Pameran yang dibuat asal-asalan, sebagaimana yang kerap kita lihat dalam ajang pameran buku di Indonesia, pastilah pameran yang tak diselenggarakan dengan dorongan naluri seni, melainkan melulu menajdikan buku sebagai barang niaga sebagaimana kepercayaan para saudagar.

Keyakinan itu pula yang dipercayai dengan keras kepala (true belivers) oleh sebuah kelab buku di Amerika pada satu seperempat abad yang lalu. Kelab yang menghimpun para kolektor buku ini bernama Kelab Grolier. Didirikan di rumah Robert Hoe, di 11 East 33rd Street, New York. Nama kelab ini ditasbihkan setelah Jean Grolier de Servi�res, seorang jenderal terkemuka di Prancis, memberikan partisipasinya dalam bentuk saham.

Kelab ini beranggotakan para kolektor buku kawakan. Di antaranya William I. Andrews, Theodore L. de Vienne, A.W. Drake, Albert Gallup, Brayton Ives, Samuel W. Martin, E. S. Mead, Arthur B. Tornure, dan Robert Hoe. Dikomandani pertama kali Robert Hoe, saudagar mesin cetak yang tercandui oleh buku, para pecinta buku lalu bersepakat menghimpun diri dalam kelab ini karena sebuah kesadaran yang sama; membangun studi literasi dari sisi produksi buku hingga menjadi sebuah karya seni.

Kelab Grolier mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah penerbitan sebuah buku. Mereka juga mendiskusikan bagaimana cetakan buku yang baik. Dalam pertemuannya, mereka juga membahas ihwal metode penjilidan yang kuat, rapi, dan tahan lama. Pun dibahas tentang ilustrasi sampul yang menarik dan memenuhi estetika seni. Bahkan, kelab ini membahas dengan serius bagaimana media promosi buku (pamflet atau poster) dibuat dengan tak serampangan yang mengabaikan kaidah-kaidah seni.

Inilah kelab yang tak henti-hentinya mempromotori bagaimana sebuah buku tak sekadar lembaran-lembaran kertas berisi deretan tulisan, tetapi juga bagaimana buku menjadi karya seni yang layak diapresiasi.

Untuk itu, kelab ini juga menggelar pameran buku dan percetakan guna memberikan wadah apresiasi buku-buku artistik yang telah mereka kumpulkan. Di pameran ini, buku-buku tak semata dijajar berderet-deret dalam rak seperti pameran yang biasa kita lihat. Di ajang ini, buku diperlakukan dengan sangat istimewa. Buku-buku itu disusun dengan demikian artistik di sebuah galeri seni, bersanding dengan karya-karya seni lain seperti lukisan dan patung-patung. Di sini buku telah naik pangkat dari sekadar barang niaga menjadi karya seni bernilai tinggi.

Itulah yang dilakukan Balai Lelang Sidharta, Jakarta, pada 7 Desember 2008 silam, untuk menyebut satu contoh. Dalam lelang bertema Indonesia's Diversity in Fine Art itu ditampilkan semua karya seni terbaik dan berharga ratusan juta seperti patung, lukisan, keramik, seni instalasi, bahkan berlian. Di antara benda-benda seni ratusan juta rupiah itu, beberapa buku juga ikut serta di dalamnya, antara lain: Sumatra's O.K. karya C.J. Kkleingrothe (Medan, 48 hlm, Rp 7-10 juta), Histoire des Voyages karya Walckenaer C.A (1830, 537 hlm., Rp 8-12 juta) dan De Inlandsche Kunstnijverheid Vol. I: Het Vlechtwerk (S-Gravengage, 1912: De Book & Konsttdrukkerij Mouton & Co., 442 hlm., Rp 6-9 juta).

Ada juga Indie|Hindia karya Lekkerker (Gronigen, Den Haag, Batavia, ca 1930, 400 hlm.) Buku itu terdiri dari 620 ilustrasi dari foto 200 lempeng dengan keterangan dalam bahasa Belanda dan Indonesia. Dijual pula enam lembar peta Batavia lama berjudul Feestmarsch Batavia 1893 (cat air di atas kertas, 56 x 45.5 cm, Rp 3-4.5 juta).

Buku-buku itu berbanderol mahal memang. Tapi bukan di situ duduk soalnya, melainkan bahwa buku adalah karya seni yang luar biasa tingginya. Karena seni tinggi, maka buku juga mendapat harga yang pantas, seperti harga lukisan yang membobol langit. Kelab buku seperti Glorier menaruh perhatian sangat besar terhadap hal-hal demikian.

Mungkin terlalu ideal dan muluk. Tapi, paling tidak, apa yang diyakini Kelab Glorier bisa menyuntikkan semangat bagi para penggiat pameran buku di Indonesia agar memperhatikan sisi-sisi lain dari buku di luar objek komoditi perniagaan.

Buku bagi para pecintanya adalah sebuah karya, sebuah hasil olah pikir, pengejawantahan kreativitas dan ketekunan. Buku juga memiliki ruh yang bisa disampaikan dengan lebih mengeksplorasi nilai artistik yang dimilikinya. Dengan memadukan niaga dan seni, maka pencapaian tujuan keduanya termaksimalkan. Dan pameran buku pun menjadi lebih nyeni. (*)

Diana A.V. Sasa, pencinta buku, tinggal di Surabaya

Sumber Jawa Pos, 4 Januari 2009