Pada 2006, Ahmad Baso, intelektual muda NU asal Makassar, meluncurkan buku, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Membaca buku itu, perhatian saya segera tertuju pada frase NU Studies. Secara verbatim, NU Studies berarti kajian tentang NU. Kalau sekedar mengurai dari makna harfiahnya, frase NU Studies terkesan tidak begitu istimewa. Tetapi yang dikehendaki Baso melebihi makna harfiah itu.
Dengan NU Studies, tegas Baso, NU tidak lagi sekadar dijadikan objek, tetapi menjadi subjek yang dapat menarasikan dirinya (NU) yang terbebas dari pencitraan-pencitraan negatif sebagaimana pendekatan kolonialisme (colonialism). Dengan kata lain, Baso ingin agar semua kajian tentang NU menggunakan perspektif ''orang dalam'' (insider), bukan perspektif ''orang luar'' (outsider) sehingga narasi tentang NU menyerupai narasi yang dibuat oleh orang-orang NU sendiri.
Kegelisahan Baso pernah dialami Zamakhsyari Dhofier, mahasiswa doktoral di The Australian National University, Canberra, Australia. Kegelisahan Dhofier di samping dipicu oleh langkanya kajian terhadap fenomena NU dan lingkungan di sekitarnya, juga karena --kalau toh NU dijadikan sebagai bahan kajian-- penjelasan terhadap NU jauh dari memuaskan karena terlalu condong pada pendekatan ''orang luar''.
Kegelisahan Dhofier kemudian dituangkan dalam penelitian disertasi Ph.D-nya, The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java (1980). Dua tahun kemudian, tesis tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit LP3ES dengan judul, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1982).
Dhofier memang tidak meneliti NU, melainkan pesantren. Tetapi, bagi yang akrab dengan NU, tentu menyadari bahwa pesantren merupakan pilar penting bagi kaum ''Islam tradisional'' pada umumnya, dan NU pada khususnya. NU dan pesantren tak ubahnya seperti dua sisi mata uang.
Penelitian Dhofier segera mendapat perhatian dan menjadi rujukan peneliti berikutnya. Salah satu nilai lebih penelitian Dhofier bila dibandingkan dengan peneliti lainnya, adalah pada pencitraan terhadap komunitas ''Islam tradisional''. Dhofier mengaku tidak puas terhadap peneliti sebelumnya yang cenderung negatif dalam membuatkan pencitraan terhadap dunia pesantren.
Dhofier menyebut dua nama yang dinilai gagal dalam memahami pesantren, yakni Clifford Geertz dan Deliar Noer. Menurut Dhofier, kedua nama itu secara sepihak mencitrakan ''Islam tradisional'' sebagai komunitas yang menempati posisi kelas dua di bawah komunitas ''Islam modernis''. Tidak cukup di situ, ''Islam tradisional'' juga dianggap akrab dengan pelbagai praktik keagamaan sinkretik. Tidak seperti Geertz dan Noer, Dhofier justru menemukan berbagai episode kreatif pada komunitas ''Islam tradisional''. Dengan menggunakan teori continuity and change (kesinambungan dan perubahan), Dhofier sampai pada suatu titik simpul, pesantren sebagai pilar utama NU terus menggeliat merancang perubahan dengan tetap berpijak pada tradisi keilmuan klasik.
Perubahan di tubuh ''Islam tradisional'' mendapatkan energi baru ketika pada 1984 terjadi peristiwa yang memiliki makna historis bagi perkembangan NU pada masa-masa berikutnya. Pada tahun itu, NU menorehkan catatan penting melalui muktamar yang berlangsung di Situbondo. Setidaknya ada dua catatan penting dari muktamar tersebut. Pertama, NU melakukan reposisi politik dengan kembali ke Khittah 1926. Kedua, muktamar berhasil memilih Kiai Achmad Siddiq (1926-1991) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menempati posisi penting dalam keorganisasian NU. Kiai Ahmad Siddiq menempati posisi sebagai Rais 'Am Majelis Syuriah, sedangkan Gus Dur di posisi ketua umum Lajnah Tanfidziyah.
Khittah 1926 serta terpilihnya Gus Dur, ditambah Kiai Achmad Siddiq di posisi syuriah, merupakan energi baru bagi kelanjutan perubahan dalam komunitas ''Islam tradisional'' sehingga tetap eksis dan dinamis kendati menghadapi pelbagai tantangan yang semakin rumit. Bagaimana geliat perubahan komunitas ''Islam tradisional'' di era Gus Dur? Pertanyaan inilah yang dijawab Djohan Effendi dalam buku ini. Buku ini semula merupakan disertasi Effendi sebagai syarat menyelesaikan studi di Departement of Religious Studies, School of Social Inquiry, Faculty of Arts, Deakin University, Australia. Karena ingin menyajikan geliat perubahan NU di era Gus Dur, tentu hal yang wajar jika Effendi perlu memberikan highlight pada mantan presiden keempat ini.
Pada bagian awal buku ini (hlm. v), misalnya, Effendi mengatakan bahwa sebagai pimpinan NU, Gus Dur telah menjadi inspirator bagi kiai dan intelektual muda (NU) terlibat dalam pengembangan wacana keagamaan baru (new religious discourses).
Tampaknya tidak ada yang berlebihan pada ungkapan Effendi tersebut. Sepertinya peran Gus Dur dalam menciptakan atmosfer baru, setidaknya di kalangan warga nahdliyin, terutama dari sisi intelektual, sulit dibantah. Bahkan, peran Gus Dur bisa dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yang melampaui komunitasnya sendiri.
Sekadar perbandingan, John L. Esposito dan John O. Voll (2001), misalnya, menyebut Gus Dur sebagai salah seorang tokoh (intelektual) yang layak disebut sebagai makers of contemporary Islam. Menurut Esposito dan Voll, Gus Dur layak diposisikan demikian karena terbukti memberikan kontribusi dalam upaya mensintesiskan antara modernitas dengan tradisi Islam sepanjang 1980-1990-an. Kontribusi ini pula yang ingin diurai oleh Effendi pada saat Gus Dur mengendalikan NU sejak 1984.
Beberapa kalangan terutama yang masih memercayai mantra positivisme, tradisi sering dipandang sebagai penghambat kemajuan. Bila ingin maju, masyarakat harus memutus mata rantai dengan tradisi. Begitulah mantra positivisme. Mantra ini jelas tidak bisa digunakan oleh komunitas ''Islam tradisional'' (pesantren dan NU). Sebab kekuatan komunitas ini justru pada tradisi tersebut. Seperti banyak peneliti lain, Effendi juga melakukan pencandaraan terhadap karakter tradisionalisme NU yang berakar pada kiai, pesantren, kitab (kuning atau klasik), dan tradisi keilmuan dari ulama otoritatif ''tempoe doeloe'' yang disebut juga dengan ulama klasik atau ulama salaf.
Di mata Gus Dur, semua unsur yang membentuk karakter tradisionalisme pada NU, bisa menjadi kekuatan jika dikelola secara bertanggung jawab. Bukankah kalangan ''Islam tradisional'' memiliki mantra sendiri untuk merespons perubahan tanpa mengorbankan tradisi, yakni: al-muhafadzatu bil-qadimish-shalih wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah. Dengan mantra ini, kata Effendi, kalangan ''Islam tradisional'' mampu mencari jalan tengah antara konservatisme dengan kreativitas (hlm. 89).
Kreativitas kalangan ''Islam tradisional'' terlihat pada kemampuan mereka dalam merespons pelbagai wacana publik yang sarat dengan kontroversi seperti demokrasi, kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan (gender) di ranah politik, dan HAM. Semua wacana ini dikatakan kontroversial karena di kalangan Islam sendiri terjadi silang pendapat. Bahkan kalangan Islam garis keras mengharamkan semua wacana tersebut. Tidak seperti Islam garis keras, kalangan ''Islam tradisional'' justru mengakrabi wacana tersebut serta memberikan penguatan secara teologis. (*)
---
Judul Buku : A Renewal Without Breaking Tradition:
The Emergence of a New Discourse in Indonesia's
Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era
Penulis : Djohan Effendi
Penerbit : Interfidei, Jogjakarta
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal : 314 halaman
---
Syamsul Arifin
Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat, Unmuh Malang
06 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar