Bagaimana potret dunia pendidikan di Indonesia? Baru-baru ini, masyarakat Indonesia mendapatkan sebuah jawaban yang ringkas, sederhana, tetapi amat mengena. Jawaban itu tersaji dalam novel fenomenal berjudul Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang menjadi semakin populer saat filmnya dirilis akhir September lalu. Dalam novel yang pada dasarnya adalah memoar itu, Andrea menyajikan potret ketimpangan akses pendidikan di tanah kelahirannya, Pulau Belitung, yang sepertinya juga masih menjadi masalah nasional.
Buku terbaru karya Darmaningtyas ini memberikan gambaran yang lebih terperinci tentang hal itu. Buku yang ditulis pengamat pendidikan lulusan Filsafat UGM ini bertolak dari pertanyaan sederhana: mengapa hingga kini pendidikan dasar masih belum dapat dinikmati semua warga negara Indonesia? Apakah benar masalah utamanya terletak pada ketersediaan dana yang terbatas, sebagaimana jawaban yang sering kita dengar dari pemerintah?
Melalui buku ini, Darmaningtyas menunjukkan bahwa ada penyebab yang lebih mendasar atas belum terpenuhinya hak-hak pendidikan masyarakat. Penyebabnya adalah trio racun yang sampai saat ini masih terus menjadi virus yang merusak masyarakat. Yakni utang luar negeri, korupsi yang merajalela, dan inefisiensi. Tiga racun ini dipaparkan secara cukup detail dalam masing-masing satu bab khusus.
Utang luar negeri Indonesia hingga kini telah memberi dampak yang signifikan, termasuk terhadap sektor pendidikan. Pada 2003, total utang Indonesia mencapai USD 150 miliar. Jumlah ini melampaui produk domestik bruto (GDP) yang dihasilkan Indonesia. Pada 2004, total pembayaran bunga pinjaman memakan 92,67 persen dari total penerimaan negara, yakni sebesar USD 7,9 miliar. Karena beban pembayaran utang begitu tinggi, maka dampak yang paling terasa oleh masyarakat saat ini adalah pengurangan subsidi untuk berbagai sektor, mulai pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian, dan sebagainya. Akibatnya, biaya pendidikan naik. Beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka berubah status menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), eufemisme bagi privatisasi, yang intinya membuat pendidikan kemudian berbiaya mahal. Dengan dukungan ketentuan hukum yang menjadi payung legitimasi atas proses ini, masyarakat menjadi lemah untuk menuntut tanggung jawab negara atas penyediaan sarana pendidikan yang dapat dijangkau.
Yang sungguh mengenaskan, utang yang menggunung itu ternyata masih harus ditambah dengan penyakit kronis lainnya, yakni korupsi. Dana pinjaman untuk beasiswa dan dana bantuan operasional (DBO) untuk membantu sektor pendidikan pada saat krisis selain dinilai diskriminatif ternyata juga banyak mengalami kebocoran dan salah sasaran. Temuan Tim Pengendali Program JPS yang diketuai Mar'ie Muhammad memaparkan bahwa salah sasaran program beasiswa SD-SMTA mencapai 60 persen. Pada saat yang sama pemerintah justru mengucurkan dana BLBI yang mencapai Rp 144 triliun untuk para pengusaha yang hingga kini penyelesaiannya masih gelap. Dana melimpah yang dikemplang ini sebenarnya dapat menjadi biaya untuk mengatasi masalah pendidikan di negeri ini.
Korupsi merajalela di mana-mana, mulai dari lembaga pemerintah, BUMN, lembaga legislatif, bahkan juga dalam dunia pendidikan. Pengelolaan dana buku ajar, misalnya, oleh Darmaningtyas diangkat sebagai salah satu contoh yang diulas dengan rinci.
Faktor ketiga yang menjadi racun pendidikan di Indonesia, yang menghambat akses kaum miskin untuk memperoleh pendidikan dasar yang baik adalah inefisiensi dana pendidikan, dana negara, atau dana masyarakat. Karena tak efisien, dana yang memang terbatas itu jauh dari sasaran, bocor ke mana-mana, atau diterima oleh orang yang tidak tepat.
Darmaningtyas menyajikan banyak contoh inefisiensi, mulai yang terjadi di badan legislatif, pemerintahan, lembaga pendidikan, hingga masyarakat. Di antara yang digambarkan adalah pemborosan dana akibat pelaksanaan pilkada atau pemilu. Apakah biaya yang dikeluarkan cukup impas dengan harga (pendidikan) demokrasi yang didapat?
Inefisiensi di departemen pendidikan yang juga dibahas, antara lain menampilkan contoh tentang pembangunan gedung SMPN 2 Pasongsongan, Sumenep (Madura). Di situ tersedia sembilan ruang kelas, satu ruang guru, satu ruang perpustakaan, dan satu ruang laboratorium. Padahal, ketika Darmaningtyas berkunjung ke sana pada 2002, sekolah itu hanya memiliki 63 murid. Artinya, hanya membutuhkan tiga ruang kelas.
Di Madiun dibangun gedung senilai Rp 43 miliar untuk rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang akhirnya mangkrak dan tak digunakan, karena pejabatnya belum siap menjalankan program tersebut. Di sekolah, inefisiensi juga banyak ditemukan, mulai dari program study tour, penyediaan seragam, buku LKS (lembar kerja siswa), dan sebagainya.
Meski demikian, Tyas juga mengkritik masyarakat yang juga banyak mengeluarkan dana tak efisien, seperti untuk pulsa telepon seluler yang mungkin sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, atau hal-hal mewah serupa. Baru-baru ini kita juga mendapat informasi dari Masyarakat Peduli Bahaya Tembakau bahwa ternyata rokok telah menggerogoti sumber keuangan rumah tangga miskin karena mereka ternyata membelanjakan 12,4 persen pendapatannya untuk membeli rokok, dengan mengorbankan gizi keluarga, kesehatan, termasuk pendidikan.
Kekuatan buku ini terletak pada data-data yang disajikan yang begitu melimpah. Dengan bahan kliping berbagai media massa dan sumber lain, Tyas meyakinkan pembaca bahwa keterpurukan pendidikan di Indonesia bukan karena dana yang terbatas, tapi lebih karena utang, korupsi, dan inefisiensi. Semua setali tiga uang: menyengsarakan nasib pendidikan masyarakat. Padahal, masalah pendidikan di Indonesia begitu akut, mulai dari soal filosofi dan ideologi pendidikan, inkonsistensi kebijakan, hingga fasilitas yang terbatas atau problem mikro lainnya. (*)
--
Judul Buku : Utang dan Korupsi Racun Pendidikan
Penulis : Darmaningtyas
Penerbit : Pustaka Yashiba
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xiv + 280 halaman
---
M. Mushthafa, guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, alumnus Fakultas Filsafat UGM Jogjakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar