Oleh Romi Febriyanto Saputro*
Buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Dengan membaca buku manusia dapat belajar tentang sejarah, peradaban, ilmu pengetahuan, sastra, budaya dan sains di masa lampau, masa kini dan meramalkan apa yang terjadi di masa depan. Buku juga dapat menjadi ins.pirasi bagi seseorang untuk mengembangkan kreatifitas, inovasi dan kompetensinya. Selain itu buku dapat menjadi penghibur hati di kala sedih, menumbuhkan semangat dikala lemah dan pengisi waktu di kala luang.
Begitu besar manfaat yang dapat diperoleh dengan membaca buku, namun ironisnya membaca buku belum menjadi budaya bangsa ini. Bahkan membaca buku kadang-kadang menjadi momok tersendiri bagi sebagian kalangan pelajar kita. Aktivitas membaca lebih terasa sebagai suatu beban daripada terasa sebagai kebutuhan pokok . Pelajar dan mahasiswa kita hanya gemar membaca buku untuk menghadapi momentum tertentu, seperti ujian, tugas dari pengajar dan ketika menyusun tugas akhir. Diluar itu kesadaran atas inisiatif sendiri untuk membaca masih relatif rendah.
Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membaca memang bukan pekerjaan mudah dan memerlukan proses penyadaran yang berkesinambungan dalam jangka waktu yang relatif lama. Proses penyadaran masyarakat untuk gemar membaca inilah yang tampaknya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Selama ini langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merangsang minat baca masyarakat masih belum serius dan belum menyentuh lapisan akar rumput (gross root).
Kampanye gemar membaca yang dikumandangkan oleh pemerintah lebih bersifat slogan semata daripada tindakan nyata yang terencana dan terlaksana dengan baik. Masyarakat disuruh untuk membaca, namun masyarakat tidak disediakan sarana dan prasarana membaca yang memadai. Perpustakaan sebagai sarana utama untuk meningkatkan dan melayani minat baca masyarakat belum diberdayakan secara optimal. Perpustakaan yang berkualitas hanya ada di ibukota provinsi, sementara itu untuk perpustakaan umum, kecamatan, desa, dan sekolah cenderung terabaikan.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, begitu kata pepatah. Upaya mewujudkan masyarakat berbudaya baca harus lebih digiatkan lagi, baik kualitas maupun kuantitasnya. Fenomena yang cukup menarik datang dari Pemerintah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dengan konsep “Bumi Perkemahan dan Desa Wisata Buku Karangsari Park Kwarcab Gerakan Pramuka Kabupaten Rembang”. Di atas lahan seluas 20 hektar yang terletak di Desa Karangsari, Kecamatan Sulang, Pemerintah Kabupaten Rembang mulai membangun komplek terpadu bumi perkemahan, desa wisata buku dan kebun raya.
Kedua, bersatunya dunia perpustakaan dan dunia wisata. Perpustakaan yang dikemas dalam bahasa pariwisata diharapkan akan mampu merangsang minat baca pelajar maupun masyarakat umumnya. Karena memasuki gedung perpustakaan bagi sebagian masyarakat kita yang belum terbiasa merupakan sesuatu yang asing. Diharapkan dengan kemasan wisata ini mampu menarik perhatian sebagian masyarakat yang sebelumnya tidak mempunyai kepedulian sama sekali dengan perpustakaan.
Selain itu diharapkan terjadinya transformasi psikologi baca para pelajar kita dari membaca sebagai bentuk aktivitas yang serius menjadi membaca sebagai bentuk aktivitas yang santai yang dapat dilakukan sambil berwisata. Dengan demikian diharapkan akan tumbuh kecintaan pelajar kita kepada buku. Bukan cinta yang semu melainkan cinta yang sejati. Kecintaan kepada buku merupakan landasan utama bagi tumbuh berkembangnya kompetensi para pelajar.
Ketiga, bersatunya dunia perpustakaan dan dunia pertanian. Bersatunya kedua dunia ini menghasilkan konsep belajar di alam. Di Jepang sudah menjadi pemandangan biasa orang membaca buku di taman, karena suasananya yang nyaman, tenang dan sejuk sangat cocok digunakan sebagai tempat belajar.
Membaca buku di bawah pohon rindang yang sekitarnya memiliki panorama alam yang cukup indah, akan memudahkan pembaca menyerap informasi-informasi yang terdapat di dalam buku. Selain itu dengan belajar di alam para pelajar akan mengenali secara langsung tanaman ataupun pohon-pohon yang di ajarkan dalam biologi sehingga mampu menjadi katalisator dalam proses belajar mengajar.
Wisata buku sesungguhnya merupakan wacana baru dalam dunia perpustakaan, namun dalam pelaksanaannya nanti jangan sampai aspek wisata yang ditonjolkan melainkan aspek perpustakaannya. Perpustakaan yang bersatu dengan panorama alam yang mempesona dengan tetap mendahulukan layanan publik dalam rangka mencerdaskan bangsa daripada sesuatu diluarnya.
Karena jika aspek wisata yang ditonjolkan, boleh jadi publik yang akan memasuki kawasan wisata buku, akan ditarik biaya masuk. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan misi sosial perpustakaan. Yakni memberi kesempatan yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan akses informasi yang diperlukan.
Sehingga setiap orang di perpustakaan dapat mengembangkan diri dengan semangat belajar secara terus menerus tanpa terikat dengan pendidikan formal. Manfaat yang lainnya yang juga penting adalah memperoleh kesenangan, rekreasi dan kepuasan batin yang tak ditemukan ditempat lain (Ibrahim Bafadal, 1992).
Hal lain yang harus diperhatikan adalah koleksi bahan pustaka. Koleksi bahan pustaka yang disajikan hendaknya merupakan koleksi bahan pustaka yang disusun melalui perencanaan dan analisa yang matang. Sebaik apapun konsep tata ruang kawasan wisata buku, kalau tidak didukung dengan koleksi bahan pustaka yang berkualitas akan sia-sia belaka.
Jadi kualitas dan kuantitas koleksi bahan pustaka (software) harus berbanding lurus dengan kualitas dari bangunan dan tata ruang (hardware )kawasan wisata buku. Jangan sampai terjadi kawasan wisata buku hanya megah secara fisik, namun memprihatinkan kualitas dan kuantitas bahan pustakanya.
Menyusun daftar judul koleksi bahan pustaka bukanlah perkara yang mudah karena harus meliputi seluruh klasifikasi ilmu pengetahuan. Menurut Dewey Decimal Classification (DDC) ada 10 (sepuluh) klass ilmu pengetahuan, yaitu (1) Karya Umum (kode 000 - 099), (2) Filsafat (kode 100 -199), (3) Agama ( kode 200 – 299), (4) Ilmu –Ilmu Sosial (kode 300-399), (5) Ilmu Bahasa (kode 400-499), (6) Ilmu-Ilmu Murni (kode 500 – 599), (7) Teknologi Terapan (kode 600 – 699), (8) Kesenian dan Olah Raga (700 – 799), (9) Kesusasteraan (800 – 899), dan (10) Sejarah dan Geografi (kode 900 – 999).
Selain itu menyusun daftar judul untuk perpustakaan, tidak semata-mata mengejar jumlah eksemplar buku yang banyak melainkan harus pula didukung dengan variasi judul yang beragam dengan melibatkan puluhan penerbit buku yang ada. Dengan demikian dapat menampung aspirasi publik yang sangat komplek kebutuhannya. Jangan samakan dengan pengadaan buku paket yang lebih berorientasi jumlah eksemplar.
Hal ini pernah terjadi pada program buku bantuan untuk perpustakaan desa oleh suatu Lembaga Pengabdian Masyarakat suatu Universitas yang terkenal di Solo. Alokasi bantuannya dilihat dari jumlah eksemplarnya memang cukup fantastis 5.000 eksemplar untuk satu perpustakaan desa, namun ironisnya miskin dalam variasi judul (kurang lebih hanya 50 judul buku atau dengan rasio 1 judul 100 eksemplar). Lebih memprihatinkan lagi hanya berupa buku pelajaran dari satu penerbit, yang kurang menarik bagi suatu perpustakaan desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar