JAKARTA - Janji menurunkan harga BBM dilontarkan lagi oleh pemerintah. Bahkan, pada Idul Adha kemarin (8/12), pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali berkomitmen bahwa harga bahan bakar yang paling banyak digunakan rakyat Indonesia, bensin dan solar, turun pada Januari nanti.
Namun, besaran penurunannya belum bisa disampaikan karena masih menunggu perkembangan harga minyak internasional setelah keputusan sidang negara-negara pengekspor minyak (OPEC) pada pertengahan bulan ini. "Harga BBM turun awal Januari-lah. Kita masih tunggu apa yang akan dibuat OPEC dengan harga minyak mentah yang terus turun ini," ujar Jusuf Kalla setelah menyerahkan hewan kurban di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, kemarin.
Setelah mengetahui keputusan OPEC, Wapres menjanjikan pemerintah menghitung formula harga BBM bersubsidi yang baru berdasarkan tiga faktor, yaitu harga rata-rata, pasokan, dan nilai tukar rupiah. "Salah satu patokannya, harga rata-rata (minyak mentah internasional) sudah turun. Kita tunggu harga terakhir (setelah pengumuman hasil sidang OPEC)," paparnya.
Keputusan sidang OPEC memang sangat menentukan harga minyak mentah dunia. Kepada jaringan berita Associated Press, Presiden OPEC Chakib Khelil menyatakan, kemungkinan organisasi tersebut menurunkan secara besar-besaran kuota produksinya dalam pertemuan 17 Desember mendatang di Algeria. Chakib Khelil tak menyebutkan secara rinci seberapa besar pemangkasan kuota produksi itu. Namun, beberapa analis memperkirakan pemotongan produksi itu dapat mencapai 2 juta barel per hari.
Kemarin kontrak pengiriman minyak mentah jenis light sweet naik USD 2,45 menjadi USD 43,26 per barel dalam transaksi New York Mercantile Exchange sesi sore di Singapura. Kontrak tersebut sempat anjlok hingga USD 40,50 per barel atau level yang terakhir terjadi pada Desember 2004.
Wapres mengakui, selain mempertimbangkan faktor-faktor teknis penentuan harga BBM bersubsidi, pemerintah memperhitungkan kondisi di masa depan. Salah satunya rencana mengambangkan harga premium pada mekanisme pasar, seperti yang dilakukan sebelumnya pada produk pertamax dan pertamax plus.
"Memang rencananya (premium) tidak akan lagi disubsidi. Harga sekarang ini (Rp 5.500 per liter) kan juga sudah tidak disubsidi. Sejak dulu konsepnya memang (subsidi premium) akan dihapus," katanya.
Bila rencana tersebut jadi diberlakukan, harga premium akan naik-turun sesuai harga keekonomiannya, yakni harga pokok produksi berdasarkan harga patokan minyak mentah di Singapura atau Mid Oil Platts Singapore (MOPS) plus alpha sembilan persen, ditambah pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) maksimal lima persen, dan pajak pertambahan nilai (PPN) sepuluh persen. "Jadi, (harga premium) kita serahkan pada harga keekonomiannya. Kita hanya menyubsidi yang betul-betul digunakan untuk komersial, seperti truk dan pabrik-pabrik. Kalau premium kan sebagian besar untuk kendaraan pribadi," tegasnya.
Sebaliknya, pemerintah akan menambah alokasi subsidi BBM untuk bahan bakar yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan sektor riil, yakni solar. "Karena harga internasional sudah turun, (harga solar) pasti kita turunkan," tegasnya.
Pemerintah pada awal Desember lalu sudah menurunkan harga BBM bersubsidi jenis premium Rp 500 dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500 per liter. Penurunan harga itu dilakukan menyusul anjloknya harga minyak mentah dunia dari USD 147 per barel pada Juni 2008 menjadi USD 46 per barel awal Desember.
Ceiling Price
Di tempat terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tengah menghitung formulasi penurunan harga BBM jenis premium dan solar. "Hitung-hitungan tersebut akan mempertimbangkan agar naik turunnya harga BBM dalam negeri tidak mendadak," ujar Sri Mulyani setelah salat Idul Adha di Kantor Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Jakarta, kemarin.
"Kami sedang menghitung lagi formulasinya, terutama untuk 2009. Kan Bapak Presiden nanti yang memutuskan sesuai pernyataan kemarin," lanjut Menkeu.
Akhir pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan akan menurunkan harga premium dan solar menyusul adanya penurunan harga minyak dunia.
Menkeu mengatakan, untuk sementara pemerintah akan menggunakan formula ceiling price (penetapan batas atas harga) atau semacam formula agar naik turun harga BBM nanti tidak mendadak dan untuk kesiapan SPBU. Pasalnya, harga minyak dunia masih fluktuatif dan harganya naik turun. "Naik turunnya itu kan harian, kadang-kadang USD 54 per barel kadang turun lagi ke USD 49 per barel, dan seterusnya," ujar Menkeu.
Penetapan formula itu untuk melindungi masyarakat. Dengan demikian, ketika harga turun, masyarakat bisa menikmati. Namun, jika harga minyak dunia kembali naik, diupayakan kenaikannya tidak terlalu drastis.
Menurut Menkeu, penetapan formula itu tidak akan memengaruhi bujet negara karena saat ini sudah memasuki akhir tahun. "2008 tinggal tiga minggu. Sebentar lagi kan sudah mau selesai. Jadi, sudah tidak ada pengaruhnya ke bujet kita," tutur Ani, sapaan Menkeu.
Anggota Komisi VII DPR Tjatur Sapto Edy memaparkan, berapa harga keekonomian BBM bulan depan bisa diketahui dengan menghitung rata-rata harga minyak mentah dan kurs rupiah sepanjang Desember ini.
Dengan asumsi harga patokan minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) di kisaran USD 40-45 per barel dan kurs rupiah di kisaran Rp 12.500 per USD, harga keekonomian bensin bisa mencapai Rp 4.500 per liter dan solar Rp 5.500 per liter. Harga tersebut, kata dia, sudah memperhitungkan besaran MOPS + alpha 9 persen untuk biaya distribusi dan margin Pertamina, ditambah PPN dan PBBKB.
Karena itu, kata Tjatur, kalau pemerintah tidak ingin dikatakan melanggar UU APBN yang mengatur harga BBM bersubsidi, harga bensin dan solar Januari nanti tidak boleh lebih tinggi dari harga keekonomian tersebut. ''Kalau lebih tinggi, berarti rakyat yang menyubsidi negara. Jika ini terjadi, pemerintah bisa dikatakan melanggar UU APBN,'' kata anggota DPR dari PAN itu.
Sementara itu, terkait rencana pemerintah memberlakukan sistem harga BBM bersubsidi mengambang (floating) berdasarkan fluktuasi harga minyak mentah, Tjatur mengatakan masih bisa menerima. ''Namun, harus tetap ada batas atas. Jika tidak, itu sama saja dengan menyerahkan hajat hidup orang banyak pada harga minyak dunia yang sering disetir para spekulan,'' ujarnya.
Sumber Jawa Pos, 9 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar