Oleh Romi Febriyanto Saputro
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Genta Pustaka Vol. I Nomor 6, Juni – Juli 2007
Tanggal 20 Maret 2007 lalu, di Kota Solo dicanangkan Kampanye Ayo Giat Membaca. Kampanye membaca ini merupakan hasil kerja sama Program Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, PT Balai Pustaka, Pusat Bahasa Provinsi Jawa Tengah dan MGMP Bahasa Indonesia se-Soloraya.
Pencanangan kampanye untuk memotivasi dan mengajak masyarakat agar gemar membaca ini akan dilakukan oleh Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Dr Dendy Sugono, di Hotel Quality.
Kampanye Ayo Giat Membaca ini merupakan kampanye yang ke sekian kalinya dicanangkan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Namun, kampanye ataupun gerakan untuk meningkatkan minat baca masyarakat ini sering mengalami kemandulan.
Kampanye membaca selama ini lebih terkesan sebagai ajang tebar pesona. Pemerintahan orde baru mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan (14 September 1997), pemerintahan Megawati mencanangkan Gerakan Membaca Nasional (12 November 2003), dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat (17 Mei 2006).
Aneka macam kampanye tersebut biasanya hanya akan berhenti sebagai slogan semata. Mengapa ? Pertama, basis kampanye membaca tidak jelas. Selama ini pemerintah selalu mengatakan bahwa membaca itu penting. Tetapi, pemerintah (pura-pura?) lupa bahwa menyediakan sarana bagi rakyat untuk membaca itu juga penting.
Kampanye membaca seringkali dilakukan tanpa melibatkan perpustakaan. Padahal kampanye membaca mestinya harus berbasis perpustakaan. Mengembangkan minat baca mestinya harus diartikan dengan mengembangkan perpustakaan terlebih dahulu. Mengapa demikian ? Karena perpustakaan merupakan institusi yang paling memungkinkan untuk mendekati masyarakat dan mengajak mereka untuk mencintai dunia bacaan
Pendorong bagi bangkitnya minat baca ialah kemampuan membaca, dan pendorong bagi berseminya budaya baca adalah kebiasaan membaca, sedangkan kebiasaan membaca akan terpenuhi dan terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai baik jenis, jumlah maupun mutunya (Fuad Hasan, 2001)
Kedua, kampanye membaca hanya ditujukan kepada rakyat. Padahal rakyat belum tentu ”tidak mau membaca”. Pakar pendidikan di tanah air sering memvonis bahwa minat baca rakyat Indonesia rendah. Benarkah vonis ini ?
Minat baca masyarakat kita sebenarnya tidak serendah sebagaimana gambaran di atas. Jika kita mau mengamati papan-papan koran yang ada dipinggir jalan senantiasi ramai dibaca oleh banyak orang.
Perpustakaan keliling yang mengunjungi sekolah dasar di pedesaanpun senantiasa mendapat sambutan yang meriah dari para peserta didik. Jadi, minat baca rakyat kita tidaklah serendah sebagaimana vonis para pakar dunia pendidikan.
Akar permasalahannya terletak pada kemampuan dan kesempatan bagi rakyar untuk mengakses buku dengan cara yang murah dan mudah. Kalau rakyat disuruh membaca mestinya pemerintah konsekuen dengan membangun perpustakaan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.
Para wakil rakyat pun perlu didorong untuk membantu memberdayakan perpustakaan. Pencanangan kampanye membaca di Kota Solo ini terasa ironis. Mengingat beberapa waktu lalu rencana pembangunan gedung Perpustakaan Daerah Surakarta sukses digagalkan oleh para wakil rakyat. Rupanya, para wakil rakyat lebih takut kehilangan uang tunjangan komunikasinya daripada kehilangan minat baca rakyat yang diwakilinya.
Jadi, kampanye membaca juga perlu dilakukan terhadap unsur eksekutif maupun legislatif daerah. Agar para pembesar ini juga memiliki kesadaran untuk meningkatkan minat baca rakyatnya.
Ketiga, kampanye membaca selalu dan terlalu mengkambinghitamkan budaya lisan sebagai faktor utama rendahnya minat baca masyarakat. Hal ini menyebabkan ”segala macam dosa” dibebankan pada budaya lisan.
Jika kita membuka kembali cakrawala sejarah bangsa ini, di masa lalu banyak dilahirkan karya-karya sastra yang bernilai tinggi, yang merupakan indikator bahwa budaya tulis bukan merupakan sesuatu yang asing bagi bangsa kita.
Buku Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa pada masa Kerajaan Kahuripan; Bharatayudha yang di gubah oleh Mpu Sedah & Mpu Panuluh pada masa Kerajaan Kediri; Negarakertagama buah karya Mpu Prapanca dan Sutasoma buah karya Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit merupakan bukti bahwa budaya lisan, budaya baca, dan budaya tulis dapat bersinergi dengan baik.
Dengan demikian sesungguhnya bangsa kita pada masa lalu sudah memiliki minat baca yang cukup tinggi. Budaya tulis berkembang sebagaimana budaya lisan juga berkembang. Karya-karya besar seperti tersebut diatas tidak mungkin lahir dari masyarakat yang berbudaya baca rendah.
Jika selama ini ada stereotip sosial yang menganggap minat baca masyarakat kita rendah, maka hal ini perlu kita kaji kembali. Keengganan masyarakat untuk membaca disebabkan oleh beberapa alasan : pertama, kualitas perpustakaan di Indonesia pada umumnya masih memprihatinkan sehingga masyarakat belum terpuaskan oleh koleksi yang ada.
Kedua, terbatasnya koleksi non buku di perpustakaan. Untuk perpustakaan umum kabupaten/kota pada umumnya belum didukung oleh jumlah surat kabar, tabloid, majalah, dan jurnal ilmiah yang memadai. sehingga masih sering mengecewakan masyarakat. Padahal sebagai salah satu pusat informasi perpustakaan perlu ditunjang oleh koleksi surat kabar dan majalah yang bervariasi.
Dengan koleksi surat kabar dan majalah yang beragam diharapkan mampu menampung sebagian besar informasi yang diperlukan masyarakat dan meminimalkan kekecewaan masyarakat yang tidak menemukan informasi yang diinginkannya.
Ketiga, keterbatasan masyarakat di daerah terpencil dalam mengakses sumber bacaan. Masyarakat di daerah terpencil dan pedalaman sebenarnya juga haus informasi. Namun karena kesulitan mereka untuk mengakses informasi dan sumber bacaan menjadikan mereka seakan-akan tidak memiliki minat baca yang tinggi.
Perpustakaan keliling yang desain awalnya memang untuk melayani minat baca masyarakat di daerah terpencil perlu dibangun kembali secara profesional dan lebih serius, tidak sekedar menggugurkan kewajiban.
Apalagi untuk kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan peran aktif perpustakaan keliling sangat dinantikan. Realitas di lapangan menunjukan bahwa kelemahan utama dari perpustakaan keliling adalah koleksi bahan pustaka dan jangkauan wilayah operasinya masih terbatas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar