Oleh Romi Febriyanto Saputro
Membaca tulisan Muhidin M Dahlan yang berjudul “Andai Perpustakaan Buka Sampai Jam 12 Malam” yang dimuat di Jawa Pos ,16 April 2006, membuat penulis termenung sejenak.
Nasib dunia perpustakaan di negeri ini memang tidak seindah sejumlah predikat yang disandangnya. Gudang ilmu, jendela dunia, dan samudera pengetahuan merupakan rayuan manis sekaligus gombal untuk menyanjung dunia perpustakaan. Mengapa ? Sejumlah sanjungan tersebut tidak pernah menjelma di alam realitas. Ia hanya berkeliaran di alam imajiner yang disebut dengan harapan, impian, cita-cita, dan obsesi.
Lihatlah dunia pendidikan kita ! Dunia yang memiliki hobi gonta-ganti kurikulum ini tidak pernah memberi perpustakaan ruang yang memadai untuk menyemai minat baca anak-anak didik. Perpustakaan dipojokkan dalam “ruang sisa”, “ruang sempit”, sekaligus “ruang terbelakang “. Bahkan terkadang tidak diberi ruang sama sekali dalam sebuah dunia yang menurut para pembesar negeri mampu mencerdaskan bangsa.
Di beberapa Sekolah Dasar perpustakaan benar-benar menjelma menjadi “gudang ilmu”. Mungkin karena begitu cintanya dengan “gudang ilmu” , para pendidik di sekolah itu sampai lupa membuka pintu ruang perpustakaan. Sehari, …seminggu,.. sebulan, …..dan mungkin setahun ruang perpustakaan dibiarkan terkunci rapat. Betul-betul menjadi gudang ilmu, yang “tersucikan” dari sentuhan tangan anak manusia, …sayang sekali …bukan gedung ilmu.
Lalu,…apakah kondisi perpustakaan di sekolah lanjutan lebih baik ? Ternyata setali tiga uang. Meskipun para “raja kecil” di SMP dan SMA ini selalu berkendaraan roda empat setelah “naik tahta”, nasib perpustakaan tak kunjung mengalami kenaikan martabat. Perpustakaan dibiarkan “hidup segan, mati tak mau”. Raja kecil selalu melantunkan lagu “tak ada dana” tatkala disinggung untuk menghias perpustakaan dengan deretan buku-buku bermutu. Ia sudah cukup senang dengan hiasan buku-buku paket yang betul-betul terpaketkan itu karena isinya sudah kadaluwarsa. Ia seolah lupa pernah menarik “1001” macam pungutan dari anak didik dengan berbagai label untuk kepentingan pendidikan. Dana BOS yang ada sekarang pun ketika berjumpa dengan perpustakaan akan segera memalingkan muka dengan sigapnya …Buuussssss, ….bablassss angineee.
Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan ke pendidikan tinggi. Perguruan tinggi di Indonesia ternyata tidak dapat menjadi teladan dalam mengelola perpustakaan. Penelitian yang dilakukan oleh Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia tahun 2003 menunjukkan dari 125 perguruan tinggi yang disurvei hanya 5 perguruan tinggi yang mengalokasikan 5 persen dari budgetnya untuk perpustakaan. Sisanya hanya mengalokasikan dana di bawah 5 persen untuk perpustakaan. Bahkan 40 persen dari perguruan tinggi hanya rela mengalokasikan dana di bawah 2 persen untuk perpustakaan.
Potret buram dunia perpustakaan di tanah air sejatinya merupakan refleksi dari potret penguasa bangsa ini. Penguasa yang lebih mengutamakan kulit daripada isi. Tak perlu heran jika gedung PKK (yang dinahkodai oleh istri pembesar kabupaten/kota) jauh lebih “wah” daripada gedung perpustakaan umum. Jangan heran pula jika biaya pengadaan mobil dinas jauh lebih besar daripada biaya pengadaan koleksi baru untuk perpustakaan.
Ya, Tuhanku ! Mengapa semua elemen penguasa seolah tidak ada yang peduli terhadap perpustakaan ? Perpustakaan seolah telah menjadi monster yang menakutkan bagi para pembesar negeri. Tanyakan pada para penjaga perpustakaan, sudahkah pak gubernur, bupati, walikota, wakil rakyat, rektor, dekan, dan dosen meluangkan waktu sejenak untuk menengok kondisi perpustakaan ? Pernahkah beliau yang terhormat itu menginjakkan kaki di gedung ilmu ini?
Jika belum, harap maklum jika mereka menganggap perpustakaan sebagai “dunia lain”. Perpustakaan dalam kamus hidup mereka mungkin sekedar “gudang buku”, “tempat pembuangan”, “ruang berdebu”, “arena pengangguran” dan lukisan serba hitam lainnya.
Lukisan serba hitam ini mengakibatkan mereka lupa bahwa perpustakaan memerlukan gedung, anggaran, sumber daya manusia, buku baru, teknologi informasi, dan fasilitas yang memadai untuk menjadi rumah belajar masyarakat. Kelupaan ini amat menjengkelkan bagi kami yang bekerja di dunia perpustakaan. Dulu sempat muncul anekdot, bagian anggaran akan menderita gatal-gatal ketika bertemu dengan mata anggaran perpustakaan. Akhirnya mata anggaran perpustakaan itu pun dicoret.
Impian Muhidin M Dahlan - tentang perpustakaan yang buka sampai jam 12 malam- akan menjadi kenyataan jika sikap mental pembesar negeri ini sama dengan pemerintahan Khilafah Bani Abasiyah (750 – 1258 M). Masa itu yang merupakan masa keemasan ilmu pengetahuan di dunia Islam, ditandai dengan perhatian pemerintah yang tinggi terhadap perpustakaan.
Penguasa saat itu melukis perpustakaan dengan tinta emas. Salah satu perpustakaan yang terkenal dan terbesar adalah Baitul Hikmah. Pustakawan pada zaman itu merupakan jabatan yang prestisius. Tidak ada orang yang bisa bekerja di perpustakaan, kecuali memiliki tradisi membaca, menulis , dan keilmuan yang kuat. Tidak ada orang yang merasa terbuang di perpustakaan. Ilmuwan Matematika Al Khawarizmi merupakan salah satu contoh ilmuwan sekaligus pustakawan yang lahir pada masa itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
tulisan yang penuh semangat. saya suka sekali. salam kenal untuk mas Romi Febriyanto Saputro. Salam Pustakawan dan salam perubahan untuk Kepustakawanan Indonesia.
Posting Komentar