RAKYAT Indonesia mesti bangga memiliki presiden yang gemar menulis. Dibanding pendahulunya --kecuali Presiden Soekarno-- Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbilang enerjik dan piawai mengomunikasikan alur pemikirannya dalam konteks kepemimpinan berbangsa-bernegara melalui buku.
Dengan cara ini, SBY telah mengabadikan pergulatannya dalam segugus momentum penting yang dia alami, sekaligus membangun ruang dialog (imajiner) di wilayah publik, sehingga rakyat bisa menyulam penilaian yang sistemik terhadap kapasitas dan konsistensinya selaku orang nomor wahid di negeri ini.
Buku Indonesia Unggul terbit di aras itu. Namun buku ini tidak disusun berdasar atas sebuah tema keindonesiaan yang utuh dan dikupas secara komprehensif, akan tetapi sekadar dokumentasi pidato SBY yang disampaikan dalam beragam kesempatan pada medium 2005-2006, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di dunia internasional. Hanya saja, pada bagian akhir disisipi wawancara SBY dengan beberapa media internasional semisal Time Asia, The International Herald Tribune, Newsweek International, The Wall Street Journal, dan penilaian (positif) Yenny Wahid terhadap sosok SBY.
Karena berbentuk dokumentasi pidato, maka yang terasa bukan membaca sebuah tulisan, melainkan seolah-olah tengah mendengarkan orasi SBY di depan mik. Dengan begini, ulasan-ulasan yang diketengahkan memang global dan lebih mengandung nuansa reflektif, sehingga gampang dicerna oleh khalayak biasa.
Justru karena itulah, tak ada pembahasan detail dan analisis kritis sebagaimana lazim dijumpai bila membaca sebuah tulisan --dalam bentuk makalah atau opini. Hatta, bisa jadi bagi kalangan akademisi kontribusi konkret buku ini terasa sunyi, kecuali sebatas informasi.
Mengabaikan faktor tersebut, yang pasti buku bunga rampai pidato SBY ini layak diapresiasi. Di sini dirangkumkan bagaimana perspektif SBY mengenai pembangunan bangsa, demokrasi, dan reformasi; renungannya tentang Islam; resolusi konflik; strategi penguatan ekonomi, pembangunan, dan tujuan pembangunan millenium (MDGs); reposisi dan reorientasi hubungan Indonesia dalam kancah dunia internasional; dan refleksi pribadi terkait posisinya saat ini.
Terkait dengan konsepsi budaya unggul (hlm. 3-12), yang menginspirasi penjudulan buku ini, SBY menjelentrehkan torehan prestasi, di antaranya, dalam upaya pemberantasan korupsi menuju terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bukti keseriusan kebijakan ini adalah ketika SBY ''cuci tangan'' dalam pengusutan dugaan korupsi terhadap besannya, Aulia Pohan. Walhasil, disinyalir biaya korupsi di Indonesia per total produksi menurun dari 10 persen ke 6 persen.
SBY mengakui bahwa pencapaian budaya unggul tidak terlepas dari tegaknya demokrasi, reformasi, berikut resolusi konflik yang merebak di awal-awal pemerintahannya sekaligus merupakan pengembangan dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam hal ini diyakini sepenuhnya, serangkaian konflik itu merupakan bagian tak terelakkan dari transisi demokrasi yang berembus sejak medio 1998. Pelan namun pasti, konflik-konflik itu menemukan solusi. Salah satu capaian prestisius adalah ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia terkait dengan penyelesaian sengketa Aceh yang berkepanjangan (hlm. 108-116).
Di sisi lain, tantangan transisi demokrasi adalah perlunya transformasi yang menyeluruh dengan berkaca pada pengalaman berbagai negara. Dalam konteks ini, SBY mengurai 9 poin penting, di antaranya adalah didorong oleh pemimpin yang merancang visi, menyusun agenda, membuka pikiran, menangkap imajinasi publik, berjuang dalam perang politik, memberi energi positif pada aspek keberhidupan bangsa, serta transparan dalam tata kelola pemerintahan (hlm. 50-60).
Hal yang cukup heroik di buku ini yaitu seruan lantang SBY pada Sidang Pleno Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB pada 14 September 2005. SBY berani menuding PBB bersikap tidak netral dengan serangkaian kebijakan yang ambigu. PBB memberi beban yang cukup berat kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ketimbang negara-negara maju dalam berpartisipasi di ranah global terutama terhadap penanganan isu-isu multilateral.
SBY juga menyerukan perlunya reformasi Dewan Keamanan PBB dengan menekankan pada kriteria yang jelas dan objektif bagi anggota-anggota baru. Usulan pembentukan Dewan Hak-Hak Asasi Manusia secara terbuka, transparan, dan inklusif di bawah naungan Majelis Umum pun digulirkan demi terwujudnya jaminan perlindungan hak asasi secara global (hlm. 181-191).
Melalui buku ini sesungguhnya rakyat Indonesia sedang diajak terlibat dalam sebuah proses panjang menuju Indonesia unggul. Letupan pemikiran SBY dalam gugusan pidatonya bisa menjadi bahan renungan dan kajian yang dinamis. Namun kesan bahwa lewat buku ini SBY mencitrakan diri sebagai pemimpin yang telah banyak melakukan perubahan dan membawa gerbong negara Indonesia menuju stasiun kemapanan serta merta tak terbantahkan.
Apalagi penyertaan foto-foto eksklusif nan monumental SBY dalam sejumlah kesempatan, baik di pelbagai wilayah Indonesia maupun ketika lawatan ke luar negeri, kian meneguhkan kesan itu. Sayangnya, foto-foto itu tak dibubuhi keterangan seputar kapan dan di mana diambil, sehingga bisa merentangkan jarak psikologis dan menyumbat proses dialog imajiner ketika melihatnya.
Andai saja, buku ini sekaligus memuat narasi penyeimbang dari sejumlah tokoh yang memberi komentar objektif (plus-minus) terhadap pemikiran kenegarawanan SBY, tentu akan terbangun dialektika yang dinamis. Sebab, tanpa narasi penyeimbang, buku ini terkesan jadi semacam media kampanye terselubung menjelang digelarnya pesta Pemilu 2009, dan pencitraan diri seorang pemimpin yang narsistis (baca: ngujo roso). (*)
*) Saiful Amin Ghofur, Redaktur Jurnal Studi Agama MILLAH MSI-UII Jogjakarta
Judul Buku: Indonesia Unggul
Penulis: Dr Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: xii + 335 halaman
30 Desember 2008
Peranakan Arab dan Dunia Perbukuan
Mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas wafat belum lama ini. Hampir semua media nasional menempatkan berita itu di halaman utama. Berbagai tulisan obituari menyanjung almarhum sebagai sosok abdi negara yang luar biasa. Sebagai diplomat, Ali Alatas sangat piawai. Penampilannya santun dan rendah hati. Tidak pernah menonjolkan diri. Nyaris seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara ini.
Sebelum itu, tiga pekan lalu, sebuah acara bertajuk Festival Kampoeng Ampel digelar di Balai Pemuda Surabaya. Selain penampilan karya seni, juga ada diskusi dan bedah buku tentang orang-orang Arab dari Hadramaut, Kebangkitan Hadrami di Indonesia karya Natalie Mobini Kesheh. Nama Ali Alatas tentu disebut-sebut karena ketokohannya yang menjulang tinggi.
Tetapi, berbicara tentang orang-orang peranakan Arab, tak urung akan menimbulkan keheranan. Orang akan heran karena banyak tokoh hebat peranakan Arab seperti Ali Alatas, tetapi susah mendapatkan buku tentang kehidupan kelompok etnis tersebut. Kita tahu tentang Anies Baswedan PhD, intelektual muda yang kini menjabat rektor Universitas Paramadina. Seperti juga bintang musik rock Achmad Albar, bintang sinetron Shireen Sungkar, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, promotor balap mobil Helmy Sungkar, tokoh HAM Munir, mantan Menkeu Fuad Bawazier, almarhum Mendikbud Fuad Hassan, mantan Menkeu Mar'ie Muhammad, dan sebagainya.
Saya memang heran, karena sulit sekali saya menemukan buku-buku tentang peranakan Arab di Indonesia. Kalau ada, tentu membicarakan masa lalu. Nyaris tidak ada yang berbicara masa kini. Bandingkan dengan buku-buku yang membahas orang-orang Tionghoa. Amat banyak ditemukan di toko buku. Padahal, sekarang jumlah doktor dan profesor keturunan Arab juga banyak. Padahal juga, saat ini tokoh keturunan Arab yang bergerak di dunia perbukuan dan media juga tidak sedikit. Kita mengenal nama Nono Anwar Makarim PhD, tokoh pers mahasiswa 1960-an yang kini jadi ahli hukum dan juga promotor perbukuan. Di Surabaya, ada Adi Amar yang memimpin Penerbit Buku Risalah Gusti. Sedangkan di Bandung ada Haidar Bagir PhD, bos penerbit Mizan, yang baru terpilih sebagai The Best CEO 2008 versi Majalah Swa.
Lebih dari itu, orang-orang keturunan Arab ternyata adalah pionir dunia penerbitan di negeri ini. Sebuah artikel yang ditulis Nico Kaptein, ilmuwan Belanda, pada 1993, menunjukkan hal itu. Dalam tulisan berjudul An Arab Printer in Surabaya in 1853, disebutkan bahwa penulis mendapati sebuah buku berbahasa Arab campur bahasa Melayu di Perpustakaan Universitas Leiden terbitan Surabaya. Buku berjudul Sharaf al-anam itu diselesaikan di Kampung Baru, Surabaya, di tepi Kali Mas pada 15 Ramadan tahun 1269 Hijriyah. Penerbitnya, Husayn ibn Muhammad al-Husayn al-Habshi. Sebuah artikel yang menarik, karena juga membicarakan mesin cetak yang saat itu sangat sulit dimiliki orang di luar orang Belanda. Sayangnya, Nico Kaptein tidak bisa memperoleh informasi bagaimana kelanjutan penerbitan tersebut. Bangkrut ataukah disita oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kisah orang-orang peranakan Arab jelas sangat menarik. Saya membayangkan setelah ini akan terbit buku-buku yang membicarakan kelompok etnis ini. Tentang generasi masa kininya, bukan masa lalu. Selama ini memang hanya buku-buku ''masa lalu'' yang ada. Itu pun sudah sulit ditemukan, kecuali di perpustakaan tertentu. Misalnya, buku Hadramaut Dan Koloni Arab di Nusantara karya L.W.C. van den Berg. Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Belanda pada 1886. Buku ini memang bagus. Tetapi, ya itu tadi, berbicara masa lalu, karena memang sudah lama ditulis.
Dari buku van den Berg kita tahu bagaimana kerasnya perjuangan para lelaki Hadramaut untuk bisa datang ke Indonesia. Dari kota-kota pedalaman di Hadramaut, mereka harus berjalan kaki ratusan kilometer ke kota kawasan pantai (pelabuhan), sebelum akhirnya naik kapal berbulan-bulan lamanya hingga tiba di Indonesia.
Meskipun ada orang-orang Arab Yaman yang datang jauh hari sebelumnya, gelombang besar imigran Arab diperkirakan tiba di negeri ini setelah abad ke-17. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Batavia (Jakarta), Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil, dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Jogjakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan sampai ke Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, dan juga ke NTT dan Timor Leste (dulu Timor Timur). Mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan perempuan setempat hingga peranak-pinak.
Saya membayangkan, para penulis akan mengabadikan beragam kisah yang menarik tentang orang-orang peranakan Arab masa kini itu. Bagaimana kaum mudanya? Apa kekhasan kehidupan mereka? Apa yang membedakan mereka dengan generasi sebelumnya?
Orang-orang Arab di masa lalu memang dikenal sangat rajin dan ulet bekerja. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang hemat dalam mengumpulkan uang hasil dagangnya, dan setelah cukup banyak mereka belikan tanah atau rumah. Rumah yang mereka beli kemudian mereka sewakan, uangnya ditabung dan setelah terkumpul mereka belikan rumah lainnya. Begitu seterusnya.
Bukan sesuatu yang aneh bila seorang keturunan Arab memiliki 10 hingga 20 rumah dan gedung bangunan kantor. Namun, anak cucu mereka dewasa ini tidak mempunyai ketekunan dan keuletan seperti itu. Setelah orang tua dan kakeknya meninggal, mereka menjual begitu saja harta warisan keluarga.
Di masa lalu, banyak rumah dan bangunan megah di banyak jalan protokol di Surabaya dan Jakarta adalah milik orang-orang keturunan Arab. Namun sekarang, bangunan-bangunan itu telah berganti pemilik.
Fakta-fakta seperti itulah baru sebagian topik yang layak ditulis sebagai buku. Kita tunggu. (*)
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
Dikutip dari Jawa Pos, 28 Desember 2008
Sebelum itu, tiga pekan lalu, sebuah acara bertajuk Festival Kampoeng Ampel digelar di Balai Pemuda Surabaya. Selain penampilan karya seni, juga ada diskusi dan bedah buku tentang orang-orang Arab dari Hadramaut, Kebangkitan Hadrami di Indonesia karya Natalie Mobini Kesheh. Nama Ali Alatas tentu disebut-sebut karena ketokohannya yang menjulang tinggi.
Tetapi, berbicara tentang orang-orang peranakan Arab, tak urung akan menimbulkan keheranan. Orang akan heran karena banyak tokoh hebat peranakan Arab seperti Ali Alatas, tetapi susah mendapatkan buku tentang kehidupan kelompok etnis tersebut. Kita tahu tentang Anies Baswedan PhD, intelektual muda yang kini menjabat rektor Universitas Paramadina. Seperti juga bintang musik rock Achmad Albar, bintang sinetron Shireen Sungkar, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, promotor balap mobil Helmy Sungkar, tokoh HAM Munir, mantan Menkeu Fuad Bawazier, almarhum Mendikbud Fuad Hassan, mantan Menkeu Mar'ie Muhammad, dan sebagainya.
Saya memang heran, karena sulit sekali saya menemukan buku-buku tentang peranakan Arab di Indonesia. Kalau ada, tentu membicarakan masa lalu. Nyaris tidak ada yang berbicara masa kini. Bandingkan dengan buku-buku yang membahas orang-orang Tionghoa. Amat banyak ditemukan di toko buku. Padahal, sekarang jumlah doktor dan profesor keturunan Arab juga banyak. Padahal juga, saat ini tokoh keturunan Arab yang bergerak di dunia perbukuan dan media juga tidak sedikit. Kita mengenal nama Nono Anwar Makarim PhD, tokoh pers mahasiswa 1960-an yang kini jadi ahli hukum dan juga promotor perbukuan. Di Surabaya, ada Adi Amar yang memimpin Penerbit Buku Risalah Gusti. Sedangkan di Bandung ada Haidar Bagir PhD, bos penerbit Mizan, yang baru terpilih sebagai The Best CEO 2008 versi Majalah Swa.
Lebih dari itu, orang-orang keturunan Arab ternyata adalah pionir dunia penerbitan di negeri ini. Sebuah artikel yang ditulis Nico Kaptein, ilmuwan Belanda, pada 1993, menunjukkan hal itu. Dalam tulisan berjudul An Arab Printer in Surabaya in 1853, disebutkan bahwa penulis mendapati sebuah buku berbahasa Arab campur bahasa Melayu di Perpustakaan Universitas Leiden terbitan Surabaya. Buku berjudul Sharaf al-anam itu diselesaikan di Kampung Baru, Surabaya, di tepi Kali Mas pada 15 Ramadan tahun 1269 Hijriyah. Penerbitnya, Husayn ibn Muhammad al-Husayn al-Habshi. Sebuah artikel yang menarik, karena juga membicarakan mesin cetak yang saat itu sangat sulit dimiliki orang di luar orang Belanda. Sayangnya, Nico Kaptein tidak bisa memperoleh informasi bagaimana kelanjutan penerbitan tersebut. Bangkrut ataukah disita oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kisah orang-orang peranakan Arab jelas sangat menarik. Saya membayangkan setelah ini akan terbit buku-buku yang membicarakan kelompok etnis ini. Tentang generasi masa kininya, bukan masa lalu. Selama ini memang hanya buku-buku ''masa lalu'' yang ada. Itu pun sudah sulit ditemukan, kecuali di perpustakaan tertentu. Misalnya, buku Hadramaut Dan Koloni Arab di Nusantara karya L.W.C. van den Berg. Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Belanda pada 1886. Buku ini memang bagus. Tetapi, ya itu tadi, berbicara masa lalu, karena memang sudah lama ditulis.
Dari buku van den Berg kita tahu bagaimana kerasnya perjuangan para lelaki Hadramaut untuk bisa datang ke Indonesia. Dari kota-kota pedalaman di Hadramaut, mereka harus berjalan kaki ratusan kilometer ke kota kawasan pantai (pelabuhan), sebelum akhirnya naik kapal berbulan-bulan lamanya hingga tiba di Indonesia.
Meskipun ada orang-orang Arab Yaman yang datang jauh hari sebelumnya, gelombang besar imigran Arab diperkirakan tiba di negeri ini setelah abad ke-17. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Batavia (Jakarta), Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil, dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Jogjakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan sampai ke Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, dan juga ke NTT dan Timor Leste (dulu Timor Timur). Mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan perempuan setempat hingga peranak-pinak.
Saya membayangkan, para penulis akan mengabadikan beragam kisah yang menarik tentang orang-orang peranakan Arab masa kini itu. Bagaimana kaum mudanya? Apa kekhasan kehidupan mereka? Apa yang membedakan mereka dengan generasi sebelumnya?
Orang-orang Arab di masa lalu memang dikenal sangat rajin dan ulet bekerja. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang hemat dalam mengumpulkan uang hasil dagangnya, dan setelah cukup banyak mereka belikan tanah atau rumah. Rumah yang mereka beli kemudian mereka sewakan, uangnya ditabung dan setelah terkumpul mereka belikan rumah lainnya. Begitu seterusnya.
Bukan sesuatu yang aneh bila seorang keturunan Arab memiliki 10 hingga 20 rumah dan gedung bangunan kantor. Namun, anak cucu mereka dewasa ini tidak mempunyai ketekunan dan keuletan seperti itu. Setelah orang tua dan kakeknya meninggal, mereka menjual begitu saja harta warisan keluarga.
Di masa lalu, banyak rumah dan bangunan megah di banyak jalan protokol di Surabaya dan Jakarta adalah milik orang-orang keturunan Arab. Namun sekarang, bangunan-bangunan itu telah berganti pemilik.
Fakta-fakta seperti itulah baru sebagian topik yang layak ditulis sebagai buku. Kita tunggu. (*)
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
Dikutip dari Jawa Pos, 28 Desember 2008
Jejak Profesionalisme TNI
Reformasi ABRI (sebelum menjadi TNI) menjadi salah satu tuntutan para demonstran -yang dimotori mahasiswa-- saat menumbangkan kekuasaan Orde Baru (Orba). Para demonstran meminta militer tidak terlibat dalam politik. Kaum reformis menginginkan pasukan berkonsentrasi dalam fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Militer harus kembali ke barak.
Reformasi militer masuk menjadi paket tuntutan perubahan karena di era Soeharto, militer sudah melangkah terlalu ''jauh''. Memasuki semua bilik yang seharusnya menjadi ranah sipil. Tak hanya di eksekutif, para serdadu juga merambah legislatif. Bahkan di bidang yudikatif, sejumlah hakim agung adalah perwira militer.
Keterlibatan militer yang terlalu jauh inilah yang membuat anatomi negara dalam bentuk otoriter. ABRI bukan lagi menjadi alat negara yang mengabdi ke konstitusi, tapi menjadi alat pemerintahan yang mengabdi kekuasaan. Karena itu, tuntutan reformasi militer sudah tak bisa ditawar lagi begitu Soeharto lengser. Sama kuatnya dengan tuntutan pemberantasan korupsi dan reformasi ekonomi.
Apakah TNI benar-benar bersedia meninggalkan dunia politik yang selama ini mereka bungkus dengan legitimasi dwifungsi? Apakah TNI benar-benar siap menjadi institusi yang hanya mengurus persoalan pertahanan seperti yang dikatakan Samuel Huntington bahwa profesionalisme militer ditentukan oleh ketidakterlibatan mereka dalam panggung politik. Militer semata-mata menjadi alat pertahanan negara.
Lewat buku Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI, Muhadjir Effendy mengungkapkan anatomi keterlibatan militer dalam politik. Dengan melacak akar sejarah embrio kelahiran militer Indonesia, buku ini berhasil menjawab pertanyaan mengapa TNI di Indonesia menguasai intitusi sipil.
TNI masih enggan keluar dari ranah politik. Ini terlihat dengan masih dipertahankannya institusi teritorial seperti Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil. Institusi militer di daerah yang paralel dengan berbagai level di pemerintah daerah itu tetap berpotrensi menjadi pintu gerbang militer untuk menjangkau bilik non-pertahanan.
Rupanya, tentara merasa berhak dalam mengelola persoalan non-militer karena ada legitimasi masa lampau. Sejumlah momentum sejarah telah menempatkan angkatan bersenjata merasa menjadi ''superior''. Misalnya, di awal kemerdekaan, para anggota militer membangun pemerintahan sipil dengan cara menjadi kepala desa atau lurah. Sebuah debut militer untuk mendapatkan pengakuan ''manunggal dengan rakyat'' sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang.
Konsepsi ''jalan tengah'' yang dilontarkan Jenderal Nasution memberi roh bagi militer untuk memasuki wilayah sipil. Nasution menyebut militer tidak boleh hanya jadi penonton dalam akrobatik panggung politik nasional. Dia menilai kristalisasi dwifungsi TNI dengan pandangan bahwa, ''Posisi TNI bukanlah sekadar alat sipil seperti di negara barat, tapi juga bukan rezim militer yang memegang kekuasaan. Dia adalah sebagai kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya'' (hlm. 222).
Jika Nasution memberi landasan ''moral'' bahwa militer tak boleh diam mengontrol panggung politik, sedangkan Soeharto yang berkuasa di era Orba melakukan aplikasi yang mendalam. Bila Nasution memberi spirit, Soeharto melegalisasi.
UU no. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan memberi basis legitimasi kepada militer untuk berkiprah di bidang sosial politik. Soeharto yang merancang sekaligus mengaplikasi aturan itu telah memberi lapangan seluas-luasnya kepada militer untuk memainkan peran-peran politik, ekonomi, sosial, dan birokrasi dengan bungkus dinamisator dan stabilisator.
Militer menikmati madu sebagai ''penguasa'' di era Orba, baik sebagai menteri, kepala daerah, diplomat, dan berbagai jabatan sipil lainnya, hingga menguasai unit bisnis pemerintah dan swasta. Inilah yang disebut kenikmatan yang sulit dilepas sebagian petinggi militer. Sebuah langkah yang melebihi batas ''jalan tengah'' dan telah menjadi syahwat politik dan ekonomi.
Langkah TNI melakukan reformasi internal seperti merombak nama ABRI menjadi TNI, menghapus Fraksi TNI/Polri di parlemen maupun penghapusan Kasosspol (Kepala Staf Sosial Politik) -kemudian diganti dengan Kaster (Kepala Staf Teritorial) - belum memuaskan kelompok-kelompok yang menginginkan tentara cukup berada di barak. TNI masih dianggap di luar rel.
Apalagi TNI menerjemahkan profesionalisme sangat berbeda dengan negara yang menganggap militer hanya mesin perang. Simak pandangan Jenderal Ryamrizard Ryacudu saat menjabat KSAD: ''Yang menyebut TNI profesional adalah parjurit yang tidak hanya mahir perang dan menembak, tapi juga manunggal dengan rakyat dan berada di tengah rakyat.''
Itulah sebabnya Ryamrizard menolak penghapusan komando teritorial yang dia sebut sebagai bagian untuk manunggalnya TNI dengan rakyat.
Perbedaan pandangan Ryamrizard dengan kelompok yang menginginkan TNI kembali ke barak, tak akan pernah selesai. Sebuah perdebatan yang tak akan menemukan pintu tengah. Lewat buku ini Muhadjir Effendy tak hanya melacak jejak sejarah TNI namun juga melihat persoalan di lapangan seperti rendahnya kesejahteraan prajurit, doktrin serta kultur TNI. Dan, akhirnya penulis buku ini menemukan jawaban : bahwa arah perkembangan profesionalisme TNI memang berbeda dengan negara lain. (*)
*) Taufik Lamade, Wartawan Jawa Pos
Judul Buku: Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI
Penulis: Muhadjir Effendy
Penerbit : UMM Press, Malang
Cetakan : I, 2008
Tebal : 339 halaman
Sumber Jawa Pos, 28 Desember 2008
27 Desember 2008
Perang Udara Operator Seluler
Oleh Sulastri
Di Desa Gawan, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen terdapat dua menara BTS yang terletak berdekatan. Hal ini seolah menggambarkan bahwa telah terjadi "perang udara" antar operator seluler. Hal ini terjadi sebelum muncul kebijakan penggunaan satu menara BTS untuk beberapa operator seluler. Keberadaan dua menara BTS ini menandai "perang udara" guna memberikan sinyal yang memuaskan bagi pelanggan di kawasan desa ini dan sekitarnya. Kini dengan adanya kebijakan penggunaan bersama menara BTS diharapkan "perang udara" ini tidak bertambah pesertanya. Mengapa ? Karena bisa memindahkan "hutan BTS" yang ada di kota ke desa.
Di Desa Gawan, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen terdapat dua menara BTS yang terletak berdekatan. Hal ini seolah menggambarkan bahwa telah terjadi "perang udara" antar operator seluler. Hal ini terjadi sebelum muncul kebijakan penggunaan satu menara BTS untuk beberapa operator seluler. Keberadaan dua menara BTS ini menandai "perang udara" guna memberikan sinyal yang memuaskan bagi pelanggan di kawasan desa ini dan sekitarnya. Kini dengan adanya kebijakan penggunaan bersama menara BTS diharapkan "perang udara" ini tidak bertambah pesertanya. Mengapa ? Karena bisa memindahkan "hutan BTS" yang ada di kota ke desa.
Seluler Masuk Desa
Oleh Sulastri
Kini Teknologi seluler telah masuk desa. Foto di atas memperlihatkan dua menara BTS (Base Transceiver Station)yang ada di Desa Puro, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan karena memberikan kemudahan berkomunikasi bagi penduduk desa yang dulu sangat sulit untuk memasang telpon kabel.
Kampanye Parpol Vs Kampanye Operator Seluler
Oleh Sulastri
Musim kampanye partai politik (parpol) telah tiba. Mereka Bersaing ketat untuk memperebutkan suara rakyat. Kejujuran dan keberpihakan pada kepentingan rakyat sangat menentukan keberhasilan parpol untuk meraih kepercayaan dari rakyat. Pemasangan bendera parpol merupakan suatu cara untuk menarik hati rakyat. Kampanye ini ternyata juga dilakukan oleh operator telepon seluler yang juga melakukan pemasangan bendera mereka di tengah-tengah bendera parpol seperti tampak pada foto di atas. Di Jalan Sragen-Gemolong, tepatnya di sebelah utara Jembatan Gawan, kampanye operator seluler untuk mendapatkan pelanggan sebanyak-banyaknya berdampingan erat dengan kampanye parpol. Kedua kampanye ini sama-sama membutuhkan kejujuran. Parpol dituntut jujur kepada rakyat, sementara itu operator seluler juga dituntut jujur kepada pelanggan tentang tarif murahnya. Jangan ada dusta diantara kita ! Siapa yang jujur, dia yang menang !
Musim kampanye partai politik (parpol) telah tiba. Mereka Bersaing ketat untuk memperebutkan suara rakyat. Kejujuran dan keberpihakan pada kepentingan rakyat sangat menentukan keberhasilan parpol untuk meraih kepercayaan dari rakyat. Pemasangan bendera parpol merupakan suatu cara untuk menarik hati rakyat. Kampanye ini ternyata juga dilakukan oleh operator telepon seluler yang juga melakukan pemasangan bendera mereka di tengah-tengah bendera parpol seperti tampak pada foto di atas. Di Jalan Sragen-Gemolong, tepatnya di sebelah utara Jembatan Gawan, kampanye operator seluler untuk mendapatkan pelanggan sebanyak-banyaknya berdampingan erat dengan kampanye parpol. Kedua kampanye ini sama-sama membutuhkan kejujuran. Parpol dituntut jujur kepada rakyat, sementara itu operator seluler juga dituntut jujur kepada pelanggan tentang tarif murahnya. Jangan ada dusta diantara kita ! Siapa yang jujur, dia yang menang !
24 Desember 2008
Terlalu Asyik Dengan Ponsel !
Oleh Romi Febriyanto Saputro
Kehadiran teknologi seluler di tanah air merupakan suatu hal yang cukup menggembirakan. Dengan telepon seluler (ponsel) seseorang dapat berkomunikasi lintas batas. Melintasi batas waktu dan tempat. Namun, apa jadinya bila ponsel menjadikan seseorang melintasi batas kesadaran jiwa. Terlalu asyik dengan ponsel menjadikan seorang petugas perpustakaan keliling terlena. Ia seharusnya asyik melayani pengunjung dalam mencari buku, bukan asyik dengan ponselnya. Ponsel memang perlu hadir dalam hidup kita, tetapi jangan korbankan tugas kita demi sebuah ponsel.
Kehadiran teknologi seluler di tanah air merupakan suatu hal yang cukup menggembirakan. Dengan telepon seluler (ponsel) seseorang dapat berkomunikasi lintas batas. Melintasi batas waktu dan tempat. Namun, apa jadinya bila ponsel menjadikan seseorang melintasi batas kesadaran jiwa. Terlalu asyik dengan ponsel menjadikan seorang petugas perpustakaan keliling terlena. Ia seharusnya asyik melayani pengunjung dalam mencari buku, bukan asyik dengan ponselnya. Ponsel memang perlu hadir dalam hidup kita, tetapi jangan korbankan tugas kita demi sebuah ponsel.
22 Desember 2008
Meningkatkan Minat Baca Melalui Ponsel
Oleh Romi Febriyanto Saputro
Perkembangan industri seluler di tanah air cukup menggembirakan. Saat ini diperkirakan 70 juta penduduk Indonesia telah menggunakan telepon seluler (ponsel). Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi 120 juta orang pada tahun 2010.
Hal ini menunjukkan bahwa akses masyarakat Indonesia untuk menikmati layanan telekomunikasi terhitung cukup besar. Bahkan, masyarakat yang tinggal di pelosok pedesaan pun kini cukup leluasa menikmati perangkat komunikasi modern ini.
Ironisnya, meningkatnya akses masyarakat terhadap ponsel tidak diikuti dengan meningkatnya kualitas masyarakat. Ponsel belum difungsikan secara optimal untuk memberdayakan kualitas diri melainkan masih sekedar berfungsi sebagai gaya hidup.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya layanan nilai tambah dari operator seluler yang membodohi masyarakat. Sms primbon, feng shui, ramalan, klenik, cinta monyet, kuis, judi terselubung dan selebritis merupakan beberapa contoh layanan nilai tambah yang jauh dari semangat memberdayakan masyarakat melainkan sekedar memperdayai masyarakat.
Untuk itu diperlukan suatu revolusi layanan nilai tambah atau lazim disebut dengan value added services (VAS) yang efektif dan memang diperlukan oleh masyarakat. Salah satu bentuk VAS ini adalah layanan buku dalam ponsel.
Di tanah air geliat buku dalam ponsel sudah mulai tumbuh. M- Komik, yang merupakan kepanjangan dari Mobile Komik diluncurkan oleh Telkomsel beberapa waktu yang lalu. Dengan layanan ini, komik wayang seperti Bharatayuda dan Ramayana dapat dinikmati melalui ponsel. Beberapa novel Islami pun dapat dinikmati dengan cara serupa. Seperti Penerbit Mizan yang kini telah meluncurkan fonovela yang memungkinkan pembaca mengunduh file-file novel terbitan Mizan ke dalam ponsel.
Membaca buku dalam ponsel mungkin memang tidak senyaman membaca buku edisi cetak yang memiliki ukuran yang lebih besar. Namun kehadiran buku dalam ponsel dapat menjadi alternatif bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi sehingga hampir tidak punya waktu luang untuk membaca buku.
Dengan layanan nilai tambah ini seseorang dapat menyimpan puluhan bahkan ratusan buku dalam ponselnya dan dapat membaca ketika ada waktu luang di mana pun mereka berada. Suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh buku edisi cetak.
Ada beberapa manfaat yang dapat dipetik dari buku dalam ponsel ini. Pertama, meningkatkan faktor kesempatan membaca. Diakui atau tidak, kesempatan membaca merupakan barang langka di republik tercinta ini. Waktu yang dimiliki masyarakat banyak tersita untuk mencari nafkah, apalagi di masa krisis global saat ini yang dampaknya sangat terasa. Masyarakat perlu bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Membaca buku dalam ponsel memungkinkan setiap orang untuk membaca buku secara lebih leluasa daripada membaca buku edisi cetak. Di tengah kultur baca yang belum mapan, membaca buku sambil duduk di dalam bus atau kereta merupakan hal yang aneh. Membaca buku dalam ponsel jauh lebih nyaman dalam situasi seperti ini.
Kedua, menggugah kepedulian masyarakat terhadap buku. Kepedulian masyarakat terhadap buku ditentukan oleh sejauh mana masyarakat menganggap penting atau tidak penting suatu informasi yang terkandung dalam suatu buku. Kehadiran buku dalam ponsel lebih berpeluang untuk menawarkan kepekaan dan variasi kebutuhan masyarakat. Seseorang tidak perlu datang ke toko buku untuk memuaskan dahaga informasi yang diperlukannya. Melainkan cukup dengan mengakses beragam pilihan buku dari sebuah ponsel.
Ketiga, membangun stigma positif layanan nilai tambah. Selama ini layanan nilai tambah seluler hanya berkutat seputar kuis, ring tone, dan game. Hal ini lambat laun akan menimbulkan stigma negatif di mata masyarakat. Kehadiran buku dalam ponsel dengan harga yang tidak terlalu mahal diharapkan bisa membangun stigma positif layanan nilai tambah sekaligus menghapus stigma negatif tersebut.
Dominasi iklan layanan nada sambung maupun ring tone sudah saatnya digantikan dengan semarak iklan buku seluler. Jika buku dalam ponsel dapat dipasarkan sehebat lagu nada sambung, maka dengan sendirinya akan meningkatkan gairah dunia perbukuan.
Keempat, mendidik masyarakat untuk selalu dekat dengan buku. Saat ini ponsel sudah menjadi pasangan hidup manusia selain istri atau pacar yang dimiliki. Ke mana pun seseorang pergi, dia akan merasa nyaman jika membawa ponsel. Sebaliknya, tanpa ponsel disakunya, seseorang akan merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.
Dengan buku dalam ponsel, seseorang tanpa disadari akan selalu dekat dengan dunia buku. Ke mana pun Ia pergi sang buku akan terus menyertainya. Titik kulminasi yang dapat dicapai dari proses ini adalah tumbuhnya kesadaran pada diri seseorang bahwa arti sebuah buku juga sepenting ponsel dalam kehidupan.
Kelima, menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Membaca dapat meningkatkan kinerja otak. Informasi yang diperoleh dengan membaca lebih lama tersimpan dalam memori otak daripada informasi yang diperoleh dengan mendengar atau melihat.
Aktivitas membaca yang teratur akan melahirkan daya kreativitas. Ledakan dari daya kreatifitas ini akan melahirkan budaya menulis, bahkan menulis dengan modal ponsel. Di Jepang, setengah dari karangan fiksi terpopuler di pertengahan tahun pertama 2007 ditulis di ponsel.
Seorang penulis asal Italia yang juga pekerja Teknologi Informasi, Robert Bernocco, menggunakan ponselnya untuk menulis buku novel dalam perjalanan pulang pergi ke kantornya. Ia menulis novel fiksi ilmiah berjudul 'Compagni di Viaggio' (teman perjalanan-red) setebal 384 halaman itu menggunakan fitur T9 pada ponsel merek Nokia miliknya (www.detik.com).
Kehadiran buku dalam ponsel diharapkan dapat mengubah wajah layanan nilai tambah seluler dari sekedar hiburan semata menjadi hiburan yang mencerdaskan masyarakat. Ponsel dapat menjadi daya ungkit untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Jumlah pemakai ponsel yang bertambah diharapkan dapat menjadi kontributor guna meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Semoga !
Ditulis oleh Romi Febriyanto Saputro, pustakawan pada UPTD Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen, Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.
Perkembangan industri seluler di tanah air cukup menggembirakan. Saat ini diperkirakan 70 juta penduduk Indonesia telah menggunakan telepon seluler (ponsel). Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi 120 juta orang pada tahun 2010.
Hal ini menunjukkan bahwa akses masyarakat Indonesia untuk menikmati layanan telekomunikasi terhitung cukup besar. Bahkan, masyarakat yang tinggal di pelosok pedesaan pun kini cukup leluasa menikmati perangkat komunikasi modern ini.
Ironisnya, meningkatnya akses masyarakat terhadap ponsel tidak diikuti dengan meningkatnya kualitas masyarakat. Ponsel belum difungsikan secara optimal untuk memberdayakan kualitas diri melainkan masih sekedar berfungsi sebagai gaya hidup.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya layanan nilai tambah dari operator seluler yang membodohi masyarakat. Sms primbon, feng shui, ramalan, klenik, cinta monyet, kuis, judi terselubung dan selebritis merupakan beberapa contoh layanan nilai tambah yang jauh dari semangat memberdayakan masyarakat melainkan sekedar memperdayai masyarakat.
Untuk itu diperlukan suatu revolusi layanan nilai tambah atau lazim disebut dengan value added services (VAS) yang efektif dan memang diperlukan oleh masyarakat. Salah satu bentuk VAS ini adalah layanan buku dalam ponsel.
Di tanah air geliat buku dalam ponsel sudah mulai tumbuh. M- Komik, yang merupakan kepanjangan dari Mobile Komik diluncurkan oleh Telkomsel beberapa waktu yang lalu. Dengan layanan ini, komik wayang seperti Bharatayuda dan Ramayana dapat dinikmati melalui ponsel. Beberapa novel Islami pun dapat dinikmati dengan cara serupa. Seperti Penerbit Mizan yang kini telah meluncurkan fonovela yang memungkinkan pembaca mengunduh file-file novel terbitan Mizan ke dalam ponsel.
Membaca buku dalam ponsel mungkin memang tidak senyaman membaca buku edisi cetak yang memiliki ukuran yang lebih besar. Namun kehadiran buku dalam ponsel dapat menjadi alternatif bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi sehingga hampir tidak punya waktu luang untuk membaca buku.
Dengan layanan nilai tambah ini seseorang dapat menyimpan puluhan bahkan ratusan buku dalam ponselnya dan dapat membaca ketika ada waktu luang di mana pun mereka berada. Suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh buku edisi cetak.
Ada beberapa manfaat yang dapat dipetik dari buku dalam ponsel ini. Pertama, meningkatkan faktor kesempatan membaca. Diakui atau tidak, kesempatan membaca merupakan barang langka di republik tercinta ini. Waktu yang dimiliki masyarakat banyak tersita untuk mencari nafkah, apalagi di masa krisis global saat ini yang dampaknya sangat terasa. Masyarakat perlu bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Membaca buku dalam ponsel memungkinkan setiap orang untuk membaca buku secara lebih leluasa daripada membaca buku edisi cetak. Di tengah kultur baca yang belum mapan, membaca buku sambil duduk di dalam bus atau kereta merupakan hal yang aneh. Membaca buku dalam ponsel jauh lebih nyaman dalam situasi seperti ini.
Kedua, menggugah kepedulian masyarakat terhadap buku. Kepedulian masyarakat terhadap buku ditentukan oleh sejauh mana masyarakat menganggap penting atau tidak penting suatu informasi yang terkandung dalam suatu buku. Kehadiran buku dalam ponsel lebih berpeluang untuk menawarkan kepekaan dan variasi kebutuhan masyarakat. Seseorang tidak perlu datang ke toko buku untuk memuaskan dahaga informasi yang diperlukannya. Melainkan cukup dengan mengakses beragam pilihan buku dari sebuah ponsel.
Ketiga, membangun stigma positif layanan nilai tambah. Selama ini layanan nilai tambah seluler hanya berkutat seputar kuis, ring tone, dan game. Hal ini lambat laun akan menimbulkan stigma negatif di mata masyarakat. Kehadiran buku dalam ponsel dengan harga yang tidak terlalu mahal diharapkan bisa membangun stigma positif layanan nilai tambah sekaligus menghapus stigma negatif tersebut.
Dominasi iklan layanan nada sambung maupun ring tone sudah saatnya digantikan dengan semarak iklan buku seluler. Jika buku dalam ponsel dapat dipasarkan sehebat lagu nada sambung, maka dengan sendirinya akan meningkatkan gairah dunia perbukuan.
Keempat, mendidik masyarakat untuk selalu dekat dengan buku. Saat ini ponsel sudah menjadi pasangan hidup manusia selain istri atau pacar yang dimiliki. Ke mana pun seseorang pergi, dia akan merasa nyaman jika membawa ponsel. Sebaliknya, tanpa ponsel disakunya, seseorang akan merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.
Dengan buku dalam ponsel, seseorang tanpa disadari akan selalu dekat dengan dunia buku. Ke mana pun Ia pergi sang buku akan terus menyertainya. Titik kulminasi yang dapat dicapai dari proses ini adalah tumbuhnya kesadaran pada diri seseorang bahwa arti sebuah buku juga sepenting ponsel dalam kehidupan.
Kelima, menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Membaca dapat meningkatkan kinerja otak. Informasi yang diperoleh dengan membaca lebih lama tersimpan dalam memori otak daripada informasi yang diperoleh dengan mendengar atau melihat.
Aktivitas membaca yang teratur akan melahirkan daya kreativitas. Ledakan dari daya kreatifitas ini akan melahirkan budaya menulis, bahkan menulis dengan modal ponsel. Di Jepang, setengah dari karangan fiksi terpopuler di pertengahan tahun pertama 2007 ditulis di ponsel.
Seorang penulis asal Italia yang juga pekerja Teknologi Informasi, Robert Bernocco, menggunakan ponselnya untuk menulis buku novel dalam perjalanan pulang pergi ke kantornya. Ia menulis novel fiksi ilmiah berjudul 'Compagni di Viaggio' (teman perjalanan-red) setebal 384 halaman itu menggunakan fitur T9 pada ponsel merek Nokia miliknya (www.detik.com).
Kehadiran buku dalam ponsel diharapkan dapat mengubah wajah layanan nilai tambah seluler dari sekedar hiburan semata menjadi hiburan yang mencerdaskan masyarakat. Ponsel dapat menjadi daya ungkit untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Jumlah pemakai ponsel yang bertambah diharapkan dapat menjadi kontributor guna meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Semoga !
Ditulis oleh Romi Febriyanto Saputro, pustakawan pada UPTD Perpustakaan Dinas P & K Kab. Sragen, Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.
15 Desember 2008
Jurus Pamungkas Laskar Pelangi
Setelah membuat para pecintanya berdebar-debar selama lebih dari setengah tahun, buku terakhir tetralogi Laskar Pelangi, yakni Maryamah Karpov, diluncurkan akhir November lalu. Toko buku se-Indonesia pun dibanjiri ribuan pesanan untuk mendapatkan buku itu pada kesempatan pertama. Ratusan kopi langsung terjual ludes pada awal Desember dan pecinta buku yang lain harus menunggu datangnya kiriman kedua.
Apa yang menarik dari buku keempat ini? Pecinta Laskar Pelangi yang sudah membaca Sang Pemimpi, Edensor, dan Laskar Pelangi, tampaknya ingin mengetahui nasib A Ling, Lintang, anggota Laskar Pelangi lain, dan tentu saja Ikal serta Belitong.
Film Laskar Pelangi telah menyihir penonton. Sampai bulan lalu tercatat 4,3 juta penonton di berbagai kota menonton film dengan karcis Rp 20.000,- yang sulit diperoleh itu. Belum lagi penonton layar tancap di Belitong yang diperkirakan mencapai 200 ribu orang. Dengan prestasi penonton sebanyak itu sutradara dan produser film ini memutuskan untuk tidak mengikutkan Laskar Pelangi dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2008 di Bandung, Jumat (12/12) kemarin. Jumlah penonton sudah membuktikan bahwa film itu sangat berkenan di hati masyarakat Indonesia.
Tetralogi Laskar Pelangi dapat dipandang sebagai biografi Andrea Hirata (Ikal) dalam mencapai pendidikan tinggi. Semangat Laskar Pelangi untuk belajar, walau keadaan sekolah Muhamadiyah di Belitong memprihatinkan, sangat tinggi. Andrea ingin membuktikan bahwa dengan doa dan kerja keras segala rintangan dapat diatasi. Di sekolah seadanya itu ternyata berkumpul anak-anak luar biasa. Lintang, sang fisikawan genius; juga Arai, Mahar, Samson, Kucai, Harun, dan sejumlah anak lain dengan bakat dan semangat menyala untuk belajar. Arai akhirnya diundang kembali ke Prancis untuk menyelesaikan tesisnya dan sekaligus ditawari melanjutkan studi sampai ke tingkat doktor. Dia berangkat dengan gadis pujaannya, Zakiah, yang berhasil diperistrinya.
Lintang harus meninggalkan sekolah sewaktu SMP, tak bisa melanjutkan studi ke SMA, apalagi ke universitas. Namun dalam novel Maryamah Karpov yang diberi judul kecil: mimpi-mimpi Lintang, kita disodori kisah tentang Lintang yang sudah menjadi juragan kopra namun tetap menunjukkan kejeniusannya saat merancang perahu Ikal yang akan dipakai untuk mencari A Ling di kepulauan Batuan. Demikian rinci ukuran kapal yang harus dibuat Lintang sampai ke hitungan sentimeter, termasuk jenis kayu yang harus dipakai. Lintang juga yang menolong Ikal mengangkat kapal yang sudah ratusan tahun terkubur di dasar sungai dengan rumus fisikanya! Karena itu perahu tersebut kemudian diberi nama: Mimpi-Mimpi Lintang.
Andrea Hirata tidak hanya menuliskan ''biografi'' sembarangan. Dia telah melakukan studi antropologi tentang kebiasaan orang Melayu Kepulauan yang punya selera humor sangat tinggi, dan dengan narasinya tentang rasa humor itu kita dibuat tertawa terbahak-bahak. Tentang ilmu perkapalan, pelayaran, geografi, fisika, kedokteran gigi, dan bahkan ''ilmu klenik''.
Dalam sosok Mahar tersimpan rahasia terkuburnya kapal di dasar sungai itu dan dengan pertolongan Mahar pula dia berhasil bernegosisai dengan Tuk Bayan Tula dan Dayang Kaw, dua tokoh setempat yang sangat ditakuti, untuk diizinkan mencari A Ling di Batuan selama tiga hari.
A Ling akhirnya ditemukan pada hari terakhir di sebuah barak kumuh dalam keadaan lemah. Saat meninggalkan Batuan mereka dikejar kelompok Tambok namun lantaran perahu mereka lebih baik dan layar didorong angin, maka mereka mampu lepas dari kejaran dan pulang ke kampung.
Ikal masih harus memenuhi hasrat Ketua Karmun untuk menghidupkan poliklinik gigi dengan dokter cantik Diaz. Caranya, dia mesti menyerahkan diri untuk dibedah giginya karena gusi gigi bungsunya membengkak. Keberhasilan dokter melakukan bedah gigi Ikal itu membuat penduduk kampung berduyunn berkunjung ke klinik untuk berobat.
A Ling sudah ditemukan namun pernikahan mereka tak disetujui ayah Ikal. Apa yang harus dilakukan?
Semua diceitakan Andrea Hirata dengan rinci dan ilmiah. Hal itu menunjukkan keluasan bacaan, wawasan, dan intelektualisme serta imajinasinya yang tinggi.
Lika-liku kehidupan anggota Laskar Pelangi diceritakan tuntas dalam jidid pamungkas tetralogi Laskar Pelangi, dengan gaya Andrea Hirata yang mengagumkan! Soal Maryamah Karpov dan gambar gadis bermain biola di sampul depan, ternyata itu Nurmi, putri Mak Cik Maryamah Karpov! (*)
*) Sunaryono Basuki Ks, sastrawan, tinggal di Singaraja
Judul Buku: Maryamah Karpov
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Jogjakarta
Cetakan: November 2008
Tebal: 504 + xii Halaman
Sumber Jawa Pos, 15 Desember 2008
Menulis, Terapi yang Menyembuhkan
Menulis pada hakikatnya merupakan aktivitas yang menggerakkan energi imajinatif nan mencerahkan. Akitivitas menulis tak hanya membuat sehat fisik dan mengukuhkan kekuatan jasmaniah, tetapi juga mencemerlangkan kehidupan. Menulis juga menjadi kekuatan untuk bertahan dari gempuran penyakit yang telah berakar dalam tubuh. Maka, dapat kita lacak dalam lanskap aras dunia kepenulisan termaktub nama-nama penulis yang berkarib dengan penyakit, namun tetap bugar.
Hal ini terekam dalam jejak kepenulisan pemikir wanita dari kaum muslim; Fatima Mernissi. Intelektual muslim yang lahir pada 1940 di Maroko ini banyak menulis buku yang melontarkan pertanyaan ''menggugat'' dan mencerahkan. Beberapa karyanya di antaranya, Beyond the Veil, Doing Daily Battle, Woman and Islam, The Forgotten Queens of Islam, Islam and Democracy, Dream of Trespass, dan beberapa yang lain.
Mernissi mengungkapkan bahwa menulis merupakan forum terbaik untuk menumpahkan apa saja yang mengganggu pikiran dan perasaan. Lebih lanjut Fatima Mernissi mewartakan kepada kita bahwa menulis dapat meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Menulis secara istiqomah setiap hari lebih baik daripada operasi pengencangan wajah. ''Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa,'' ungkap Mernissi.
Aktivitas menulis yang getol dengan kajian bahasa dan menganyam kata secara detail dapat menjadikan tubuh ini bebas dari penyakit kronis. Menumpahkan gagasan dalam bentuk teks juga menjadi ''terapi'' yang menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini terekam dalam pengalaman Dahlan Iskan, CEO/Chairman Jawa Pos Group. Dahlan menuliskan pengalaman dan refleksi pribadinya setelah melakukan transpalantasi liver di Tiongkok. Esai-esainya itu kemudian dibukukan dengan judul Ganti Hati (JPBooks, 2007). Kumpulan esai itu menjadi anyaman tulisan yang rapi dan menjadi terapi bagi kesehatan Dahlan Iskan. Spirit kepenulisan yang didedahkan Dahlan Iskan tak hanya menjadi semangat bagi dirinya sendiri, tetapi juga menebar inspirasi bagi orang lain untuk menjadi penulis maupun mengarungi dahsyatnya cobaan kehidupan.
Penulis lain di negeri ini yang meneruskan jejak kreatif di tengah ganasnya virus penyakit adalah Pipiet Senja. Penulis perempuan yang produktif berkarya ini sejak kecil menderita leukimia; kanker darah yang mengancam jiwanya. Di tengah kegalauan akan penyakit yang dideritanya, Pipiet Senja memilih jalan kesunyian dengan membaca dan menulis buku. Pipiet mengisi waktu luangnya dengan menulis jejak kegelisahan dan gagasan yang bertebaran di pikirannya. Walaupun setiap minggu harus transfusi darah untuk penyegaran tubuh, akan tetapi semangat menulisnya tak pernah surut, justru menjadi gelombang ide yang membuatnya asyik menuliskan gagasan. Maka, dapat kita telusuri dalam jejak sejarah penerbitan negeri ini, karya Pipiet Senja telah bertebaran di mana-mana hingga ke pelosok tanah air. Dari pancangan semangat menulis itulah, Pipiet menjadi lebih tegar menghirup napas kehidupan.
Di ranah penulisan dunia, banyak penulis yang hidup di tengah kepungan penyakit ganas. Akan tetapi mereka justru bertahan dan melakukan terapi dengan menjadi penulis brilian. Christine Clifford, misalnya, seorang penulis besar yang mengidap kanker. Di tengah perawatan medis yang harus dijalaninya berbulan-bulan, dengan pancangan semangat yang kokoh, dia terus menulis dan lahirlah buku pertamanya, Not Now...I'm Having a No Hair Day!.
Tak lama kemudian, setelah sukses operasi, buku berikutnya lahir dari rahim gagasannya: Our Family Has Cancer, Too! Kedua buku itu menyabet sejumlah penghargaan dan beroleh sambutan luas publik internasional.
Menghalau Kabut
Dalam jagad intelektual dunia Islam, ada ribuan ulama yang menjadi penulis produktif serta memiliki gagasan cemerlang. Di antaranya Ibn 'Aqil, ulama yang sangat luas pandangannya dan memiliki spirit belajar yang tak pernah redup. ''Saya tidak meninggalkan mencari ilmu kecuali pada dua malam; malam pernikahan saya dan malam kematian orang tua saya,'' ujar Ibn Aqil perihal dunia keilmuan yang dicintainya.
Ibn 'Aqil dilahirkan di Baghdad pada 431 H/1039 M. Pada usia 15 tahun, dia sudah menghafal Alquran. Ketika orang tuanya meninggal pada tahun 447 H/1055, bangsa Saljuk mengepung Baghdad. Ibn Aqil merupakan salah satu ulama yang banyak memiliki guru dan mentor diskusi. Guru-gurunya antara lain Abu al-Thayyib al-Thabari (wafat 450 H/1058), al-Khatib al-Baghdadi (wafat 643 H/1071 M), Abu Ishaq al-Syirazi (wafat 476 H/1083 M), Abu Muhammad al-Tamimi (wafat 488 H/1095 M). Spirit pembelajaran, mendaras teks agama dari berbagai aliran pemikiran dan spirit menulis yang tinggi menjadikan Ibn 'Aqil seorang ilmuan yang luas kajian keilmuannya, elok perangainya, dan menjadi seorang yang tercerahkan.
Konsistensi menulis di tengah penderitaan dan ketekunan menelusuri jejak keindahan Tuhan dari kitab-kitab akan mendapatkan pencerahan dan kecemerlangan kesehatan. Maka, tak salah, apabila Khaled Abou el-Fadl (2002) mengungkapkan bahwa menulis sejatinya merupakan sarana untuk menyibak ''tipuan kabut''. Kabut yang menutupi kecemerlangan berpikir dan kabut tebal yang menyumbat aliran darah di tubuh, hingga menjadikan sakit.
Menulis merupakan agenda menjernihkan kesehatan diri dan tangga menuju kecemerlangan pemikiran. (*)
*) Munawir Aziz, peneliti di Cepdes Jakarta
Dikutip dari Jawa Pos, 14 Desember 2008
Hal ini terekam dalam jejak kepenulisan pemikir wanita dari kaum muslim; Fatima Mernissi. Intelektual muslim yang lahir pada 1940 di Maroko ini banyak menulis buku yang melontarkan pertanyaan ''menggugat'' dan mencerahkan. Beberapa karyanya di antaranya, Beyond the Veil, Doing Daily Battle, Woman and Islam, The Forgotten Queens of Islam, Islam and Democracy, Dream of Trespass, dan beberapa yang lain.
Mernissi mengungkapkan bahwa menulis merupakan forum terbaik untuk menumpahkan apa saja yang mengganggu pikiran dan perasaan. Lebih lanjut Fatima Mernissi mewartakan kepada kita bahwa menulis dapat meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Menulis secara istiqomah setiap hari lebih baik daripada operasi pengencangan wajah. ''Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa,'' ungkap Mernissi.
Aktivitas menulis yang getol dengan kajian bahasa dan menganyam kata secara detail dapat menjadikan tubuh ini bebas dari penyakit kronis. Menumpahkan gagasan dalam bentuk teks juga menjadi ''terapi'' yang menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini terekam dalam pengalaman Dahlan Iskan, CEO/Chairman Jawa Pos Group. Dahlan menuliskan pengalaman dan refleksi pribadinya setelah melakukan transpalantasi liver di Tiongkok. Esai-esainya itu kemudian dibukukan dengan judul Ganti Hati (JPBooks, 2007). Kumpulan esai itu menjadi anyaman tulisan yang rapi dan menjadi terapi bagi kesehatan Dahlan Iskan. Spirit kepenulisan yang didedahkan Dahlan Iskan tak hanya menjadi semangat bagi dirinya sendiri, tetapi juga menebar inspirasi bagi orang lain untuk menjadi penulis maupun mengarungi dahsyatnya cobaan kehidupan.
Penulis lain di negeri ini yang meneruskan jejak kreatif di tengah ganasnya virus penyakit adalah Pipiet Senja. Penulis perempuan yang produktif berkarya ini sejak kecil menderita leukimia; kanker darah yang mengancam jiwanya. Di tengah kegalauan akan penyakit yang dideritanya, Pipiet Senja memilih jalan kesunyian dengan membaca dan menulis buku. Pipiet mengisi waktu luangnya dengan menulis jejak kegelisahan dan gagasan yang bertebaran di pikirannya. Walaupun setiap minggu harus transfusi darah untuk penyegaran tubuh, akan tetapi semangat menulisnya tak pernah surut, justru menjadi gelombang ide yang membuatnya asyik menuliskan gagasan. Maka, dapat kita telusuri dalam jejak sejarah penerbitan negeri ini, karya Pipiet Senja telah bertebaran di mana-mana hingga ke pelosok tanah air. Dari pancangan semangat menulis itulah, Pipiet menjadi lebih tegar menghirup napas kehidupan.
Di ranah penulisan dunia, banyak penulis yang hidup di tengah kepungan penyakit ganas. Akan tetapi mereka justru bertahan dan melakukan terapi dengan menjadi penulis brilian. Christine Clifford, misalnya, seorang penulis besar yang mengidap kanker. Di tengah perawatan medis yang harus dijalaninya berbulan-bulan, dengan pancangan semangat yang kokoh, dia terus menulis dan lahirlah buku pertamanya, Not Now...I'm Having a No Hair Day!.
Tak lama kemudian, setelah sukses operasi, buku berikutnya lahir dari rahim gagasannya: Our Family Has Cancer, Too! Kedua buku itu menyabet sejumlah penghargaan dan beroleh sambutan luas publik internasional.
Menghalau Kabut
Dalam jagad intelektual dunia Islam, ada ribuan ulama yang menjadi penulis produktif serta memiliki gagasan cemerlang. Di antaranya Ibn 'Aqil, ulama yang sangat luas pandangannya dan memiliki spirit belajar yang tak pernah redup. ''Saya tidak meninggalkan mencari ilmu kecuali pada dua malam; malam pernikahan saya dan malam kematian orang tua saya,'' ujar Ibn Aqil perihal dunia keilmuan yang dicintainya.
Ibn 'Aqil dilahirkan di Baghdad pada 431 H/1039 M. Pada usia 15 tahun, dia sudah menghafal Alquran. Ketika orang tuanya meninggal pada tahun 447 H/1055, bangsa Saljuk mengepung Baghdad. Ibn Aqil merupakan salah satu ulama yang banyak memiliki guru dan mentor diskusi. Guru-gurunya antara lain Abu al-Thayyib al-Thabari (wafat 450 H/1058), al-Khatib al-Baghdadi (wafat 643 H/1071 M), Abu Ishaq al-Syirazi (wafat 476 H/1083 M), Abu Muhammad al-Tamimi (wafat 488 H/1095 M). Spirit pembelajaran, mendaras teks agama dari berbagai aliran pemikiran dan spirit menulis yang tinggi menjadikan Ibn 'Aqil seorang ilmuan yang luas kajian keilmuannya, elok perangainya, dan menjadi seorang yang tercerahkan.
Konsistensi menulis di tengah penderitaan dan ketekunan menelusuri jejak keindahan Tuhan dari kitab-kitab akan mendapatkan pencerahan dan kecemerlangan kesehatan. Maka, tak salah, apabila Khaled Abou el-Fadl (2002) mengungkapkan bahwa menulis sejatinya merupakan sarana untuk menyibak ''tipuan kabut''. Kabut yang menutupi kecemerlangan berpikir dan kabut tebal yang menyumbat aliran darah di tubuh, hingga menjadikan sakit.
Menulis merupakan agenda menjernihkan kesehatan diri dan tangga menuju kecemerlangan pemikiran. (*)
*) Munawir Aziz, peneliti di Cepdes Jakarta
Dikutip dari Jawa Pos, 14 Desember 2008
10 Desember 2008
Literasi Informasi Dalam Semangkuk Es Teler
Oleh Romi Febriyanto Saputro
Literasi merupakan kemampuan untuk memberdayakan informasi.
Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan.
Manusia yang memiliki kemampuan literasi ekonomi akan lebih mudah untuk mengakses informasi bisnis dan memberdayakannya menjadi sebuah usaha mandiri. Manusia kaya literasi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membuka usaha mandiri.
Penjual es teller di pinggir JL. Veteran Kota Sragen dalam foto di atas mencantumkan nomor ponselnya untuk memudahkan komunikasi dengan pelanggan. Suatu ide yang mencerminkan diri sebagai pribadi berliterasi. Mengingat tak semua penjual es teller melakukan hal ini.
Literasi merupakan kemampuan untuk memberdayakan informasi.
Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan.
Manusia yang memiliki kemampuan literasi ekonomi akan lebih mudah untuk mengakses informasi bisnis dan memberdayakannya menjadi sebuah usaha mandiri. Manusia kaya literasi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membuka usaha mandiri.
Penjual es teller di pinggir JL. Veteran Kota Sragen dalam foto di atas mencantumkan nomor ponselnya untuk memudahkan komunikasi dengan pelanggan. Suatu ide yang mencerminkan diri sebagai pribadi berliterasi. Mengingat tak semua penjual es teller melakukan hal ini.
Kebenaran Untuk Anak
Buku Digital ini memuat kurang lebih 10 judul buku. Klik judul di atas untuk mendapatkan buku ini.
Tak Putus Dirundung Kontroversi
Buku Membongkar Kegagalan CIA Spionase Amatiran Negara Adidaya karya Tim Weiner sedang menjadi polemik orang ramai. Kegaduhan muncul berkaitan dengan penyebutan ''keterlibatan'' mantan Wakil Presiden Adam Malik (almarhum) sebagai agen Badan Pusat Intelejen AS (CIA) dalam kudeta atas Soekarno dan pembasmian PKI. Kontroversi buku ini dipicu analisis Tim Weiner berjudul ''Kami Hanya Menunggangi Ombak Itu ke Pantai'' di halaman 329-334.
Selama 40 tahun Amerika Serikat telah berusaha menyangkal dengan menyatakan tidak mempunyai kaitan apa pun dengan pembantaian yang mengatasnamakan gerakan anti-komunisme di Indonesia. ''Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu. Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai,'' kata Marshall Green, duta besar AS untuk Indonesia saat kudeta berdarah 1965.
Tim Weiner, reporter The New York Times, menulis: Adam Malik, setelah terlibat dalam perseteruan permanen dengan Soekarno, bertemu dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, di Jakarta pada 1964. ''Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik. Dia pejabat tertinggi Indonesia yang pernah kami rekrut,'' ujar Clyde McAvoy kepada Tim Weiner dalam wawancara di tahun 2005.
Moga-moga kontroversi tidak berujung pada pelarangan buku Tim Weiner oleh Kejaksaan Agung. Soalnya, buku ini, terlepas dari seluruh polemik yang ditimbulkan, sesungguhnya otokritik seorang jurnalis yang selama dua dekade menekuni jagat intelejen AS. Banyak informasi krusial yang lebih edukatif ketimbang masa lalu Adam Malik.
Mengapa AS sebagai negara superpower mempunyai lembaga spionase yang kualitasnya seperti ayam sayur? Mengapa polisi dunia sekaliber AS, agen-agen dinas rahasianya beroperasi serampangan? Inilah keprihatinan mendasar buku ini. Tim Weiner sampai pada kesimpulan bahwa sejarah operasi intelejen CIA yang telah berusia 60 tahun justru memangsa bangsa Amerika Serikat sendiri.
Tim Weiner, peraih Hadiah Pulitzer, menunjukkan bukti-bukti meyakinkan perihal kedunguan CIA. CIA salah memperhitungkan kekuatan komunisme di zaman Perang Dingin dan gagal mengkalkulasi ancaman terorisme. Agen-agen CIA mengetahui Tembok Berlin, simbol totalitarianisme rezim komuinis Eropa Timur, runtuh pada 1989 dari siaran televisi, bukan dari pasokan analisis mata-mata yang bekerja di bawah tanah.
Misi utama CIA pada masa Perang Dingin mencuri rahasia Uni Soviet dengan cara merekrut telik sandi lokal. Namun CIA tidak pernah memiliki seorang pun mata-mata yang punya pemahaman mendalam perihal cara kerja Kremlin. Semua relawan CIA yang bekerja di KGB, lembaga spionase Uni Soviet, tewas dieksekusi di Moskow gara-gara kontra-spionase Aldrich Ames --perwira senior CIA divisi Uni Soviet yang puluhan tahun bekerja untuk KGB.
CIA, di zaman Presiden Ronald Reagen, menjalankan misi salah kaprah di dunia ketiga. Menjual senjata pada Garda Revolusi Iran untuk membiayai gerilyawan Kontra-Sandinista buat melumpuhkan Daniel Ortega, gembong pemberontak Nikaragua. CIA menikam Uni Soviet dengan menyalurkan senjata miliaran dolar di Afghanistan. Tidak disadari bahwa para pejuang Al-Qaeda kelak justru menjadi bumerang bagi AS. Operasi-operasi rahasia CIA umumnya merupakan tikaman-tikaman buta dalam kegelapan. CIA menyembunyikan pelbagai kegagalannya di luar negeri dengan berbohong demi mempertahankan reputasi.
Kegagalan CIA telah mewariskan, meminjam istilah Presiden Eisenhower, ''a legacy of ashes (warisan puing-puing)''. Ambruknya WTC, katedral kapitalisme yang membelasah pada 11 September 2001 dengan telanjang memeragakan kepada dunia bahwa agen-agen CIA tak ubahnya bebek lumpuh dalam mengantisipasi serbuan teroris didikan CIA sendiri. Durasi waktu robohnya menara pertama dengan kedua 18 menit. CIA gagal mencegah tragedi menara kembar. Sekitar 3.000 warga AS mati konyol di New York, Washington, dan Pennsylvania.
Buku kegagalan besar CIA ini diramu Tim Weiner dengan mempelajari 50.000 arsip CIA, wawancara mendalam dengan ratusan veteran CIA, dan pengakuan sepuluh direkturnya. Ramuan eksplosif agen-agen CIA nyaris membubarkan kantor spionase terbesar di jagat raya itu pasca-ambruknya WTC. Buku ini bersifat on the record. Tidak ada sumber anonim, tidak ada kutipan tanpa identitas pembicara, dan bukan gosip picisan. Ini adalah sejarah CIA yang disusun berdasarkan liputan langsung di Afghanistan dan kompilasi dokumen-dokumen utama.
Disajikan dengan gaya bertutur mengalir, Tim Weiner bagaikan penulis triller, menempatkan diri sebagai seorang tukang cerita kelas wahid. Kehebohan buku ini setali tiga uang dengan buku The Spycatcher karya Peter Wright yang dilarang (mempermalukan) kerajaan Inggris karena mengisahkan sepak terjang Sir Roger Hollis, Direktur Jenderal Dinas Rahasia MI5, yang ternyata agen ganda KGB.
Inilah semesta hikmah paling visioner yang bisa ditimba dari sejarah CIA. Persoalan besar di dunia saat ini adalah ekonomi-politik berbasis keserakahan dan keuntungan tanpa batas yang terlalu berkiblat ke AS. Negeri Paman Sam, berikut sepak terjang badan intelejennya itu, bisa jadi sumber pelbagai perang, fundamentalisme, ekstremisme, dan terorisme nan tak kunjung padam di sekujur belahan dunia. (*)
*) J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta
Judul Buku: Membongkar Kegagalan CIA
Judul Asli: Legacy of Ashes The History of CIA
Penulis: Tim Weiner
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xxiv + 832 Halaman
Sumber www.jawapos.co.id
Selama 40 tahun Amerika Serikat telah berusaha menyangkal dengan menyatakan tidak mempunyai kaitan apa pun dengan pembantaian yang mengatasnamakan gerakan anti-komunisme di Indonesia. ''Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu. Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai,'' kata Marshall Green, duta besar AS untuk Indonesia saat kudeta berdarah 1965.
Tim Weiner, reporter The New York Times, menulis: Adam Malik, setelah terlibat dalam perseteruan permanen dengan Soekarno, bertemu dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, di Jakarta pada 1964. ''Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik. Dia pejabat tertinggi Indonesia yang pernah kami rekrut,'' ujar Clyde McAvoy kepada Tim Weiner dalam wawancara di tahun 2005.
Moga-moga kontroversi tidak berujung pada pelarangan buku Tim Weiner oleh Kejaksaan Agung. Soalnya, buku ini, terlepas dari seluruh polemik yang ditimbulkan, sesungguhnya otokritik seorang jurnalis yang selama dua dekade menekuni jagat intelejen AS. Banyak informasi krusial yang lebih edukatif ketimbang masa lalu Adam Malik.
Mengapa AS sebagai negara superpower mempunyai lembaga spionase yang kualitasnya seperti ayam sayur? Mengapa polisi dunia sekaliber AS, agen-agen dinas rahasianya beroperasi serampangan? Inilah keprihatinan mendasar buku ini. Tim Weiner sampai pada kesimpulan bahwa sejarah operasi intelejen CIA yang telah berusia 60 tahun justru memangsa bangsa Amerika Serikat sendiri.
Tim Weiner, peraih Hadiah Pulitzer, menunjukkan bukti-bukti meyakinkan perihal kedunguan CIA. CIA salah memperhitungkan kekuatan komunisme di zaman Perang Dingin dan gagal mengkalkulasi ancaman terorisme. Agen-agen CIA mengetahui Tembok Berlin, simbol totalitarianisme rezim komuinis Eropa Timur, runtuh pada 1989 dari siaran televisi, bukan dari pasokan analisis mata-mata yang bekerja di bawah tanah.
Misi utama CIA pada masa Perang Dingin mencuri rahasia Uni Soviet dengan cara merekrut telik sandi lokal. Namun CIA tidak pernah memiliki seorang pun mata-mata yang punya pemahaman mendalam perihal cara kerja Kremlin. Semua relawan CIA yang bekerja di KGB, lembaga spionase Uni Soviet, tewas dieksekusi di Moskow gara-gara kontra-spionase Aldrich Ames --perwira senior CIA divisi Uni Soviet yang puluhan tahun bekerja untuk KGB.
CIA, di zaman Presiden Ronald Reagen, menjalankan misi salah kaprah di dunia ketiga. Menjual senjata pada Garda Revolusi Iran untuk membiayai gerilyawan Kontra-Sandinista buat melumpuhkan Daniel Ortega, gembong pemberontak Nikaragua. CIA menikam Uni Soviet dengan menyalurkan senjata miliaran dolar di Afghanistan. Tidak disadari bahwa para pejuang Al-Qaeda kelak justru menjadi bumerang bagi AS. Operasi-operasi rahasia CIA umumnya merupakan tikaman-tikaman buta dalam kegelapan. CIA menyembunyikan pelbagai kegagalannya di luar negeri dengan berbohong demi mempertahankan reputasi.
Kegagalan CIA telah mewariskan, meminjam istilah Presiden Eisenhower, ''a legacy of ashes (warisan puing-puing)''. Ambruknya WTC, katedral kapitalisme yang membelasah pada 11 September 2001 dengan telanjang memeragakan kepada dunia bahwa agen-agen CIA tak ubahnya bebek lumpuh dalam mengantisipasi serbuan teroris didikan CIA sendiri. Durasi waktu robohnya menara pertama dengan kedua 18 menit. CIA gagal mencegah tragedi menara kembar. Sekitar 3.000 warga AS mati konyol di New York, Washington, dan Pennsylvania.
Buku kegagalan besar CIA ini diramu Tim Weiner dengan mempelajari 50.000 arsip CIA, wawancara mendalam dengan ratusan veteran CIA, dan pengakuan sepuluh direkturnya. Ramuan eksplosif agen-agen CIA nyaris membubarkan kantor spionase terbesar di jagat raya itu pasca-ambruknya WTC. Buku ini bersifat on the record. Tidak ada sumber anonim, tidak ada kutipan tanpa identitas pembicara, dan bukan gosip picisan. Ini adalah sejarah CIA yang disusun berdasarkan liputan langsung di Afghanistan dan kompilasi dokumen-dokumen utama.
Disajikan dengan gaya bertutur mengalir, Tim Weiner bagaikan penulis triller, menempatkan diri sebagai seorang tukang cerita kelas wahid. Kehebohan buku ini setali tiga uang dengan buku The Spycatcher karya Peter Wright yang dilarang (mempermalukan) kerajaan Inggris karena mengisahkan sepak terjang Sir Roger Hollis, Direktur Jenderal Dinas Rahasia MI5, yang ternyata agen ganda KGB.
Inilah semesta hikmah paling visioner yang bisa ditimba dari sejarah CIA. Persoalan besar di dunia saat ini adalah ekonomi-politik berbasis keserakahan dan keuntungan tanpa batas yang terlalu berkiblat ke AS. Negeri Paman Sam, berikut sepak terjang badan intelejennya itu, bisa jadi sumber pelbagai perang, fundamentalisme, ekstremisme, dan terorisme nan tak kunjung padam di sekujur belahan dunia. (*)
*) J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta
Judul Buku: Membongkar Kegagalan CIA
Judul Asli: Legacy of Ashes The History of CIA
Penulis: Tim Weiner
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xxiv + 832 Halaman
Sumber www.jawapos.co.id
Merosotnya AS, Melejitnya India-Tiongkok
JudulBuku: The Post-American World
Penulis: Fareed Zakaria
Penerbit: New York: Norton & Company
Cetakan: 2008
Tebal: 292 halaman + index
DI tengah ekonomi dunia yang tumbuh pesat, Amerika Serikat memasuki masa-masa kritis yang akan mengakhiri supremasi ekonomi, politik, dan budaya yang lebih setengah abad disandangnya. AS bakal segera kehilangan posisi sebagai kiblat ekonomi, politik, dan budaya dunia di era globalisasi ini, menyisakan hanya sebuah supremasi militer yang tak lama lagi juga akan menjadi tidak relevan. AS sedang merosot.
Kejatuhan Lehman Brothers pada akhir September 2008 adalah tanda terbaru dari kemerosotan ekonomi AS. Sebelumnya, menyusul krisis subprime mortgage, beberapa perusahaan besar AS juga telah mengalami kebangkrutan, dan beberapa beralih ke pemilik modal Asia, misalnya Citigrup, Merril Lynch, Barclays, Morgan Stanley, dan Blakstone.
Kepemimpinan Presiden George Bush (Jr), penguasa Gedung Putih paling kontroversial, turut memberikan kontribusi penting bagi percepatan lengsernya peran global AS, membuka jalan bagi apa yang oleh Fareed Zakaria disebut sebagai Dunia Pasca Amerika (Post-American World). AS gagal dalam ekonomi global karena terlibat dalam perang dan perang, kebijakan paling menonjol dari Presiden Bush.
Fareed memang berbagi pandangan dengan banyak pengamat tentang diagnosis kemerosotan peran global AS tersebut. Kendati demikian, buku yang ditulisnya ini bukan semata menceritakan kemunduran AS, terutama pada hampir delapan tahun di bawah Bush. Buku ini, demikian Fareed menulis, lebih tentang kebangkitan negara-negara lain di luar AS.
Negara-negara lain di luar AS tersebut, yang telah banyak disebut oleh para penulis sebelumnya, adalah China dan India pada lapis pertama; Brazil, Rusia, Turki, dan Afrika Selatan pada lapis kedua; dan pada lapis ketiga terdapat Kenya dan beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sayangnya, Indonesia tidak masuk dalam deretan negara yang berjaya secara ekonomi sehingga tidak mendapatkan tempat penting dan bahasan yang memadai dalam Dunia Pasca Amerika.
Buku ini menunjukkan bahwa semua negara bisa meraih kejayaan ekonomi dan menang dalam globalisasi tanpa harus merugikan negara yang lain, bahkan dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Memang, globalisasi sendiri membuka sekaligus peluang dan perangkap. Kejayaan ekonomi negara-negara dicapai dengan sikap terbuka untuk menerima dan mempelajari bangsa lain dan, pada saat bersamaan, mengenali keunggulan diri sendiri. Hanya dengan kejayaan ekonomi maka sebuah bangsa bisa mengejar ambisi yang lain untuk berjaya di bidang politik dan budaya.
Fareed, mengutip Profesor Havard Steven Pinker, berargumentasi, ''bahwa hari ini kita barangkali hidup di masa yang paling damai dalam keberadaan spesies kita.'' (hlm. 9).
Lantas, mengapa dunia yang menurut fakta-fakta objektif sesungguhnya lebih aman tersebut justru dianggap oleh publik sebagai dunia yang lebih berbahaya, kacau, dan mengancam?
''Salah satu alasan terjadinya ketidaksesuaian (mismatch) antara realitas dan perasaan kita atas realitas tersebut barangkali karena, lebih dibandingkan dekade-dekade yang silam, kita mengalami sebuah revolusi teknologi informasi yang membawa kepada kita berita-berita dari seluruh dunia seketika, nyata, dan terus-menerus.
Kedekatan gambaran-gambaran peristiwa dan intensitas berita-berita berkesinambungan 24 jam bersama-sama telah menghasilkan hiperbola yang konstan. Setiap gangguan cuaca adalah ''badai abad ini''. Setiap bom yang meledak adalah breaking news. Sangat sulit untuk menaruh semua ini dalam konteks secara pas karena revolusi informasi demikian baru,'' tulis Fareed (hlm. 9).
Revolusi teknologi informasi mengubah pemboman yang kurang siginifikan menjadi peristiwa terorisme yang penting. Pemberitaan demikian membuat orang yang menonton televisi berpikir ''hal yang sama bisa terjadi pada saya'' setiap kali menyaksikan pemberitaan tentang tindakan terorisme atas sasaran-sasaran sipil.
Di balik pemberitaan terus-menerus oleh media massa (khususnya televisi) tentang dunia yang tidak aman dan mengancam, pergeseran yang fundamental telah berlangsung pada bidang ekonomi sebagai basis struktural tatanan global. Di seluruh penjuru dunia, ekonomi telah mengalahkan politik. Perekonomian global terus tumbuh (hlm. 18) mengabaikan kondisi dan ''risiko politik'' dalam dua dekade terakhir. Fareed menyebut pergeseran tersebut sebagai ''ekspansi ketiga ekonomi global'' dan sejauh ini yang paling dahsyat dibandingkan ekspansi-ekspansi ekonomi global pada dua peristiwa sebelumnya.
Kebangkitan Tiongkok dan India
Dua negara yang paling menonjol -dan paling banyak disebut oleh para ekonom dan pakar globalisasi- adalah dua negara Asia yang sebelumnya memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, India dan China. Kebetulan, dua negara itu adalah pusat-pusat budaya, agama, dan ilmu pengetahuan di masa lampau. Seandainya mereka tampil menjadi pusat ekonomi, politik, dan budaya baru pasca Amerika maka keduanya memang telah memiliki akar pijakan budaya yang kuat untuk itu.
India dan China berjaya terutama berkat liberalisasi pasar, ketepatan pilihan industrialisasi, dan kepemimpinan yang baik. Dengan kombinasi ketiga kata kunci tersebut, India dan China berhasil mencapai secara konstan pertumbuhan tinggi, akumulasi kapital, pertanian berlimpah, dan penguasaan teknologi dalam beberapa tahun terakhir. China ditakuti dan disegani secara ekonomi karena negara ini juga merupakan pemborong utama perusahaan-perusahaan AS yang diambang kebangkrutan, termasuk yang disebutkan di atas.
India, sama seperti China, juga mengambil jalan liberalisasi ekonomi. Dalam konteks ini, India lebih mudah menjalaninya karena telah lama menjalani hidup sebagai negara yang demokratis, dan India bahkan tetap bertahan pada demokrasi meskipun menjalani masa-masa sulit dalam kemiskinan sejak merdeka dari Inggris pada 1947. Titik terang menuju kebangkitan ekonomi India muncul di awal 1990-an ketika India secara lebih tegas mengadopsi liberalisasi ekonomi. Sebelumnya, untuk waktu yang lama India menerapkan ekonomi semi-sosialis dan menjalin politik luar negeri yang lebih dekat dengan Uni Soviet.
Dengan berakhirnya Perang Dingin (1989) dan bubarnya Uni Soviet (1990) maka India harus mengambil jalan berbeda. Kebijakan liberalisasi ekonomi diikuti kemudian hubungan baik dengan AS dan China menjadi modal penting bagi pembangunan ekonomi India.
Sebagaimana China, industrialisasi -terutama industri teknologi informasi, komputer, elektronik, dan jasa- tumbuh pesat di India. Namun, industrialisasi India tidak hanya pada hal-hal di atas, tetapi juga industri berteknologi menengah dan tinggi. Berbeda dengan China, pemerintah India -sebagai konsekuensi dari sistem politik demokratis- tidak mengarahkan dan terlalu mencampuri proses industralisasi dan modernisasi ekonomi yang berlangsung. ''Pertumbuhan ekonomi India berlangsung bukan atas perencanaan pemerintah tetapi justru karena pembiaran. Bukan pertumbuhan dari atas (top-down) tetapi pertumbuhan dari bawah (bottom-up). Ini pertumbuhan yang tidak beraturan, kacau, dan tidak terencana,'' tulis Fareed. Kok bisa demikian?
Salah satu jawabnya, menurut Fareed, adalah apa yang biasa dikenal sebagai investasi manusia (human investment). Di masa-masa ekonomi yang sulit, terutama pada 1970-an, banyak orang India yang pandai pergi mencari penghidupan di luar negeri. Mereka yang bersekolah di luar negeri, karena merasa tidak akan mendapatkan tempat cocok di dalam negeri, bertahan untuk bekerja di luar negeri. Fenomena ini kerap disebut sebagai brain drain (konotasi yang merugikan bagi India), tetapi sebenarnya menurut Fareed yang terjadi justru brain gain (konotasi yang menguntungkan India).
Para ahli dan terpelajar India di luar negeri memainkan peran besar dalam membuka ekonomi negerinya sendiri. Mereka kembali ke India dengan uang membawa (money), gagasan investasi (investment ideas), standar global (global standard). Selain itu, dan ini yang lebih penting, fenomena tersebut telah menanamkan perasaan kebanggaan bahwa orang India bisa menguasai apa saja.
Dalam iruk-pikuk perubahan, transformasi, ekspansi, dan kejayaan yang dicapai banyak negara tersebut, lantas di mana posisi Indonesia? Tidak ada bahasan penting tentang Indonesia dalam buku ini. Kecuali beberapa sebutan merujuk pada ilustrasi atau contoh yang tidak penting. Fareed, dan tampaknya kita sendiri bisa mahfum, belum ada sumbangan atau pencapaian Indonesia yang layak untuk mendapatkan bahasan dalam buku ini. Sayang sekali memang, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara ternyata tidak mendapatkan tempat yang layak dalam Dunia Pasca Amerika.(*)
*) Endi Haryono, staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UPN Veteran Jogja
Sumber www.jawapos.co.id
Penulis: Fareed Zakaria
Penerbit: New York: Norton & Company
Cetakan: 2008
Tebal: 292 halaman + index
DI tengah ekonomi dunia yang tumbuh pesat, Amerika Serikat memasuki masa-masa kritis yang akan mengakhiri supremasi ekonomi, politik, dan budaya yang lebih setengah abad disandangnya. AS bakal segera kehilangan posisi sebagai kiblat ekonomi, politik, dan budaya dunia di era globalisasi ini, menyisakan hanya sebuah supremasi militer yang tak lama lagi juga akan menjadi tidak relevan. AS sedang merosot.
Kejatuhan Lehman Brothers pada akhir September 2008 adalah tanda terbaru dari kemerosotan ekonomi AS. Sebelumnya, menyusul krisis subprime mortgage, beberapa perusahaan besar AS juga telah mengalami kebangkrutan, dan beberapa beralih ke pemilik modal Asia, misalnya Citigrup, Merril Lynch, Barclays, Morgan Stanley, dan Blakstone.
Kepemimpinan Presiden George Bush (Jr), penguasa Gedung Putih paling kontroversial, turut memberikan kontribusi penting bagi percepatan lengsernya peran global AS, membuka jalan bagi apa yang oleh Fareed Zakaria disebut sebagai Dunia Pasca Amerika (Post-American World). AS gagal dalam ekonomi global karena terlibat dalam perang dan perang, kebijakan paling menonjol dari Presiden Bush.
Fareed memang berbagi pandangan dengan banyak pengamat tentang diagnosis kemerosotan peran global AS tersebut. Kendati demikian, buku yang ditulisnya ini bukan semata menceritakan kemunduran AS, terutama pada hampir delapan tahun di bawah Bush. Buku ini, demikian Fareed menulis, lebih tentang kebangkitan negara-negara lain di luar AS.
Negara-negara lain di luar AS tersebut, yang telah banyak disebut oleh para penulis sebelumnya, adalah China dan India pada lapis pertama; Brazil, Rusia, Turki, dan Afrika Selatan pada lapis kedua; dan pada lapis ketiga terdapat Kenya dan beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sayangnya, Indonesia tidak masuk dalam deretan negara yang berjaya secara ekonomi sehingga tidak mendapatkan tempat penting dan bahasan yang memadai dalam Dunia Pasca Amerika.
Buku ini menunjukkan bahwa semua negara bisa meraih kejayaan ekonomi dan menang dalam globalisasi tanpa harus merugikan negara yang lain, bahkan dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Memang, globalisasi sendiri membuka sekaligus peluang dan perangkap. Kejayaan ekonomi negara-negara dicapai dengan sikap terbuka untuk menerima dan mempelajari bangsa lain dan, pada saat bersamaan, mengenali keunggulan diri sendiri. Hanya dengan kejayaan ekonomi maka sebuah bangsa bisa mengejar ambisi yang lain untuk berjaya di bidang politik dan budaya.
Fareed, mengutip Profesor Havard Steven Pinker, berargumentasi, ''bahwa hari ini kita barangkali hidup di masa yang paling damai dalam keberadaan spesies kita.'' (hlm. 9).
Lantas, mengapa dunia yang menurut fakta-fakta objektif sesungguhnya lebih aman tersebut justru dianggap oleh publik sebagai dunia yang lebih berbahaya, kacau, dan mengancam?
''Salah satu alasan terjadinya ketidaksesuaian (mismatch) antara realitas dan perasaan kita atas realitas tersebut barangkali karena, lebih dibandingkan dekade-dekade yang silam, kita mengalami sebuah revolusi teknologi informasi yang membawa kepada kita berita-berita dari seluruh dunia seketika, nyata, dan terus-menerus.
Kedekatan gambaran-gambaran peristiwa dan intensitas berita-berita berkesinambungan 24 jam bersama-sama telah menghasilkan hiperbola yang konstan. Setiap gangguan cuaca adalah ''badai abad ini''. Setiap bom yang meledak adalah breaking news. Sangat sulit untuk menaruh semua ini dalam konteks secara pas karena revolusi informasi demikian baru,'' tulis Fareed (hlm. 9).
Revolusi teknologi informasi mengubah pemboman yang kurang siginifikan menjadi peristiwa terorisme yang penting. Pemberitaan demikian membuat orang yang menonton televisi berpikir ''hal yang sama bisa terjadi pada saya'' setiap kali menyaksikan pemberitaan tentang tindakan terorisme atas sasaran-sasaran sipil.
Di balik pemberitaan terus-menerus oleh media massa (khususnya televisi) tentang dunia yang tidak aman dan mengancam, pergeseran yang fundamental telah berlangsung pada bidang ekonomi sebagai basis struktural tatanan global. Di seluruh penjuru dunia, ekonomi telah mengalahkan politik. Perekonomian global terus tumbuh (hlm. 18) mengabaikan kondisi dan ''risiko politik'' dalam dua dekade terakhir. Fareed menyebut pergeseran tersebut sebagai ''ekspansi ketiga ekonomi global'' dan sejauh ini yang paling dahsyat dibandingkan ekspansi-ekspansi ekonomi global pada dua peristiwa sebelumnya.
Kebangkitan Tiongkok dan India
Dua negara yang paling menonjol -dan paling banyak disebut oleh para ekonom dan pakar globalisasi- adalah dua negara Asia yang sebelumnya memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, India dan China. Kebetulan, dua negara itu adalah pusat-pusat budaya, agama, dan ilmu pengetahuan di masa lampau. Seandainya mereka tampil menjadi pusat ekonomi, politik, dan budaya baru pasca Amerika maka keduanya memang telah memiliki akar pijakan budaya yang kuat untuk itu.
India dan China berjaya terutama berkat liberalisasi pasar, ketepatan pilihan industrialisasi, dan kepemimpinan yang baik. Dengan kombinasi ketiga kata kunci tersebut, India dan China berhasil mencapai secara konstan pertumbuhan tinggi, akumulasi kapital, pertanian berlimpah, dan penguasaan teknologi dalam beberapa tahun terakhir. China ditakuti dan disegani secara ekonomi karena negara ini juga merupakan pemborong utama perusahaan-perusahaan AS yang diambang kebangkrutan, termasuk yang disebutkan di atas.
India, sama seperti China, juga mengambil jalan liberalisasi ekonomi. Dalam konteks ini, India lebih mudah menjalaninya karena telah lama menjalani hidup sebagai negara yang demokratis, dan India bahkan tetap bertahan pada demokrasi meskipun menjalani masa-masa sulit dalam kemiskinan sejak merdeka dari Inggris pada 1947. Titik terang menuju kebangkitan ekonomi India muncul di awal 1990-an ketika India secara lebih tegas mengadopsi liberalisasi ekonomi. Sebelumnya, untuk waktu yang lama India menerapkan ekonomi semi-sosialis dan menjalin politik luar negeri yang lebih dekat dengan Uni Soviet.
Dengan berakhirnya Perang Dingin (1989) dan bubarnya Uni Soviet (1990) maka India harus mengambil jalan berbeda. Kebijakan liberalisasi ekonomi diikuti kemudian hubungan baik dengan AS dan China menjadi modal penting bagi pembangunan ekonomi India.
Sebagaimana China, industrialisasi -terutama industri teknologi informasi, komputer, elektronik, dan jasa- tumbuh pesat di India. Namun, industrialisasi India tidak hanya pada hal-hal di atas, tetapi juga industri berteknologi menengah dan tinggi. Berbeda dengan China, pemerintah India -sebagai konsekuensi dari sistem politik demokratis- tidak mengarahkan dan terlalu mencampuri proses industralisasi dan modernisasi ekonomi yang berlangsung. ''Pertumbuhan ekonomi India berlangsung bukan atas perencanaan pemerintah tetapi justru karena pembiaran. Bukan pertumbuhan dari atas (top-down) tetapi pertumbuhan dari bawah (bottom-up). Ini pertumbuhan yang tidak beraturan, kacau, dan tidak terencana,'' tulis Fareed. Kok bisa demikian?
Salah satu jawabnya, menurut Fareed, adalah apa yang biasa dikenal sebagai investasi manusia (human investment). Di masa-masa ekonomi yang sulit, terutama pada 1970-an, banyak orang India yang pandai pergi mencari penghidupan di luar negeri. Mereka yang bersekolah di luar negeri, karena merasa tidak akan mendapatkan tempat cocok di dalam negeri, bertahan untuk bekerja di luar negeri. Fenomena ini kerap disebut sebagai brain drain (konotasi yang merugikan bagi India), tetapi sebenarnya menurut Fareed yang terjadi justru brain gain (konotasi yang menguntungkan India).
Para ahli dan terpelajar India di luar negeri memainkan peran besar dalam membuka ekonomi negerinya sendiri. Mereka kembali ke India dengan uang membawa (money), gagasan investasi (investment ideas), standar global (global standard). Selain itu, dan ini yang lebih penting, fenomena tersebut telah menanamkan perasaan kebanggaan bahwa orang India bisa menguasai apa saja.
Dalam iruk-pikuk perubahan, transformasi, ekspansi, dan kejayaan yang dicapai banyak negara tersebut, lantas di mana posisi Indonesia? Tidak ada bahasan penting tentang Indonesia dalam buku ini. Kecuali beberapa sebutan merujuk pada ilustrasi atau contoh yang tidak penting. Fareed, dan tampaknya kita sendiri bisa mahfum, belum ada sumbangan atau pencapaian Indonesia yang layak untuk mendapatkan bahasan dalam buku ini. Sayang sekali memang, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara ternyata tidak mendapatkan tempat yang layak dalam Dunia Pasca Amerika.(*)
*) Endi Haryono, staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UPN Veteran Jogja
Sumber www.jawapos.co.id
Membaca Buku di Atas Perahu
Oleh Mohamad Ali Hisyam*
Unik nian terobosan yang dilakukan pemerintah Batola, satu daerah kabupaten di Kalimantan Selatan. Wilayah yang terletak di pelosok Borneo itu jarang sekali namanya disebut orang dan mampir di telinga kita. Memanfaatkan potensi alam yang dimiliki, Pemda Batola baru-baru ini merilis program sekolah antarjemput dengan menggunakan perahu. Sungai Barito yang mengular di sepanjang kawasan tersebut dan selama ini menjadi urat nadi kehidupan masyarakat setempat kemudian menjadi rute utama pelayaran ''sekolah perahu'' tersebut.
Program ini dikhususkan bagi mereka yang terputus paksa atau sama sekali tak pernah berkesempatan mencicipi bangku sekolah. Istilah kerennya, sekolah kejar paket. Sebuah perahu motor besar terbuat dari kayu Kalimantan disediakan. Di ruang atas khusus untuk kelas. Sedangkan di lantai bawah tersedia perpustakaan dengan aneka buku dan dilengkapi fasilitas komputer serta internet. Di luar ruangan kita bisa menggunakan teras perahu untuk sekadar rehat meluruskan kaki sembari menikmati pemandangan di pinggir sungai.
Hal positif dan bernuansa baru yang dapat dibaca dari program ini adalah kejelian Pemda Batola dalam memanfaatkan potensi kekayaan alam sebagai sarana rekreasi dan pendidikan yang jauh dari membosankan. Barangkali nyaris tak terbayangkan bagaimana sekumpulan anak saban hari bersekolah dan menikmati aneka bacaan dalam perpustakaan di atas perahu yang berjalan menyusuri arus Sungai Barito. Sungguh akan menghadirkan nuansa kesenangan dan sensasi tersendiri. Apalagi bagi masyarakat pegunungan yang amat jarang bersentuhan langsung dengan lingkungan sungai.
Selama ini aktivitas membaca lazimnya dilakukan di ruangan yang tak bergerak. Hanya di atas tumpangan barangkali seseorang akan membaca sambil terguncang badannya mengikuti laju kendaraan. Dan, perahu adalah satu dari sekian moda transportasi yang menawarkan kenyamanan bagi penumpangnya. Ada perasaan rileks dan tenang yang menyergap manakala kita menaiki perahu. Gemeriak aliran sungai serta kesiur angin akan menjadi musik alami yang mampu membuat penumpangnya mendapatkan suasana nyaman dan teduh serta merangsang imajinasi.
Kita tak harus selalu mengamini anjuran Bobbi De Porter atau Mike Hernacki yang menyarankan untuk membaca dengan posisi tegak dan minim gerak. Hempasan halus arus sungai yang menggoyang badan perahu justru mengantar pembaca buku menuju keterbuaian yang nikmat. Jika meminjam istilah Muhammad Yulius, melakukan perjalanan dengan perahu mampu menawarkan alternatif audio yang lebih memungkinkan fokus pendengaran menjadi lebih hening. Apalagi bentuk buku yang portable serta mudah dibawa dapat mengendapkan kenangan interaksi intelektual yang tak gampang lekang.
Sungguh pantas disyukuri negeri ini dikelilingi gugusan pulau-pulau indah dengan liukan seribu sungai di atasnya. Niscaya jika hal semacam ini dimanfaatkan secara optimal ia akan menjadi objek wisata yang menjanjikan. Boleh saja kita membayangkan di Nusantara ini ada daerah seperti Venezia di Italia yang terkenal dengan wisata sungainya. Di Kota Cinta itu pelancong dimanjakan dengan Gandola (sampan khas Venezia) yang siap mengantar penumpang menyusuri jernihnya sungai yang membelah kota. Begitu pula di Mesir dengan bentangan Sungai Nil-nya yang mengagumkan.
Sekali lagi, perpustakaan di atas perahu, walaupun mungkin ada di banyak tempat lain, tetaplah menyajikan pemandangan yang langka. Terlebih di Indonesia dengan dinamika dunia literasi yang garing dan miskin kreasi. Tak terlampau salah kiranya jika salah seorang pengamat perbukuan pernah mengibaratkan perpustakaan sebagai ''ruang tersunyi''. Dan, aktivitas membaca tak ubahnya sebuah persembunyian paling senyap ketika seseorang sudi berdialog dengan semesta ide. Seramai dan seriuh apa pun isi sebuah buku serta segaduh apa pun kecamuk pikiran di kepala seseorang, ia tetap akan tersudut pada suasana sunyi yang menyelimuti buku dan perpustakaan.
Tentu tak semua daerah bisa menyediakan perpustakaan di atas air seperti di Batola. Namun, dari sekian wilayah di Nusantara, tak sedikit yang memiliki sungai yang cukup representatif untuk dijadikan objek wisata. Katakanlah ini semacam wisata literer. Keliling kota sambil membaca buku di atas perahu. Dalam bingkai pendidikan, upaya ini dapat digolongkan sebagai kreasi media pembelajaran dalam wujudnya yang asyik dan rekreatif.
Paling tidak, jika sejumlah kota besar yang dilalui arus sungai seperti Batola menduplikasi program ini, akan lahir beberapa manfaat langsung maupun tak langsung. Antara lain berupa suguhan alternatif pola dan media pembelajaran yang baru dan jauh dari monoton. Dalam perspektif lingkungan, pemerintah (dinas lingkungan hidup dan tata kota) mau tak mau akan selalu berusaha menjaga kebersihan dan keasrian sungai. Sehingga daerah aliran sungai menjadi bersih, lingkungan tak tercemar, warga senang, dan wisatawan pun bakal berdatangan.
Di tengah mulai diminatinya pustaka genre travelling oleh pasar buku saat ini, fenomena yang disodorkan Pemda Batola itu sangat inspiratif dan menggugah. Dalam tilikan historis, banyak pengelana di Nusantara yang mengabadikan perjalanan dan ketertarikan mereka pada alam lewat tulisan di buku perjalanan. Prabu Jaya Pakuan (Padjajaran) menulis Naskah Bujangga Manik yang antara lain berkisah tentang keterpukauan sang prabu pada kemolekan Sungai Cisokan di Jawa Barat.
Yang pasti, panorama perbukuan Batola serta-merta mengingatkan saya pada sepenggal sajak yang pernah ditulis Hasan Aspahani bertajuk Perahu Buku. Puisi yang dipersembahkan khusus untuk penyair Sitok Srengenge itu antara lain berbunyi:
Rumahmu danau yang tenang, perahuku tertidur/ditimang ombak mungil yang mahir menembang/Aku dan perahuku berpelukan, bulan menyaksikan/ia cemas bertanya, ''kau tak mabuk-arak, bukan?''/Menjelang pagi, ada cahaya dari dasar danaumu/aku bertanya, kenapa matahari terbit dari situ?/Ada perahu muncul dari goa-kabut itu, penuh buku/aku menduga kau mengirimnya untuk menjemputku...(*)
*) Mohamad Ali Hisyam, pengajar di Universitas Trunojoyo, Madura
Sumber : Jawa Pos, 16 November 2008
Unik nian terobosan yang dilakukan pemerintah Batola, satu daerah kabupaten di Kalimantan Selatan. Wilayah yang terletak di pelosok Borneo itu jarang sekali namanya disebut orang dan mampir di telinga kita. Memanfaatkan potensi alam yang dimiliki, Pemda Batola baru-baru ini merilis program sekolah antarjemput dengan menggunakan perahu. Sungai Barito yang mengular di sepanjang kawasan tersebut dan selama ini menjadi urat nadi kehidupan masyarakat setempat kemudian menjadi rute utama pelayaran ''sekolah perahu'' tersebut.
Program ini dikhususkan bagi mereka yang terputus paksa atau sama sekali tak pernah berkesempatan mencicipi bangku sekolah. Istilah kerennya, sekolah kejar paket. Sebuah perahu motor besar terbuat dari kayu Kalimantan disediakan. Di ruang atas khusus untuk kelas. Sedangkan di lantai bawah tersedia perpustakaan dengan aneka buku dan dilengkapi fasilitas komputer serta internet. Di luar ruangan kita bisa menggunakan teras perahu untuk sekadar rehat meluruskan kaki sembari menikmati pemandangan di pinggir sungai.
Hal positif dan bernuansa baru yang dapat dibaca dari program ini adalah kejelian Pemda Batola dalam memanfaatkan potensi kekayaan alam sebagai sarana rekreasi dan pendidikan yang jauh dari membosankan. Barangkali nyaris tak terbayangkan bagaimana sekumpulan anak saban hari bersekolah dan menikmati aneka bacaan dalam perpustakaan di atas perahu yang berjalan menyusuri arus Sungai Barito. Sungguh akan menghadirkan nuansa kesenangan dan sensasi tersendiri. Apalagi bagi masyarakat pegunungan yang amat jarang bersentuhan langsung dengan lingkungan sungai.
Selama ini aktivitas membaca lazimnya dilakukan di ruangan yang tak bergerak. Hanya di atas tumpangan barangkali seseorang akan membaca sambil terguncang badannya mengikuti laju kendaraan. Dan, perahu adalah satu dari sekian moda transportasi yang menawarkan kenyamanan bagi penumpangnya. Ada perasaan rileks dan tenang yang menyergap manakala kita menaiki perahu. Gemeriak aliran sungai serta kesiur angin akan menjadi musik alami yang mampu membuat penumpangnya mendapatkan suasana nyaman dan teduh serta merangsang imajinasi.
Kita tak harus selalu mengamini anjuran Bobbi De Porter atau Mike Hernacki yang menyarankan untuk membaca dengan posisi tegak dan minim gerak. Hempasan halus arus sungai yang menggoyang badan perahu justru mengantar pembaca buku menuju keterbuaian yang nikmat. Jika meminjam istilah Muhammad Yulius, melakukan perjalanan dengan perahu mampu menawarkan alternatif audio yang lebih memungkinkan fokus pendengaran menjadi lebih hening. Apalagi bentuk buku yang portable serta mudah dibawa dapat mengendapkan kenangan interaksi intelektual yang tak gampang lekang.
Sungguh pantas disyukuri negeri ini dikelilingi gugusan pulau-pulau indah dengan liukan seribu sungai di atasnya. Niscaya jika hal semacam ini dimanfaatkan secara optimal ia akan menjadi objek wisata yang menjanjikan. Boleh saja kita membayangkan di Nusantara ini ada daerah seperti Venezia di Italia yang terkenal dengan wisata sungainya. Di Kota Cinta itu pelancong dimanjakan dengan Gandola (sampan khas Venezia) yang siap mengantar penumpang menyusuri jernihnya sungai yang membelah kota. Begitu pula di Mesir dengan bentangan Sungai Nil-nya yang mengagumkan.
Sekali lagi, perpustakaan di atas perahu, walaupun mungkin ada di banyak tempat lain, tetaplah menyajikan pemandangan yang langka. Terlebih di Indonesia dengan dinamika dunia literasi yang garing dan miskin kreasi. Tak terlampau salah kiranya jika salah seorang pengamat perbukuan pernah mengibaratkan perpustakaan sebagai ''ruang tersunyi''. Dan, aktivitas membaca tak ubahnya sebuah persembunyian paling senyap ketika seseorang sudi berdialog dengan semesta ide. Seramai dan seriuh apa pun isi sebuah buku serta segaduh apa pun kecamuk pikiran di kepala seseorang, ia tetap akan tersudut pada suasana sunyi yang menyelimuti buku dan perpustakaan.
Tentu tak semua daerah bisa menyediakan perpustakaan di atas air seperti di Batola. Namun, dari sekian wilayah di Nusantara, tak sedikit yang memiliki sungai yang cukup representatif untuk dijadikan objek wisata. Katakanlah ini semacam wisata literer. Keliling kota sambil membaca buku di atas perahu. Dalam bingkai pendidikan, upaya ini dapat digolongkan sebagai kreasi media pembelajaran dalam wujudnya yang asyik dan rekreatif.
Paling tidak, jika sejumlah kota besar yang dilalui arus sungai seperti Batola menduplikasi program ini, akan lahir beberapa manfaat langsung maupun tak langsung. Antara lain berupa suguhan alternatif pola dan media pembelajaran yang baru dan jauh dari monoton. Dalam perspektif lingkungan, pemerintah (dinas lingkungan hidup dan tata kota) mau tak mau akan selalu berusaha menjaga kebersihan dan keasrian sungai. Sehingga daerah aliran sungai menjadi bersih, lingkungan tak tercemar, warga senang, dan wisatawan pun bakal berdatangan.
Di tengah mulai diminatinya pustaka genre travelling oleh pasar buku saat ini, fenomena yang disodorkan Pemda Batola itu sangat inspiratif dan menggugah. Dalam tilikan historis, banyak pengelana di Nusantara yang mengabadikan perjalanan dan ketertarikan mereka pada alam lewat tulisan di buku perjalanan. Prabu Jaya Pakuan (Padjajaran) menulis Naskah Bujangga Manik yang antara lain berkisah tentang keterpukauan sang prabu pada kemolekan Sungai Cisokan di Jawa Barat.
Yang pasti, panorama perbukuan Batola serta-merta mengingatkan saya pada sepenggal sajak yang pernah ditulis Hasan Aspahani bertajuk Perahu Buku. Puisi yang dipersembahkan khusus untuk penyair Sitok Srengenge itu antara lain berbunyi:
Rumahmu danau yang tenang, perahuku tertidur/ditimang ombak mungil yang mahir menembang/Aku dan perahuku berpelukan, bulan menyaksikan/ia cemas bertanya, ''kau tak mabuk-arak, bukan?''/Menjelang pagi, ada cahaya dari dasar danaumu/aku bertanya, kenapa matahari terbit dari situ?/Ada perahu muncul dari goa-kabut itu, penuh buku/aku menduga kau mengirimnya untuk menjemputku...(*)
*) Mohamad Ali Hisyam, pengajar di Universitas Trunojoyo, Madura
Sumber : Jawa Pos, 16 November 2008
Mempertanyakan Etika Penerbit Buku Recycle
Pernah membeli buku dan kecewa karena ternyata Anda pernah membeli buku yang sama dengan judul berbeda? Saya pernah. Berkali-kali malah. Sebut saja beberapa buku tes CPNS yang saya beli untuk persiapan menjajal nasib menjadi pegawai negeri. Lalu buku-buku psikotes ketika berburu pekerjaan dan memerlukan tes psikologi. Kemudian juga buku-buku Kahlil Gibran yang booming di awal 2000-an. Yang terakhir saya beli kumpulan cerpen laris Budi Darma, Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat.
Buku-buku kumpulan soal tes CPNS dan psikotes diterbitkan beberapa penerbit dengan judul yang kurang lebih sama. Buku disegel sehingga saya hanya berpaku pada pengantar di setiap sampul belakang untuk mengira-kira isinya. Ternyata setelah dibeli, isi buku-buku dengan penerbit berbeda itu banyak kesamaan, bahkan ada yang nyaris sama. Hanya nomor soalnya saja yang diubah-ubah. Karena itu, banyak kunci jawaban yang tak sesuai dengan soalnya. Saya selaku konsumen yang ingin mendapatkan informasi soal yang variatif tentu saja kecewa.
Buku Kahlil Gibran setali tiga uang. Ini mungkin buku yang paling banyak diterbitkan dalam banyak versi melebihi karya orisinil penulisnya. Adhe dalam bukunya Declare (2008) menuliskan bahwa karya-karya Gibran telah diterbitkan oleh lebih dari 20 penerbit dengan 76 judul berbeda. Luar biasa bukan? Ini fenomena yang menarik sekaligus memprihatinkan. Sosok Gibran yang sufi itu dikenal hingga ke kalangan anak-anak remaja SMP. Ada memang karya yang orisinil, seperti Sayap-sayap Patah dan Sang Nabi. Tapi selebihnya adalah judul-judul baru hasil ''kreativitas'' penerbit yang isinya kebanyakan potongan cuplikan dan bahkan saduran. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang Gibran, pembeli akan mengira itu semua karya baru (lain) dari Gibran.
Sementara itu, buku Budi Darma, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, diterbitkan oleh Bentang (anak penerbitan Mizan), merupakan daur ulang dari buku kumpulan cerpen yang terbit sebelumnya dengan judul Kritikus Adinan. Buku ini dikemas dengan gaya buku baru. Sampul sama sekali berbeda dan pengantar sampul belakang menarik, plus foto diri pengarang. Pada buku baru ini ditambahkan satu karya baru. Jika Anda pernah membeli kaset dari penyanyi yang merupakan repacked atau recycled --lagu-lagu lama ditambahi satu-dua lagu baru-- buku ini menggunakan strategi pemasaran yang sama.
Bagi fans berat --yang selalu ingin mengoleksi karya idolanya-- edisi recycled pun akan disikat meski mengeluarkan sejumlah uang untuk karya yang sudah pernah dimiliki. Tapi, bagi konsumen yang ingin membaca dan mengetahui hal baru apa lagi yang disuguhkan dari seorang begawan seperti Budi Darma, membeli karya recycled tentu mengecewakan.
Segendang sepenarian dengan Bentang, Qanita (lagi-lagi, anak penerbitan Mizan) menerbitkan karya fenomenal Fatima Mernissi berjudul Perempuan-perempuan Harem. Buku ini pernah diterbitkan Mizan dengan judul berbeda, Teras Terlarang. Tak ada keterangan sama sekali di buku edisi baru itu, bahwa dua buku dengan judul berbeda itu memiliki isi yang sama, terjemahan dari Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood. Hanya sedikit keterangan di lembar copyright: Edisi baru, cetakan 1, Juni 2008. Keterangan ini pun bias karena melahirkan asumsi rancu bahwa buku ini baru.
Penerbit Serambi, juga melakukan hal yang sama. Tapi mereka agak fair karena mencantumkan judul lamanya dengan font yang lebih kecil, Event Angel Ask: Bahkan Malaikat pun Bertanya karya terjemahan dari Jeffrey Lang dari judul yang digunakan untuk penerbitan sebelumnya; Bahkan Malaikat pun Bertanya.
ScriPtaManent adalah penerbit yang menerbitkan ulang Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M. Dahlan dengan judul baru Jalan Sunyi Seorang Penulis. Yang terakhir ini lebih ''jujur'' karena memberikan keterangan di sampul belakang --meski dengan tulisan kecil dan samar: ''edisi terbaru: aku, buku, dan sepotong sajak cinta''.
Buku-buku recycle yang disajikan dengan judul baru tanpa informasi lengkap tentang kebaruan dan perbedaannya dengan terbitan sebelumnya, bagi saya, merugikan pembaca. Apalagi pembeli tak diberi kesempatan yang berlebih untuk melakukan pemeriksaan. Sebab buku-buku yang tergelar di toko kerap terbungkus segel plastik (wrapping) dan tak boleh dibuka sebelum menyelesaikan ''administrasi'' di meja kasir.
Calon pembeli hanya berbekal narasi singkat atau komentar-komentar pembaca yang umumnya figur publik agar calon pembeli terpikat dan terjerat. Menurut saya, ini gaya pengelabuhan yang tak bertanggung jawab.
Dalam menegakkan ''mata rantai'' perbukuan, penerbit adalah pilar yang memegang peran penting di antara penulis, percetakan, distributor, toko buku, perpustakaan, dan pembaca. Penerbit adalah filter pertama dari transfer ilmu pengetahuan yang akan diterima konsumen. Penerbit yang menentukan naskah mana yang akan terbit dan mana yang tak perlu dikonsumsi pembaca.
Sebagai konsumen, pembaca buku tentu saja akan terampas haknya untuk mendapatkan pengetahuan yang utuh dikarenakan ulah penerbit yang ugal-ugalan mengganti-ganti judul dengan isi buku yang sama. Kenapa tak tetap diterbitkan dengan judul sama saja? Tambahan isi baru atau beberapa revisi bisa diberikan sebagai keterangan. Dengan begitu, pembeli bisa mendapatkan bahan pertimbangan yang layak apakah ingin membeli lagi edisi terbarunya atau tidak. Jika memang buku itu laris dan dicari pembaca, pastilah buku itu akan tetap habis.
Namun, jika penerbit memang meniatkan untuk mengelabuhi pembaca, maka ini sebentuk penipuan publik yang bekerja di dunia perbukuan. Calon pembeli tak mendapat informasi yang utuh tentang apa-apa yang akan dibeli dan dibacanya.
Mestinya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang kritis atas barang niaga demi perlindungan hak konsumen juga mencermati soal ini. Sehingga pembodohan ini tak bekerja terus-menerus, bahkan di dalam sebuah dunia yang menjadi agen pencerahan akal budi dan selalu merapalkan jargon besar: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. (*)
*) Diana A.V. Sasa, pegiat buku, tinggal di Surabaya
Sumber www.jawapos.co.id
Buku-buku kumpulan soal tes CPNS dan psikotes diterbitkan beberapa penerbit dengan judul yang kurang lebih sama. Buku disegel sehingga saya hanya berpaku pada pengantar di setiap sampul belakang untuk mengira-kira isinya. Ternyata setelah dibeli, isi buku-buku dengan penerbit berbeda itu banyak kesamaan, bahkan ada yang nyaris sama. Hanya nomor soalnya saja yang diubah-ubah. Karena itu, banyak kunci jawaban yang tak sesuai dengan soalnya. Saya selaku konsumen yang ingin mendapatkan informasi soal yang variatif tentu saja kecewa.
Buku Kahlil Gibran setali tiga uang. Ini mungkin buku yang paling banyak diterbitkan dalam banyak versi melebihi karya orisinil penulisnya. Adhe dalam bukunya Declare (2008) menuliskan bahwa karya-karya Gibran telah diterbitkan oleh lebih dari 20 penerbit dengan 76 judul berbeda. Luar biasa bukan? Ini fenomena yang menarik sekaligus memprihatinkan. Sosok Gibran yang sufi itu dikenal hingga ke kalangan anak-anak remaja SMP. Ada memang karya yang orisinil, seperti Sayap-sayap Patah dan Sang Nabi. Tapi selebihnya adalah judul-judul baru hasil ''kreativitas'' penerbit yang isinya kebanyakan potongan cuplikan dan bahkan saduran. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang Gibran, pembeli akan mengira itu semua karya baru (lain) dari Gibran.
Sementara itu, buku Budi Darma, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, diterbitkan oleh Bentang (anak penerbitan Mizan), merupakan daur ulang dari buku kumpulan cerpen yang terbit sebelumnya dengan judul Kritikus Adinan. Buku ini dikemas dengan gaya buku baru. Sampul sama sekali berbeda dan pengantar sampul belakang menarik, plus foto diri pengarang. Pada buku baru ini ditambahkan satu karya baru. Jika Anda pernah membeli kaset dari penyanyi yang merupakan repacked atau recycled --lagu-lagu lama ditambahi satu-dua lagu baru-- buku ini menggunakan strategi pemasaran yang sama.
Bagi fans berat --yang selalu ingin mengoleksi karya idolanya-- edisi recycled pun akan disikat meski mengeluarkan sejumlah uang untuk karya yang sudah pernah dimiliki. Tapi, bagi konsumen yang ingin membaca dan mengetahui hal baru apa lagi yang disuguhkan dari seorang begawan seperti Budi Darma, membeli karya recycled tentu mengecewakan.
Segendang sepenarian dengan Bentang, Qanita (lagi-lagi, anak penerbitan Mizan) menerbitkan karya fenomenal Fatima Mernissi berjudul Perempuan-perempuan Harem. Buku ini pernah diterbitkan Mizan dengan judul berbeda, Teras Terlarang. Tak ada keterangan sama sekali di buku edisi baru itu, bahwa dua buku dengan judul berbeda itu memiliki isi yang sama, terjemahan dari Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood. Hanya sedikit keterangan di lembar copyright: Edisi baru, cetakan 1, Juni 2008. Keterangan ini pun bias karena melahirkan asumsi rancu bahwa buku ini baru.
Penerbit Serambi, juga melakukan hal yang sama. Tapi mereka agak fair karena mencantumkan judul lamanya dengan font yang lebih kecil, Event Angel Ask: Bahkan Malaikat pun Bertanya karya terjemahan dari Jeffrey Lang dari judul yang digunakan untuk penerbitan sebelumnya; Bahkan Malaikat pun Bertanya.
ScriPtaManent adalah penerbit yang menerbitkan ulang Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M. Dahlan dengan judul baru Jalan Sunyi Seorang Penulis. Yang terakhir ini lebih ''jujur'' karena memberikan keterangan di sampul belakang --meski dengan tulisan kecil dan samar: ''edisi terbaru: aku, buku, dan sepotong sajak cinta''.
Buku-buku recycle yang disajikan dengan judul baru tanpa informasi lengkap tentang kebaruan dan perbedaannya dengan terbitan sebelumnya, bagi saya, merugikan pembaca. Apalagi pembeli tak diberi kesempatan yang berlebih untuk melakukan pemeriksaan. Sebab buku-buku yang tergelar di toko kerap terbungkus segel plastik (wrapping) dan tak boleh dibuka sebelum menyelesaikan ''administrasi'' di meja kasir.
Calon pembeli hanya berbekal narasi singkat atau komentar-komentar pembaca yang umumnya figur publik agar calon pembeli terpikat dan terjerat. Menurut saya, ini gaya pengelabuhan yang tak bertanggung jawab.
Dalam menegakkan ''mata rantai'' perbukuan, penerbit adalah pilar yang memegang peran penting di antara penulis, percetakan, distributor, toko buku, perpustakaan, dan pembaca. Penerbit adalah filter pertama dari transfer ilmu pengetahuan yang akan diterima konsumen. Penerbit yang menentukan naskah mana yang akan terbit dan mana yang tak perlu dikonsumsi pembaca.
Sebagai konsumen, pembaca buku tentu saja akan terampas haknya untuk mendapatkan pengetahuan yang utuh dikarenakan ulah penerbit yang ugal-ugalan mengganti-ganti judul dengan isi buku yang sama. Kenapa tak tetap diterbitkan dengan judul sama saja? Tambahan isi baru atau beberapa revisi bisa diberikan sebagai keterangan. Dengan begitu, pembeli bisa mendapatkan bahan pertimbangan yang layak apakah ingin membeli lagi edisi terbarunya atau tidak. Jika memang buku itu laris dan dicari pembaca, pastilah buku itu akan tetap habis.
Namun, jika penerbit memang meniatkan untuk mengelabuhi pembaca, maka ini sebentuk penipuan publik yang bekerja di dunia perbukuan. Calon pembeli tak mendapat informasi yang utuh tentang apa-apa yang akan dibeli dan dibacanya.
Mestinya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang kritis atas barang niaga demi perlindungan hak konsumen juga mencermati soal ini. Sehingga pembodohan ini tak bekerja terus-menerus, bahkan di dalam sebuah dunia yang menjadi agen pencerahan akal budi dan selalu merapalkan jargon besar: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. (*)
*) Diana A.V. Sasa, pegiat buku, tinggal di Surabaya
Sumber www.jawapos.co.id
Membangun Rumah Kebahagiaan
Tempo hari saya berkirim SMS ke Arvan Pradiansyah, penulis buku The 7 Laws of Happiness, karena sejak awal saya sangat menyukai tulisan-tulisannya. Buku pertamanya You Are a Leader (2003), lalu kedua Life is Beautiful (2004), dan buku ketiga Cherish Every Moment (2007). Semua bukunya begitu memesona dan menjadi best seller di pasar. Hadirnya buku The 7 Laws of Happiness (2008) semakin mempertebal positioning Arvan sebagai penulis buku-buku laris dan bermutu di bidang pengembangan diri.
Ada ungkapan bijak dari Dave Gardner: ''Success is getting what you want, happiness is wanting what you get.'' Ungkapan sederhana ini menunjukkan bahwa kesuksesan berbeda dengan kebahagiaan. Jika kita amati secara seksama, sudah begitu banyak buku-buku yang mengupas dan menjelaskan bagaimana cara menjadi orang sukses. Sukses di sini identik dengan pencapaian sesuatu (sifatnya material-kuantitatif). Namun, masih banyak yang belum menyadari bahwa kesuksesan tersebut ternyata tidak identik dengan kebahagiaan (happiness). Karena yang terakhir ini lebih bersifat spiritual-kualitatif.
Kebahagiaan memang intangible dan bersifat relatif tergantung dari sudut mana orang melihat. Perumpamaan pengendara mobil mewah melihat penarik becak dengan enak bisa tidur pulas tanpa masalah setelah bekerja. Sedangkan dirinya yang bermobil mewah tak bisa menikmati tidur pulas karena terbebani banyak masalah. Ini setidaknya mengartikulasikan relativitas kebahagiaan itu. Boleh jadi si penarik becak juga akan beranggapan sama bahwa enak sekali si pengendara mobil mewah, ke mana-mana ada yang melayani, sampai membuka pintu mobil saja ada yang membukakan.
Melalui buku The 7 Laws of Happiness ini, Arvan menunjukkan kepada kita bahwa sifat relatif dari kebahagiaan itu dikendalikan oleh pikiran. Arvan menjelaskan bahwa menjaga pikiran adalah kunci dari kebahagiaan (hlm. 35-39). Jika Anda ingin bahagia maka jagalah pikiran agar tetap berpikiran positif terhadap segala sesuatu. Karena itu, otak yang menjadi alat (tool) pikiran harus senantiasa dipelihara agar tetap sehat dalam operasionalnya. Bagaimana caranya? Anda bisa baca selengkapnya di halaman 40-60 buku ini.
Sejatinya, cara membaca buku ini tidaklah sulit. Meski tergolong buku tebal (jika dibandingkan dengan buku-buku Arvan sebelumnya), tapi kerangka teori buku ini sudah sangat jelas disampaikan sejak awal. Inilah kelebihan Arvan dibanding penulis-penulis buku pengembangan diri lainnya. Bangunan teori (meski di pengantar Arvan membantah bukan buku teori) yang disampaikan penulis buku memberikan pesan bahwa ada tujuh pikiran yang mesti kita pilih untuk mengantarkan kita pada ruang kebahagiaan.
Tiga pikiran pertama terkait dengan diri kita sendiri yaitu sabar (patience), syukur (gratefulness), dan sederhana (simplicity). Tiga pikiran kedua berkaitan hubungan kita dengan orang lain yaitu kasih (love), memberi (giving), dan memaafkan (forgiving). Satu pikiran terakhir yang menjadi puncak adalah berkaitan hubungan kita dengan sang Pencipta yaitu berserah (surrender).
Arvan mengakui bahwa bangunan teori praktis yang ditulis di buku ini bukanlah sesuatu yang baru. Jika kita membaca bukunya yang kedua yang menjadi best seller yaitu Life is Beautiful, konsep tentang kesabaran, bersyukur, rela memaafkan, pasrah, ikhlas, dan sebagainya sudah pernah dibahas. Hanya, bedanya di buku Life is Beautiful konsepnya masih berserakan. Nah, di buku The 7 Laws of Happiness konsep-konsep luhur nan agung tersebut dikumpulkan agar terbentuk bangunan konsep teori yang utuh, mudah diingat, dan ada tahap-tahapannya. Dengan begitu penerapannya mudah dilakukan (aplicable) oleh siapa saja.
Di tengah dominasi kultur masyarakat yang serba instan saat ini, membangun rumah kebahagiaan bagi saya bukanlah sesuatu yang mudah. Sabar yang menjadi fondasi utama bangunan bagi kebanyakan orang masih terasa sulit. Orang yang sabar terkesan lambat meski esensinya tidak. Karena jika kita bersabar maka kebahagiaan terasa mudah dirasakan. Sabar di sini saya maknai sebagai sikap proaktif mengendalikan emosi dan nafsu untuk tujuan sesaat.
Arvan menempatkan sabar sebagai fondasi dan pasrah sebagai plafon bangunan bukan tanpa alasan. Bagi saya, dua jalan itulah yang menjadi intisari jika kita mau memeras saripati buku ini. Jika sabar sudah mewujud dalam perilaku maka hanya kepasrahanlah tempat mengembalikan segala masalah. Karena itu, sabar dan pasrah bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Hadirnya buku ini akan semakin mempertebal keyakinan kita bahwa sejatinya yang dicari dalam hidup bukanlah kesuksesan namun lebih pada kebahagiaan yang abadi. Bukankah agama juga mengajarkan pada kita berdoa agar senantiasa hidup dalam kebahagiaan (fiddunyaa hasanah) dan mati pun juga dalam kebahagiaan (aakhiroti hasanah)? (*)
---
Judul Buku : The 7 Laws of Happiness; Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 423 halaman
---
Abdul Muid Badrun, Entrepreneur dan Associates Researcher Circle of Information and Development (CID) Jakarta
Sumber Jawa Pos, 7 Desember 2008
Ada ungkapan bijak dari Dave Gardner: ''Success is getting what you want, happiness is wanting what you get.'' Ungkapan sederhana ini menunjukkan bahwa kesuksesan berbeda dengan kebahagiaan. Jika kita amati secara seksama, sudah begitu banyak buku-buku yang mengupas dan menjelaskan bagaimana cara menjadi orang sukses. Sukses di sini identik dengan pencapaian sesuatu (sifatnya material-kuantitatif). Namun, masih banyak yang belum menyadari bahwa kesuksesan tersebut ternyata tidak identik dengan kebahagiaan (happiness). Karena yang terakhir ini lebih bersifat spiritual-kualitatif.
Kebahagiaan memang intangible dan bersifat relatif tergantung dari sudut mana orang melihat. Perumpamaan pengendara mobil mewah melihat penarik becak dengan enak bisa tidur pulas tanpa masalah setelah bekerja. Sedangkan dirinya yang bermobil mewah tak bisa menikmati tidur pulas karena terbebani banyak masalah. Ini setidaknya mengartikulasikan relativitas kebahagiaan itu. Boleh jadi si penarik becak juga akan beranggapan sama bahwa enak sekali si pengendara mobil mewah, ke mana-mana ada yang melayani, sampai membuka pintu mobil saja ada yang membukakan.
Melalui buku The 7 Laws of Happiness ini, Arvan menunjukkan kepada kita bahwa sifat relatif dari kebahagiaan itu dikendalikan oleh pikiran. Arvan menjelaskan bahwa menjaga pikiran adalah kunci dari kebahagiaan (hlm. 35-39). Jika Anda ingin bahagia maka jagalah pikiran agar tetap berpikiran positif terhadap segala sesuatu. Karena itu, otak yang menjadi alat (tool) pikiran harus senantiasa dipelihara agar tetap sehat dalam operasionalnya. Bagaimana caranya? Anda bisa baca selengkapnya di halaman 40-60 buku ini.
Sejatinya, cara membaca buku ini tidaklah sulit. Meski tergolong buku tebal (jika dibandingkan dengan buku-buku Arvan sebelumnya), tapi kerangka teori buku ini sudah sangat jelas disampaikan sejak awal. Inilah kelebihan Arvan dibanding penulis-penulis buku pengembangan diri lainnya. Bangunan teori (meski di pengantar Arvan membantah bukan buku teori) yang disampaikan penulis buku memberikan pesan bahwa ada tujuh pikiran yang mesti kita pilih untuk mengantarkan kita pada ruang kebahagiaan.
Tiga pikiran pertama terkait dengan diri kita sendiri yaitu sabar (patience), syukur (gratefulness), dan sederhana (simplicity). Tiga pikiran kedua berkaitan hubungan kita dengan orang lain yaitu kasih (love), memberi (giving), dan memaafkan (forgiving). Satu pikiran terakhir yang menjadi puncak adalah berkaitan hubungan kita dengan sang Pencipta yaitu berserah (surrender).
Arvan mengakui bahwa bangunan teori praktis yang ditulis di buku ini bukanlah sesuatu yang baru. Jika kita membaca bukunya yang kedua yang menjadi best seller yaitu Life is Beautiful, konsep tentang kesabaran, bersyukur, rela memaafkan, pasrah, ikhlas, dan sebagainya sudah pernah dibahas. Hanya, bedanya di buku Life is Beautiful konsepnya masih berserakan. Nah, di buku The 7 Laws of Happiness konsep-konsep luhur nan agung tersebut dikumpulkan agar terbentuk bangunan konsep teori yang utuh, mudah diingat, dan ada tahap-tahapannya. Dengan begitu penerapannya mudah dilakukan (aplicable) oleh siapa saja.
Di tengah dominasi kultur masyarakat yang serba instan saat ini, membangun rumah kebahagiaan bagi saya bukanlah sesuatu yang mudah. Sabar yang menjadi fondasi utama bangunan bagi kebanyakan orang masih terasa sulit. Orang yang sabar terkesan lambat meski esensinya tidak. Karena jika kita bersabar maka kebahagiaan terasa mudah dirasakan. Sabar di sini saya maknai sebagai sikap proaktif mengendalikan emosi dan nafsu untuk tujuan sesaat.
Arvan menempatkan sabar sebagai fondasi dan pasrah sebagai plafon bangunan bukan tanpa alasan. Bagi saya, dua jalan itulah yang menjadi intisari jika kita mau memeras saripati buku ini. Jika sabar sudah mewujud dalam perilaku maka hanya kepasrahanlah tempat mengembalikan segala masalah. Karena itu, sabar dan pasrah bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Hadirnya buku ini akan semakin mempertebal keyakinan kita bahwa sejatinya yang dicari dalam hidup bukanlah kesuksesan namun lebih pada kebahagiaan yang abadi. Bukankah agama juga mengajarkan pada kita berdoa agar senantiasa hidup dalam kebahagiaan (fiddunyaa hasanah) dan mati pun juga dalam kebahagiaan (aakhiroti hasanah)? (*)
---
Judul Buku : The 7 Laws of Happiness; Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 423 halaman
---
Abdul Muid Badrun, Entrepreneur dan Associates Researcher Circle of Information and Development (CID) Jakarta
Sumber Jawa Pos, 7 Desember 2008
Klab Baca Para Mbah
Jika bertemu dengan Sigit Susanto, penulis buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia (1&2), mintalah ia berkisah lagi tentang Klab Baca Yayasan James Joyce di kota Zurich, Switzerland, yang beberapa kali ia ikuti. Klab baca ini unik oleh dua hal: peserta dan prosedur mereka membaca buku.
Nyaris semua peserta klab adalah orang-orang ''magriban'' yang sisa hidup mestinya mereka pakai untuk memperbanyak doa. Masing-masing orang tua ini dengan khusyuk memangku buku babon karya James Joyce yang berjudul Ulysses. Ada yang membawanya dari rumah, tapi bagi yang tak punya atau tertinggal langsung saja mengambilnya dari rak yang tersedia dalam ruangan. Saya tak tahu pasti apa yang ada di pikiran orang-orang tua itu berhadapan dengan buku bantal tersebut. Mungkin disamakan dengan kitab suci dan karena itu diperlakukan layaknya benda sakral.
Ke-23 anggota klab itu dipandu seseorang yang juga tak kalah tuanya. Namanya Fritz Senn, seorang pegawai pengairan. Lantaran kegilaan pada karya-karya Joyce ia dibaptis oleh dunia sebagai joycean dan menjadi alamat pertanyaan bagi siapa pun yang ingin tahu tentang Joyce dan karya-karyanya. Atas kegilaan ini, ia diganjar anugerah: 3 kali menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Koln, Zurich, dan Dublin.
Senn inilah yang menjadi pemandu membaca buku Ulysses setebal bantal itu. Setiap pekan, secara reguler, diperlukan waktu 1.5 jam. Tentu tak digilir satu per satu membacanya. Sang ''imam'' memutarkan CD yang berisi rekaman bacaan atas buku itu. Kurang lebih tiga halaman. Yang lain menyimak, seperti mendengarkan doa keselamatan dari dunia lain. Setelah itu dipersilakan peserta bertanya apa saja yang berhubungan dengan teks yang dibacakan tadi. Lalu bubar.
Yang membuat Sigit Susanto tersentak adalah, kelas membaca Ulysses ini sudah berlangsung, allamak, 3 tahun. Itu pun belum rampung. Jadi sudah 3 tahun setiap pekan orang-orang tua itu datang, duduk tenang menyimak, lantas pulang. Mereka --membaca lambat seperti siput-- barangkali ingin menghikmati dan menapaktilasi bagaimana buku itu ditulis Joyce dengan menghabiskan waktu selama 8 tahun.
Dan, membaca sampai 3 tahun lamanya satu buku jangan harapkan bisa dilakukan anak-anak muda yang suka mengambil jalan pintas menyelesaikan sesuatu. Itu hanya bisa terjadi oleh penggila buku dan oleh mereka yang terperangkap-sadar dengan pamor yang dipancarkan penulis buku itu. Mungkin mereka menganggap Joyce adalah nabi yang mereka percaya bisa memberi ketenangan hidup di usia mereka yang sudah senja.
Kisah klab baca Joyce itu adalah kisah bagaimana orang-orang melakukan intimasi dengan buku dalam sebuah prosedur yang disepakati. Jika bukan tradisi panjang bergelut dengan buku, pastilah orang-orang itu tak mau berpayah-payah membaca buku yang mereka tahu benar bahwa itu hanyalah reka-reka penulisnya saja, tapi anehnya mereka percaya seperti mereka percaya pada hisab masa depan yang dilakukan para penujum. Apalagi sampai menitip secara sukarela sebagian usianya untuk melahap sebuah buku dengan cara yang rada aneh.
Di Indonesia klab baca buku seperti yang dilakukan Yayasan James Joyce itu nyaris tak ada. Apalagi mengkaji sastra. Pernah ada satu klab baca di Bandung yang khusus membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Klab Baca Pramoedya namanya. Dikelola oleh Tobucil dan diikuti semua umur. Tapi, tampaknya klab baca ini mulai kehabisan darah dan perlahan masuk peti mati. Tapi mereka sudah meninggalkan tradisi baik.
Bukan klab baca itu yang membuat saya tertegun, melainkan apa yang setiap subuh saya lihat di sebuah langgar Muslimat NU dekat rumah kontrakan saya di Krapyak Jogja dan barangkali nyaris di semua pesantren yang bertebaran di seluruh Nusantara. Sekira subuh para mbah putri dan mbah kakung itu sudah berbondong-bondong ke langgar mendengarkan santiaji dari kiai, setelah sebelumnya didahului pembacaan doa-doa rutin yang jadi prosedur baku. Dan itu dilakukan saban minggu dengan jadwal berkumpul yang tetap.
Menurut saya, ini adalah klab baca tradisional yang spektakuler dan luar biasa tuanya dalam tradisi lisan di Indonesia. Aturan main dalam ''klab baca'' tak kalah didaktiknya dengan Klab Baca Joyce. Ada buku (kitab) yang dibaca. Jika Klab Baca Joyce menggunakan dua bahasa (teks berbahasa Jerman dan pengantar diskusi bahasa Inggris beraksen Irlandia), maka ''klab baca'' para mbah ini juga menggunakan dua bahasa (bahasa teks dari Arab, sementara penyampaiannya memakai bahasa Jawa yang diaduk dengan bahasa Indonesia).
Misalnya, sang kiai menyitir satu hadis dan satu ayat, lalu diterangkan serat-serat maknanya. Dibuka sesi pertanyaan. Lantas pulang. Dan akan kembali pekan berikutnya dengan melangkah ke hadis dan ayat berikutnya. Saya kira metode ''klab baca'' ini secara tak langsung tersusun tanpa sadar dari pengalaman mereka menanggap wayang yang umumnya lebih banyak mendengarkan ketimbang berbantahan sebagaimana kita saksikan dalam seminar-seminar adu kepintaran. Mereka kerap memperlakukan dan menempatkan buku (kitab) sebagai sumur kebenaran yang menuntun kepada ketenangan jiwa. Karena begitu sakralnya sebuah buku, maka memperlakukannya pun harus dengan cara-cara yang arkaik dan santun.
Mungkin klab baca para mbah itu terlalu rudin dan arkaik untuk kita praktikkan di era ketika tradisi membaca (buku) masih diperjuangkan oleh para penganutnya yang fanatik. Tapi jangan remehkan tradisi membaca gaya para mbah ini yang justru ditimba dari tradisi lisan yang berbaur dengan tradisi menonton (nanggap wayang).
Di titimangsa ini kita memang tak boleh menjadi terlalu fakir dan pasrah melahap metode dan prosedur yang bersifat liyan dari pengalaman autentik masyarakat jika kita tak ingin sebuah klab baca mati sejak langkah awal.
Klab baca para mbah itu bisa dijadikan contoh ihwal prosedur pembacaan (membaca sedikit demi sedikit dan barangkali juga sesekali diisi oleh musikalisasi teks); pilihan bacaan (misalnya membaca bersama Kitab Babad Tanah Djawi, Centhini, atau ratusan kitab sastra yang sudah menjadi klasik dan sekaligus ini usaha menghidupkan warisan budaya yang terkubur); cara memperlakukan bacaan (ini soal intimasi dan kemudahan akses bacaan jika anggota tak memilikinya); dan semangat mempertahankan konsistensi waktu yang tak lapuk diganyang usia. (*)
Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku (I:BOEKOE) Jogjakarta
Nyaris semua peserta klab adalah orang-orang ''magriban'' yang sisa hidup mestinya mereka pakai untuk memperbanyak doa. Masing-masing orang tua ini dengan khusyuk memangku buku babon karya James Joyce yang berjudul Ulysses. Ada yang membawanya dari rumah, tapi bagi yang tak punya atau tertinggal langsung saja mengambilnya dari rak yang tersedia dalam ruangan. Saya tak tahu pasti apa yang ada di pikiran orang-orang tua itu berhadapan dengan buku bantal tersebut. Mungkin disamakan dengan kitab suci dan karena itu diperlakukan layaknya benda sakral.
Ke-23 anggota klab itu dipandu seseorang yang juga tak kalah tuanya. Namanya Fritz Senn, seorang pegawai pengairan. Lantaran kegilaan pada karya-karya Joyce ia dibaptis oleh dunia sebagai joycean dan menjadi alamat pertanyaan bagi siapa pun yang ingin tahu tentang Joyce dan karya-karyanya. Atas kegilaan ini, ia diganjar anugerah: 3 kali menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Koln, Zurich, dan Dublin.
Senn inilah yang menjadi pemandu membaca buku Ulysses setebal bantal itu. Setiap pekan, secara reguler, diperlukan waktu 1.5 jam. Tentu tak digilir satu per satu membacanya. Sang ''imam'' memutarkan CD yang berisi rekaman bacaan atas buku itu. Kurang lebih tiga halaman. Yang lain menyimak, seperti mendengarkan doa keselamatan dari dunia lain. Setelah itu dipersilakan peserta bertanya apa saja yang berhubungan dengan teks yang dibacakan tadi. Lalu bubar.
Yang membuat Sigit Susanto tersentak adalah, kelas membaca Ulysses ini sudah berlangsung, allamak, 3 tahun. Itu pun belum rampung. Jadi sudah 3 tahun setiap pekan orang-orang tua itu datang, duduk tenang menyimak, lantas pulang. Mereka --membaca lambat seperti siput-- barangkali ingin menghikmati dan menapaktilasi bagaimana buku itu ditulis Joyce dengan menghabiskan waktu selama 8 tahun.
Dan, membaca sampai 3 tahun lamanya satu buku jangan harapkan bisa dilakukan anak-anak muda yang suka mengambil jalan pintas menyelesaikan sesuatu. Itu hanya bisa terjadi oleh penggila buku dan oleh mereka yang terperangkap-sadar dengan pamor yang dipancarkan penulis buku itu. Mungkin mereka menganggap Joyce adalah nabi yang mereka percaya bisa memberi ketenangan hidup di usia mereka yang sudah senja.
Kisah klab baca Joyce itu adalah kisah bagaimana orang-orang melakukan intimasi dengan buku dalam sebuah prosedur yang disepakati. Jika bukan tradisi panjang bergelut dengan buku, pastilah orang-orang itu tak mau berpayah-payah membaca buku yang mereka tahu benar bahwa itu hanyalah reka-reka penulisnya saja, tapi anehnya mereka percaya seperti mereka percaya pada hisab masa depan yang dilakukan para penujum. Apalagi sampai menitip secara sukarela sebagian usianya untuk melahap sebuah buku dengan cara yang rada aneh.
Di Indonesia klab baca buku seperti yang dilakukan Yayasan James Joyce itu nyaris tak ada. Apalagi mengkaji sastra. Pernah ada satu klab baca di Bandung yang khusus membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Klab Baca Pramoedya namanya. Dikelola oleh Tobucil dan diikuti semua umur. Tapi, tampaknya klab baca ini mulai kehabisan darah dan perlahan masuk peti mati. Tapi mereka sudah meninggalkan tradisi baik.
Bukan klab baca itu yang membuat saya tertegun, melainkan apa yang setiap subuh saya lihat di sebuah langgar Muslimat NU dekat rumah kontrakan saya di Krapyak Jogja dan barangkali nyaris di semua pesantren yang bertebaran di seluruh Nusantara. Sekira subuh para mbah putri dan mbah kakung itu sudah berbondong-bondong ke langgar mendengarkan santiaji dari kiai, setelah sebelumnya didahului pembacaan doa-doa rutin yang jadi prosedur baku. Dan itu dilakukan saban minggu dengan jadwal berkumpul yang tetap.
Menurut saya, ini adalah klab baca tradisional yang spektakuler dan luar biasa tuanya dalam tradisi lisan di Indonesia. Aturan main dalam ''klab baca'' tak kalah didaktiknya dengan Klab Baca Joyce. Ada buku (kitab) yang dibaca. Jika Klab Baca Joyce menggunakan dua bahasa (teks berbahasa Jerman dan pengantar diskusi bahasa Inggris beraksen Irlandia), maka ''klab baca'' para mbah ini juga menggunakan dua bahasa (bahasa teks dari Arab, sementara penyampaiannya memakai bahasa Jawa yang diaduk dengan bahasa Indonesia).
Misalnya, sang kiai menyitir satu hadis dan satu ayat, lalu diterangkan serat-serat maknanya. Dibuka sesi pertanyaan. Lantas pulang. Dan akan kembali pekan berikutnya dengan melangkah ke hadis dan ayat berikutnya. Saya kira metode ''klab baca'' ini secara tak langsung tersusun tanpa sadar dari pengalaman mereka menanggap wayang yang umumnya lebih banyak mendengarkan ketimbang berbantahan sebagaimana kita saksikan dalam seminar-seminar adu kepintaran. Mereka kerap memperlakukan dan menempatkan buku (kitab) sebagai sumur kebenaran yang menuntun kepada ketenangan jiwa. Karena begitu sakralnya sebuah buku, maka memperlakukannya pun harus dengan cara-cara yang arkaik dan santun.
Mungkin klab baca para mbah itu terlalu rudin dan arkaik untuk kita praktikkan di era ketika tradisi membaca (buku) masih diperjuangkan oleh para penganutnya yang fanatik. Tapi jangan remehkan tradisi membaca gaya para mbah ini yang justru ditimba dari tradisi lisan yang berbaur dengan tradisi menonton (nanggap wayang).
Di titimangsa ini kita memang tak boleh menjadi terlalu fakir dan pasrah melahap metode dan prosedur yang bersifat liyan dari pengalaman autentik masyarakat jika kita tak ingin sebuah klab baca mati sejak langkah awal.
Klab baca para mbah itu bisa dijadikan contoh ihwal prosedur pembacaan (membaca sedikit demi sedikit dan barangkali juga sesekali diisi oleh musikalisasi teks); pilihan bacaan (misalnya membaca bersama Kitab Babad Tanah Djawi, Centhini, atau ratusan kitab sastra yang sudah menjadi klasik dan sekaligus ini usaha menghidupkan warisan budaya yang terkubur); cara memperlakukan bacaan (ini soal intimasi dan kemudahan akses bacaan jika anggota tak memilikinya); dan semangat mempertahankan konsistensi waktu yang tak lapuk diganyang usia. (*)
Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku (I:BOEKOE) Jogjakarta
Resensi Buku: Kepemimpinan SBY di Mata Dino
Oleh Budi Setiawanto
Jakarta (ANTARA News) - Wimar Witoelar pernah menulis buku "No Regret" berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid.
Kini giliran Dino Patti Djalal menulis buku "Harus Bisa! Seni Memimpin a la SBY" juga berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden mengenai gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kedua buku itu mengungkap pencitraan figur Presiden dari kaca mata penulisnya.
Wimar menyebut Abdurrahman Wahid sebagai "the greatest man" (orang termasyhur), Dino menyebut SBY sebagai atasan, sahabat, dan mentor yang tidak ada bandingannya.
Bedanya, Wimar menulis tatkala Gus Dur alias Abdurrahman Wahid telah lengser, sedangkan Dino menulis buku itu saat SBY masih berkuasa. Buku Wimar ditulis dalam bahasa Inggris, buku Dino dalam bahasa Indonesia.
Buku Dino lebih detil dalam penulisan karena ditulis berdasar catatan harian selama mendampingi SBY meskipun tak bisa ditemui hal-hal yang berisi ketidaksetujuan penulis terhadap SBY apalagi kritik penulis terhadap kekurangan SBY.
Padahal SBY telah berpesan, "Dino, kalau engkau ingin menulis tentang apa yang saya pikir dan lakukan, tulislah secara obyektif. Ceritakan tentang kebenaran, say what I do, what I have done. Itu abadi, Din."
Dino hanya mengatakan, "Buku ini saya tulis dengan hati nurani yang bersih."
Sebenarnya ada "ketidaksetujuan" Dino ketika SBY memutuskan akan langsung ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari Jayapura tatkala mendengar kabar terjadi gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.
Saat itu mereka dan rombongan sedang berada di Bumi Cenderawasih untuk menghadiri perayaan Natal.
Dino menyarankan SBY ke Jakarta terlebih dahulu dengan pertimbangan antara lain kondisi korban dan kerusakan di Aceh masih belum jelas dan kedatangan di Jakarta bisa memberi waktu untuk mempersiapkan kunjungan ke Aceh yang lebih matang.
Namun Dino tak berani menunjukkan ketidaksetujuannya secara langsung ke SBY. Ia ungkapkan hal itu pada halaman 4 dengan kalimat "Jujurnya, malam itu saya masih bertanya dalam hati apakah kepergian Presiden ke Aceh merupakan keputusan yang tepat."
Alhasil Dino berujar, "Keputusan Presiden SBY untuk segera `maju ke depan` dan tiba di Aceh pada hari kedua setelah tsunami adalah keputusan yang tepat dan sangat strategis bagi proses pembuatan kebijakan pemerintah setelahnya." (halaman 6).
Sebaliknya Dino mengkritisi Amien Rais yang juga telah berada di Aceh tetapi tidak merespon tawaran SBY saat rapat darurat bersama di Pendopo Gubernur Aceh untuk memberi komentar, tambahan, atau usulan penanganan bencana dahsyat itu.
"Beliau justru memilih mengeluarkan kritik pedas di luar melalui media, ketimbang memberi usulan konstruktif dalam rapat bersama seluruh pejabat," tulis Dino tentang Amien Rais dalam buku yang diterbitkan oleh "Red & White Publishing" itu.
"Saya dulu kebetulan juga pengagum Amien Rais namun dari peristiwa itu ada satu pelajaran penting yang saya petik untuk para pemimpin masa depan: ada masanya di mana semua pemimpin bangsa harus dapat melupakan ego politiknya dan bahu-membahu bersatu menangani suatu krisis nasional."(halaman 8).
Buku setebal 437 halaman plus 18 halaman untuk lembar dedikasi, kata pengantar, dan daftar isi ini berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY.
Dalam Bab I bertajuk "Memimpin Dalam Krisis", dari bencana Aceh, Dino menyimpulkan kepemimpinan SBY sangat tepat karena dalam krisis selalu berada di depan dan mengubah krisis menjadi peluang tercipta perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dari kasus penculikan wartawan Metro TV oleh gerilyawan Irak, Dino menilai SBY merespon masalah secara "realtime" (seketika), ketika menaikkan harga BBM pada 2005 Dino menilai SBY pemimpin yang berani mengambil risiko, saat prihatin atas penculikan bocah berusia 5 tahun bernama Raisya, SBY dinilai Dino sebagai pemimpin yang melakukan hal tepat.
Bab II bertajuk "Memimpin Dalam Perubahan" berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY dalam birokrasi. Dino menilai SBY sebagai pendobrak birokrasi.
"SBY tahu sekali bahwa birokrasi tidak akan mengubah dirinya sendiri kecuali mulai diubah oleh pimpinan politik," tulis Dino pada halaman 78.
SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang bisa melakukan transformasi diri. Menurut Dino, sejak SBY dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2004 ada empat transformasi diri yang dilakukan yakni menjadi seorang ekonom, menjadi "crisis leader", mendudukkan diri di atas kepentingan golongan (above politics), dan menjadi negarawan internasional.
Pendek kata, menurut Dino, SBY telah memaksa diri dan dipaksa situasi untuk menggali kemampuan baru sekaligus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya.
"SBY Tidak"
Bab III bertajuk "Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan" menggambarkan kepemimpinan SBY yang merakyat dan penuh ketulusan hati.
Dino memperhatikan ada teknik SBY yang baik disimak oleh calon pemimpin.
Kalau SBY menjabat tangan seseorang maka untuk dua atau tiga detik itu perhatiannya akan terfokus hanya pada orang di depannya: tangannya diremas erat, matanya menatap bola mata orang itu, dan senyumnya diarahkan hanya pada orang itu.
SBY seolah-olah mengatakan kepada orang yang disapanya, "Di sini, detik ini, hanya ada saya dan kamu."
"Hal ini penting karena bagi saya tidak ada yang lebih menyebalkan daripada menjabat tangan seseorang yang matanya menerawang pada orang lain," tulis Dino pada halaman 153.
SBY juga digambarkan Dino sebagai pemimpin yang ingin langsung mendapat masukan dari rakyat untuk mewujudkan demokrasi langsung.
Contoh yang tampilkan adalah ketika dialog SBY dengan para petani di Waduk Jatiluhur pada 11 Juni 2005.
Pada acara itu SBY memberi nomor telepon genggamnya (0811109949, buku Dino tidak menyebutkan nomornya) yang bisa dihubungi 24 jam sehari.
Akibatnya, nomor telepon SBY itu mengalami gangguan karena tak mampu menampung banyaknya orang yang mengirim pesan melalui layanan pesan singkat (SMS).
Hal terpenting dalam Bab III itu adalah kesan Dino bahwa SBY merupakan pemimpin yang konsisten menjaga warna politiknya dan menjunjung tinggi etika politik.
"Yang lain bisa saja berpolitik kotor: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan isu bohong melalui SMS atau fitnah keji melalui media: SBY tidak. Yang lain bisa bermain politik uang: SBY tidak. Yang lain bisa kampanye hitam: SBY tidak. Yang lain bisa melancarkan politik penghancuran: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan selebaran gelap: SBY tidak. Yang lain bisa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan: SBY tidak." (halaman 178).
Sejumlah penebar fitnah disebut seperti Eggi Sudjana dan Zaenal Ma`arif tetapi terhadap salah seorang mantan petinggi TNI Dino hanya berani menyebut "Jenderal X".
Dino pun menjadi tahu perilaku standar dari penebar fitnah. Pertama, mereka melontarkan fitnah biasanya dengan cara bombastis dan sikap penuh keyakinan. Kedua, mereka dengan keras kepala mengancam membeberkan bukti-bukti untuk mendukung fitnah itu. Ketiga, setelah proses hukum berjalan mereka meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada orang yang difitnah agar terhindar dari bui.
Dari kasus tersebut, Dino menggambarkan bahwa SBY merupakan pemimpin yang pemaaf, tiada dendam.
Surat balasan SBY atas permohonan maaf dari Zaenal Ma`arif pun tertera pada halaman 211-214 buku ini. Surat balasan itu ditulis sendiri oleh SBY dan orang yang membacanya akan melihat dengan jelas akhlak dari SBY, kata Dino.
Bab IV bertajuk "Memimpin Tim dan Membuat Keputusan" memaparkan gaya kepemimpinan SBY yang sangat mementingkan kekompakan kabinet karena banyak menteri yang berasal dari partai politik. SBY selalu menegaskan bahwa selama menjadi menteri maka loyalitas adalah kepada Presiden dan Pemerintah.
Namun kenyataan mencatat bahwa SBY beberapa kali merombak kabinet dengan beragam alasan yang intinya menunjukkan bahwa kekompakan kabinet merupakan salah satu kerikil pemerintahan SBY.
Pada bab ini pula digambarkan bahwa SBY membela juru bicara Andi Mallarangeng atas desakan pimpinan DPR agar jangan terlalu banyak berkomentar dan Dino yang disebut-sebut sebagai agen asing.
Atas tudingan sebagai agen asing, Dino pada halaman 225 menulis, "Saya sudah mengabdi untuk Republik selama 20 tahun lebih dan saya lahir dari keluarga Pegawai Negeri yang nasionalis. Jadi bisa anda bayangkan betapa gregetnya perasaan saya mendengar celotehan `edan` seperti itu."
Dalam pengambilan keputusan, Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas).
Dalam ilmu manajemen ada istilah "thinking on your feet" atau orang yang dapat berpikir sambil berdiri. Bagi Dino, SBY melakukan lebih dari itu: beliau bisa "deciding on the run" atau mengambil keputusan sambil berlari.
Judul buku ini diambil dari subbab bertajuk "Harus Bisa!" dalam Bab IV. Dalam menghadapi setiap situasi, SBY selalu mengatakan kepada pembantunya,"Harus Bisa!".
"Beliau paling tidak suka kalau ada pembantunya yang sudah kalah atau jatuh mental sebelum bertarung. Berkali-kali SBY menyatakan dalam pidato publiknya: Kita jangan menjadi bangsa yang cengeng dan manja," tulis Dino pada halaman 254.
Pada Bab V bertajuk "Memimpin Di Pentas Dunia", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin nasionalis dan internasionalis.
"Sebagai diplomat profesional, saya berpendapat bahwa SBY adalah salah satu `foreign policy President" terbaik selama ini," tulis Dino pada halaman 284-285. "Foreign policy President" merupakan istilah diplomasi tentang tipe Presiden yang mempunyai perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi.
Selain sebagai sosok nasional dan internasionalis, pada bab ini Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menyentuh hati dan menyembuhkan luka, percaya diri dalam mengambil sikap, peka terhadap situasi, menanam dan memanfaatkan "political capital" dalam diplomasi, mengukir sejarah diplomasi, dan menggagas ide melahirkan inovasi.
Pada bab VI bertajuk "Memimpin Diri Sendiri", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menghormati ketepatan waktu, menjadi diri sendiri, pemimpin yang tidak mendewasakan kekuasaan, dan pemimpin bermental tangguh.
Bila Wimar tak ada penyesalan menjadi juru bicara Gus Dur, Dino tentu saja sangat bangga menjadi juru bicara seorang Presiden yang ia gambarkan sangat perfeksionis.
"Saya sering merasa seperti kuda lumping yang mengejar kuda balap," tulis Dino dalam epilog.
Banyak pernyataan SBY dan cerita menarik yang belum diberitakan sebelumnya dapat disimak dalam buku yang dihiasi parade ratusan foto kegiatan SBY.
Dalam pengabdian kepada SBY, Dino menulis bahwa yang ada hanyalah kehormatan dicampur kecemasan apakah telah memberikan yang terbaik kalau tiba masanya meninggalkan Istana. (*)
Jakarta (ANTARA News) - Wimar Witoelar pernah menulis buku "No Regret" berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid.
Kini giliran Dino Patti Djalal menulis buku "Harus Bisa! Seni Memimpin a la SBY" juga berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden mengenai gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kedua buku itu mengungkap pencitraan figur Presiden dari kaca mata penulisnya.
Wimar menyebut Abdurrahman Wahid sebagai "the greatest man" (orang termasyhur), Dino menyebut SBY sebagai atasan, sahabat, dan mentor yang tidak ada bandingannya.
Bedanya, Wimar menulis tatkala Gus Dur alias Abdurrahman Wahid telah lengser, sedangkan Dino menulis buku itu saat SBY masih berkuasa. Buku Wimar ditulis dalam bahasa Inggris, buku Dino dalam bahasa Indonesia.
Buku Dino lebih detil dalam penulisan karena ditulis berdasar catatan harian selama mendampingi SBY meskipun tak bisa ditemui hal-hal yang berisi ketidaksetujuan penulis terhadap SBY apalagi kritik penulis terhadap kekurangan SBY.
Padahal SBY telah berpesan, "Dino, kalau engkau ingin menulis tentang apa yang saya pikir dan lakukan, tulislah secara obyektif. Ceritakan tentang kebenaran, say what I do, what I have done. Itu abadi, Din."
Dino hanya mengatakan, "Buku ini saya tulis dengan hati nurani yang bersih."
Sebenarnya ada "ketidaksetujuan" Dino ketika SBY memutuskan akan langsung ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari Jayapura tatkala mendengar kabar terjadi gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.
Saat itu mereka dan rombongan sedang berada di Bumi Cenderawasih untuk menghadiri perayaan Natal.
Dino menyarankan SBY ke Jakarta terlebih dahulu dengan pertimbangan antara lain kondisi korban dan kerusakan di Aceh masih belum jelas dan kedatangan di Jakarta bisa memberi waktu untuk mempersiapkan kunjungan ke Aceh yang lebih matang.
Namun Dino tak berani menunjukkan ketidaksetujuannya secara langsung ke SBY. Ia ungkapkan hal itu pada halaman 4 dengan kalimat "Jujurnya, malam itu saya masih bertanya dalam hati apakah kepergian Presiden ke Aceh merupakan keputusan yang tepat."
Alhasil Dino berujar, "Keputusan Presiden SBY untuk segera `maju ke depan` dan tiba di Aceh pada hari kedua setelah tsunami adalah keputusan yang tepat dan sangat strategis bagi proses pembuatan kebijakan pemerintah setelahnya." (halaman 6).
Sebaliknya Dino mengkritisi Amien Rais yang juga telah berada di Aceh tetapi tidak merespon tawaran SBY saat rapat darurat bersama di Pendopo Gubernur Aceh untuk memberi komentar, tambahan, atau usulan penanganan bencana dahsyat itu.
"Beliau justru memilih mengeluarkan kritik pedas di luar melalui media, ketimbang memberi usulan konstruktif dalam rapat bersama seluruh pejabat," tulis Dino tentang Amien Rais dalam buku yang diterbitkan oleh "Red & White Publishing" itu.
"Saya dulu kebetulan juga pengagum Amien Rais namun dari peristiwa itu ada satu pelajaran penting yang saya petik untuk para pemimpin masa depan: ada masanya di mana semua pemimpin bangsa harus dapat melupakan ego politiknya dan bahu-membahu bersatu menangani suatu krisis nasional."(halaman 8).
Buku setebal 437 halaman plus 18 halaman untuk lembar dedikasi, kata pengantar, dan daftar isi ini berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY.
Dalam Bab I bertajuk "Memimpin Dalam Krisis", dari bencana Aceh, Dino menyimpulkan kepemimpinan SBY sangat tepat karena dalam krisis selalu berada di depan dan mengubah krisis menjadi peluang tercipta perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dari kasus penculikan wartawan Metro TV oleh gerilyawan Irak, Dino menilai SBY merespon masalah secara "realtime" (seketika), ketika menaikkan harga BBM pada 2005 Dino menilai SBY pemimpin yang berani mengambil risiko, saat prihatin atas penculikan bocah berusia 5 tahun bernama Raisya, SBY dinilai Dino sebagai pemimpin yang melakukan hal tepat.
Bab II bertajuk "Memimpin Dalam Perubahan" berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY dalam birokrasi. Dino menilai SBY sebagai pendobrak birokrasi.
"SBY tahu sekali bahwa birokrasi tidak akan mengubah dirinya sendiri kecuali mulai diubah oleh pimpinan politik," tulis Dino pada halaman 78.
SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang bisa melakukan transformasi diri. Menurut Dino, sejak SBY dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2004 ada empat transformasi diri yang dilakukan yakni menjadi seorang ekonom, menjadi "crisis leader", mendudukkan diri di atas kepentingan golongan (above politics), dan menjadi negarawan internasional.
Pendek kata, menurut Dino, SBY telah memaksa diri dan dipaksa situasi untuk menggali kemampuan baru sekaligus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya.
"SBY Tidak"
Bab III bertajuk "Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan" menggambarkan kepemimpinan SBY yang merakyat dan penuh ketulusan hati.
Dino memperhatikan ada teknik SBY yang baik disimak oleh calon pemimpin.
Kalau SBY menjabat tangan seseorang maka untuk dua atau tiga detik itu perhatiannya akan terfokus hanya pada orang di depannya: tangannya diremas erat, matanya menatap bola mata orang itu, dan senyumnya diarahkan hanya pada orang itu.
SBY seolah-olah mengatakan kepada orang yang disapanya, "Di sini, detik ini, hanya ada saya dan kamu."
"Hal ini penting karena bagi saya tidak ada yang lebih menyebalkan daripada menjabat tangan seseorang yang matanya menerawang pada orang lain," tulis Dino pada halaman 153.
SBY juga digambarkan Dino sebagai pemimpin yang ingin langsung mendapat masukan dari rakyat untuk mewujudkan demokrasi langsung.
Contoh yang tampilkan adalah ketika dialog SBY dengan para petani di Waduk Jatiluhur pada 11 Juni 2005.
Pada acara itu SBY memberi nomor telepon genggamnya (0811109949, buku Dino tidak menyebutkan nomornya) yang bisa dihubungi 24 jam sehari.
Akibatnya, nomor telepon SBY itu mengalami gangguan karena tak mampu menampung banyaknya orang yang mengirim pesan melalui layanan pesan singkat (SMS).
Hal terpenting dalam Bab III itu adalah kesan Dino bahwa SBY merupakan pemimpin yang konsisten menjaga warna politiknya dan menjunjung tinggi etika politik.
"Yang lain bisa saja berpolitik kotor: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan isu bohong melalui SMS atau fitnah keji melalui media: SBY tidak. Yang lain bisa bermain politik uang: SBY tidak. Yang lain bisa kampanye hitam: SBY tidak. Yang lain bisa melancarkan politik penghancuran: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan selebaran gelap: SBY tidak. Yang lain bisa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan: SBY tidak." (halaman 178).
Sejumlah penebar fitnah disebut seperti Eggi Sudjana dan Zaenal Ma`arif tetapi terhadap salah seorang mantan petinggi TNI Dino hanya berani menyebut "Jenderal X".
Dino pun menjadi tahu perilaku standar dari penebar fitnah. Pertama, mereka melontarkan fitnah biasanya dengan cara bombastis dan sikap penuh keyakinan. Kedua, mereka dengan keras kepala mengancam membeberkan bukti-bukti untuk mendukung fitnah itu. Ketiga, setelah proses hukum berjalan mereka meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada orang yang difitnah agar terhindar dari bui.
Dari kasus tersebut, Dino menggambarkan bahwa SBY merupakan pemimpin yang pemaaf, tiada dendam.
Surat balasan SBY atas permohonan maaf dari Zaenal Ma`arif pun tertera pada halaman 211-214 buku ini. Surat balasan itu ditulis sendiri oleh SBY dan orang yang membacanya akan melihat dengan jelas akhlak dari SBY, kata Dino.
Bab IV bertajuk "Memimpin Tim dan Membuat Keputusan" memaparkan gaya kepemimpinan SBY yang sangat mementingkan kekompakan kabinet karena banyak menteri yang berasal dari partai politik. SBY selalu menegaskan bahwa selama menjadi menteri maka loyalitas adalah kepada Presiden dan Pemerintah.
Namun kenyataan mencatat bahwa SBY beberapa kali merombak kabinet dengan beragam alasan yang intinya menunjukkan bahwa kekompakan kabinet merupakan salah satu kerikil pemerintahan SBY.
Pada bab ini pula digambarkan bahwa SBY membela juru bicara Andi Mallarangeng atas desakan pimpinan DPR agar jangan terlalu banyak berkomentar dan Dino yang disebut-sebut sebagai agen asing.
Atas tudingan sebagai agen asing, Dino pada halaman 225 menulis, "Saya sudah mengabdi untuk Republik selama 20 tahun lebih dan saya lahir dari keluarga Pegawai Negeri yang nasionalis. Jadi bisa anda bayangkan betapa gregetnya perasaan saya mendengar celotehan `edan` seperti itu."
Dalam pengambilan keputusan, Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas).
Dalam ilmu manajemen ada istilah "thinking on your feet" atau orang yang dapat berpikir sambil berdiri. Bagi Dino, SBY melakukan lebih dari itu: beliau bisa "deciding on the run" atau mengambil keputusan sambil berlari.
Judul buku ini diambil dari subbab bertajuk "Harus Bisa!" dalam Bab IV. Dalam menghadapi setiap situasi, SBY selalu mengatakan kepada pembantunya,"Harus Bisa!".
"Beliau paling tidak suka kalau ada pembantunya yang sudah kalah atau jatuh mental sebelum bertarung. Berkali-kali SBY menyatakan dalam pidato publiknya: Kita jangan menjadi bangsa yang cengeng dan manja," tulis Dino pada halaman 254.
Pada Bab V bertajuk "Memimpin Di Pentas Dunia", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin nasionalis dan internasionalis.
"Sebagai diplomat profesional, saya berpendapat bahwa SBY adalah salah satu `foreign policy President" terbaik selama ini," tulis Dino pada halaman 284-285. "Foreign policy President" merupakan istilah diplomasi tentang tipe Presiden yang mempunyai perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi.
Selain sebagai sosok nasional dan internasionalis, pada bab ini Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menyentuh hati dan menyembuhkan luka, percaya diri dalam mengambil sikap, peka terhadap situasi, menanam dan memanfaatkan "political capital" dalam diplomasi, mengukir sejarah diplomasi, dan menggagas ide melahirkan inovasi.
Pada bab VI bertajuk "Memimpin Diri Sendiri", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menghormati ketepatan waktu, menjadi diri sendiri, pemimpin yang tidak mendewasakan kekuasaan, dan pemimpin bermental tangguh.
Bila Wimar tak ada penyesalan menjadi juru bicara Gus Dur, Dino tentu saja sangat bangga menjadi juru bicara seorang Presiden yang ia gambarkan sangat perfeksionis.
"Saya sering merasa seperti kuda lumping yang mengejar kuda balap," tulis Dino dalam epilog.
Banyak pernyataan SBY dan cerita menarik yang belum diberitakan sebelumnya dapat disimak dalam buku yang dihiasi parade ratusan foto kegiatan SBY.
Dalam pengabdian kepada SBY, Dino menulis bahwa yang ada hanyalah kehormatan dicampur kecemasan apakah telah memberikan yang terbaik kalau tiba masanya meninggalkan Istana. (*)
Hari Antikorupsi Menjelang Tahun Politik
Tanggal 9 Desember merupakan hari yang cukup bersejarah bagi gerakan pemberantasan korupsi, karena inilah hari internasional antikorupsi. Hari yang disematkan sebagai pernyataan keinginan masyarakat dunia untuk melawan korupsi pada 2003 dan mulai dirayakan secara reguler sejak 2004.
Korupsi sebagai musuh keseluruhan umat manusia karena membahayakan banyak hal, termasuk hak ekonomi dan sosial. Bagi Indonesia, perayaan kali ini tentu akan menjadi momentum penting. Betapa tidak, inilah hari antikorupsi menjelang dimasukinya pesta demokrasi, pemilihan umum (pemilu).
Masa-masa menggeliatnya gairah perpolitikan nasional. Secara beruntun, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan pada 2009.Pemilu yang tentunya akan menentukan garis kebijakan dan kebajikan politik Indonesia, paling tidak lima tahun ke depan hingga pemilu berikutnya diadakan.
Mengapa tahun politik 2009 menjadi agenda penting yang harus dilihat di hari antikorupsi ini? Setidaknya oleh beberapa hal.Pertama, agenda pemberantasan korupsi di Indonesia masih diselimuti agenda perpolitikan secara formal. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga perwakilan rakyat yang menjadi representasi partai politik punya kewenangan besar dalam urusan menguatkan atau melemahkan penegakan hukum antikorupsi.
Mereka sangat menentukan format penegakan hukum antikorupsi. Contoh paling kini adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor).Hingga saat ini,rancangan peraturan tentang Pengadilan Tipikor tertahan di DPR dan belum kunjung mengada.Padahal,jika tidak juga disahkan hingga akhir 2009,berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tipikor menjadi inkonstitusional dan karenanya harus dihilangkan.
Memang hingga akhir 2009 adalah waktu yang cukup lama.Tapi mengingat ketatnya agenda politik nasional pada 2009, nasib Pengadilan Tipikor sesungguhnya telah berada di ”ujung tanduk”. Padahal, tanpa UU Pengadilan Tipikor,mustahil untuk lebih leluasa mendirikan pengadilan khusus ini di dalam ruang lingkup pengadilan negeri di daerahdaerah.
Batas waktu ini menarik untuk dianalisis.Jika hingga bulan Maret tahun depan belum kunjung mengada, kemungkinan besar hanya bisa berharap pada anggota legislatif baru untuk menyelesaikan. Itu pun hanya sampai akhirtahun,yang berarti hanya beberapa bulan setelah anggota legislatif baru ini dilantik.
Masa kampanye pemilu, pemilihan, kemudian masa sengketa pemilu legislatif akan menyita waktu banyak. Belum lagi untuk pemilihan presiden. Putaran pertama,lalu sengketa di MK,hingga memasuki putaran kedua dan sengketanya juga akan mewarnai kerjakerja partai politik di tengah kewajiban menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Rasanya,mustahil selesai di tengah agenda politik yang ketat ini.
Berharap pada anggota legislatif baru juga sangat meragukan. Mukamuka lama masih mendominasi kancah perpolitikan saat ini. Praktis, kalaupun jika masa legislatif baru mengisi DPR, belum tentu ada perubahan signifikan cara pandang mereka terhadap kewenangan formal dalam membuat peraturan antikorupsi.
Sesungguhnya bukan hanya batasan waktu yang menjadi masalah Pengadilan Tipikor, tapi juga besarnya kemungkinan terbajak secara substantif.Meski DPR ”berbaik hati” menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor, tetap ada kebutuhan mutlak untuk mengawal RUU ini agar substansinya tidak menjadi cacat.
Besar kemungkinan RUU ini terbajak secara substantif, baik disengaja maupun tidak disengaja. Karenanya, jika kewenangan formal para pelaku politik di lembaga legislatif ini tidak mereka gunakan secara baik untuk tujuan pemberantasan korupsi, maka yang kita peroleh hanyalah Pengadilan Tipikor yang tak kunjung mengada atau malah cacat.
Hal yang sama akan terjadi pada keseluruhan aturan yang menjadi bagian dari upaya penegakan hukum antikorupsi. Agenda politik ini juga menentukan aktor-aktor pelaku politik serta berbagai agenda-agenda berikutnya. Pemberantasan korupsi menjadi salah satu jualan politik yang tergolong ”laris”, tapi hingga kini tetap tanpa aksi yang berarti. Bukan hanya pada ranah legislatif, tetapi juga eksekutif.
Kita masih ingat betul harapan besar terhadap pemberantasan korupsi di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gebrakan melalui Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Pembentukan Timtastipikor pada Mei 2005 sedikit banyak mendapatkan apresiasi yang cukup berarti.Kemudian, pemberantasan korupsi menjadi slogan tanpa aksi.
Gerakan pemberantasan korupsi mengalami ”masa dahaga” terobosan pemberantasan korupsi hingga menjelang peringatan Hari Antikorupsi kali ini. Jika pun ada, saat ini sudah teramat sulit untuk membedakannya menjadi gerakan substantif pemberantasan korupsi atau hanya politik pemanis menjelang tahun politik.
Fakta menyebutkan banyaknya aktor partai politik yang kemudian terjerat perkara korupsi. Tahun 2008 banyak mengungkapkan perkara korupsi yang dilakukan oleh aktor politik atau orang yang dekat dengan aktor politik tersebut. Pada saat yang sama, tahun 2008 memperlihatkan wajah pemberantasan korupsi yang banyak melakukan pengungkapan perkara, tapi sangat minim penuntasan perkara.
Bahkan satu pola lainnya, perkara korupsi yang terungkap dan melibatkan para aktor politik ini juga banyak berhubungan dengan perkara korupsi yang terjadi pada rezim pemilu sebelum ini. Hal ini juga menjadi hal yang menarik. Pergantian rezim politik melalui pemilu sering membuat pengungkapan model-model korupsi di rezim sebelumnya mengalami eskalasi,walau kemudian sangat jarang yang tuntas dan aparat antikorupsi melakukan penghukuman substantif untuk semua orang yang terlibat.
Artinya, secara keseluruhan nasib pemberantasan korupsi masih sangat erat dengan kehidupan perpolitikan. Pascatahun politik, dengan masa pemerintahan baru, lebih banyak memperlihatkan kemungkinan suram. Walau setiap perubahan tentu juga menawarkan perbaikan.
Wajar jika di Hari Antikorupsi ini kita kemudian menanti dengan waswas dan berharap penuh cemas terhadap nasib pemberantasan korupsi menuju dan pascatahun politik. Semoga ada perbaikan. Sekali lagi, semoga.(*)
Zainal Arifin Mochtar
Dosen Fakultas Hukum
dan
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) FH UGM
Sumber www.seputar-indonesia.com
Korupsi sebagai musuh keseluruhan umat manusia karena membahayakan banyak hal, termasuk hak ekonomi dan sosial. Bagi Indonesia, perayaan kali ini tentu akan menjadi momentum penting. Betapa tidak, inilah hari antikorupsi menjelang dimasukinya pesta demokrasi, pemilihan umum (pemilu).
Masa-masa menggeliatnya gairah perpolitikan nasional. Secara beruntun, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan pada 2009.Pemilu yang tentunya akan menentukan garis kebijakan dan kebajikan politik Indonesia, paling tidak lima tahun ke depan hingga pemilu berikutnya diadakan.
Mengapa tahun politik 2009 menjadi agenda penting yang harus dilihat di hari antikorupsi ini? Setidaknya oleh beberapa hal.Pertama, agenda pemberantasan korupsi di Indonesia masih diselimuti agenda perpolitikan secara formal. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga perwakilan rakyat yang menjadi representasi partai politik punya kewenangan besar dalam urusan menguatkan atau melemahkan penegakan hukum antikorupsi.
Mereka sangat menentukan format penegakan hukum antikorupsi. Contoh paling kini adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor).Hingga saat ini,rancangan peraturan tentang Pengadilan Tipikor tertahan di DPR dan belum kunjung mengada.Padahal,jika tidak juga disahkan hingga akhir 2009,berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tipikor menjadi inkonstitusional dan karenanya harus dihilangkan.
Memang hingga akhir 2009 adalah waktu yang cukup lama.Tapi mengingat ketatnya agenda politik nasional pada 2009, nasib Pengadilan Tipikor sesungguhnya telah berada di ”ujung tanduk”. Padahal, tanpa UU Pengadilan Tipikor,mustahil untuk lebih leluasa mendirikan pengadilan khusus ini di dalam ruang lingkup pengadilan negeri di daerahdaerah.
Batas waktu ini menarik untuk dianalisis.Jika hingga bulan Maret tahun depan belum kunjung mengada, kemungkinan besar hanya bisa berharap pada anggota legislatif baru untuk menyelesaikan. Itu pun hanya sampai akhirtahun,yang berarti hanya beberapa bulan setelah anggota legislatif baru ini dilantik.
Masa kampanye pemilu, pemilihan, kemudian masa sengketa pemilu legislatif akan menyita waktu banyak. Belum lagi untuk pemilihan presiden. Putaran pertama,lalu sengketa di MK,hingga memasuki putaran kedua dan sengketanya juga akan mewarnai kerjakerja partai politik di tengah kewajiban menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Rasanya,mustahil selesai di tengah agenda politik yang ketat ini.
Berharap pada anggota legislatif baru juga sangat meragukan. Mukamuka lama masih mendominasi kancah perpolitikan saat ini. Praktis, kalaupun jika masa legislatif baru mengisi DPR, belum tentu ada perubahan signifikan cara pandang mereka terhadap kewenangan formal dalam membuat peraturan antikorupsi.
Sesungguhnya bukan hanya batasan waktu yang menjadi masalah Pengadilan Tipikor, tapi juga besarnya kemungkinan terbajak secara substantif.Meski DPR ”berbaik hati” menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor, tetap ada kebutuhan mutlak untuk mengawal RUU ini agar substansinya tidak menjadi cacat.
Besar kemungkinan RUU ini terbajak secara substantif, baik disengaja maupun tidak disengaja. Karenanya, jika kewenangan formal para pelaku politik di lembaga legislatif ini tidak mereka gunakan secara baik untuk tujuan pemberantasan korupsi, maka yang kita peroleh hanyalah Pengadilan Tipikor yang tak kunjung mengada atau malah cacat.
Hal yang sama akan terjadi pada keseluruhan aturan yang menjadi bagian dari upaya penegakan hukum antikorupsi. Agenda politik ini juga menentukan aktor-aktor pelaku politik serta berbagai agenda-agenda berikutnya. Pemberantasan korupsi menjadi salah satu jualan politik yang tergolong ”laris”, tapi hingga kini tetap tanpa aksi yang berarti. Bukan hanya pada ranah legislatif, tetapi juga eksekutif.
Kita masih ingat betul harapan besar terhadap pemberantasan korupsi di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gebrakan melalui Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Pembentukan Timtastipikor pada Mei 2005 sedikit banyak mendapatkan apresiasi yang cukup berarti.Kemudian, pemberantasan korupsi menjadi slogan tanpa aksi.
Gerakan pemberantasan korupsi mengalami ”masa dahaga” terobosan pemberantasan korupsi hingga menjelang peringatan Hari Antikorupsi kali ini. Jika pun ada, saat ini sudah teramat sulit untuk membedakannya menjadi gerakan substantif pemberantasan korupsi atau hanya politik pemanis menjelang tahun politik.
Fakta menyebutkan banyaknya aktor partai politik yang kemudian terjerat perkara korupsi. Tahun 2008 banyak mengungkapkan perkara korupsi yang dilakukan oleh aktor politik atau orang yang dekat dengan aktor politik tersebut. Pada saat yang sama, tahun 2008 memperlihatkan wajah pemberantasan korupsi yang banyak melakukan pengungkapan perkara, tapi sangat minim penuntasan perkara.
Bahkan satu pola lainnya, perkara korupsi yang terungkap dan melibatkan para aktor politik ini juga banyak berhubungan dengan perkara korupsi yang terjadi pada rezim pemilu sebelum ini. Hal ini juga menjadi hal yang menarik. Pergantian rezim politik melalui pemilu sering membuat pengungkapan model-model korupsi di rezim sebelumnya mengalami eskalasi,walau kemudian sangat jarang yang tuntas dan aparat antikorupsi melakukan penghukuman substantif untuk semua orang yang terlibat.
Artinya, secara keseluruhan nasib pemberantasan korupsi masih sangat erat dengan kehidupan perpolitikan. Pascatahun politik, dengan masa pemerintahan baru, lebih banyak memperlihatkan kemungkinan suram. Walau setiap perubahan tentu juga menawarkan perbaikan.
Wajar jika di Hari Antikorupsi ini kita kemudian menanti dengan waswas dan berharap penuh cemas terhadap nasib pemberantasan korupsi menuju dan pascatahun politik. Semoga ada perbaikan. Sekali lagi, semoga.(*)
Zainal Arifin Mochtar
Dosen Fakultas Hukum
dan
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) FH UGM
Sumber www.seputar-indonesia.com
Babak Baru Stabilisasi Rupiah
Oleh Agus Widarjono *
Rupiah memang benar-benar sulit dikendalikan pascakrisis keuangan di AS. Rupiah terus bertengger pada posisi Rp 11 ribu per USD. BI sebagai penjaga gawang kestabilan rupiah telah mengeluarkan semua jurus untuk mengerem merosotnya rupiah. Tetapi, tetap saja rupiah terus-menerus melemah.
Lihat saja bagaimana BI dengan sekuat tenaga menjaga kestabilan rupiah akhir-akhir ini. Untuk menstabilkan rupiah, cadangan devisa sudah terkuras dari USD 57,11 miliar pada awal Oktober turun menjadi USD 50,58 sampai awal November ini atau telah keluar dana sebesar USD 6,53 miliar. Selain intervensi ke pasar, BI menggunakan kebijakan uang ketat dengan mematok BI rate pada posisi 9,5 persen walaupun banyak pelaku ekonomi menolak kebijakan moneter ketat ini.
Karena rupiah tetap terus melemah, akhirnya BI mengeluarkan jurus yang bersifat nonkonvensional melalui regulasi tata cara pembelian devisa. Melaui PBI No 10/28/2008, BI mengatur bahwa pembelian valuta asing yang jumlahnya di atas angka USD 100 ribu harus merupakan transaksi untuk kegiatan bisnis (underlying transaction). Nasabah individu diwajibkan mencantumkan NPWP untuk transaksi dalam jumlah tersebut (Jawa Pos, 13/11).
Meski BI telah mengeluarkan peraturan tentang pembelian valuta asing dengan tujuan untuk membatasi spekulasi di pasar valas, nilai tukar rupiah masih terus tertekan. Bahkan, pada perdagangan Kamis lalu (13/11) rupiah sempat menyentuh level Rp 11.998 per USD. Posisi tersebut merupakan level terburuk sejak 2001.
Destabilizing Speculation
Posisi rawan rupiah sebagai mata uang lemah (soft currency) sudah terlihat sejak pertengahan September lalu. Setelah IHSG mengalami masa bubble, di mana menyentuh level di atas 2000, saat itulah posisi rupiah sangat rawan. Bubble-nya saham pasti akan diiringi oleh jatuhnya harga saham dengan cukup tajam pula. Anjloknya harga saham pada pertengahan September lalu berimbas pada melemahnya rupiah. Rupiah sempat mendekati Rp 9.500 per USD.
Pada saat yang bersamaan, fundamental ekonomi juga kurang mendukung. Ini terlihat dari tingginya tingkat inflasi pada 2008. Sampai dengan Oktober lalu tingkat inflasi sudah mencapai 11,78 persen. Berdasar teori paritas daya beli (purchasing power parity), depresiasi rupiah tidak bisa terhindari. Kondisi rupiah tertekan.
Tetapi, tekanan rupiah tidak berhenti sampai di sini. Ada variabel di luar kontrol kita yang membuat rupiah semakin terjerembap, yaitu krisis keuangan di AS sebagai pusat lokomotif pasar keuangan dan ekonomi dunia. Krisis keuangan tersebut menjadikan harga saham di New York rontok dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Harga saham di seantero dunia, termasuk Indonesia, berguguran. Bahkan, pemerintah akhirnya menghentikan beberapa hari perdagangan saham.
Secara logika ekonomi, krisis keuangan di AS tersebut menjadikan dolar melemah dan rupiah seharusnya menguat. Tetapi, anomali terjadi. USD justru tidak melemah, namun malah menguat. Hal ini terjadi karena banyak investasi jangka pendek (hot money) dari para investor Amerika kembali ke negeri asalnya. Ada dua alasan. Pertama, repatriasi modal jangka pendek ini dilakukan karena para investor ingin melakukan konsolidasi internal untuk mengatasi krisis keuangan tersebut.
Kedua, secara bersamaan repatriasi modal tersebut dilakukan karena ada harapan baru dari presiden terpilih Barrack Obama tentang perubahan dan perbaikan ekonomi.
Imbas dari jatuhnya harga saham dan semakin menguatnya dolar AS mengakibatkan para pemilik modal beralih ke jenis investasi finansial yang berdominasi dolar. Jadilah rupiah turun terus. Tetapi, tekanan rupiah tidak berhenti sampai di sini. Ketika BI gagal membendung kemerosotan rupiah menjadikan pelaku pasar mengalami kepanikan. Spekulasi pun akhirnya marak dilakukan oleh pelaku pasar. Spekulasi yang liar (destabilizing speculation) tersebut menjadikan rupiah begerak liar tak terkendali. Dus, kebijakan standar seperti intervensi BI ke pasar dengan menggelontorkan dolar akhir-akhir ini ataupun kebijakan uang ketat dengan suku bunga tinggi tidak akan efektif untuk melakukan stabilisasi rupiah.
Babak Baru
Melihat maraknya spekulasi itu dan tidak efektifnya kebijakan moneter yang standar dalam melakukan stabilisasi rupiah, akhirnya BI mengeluarkan kebijakan dalam aturan main pembelian dolar untuk mengurangi spekulasi. Inilah babak baru dalam sejarah stabilisasi rupiah pascakrisis rupiah 1997 melalui kontrol langsung ke pasar.
Melihat tipisnya volume perdagangan di pasar valas yang kurang dari USD 1 miliar per hari dan pasokan dolar sangat terbatas, kebijakan BI mengatur pembelian valuta asing yang jumlahnya di atas angka USD 100 ribu per bulan harus merupakan underlying transaction merupakan kebijakan tepat. Kebijakan tersebut memang belum efektif dalam jangka pendek, mengingat masih terjadi kepanikan di pasar.
Banyak pelaku justru memborong dolar karena takut mendapatkan dolar di kemudian hari. Mereka yang memiliki dolar juga takut kesulitan mendapatkan dolar kembali ketika mereka mengonversi dolar ke rupiah. Alhasil, justru rupiah melemah karena permintaan dolar tinggi, sedangkan supply terbatas.
Seharusnya, pelaku pasar tidak perlu panik dengan aturan main ini. BI tetap akan menjamin setiap warga negara bisa mendapatkan dolar asal kebutuhan dolar memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan transaksi. Kebijakan itu tidak menoleransi mereka yang membeli dolar untuk kegiatan spekulasi di pasar valas yang akhir-akhir ini tidak terkontrol.
Kebijakan pengontrolan dari sisi permintaan itu merupakan bagian dari sistem kontrol devisa. Kebijakan kontrol devisa BI saat ini masih merupakan kebijakan kontrol devisa yang paling ringgan.
Namun, sejarah membuktikan bahwa kebijakan kontrol devisa dalam bentuk apa pun lebih efektif dalam mengatasi krisis mata uang suatu negara ketika krisis mata uang terjadi karena adanya destabilizing speculation. Malaysia adalah faktanya saat krisis mata uang Asia pada 1997. Sehingga, ke depan, kebijakan kontrol devisa baik dari sisi permintaan maupun penawaran (repatriasi devisa) seharusnya juga menjadi pilihan bagi BI untuk menstabilkan rupiah.
*. Agus Widarjono, mahasiswa S3 Oklahoma State University, USA, dosen FE Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta.
Sumber Jawa Pos, 17 November 2008
Rupiah memang benar-benar sulit dikendalikan pascakrisis keuangan di AS. Rupiah terus bertengger pada posisi Rp 11 ribu per USD. BI sebagai penjaga gawang kestabilan rupiah telah mengeluarkan semua jurus untuk mengerem merosotnya rupiah. Tetapi, tetap saja rupiah terus-menerus melemah.
Lihat saja bagaimana BI dengan sekuat tenaga menjaga kestabilan rupiah akhir-akhir ini. Untuk menstabilkan rupiah, cadangan devisa sudah terkuras dari USD 57,11 miliar pada awal Oktober turun menjadi USD 50,58 sampai awal November ini atau telah keluar dana sebesar USD 6,53 miliar. Selain intervensi ke pasar, BI menggunakan kebijakan uang ketat dengan mematok BI rate pada posisi 9,5 persen walaupun banyak pelaku ekonomi menolak kebijakan moneter ketat ini.
Karena rupiah tetap terus melemah, akhirnya BI mengeluarkan jurus yang bersifat nonkonvensional melalui regulasi tata cara pembelian devisa. Melaui PBI No 10/28/2008, BI mengatur bahwa pembelian valuta asing yang jumlahnya di atas angka USD 100 ribu harus merupakan transaksi untuk kegiatan bisnis (underlying transaction). Nasabah individu diwajibkan mencantumkan NPWP untuk transaksi dalam jumlah tersebut (Jawa Pos, 13/11).
Meski BI telah mengeluarkan peraturan tentang pembelian valuta asing dengan tujuan untuk membatasi spekulasi di pasar valas, nilai tukar rupiah masih terus tertekan. Bahkan, pada perdagangan Kamis lalu (13/11) rupiah sempat menyentuh level Rp 11.998 per USD. Posisi tersebut merupakan level terburuk sejak 2001.
Destabilizing Speculation
Posisi rawan rupiah sebagai mata uang lemah (soft currency) sudah terlihat sejak pertengahan September lalu. Setelah IHSG mengalami masa bubble, di mana menyentuh level di atas 2000, saat itulah posisi rupiah sangat rawan. Bubble-nya saham pasti akan diiringi oleh jatuhnya harga saham dengan cukup tajam pula. Anjloknya harga saham pada pertengahan September lalu berimbas pada melemahnya rupiah. Rupiah sempat mendekati Rp 9.500 per USD.
Pada saat yang bersamaan, fundamental ekonomi juga kurang mendukung. Ini terlihat dari tingginya tingkat inflasi pada 2008. Sampai dengan Oktober lalu tingkat inflasi sudah mencapai 11,78 persen. Berdasar teori paritas daya beli (purchasing power parity), depresiasi rupiah tidak bisa terhindari. Kondisi rupiah tertekan.
Tetapi, tekanan rupiah tidak berhenti sampai di sini. Ada variabel di luar kontrol kita yang membuat rupiah semakin terjerembap, yaitu krisis keuangan di AS sebagai pusat lokomotif pasar keuangan dan ekonomi dunia. Krisis keuangan tersebut menjadikan harga saham di New York rontok dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Harga saham di seantero dunia, termasuk Indonesia, berguguran. Bahkan, pemerintah akhirnya menghentikan beberapa hari perdagangan saham.
Secara logika ekonomi, krisis keuangan di AS tersebut menjadikan dolar melemah dan rupiah seharusnya menguat. Tetapi, anomali terjadi. USD justru tidak melemah, namun malah menguat. Hal ini terjadi karena banyak investasi jangka pendek (hot money) dari para investor Amerika kembali ke negeri asalnya. Ada dua alasan. Pertama, repatriasi modal jangka pendek ini dilakukan karena para investor ingin melakukan konsolidasi internal untuk mengatasi krisis keuangan tersebut.
Kedua, secara bersamaan repatriasi modal tersebut dilakukan karena ada harapan baru dari presiden terpilih Barrack Obama tentang perubahan dan perbaikan ekonomi.
Imbas dari jatuhnya harga saham dan semakin menguatnya dolar AS mengakibatkan para pemilik modal beralih ke jenis investasi finansial yang berdominasi dolar. Jadilah rupiah turun terus. Tetapi, tekanan rupiah tidak berhenti sampai di sini. Ketika BI gagal membendung kemerosotan rupiah menjadikan pelaku pasar mengalami kepanikan. Spekulasi pun akhirnya marak dilakukan oleh pelaku pasar. Spekulasi yang liar (destabilizing speculation) tersebut menjadikan rupiah begerak liar tak terkendali. Dus, kebijakan standar seperti intervensi BI ke pasar dengan menggelontorkan dolar akhir-akhir ini ataupun kebijakan uang ketat dengan suku bunga tinggi tidak akan efektif untuk melakukan stabilisasi rupiah.
Babak Baru
Melihat maraknya spekulasi itu dan tidak efektifnya kebijakan moneter yang standar dalam melakukan stabilisasi rupiah, akhirnya BI mengeluarkan kebijakan dalam aturan main pembelian dolar untuk mengurangi spekulasi. Inilah babak baru dalam sejarah stabilisasi rupiah pascakrisis rupiah 1997 melalui kontrol langsung ke pasar.
Melihat tipisnya volume perdagangan di pasar valas yang kurang dari USD 1 miliar per hari dan pasokan dolar sangat terbatas, kebijakan BI mengatur pembelian valuta asing yang jumlahnya di atas angka USD 100 ribu per bulan harus merupakan underlying transaction merupakan kebijakan tepat. Kebijakan tersebut memang belum efektif dalam jangka pendek, mengingat masih terjadi kepanikan di pasar.
Banyak pelaku justru memborong dolar karena takut mendapatkan dolar di kemudian hari. Mereka yang memiliki dolar juga takut kesulitan mendapatkan dolar kembali ketika mereka mengonversi dolar ke rupiah. Alhasil, justru rupiah melemah karena permintaan dolar tinggi, sedangkan supply terbatas.
Seharusnya, pelaku pasar tidak perlu panik dengan aturan main ini. BI tetap akan menjamin setiap warga negara bisa mendapatkan dolar asal kebutuhan dolar memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan transaksi. Kebijakan itu tidak menoleransi mereka yang membeli dolar untuk kegiatan spekulasi di pasar valas yang akhir-akhir ini tidak terkontrol.
Kebijakan pengontrolan dari sisi permintaan itu merupakan bagian dari sistem kontrol devisa. Kebijakan kontrol devisa BI saat ini masih merupakan kebijakan kontrol devisa yang paling ringgan.
Namun, sejarah membuktikan bahwa kebijakan kontrol devisa dalam bentuk apa pun lebih efektif dalam mengatasi krisis mata uang suatu negara ketika krisis mata uang terjadi karena adanya destabilizing speculation. Malaysia adalah faktanya saat krisis mata uang Asia pada 1997. Sehingga, ke depan, kebijakan kontrol devisa baik dari sisi permintaan maupun penawaran (repatriasi devisa) seharusnya juga menjadi pilihan bagi BI untuk menstabilkan rupiah.
*. Agus Widarjono, mahasiswa S3 Oklahoma State University, USA, dosen FE Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta.
Sumber Jawa Pos, 17 November 2008
Langganan:
Postingan (Atom)