Oleh Romi Febriyanto Saputro
Artikel ini telah dimuat di Majalah Media Pustaka, Edisi 2/ April - Juni 2008
Tanggal 25 sampai dengan 27 Januari 2007 lalu, UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen yang didukung instansi induknya Dinas P & K Kabupaten Sragen menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Perpustakaan Sekolah Angkatan ke 27 (terakhir).
Sejak angkatan pertama (26 s/d 28 Desember 2005) sampai dengan angkatan ke- 27, bintek pengelolaan perpustakaan sekolah ini sudah diikuti 744 pengelola perpustakaan sekolah dari 845 perpustakaan sekolah yang ada di Kabupaten Sragen. Pada setiap angkatan, bintek ini diikuti oleh 25 sampai dengan 30 peserta.
Materi yang diberikan dalam bintek ini merupakan materi praktis-aplikatif yang terdiri dari klasifikasi bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, katalogisasi bahan pustaka, layanan perpustakaan, dan pelestarian bahan pustaka.
Latar belakang dilaksanakannya bintek ini adalah pertama, masih cukup banyak tenaga pengelola perpustakaan sekolah yang belum memahami cara mengelola perpustakaan yang baik dan benar.
Hal ini dapat dimaklumi. Mengingat tenaga pengelola di perpustakaan sekolah sebagian besar adalah tenaga “gawat darurat”. Mereka ini pantas menyandang sebutan guru pustakawan. Artinya, disamping mengajar, mereka masih dibebani tugas mengelola perpustakaan sekolah.
Respon sebagian besar guru pustakawan ini dalam mengikuti bintek cukup baik. Hanya saja kepedulian mereka terhadap perpustakaan sekolah bertepuk sebelah tangan dengan kebijakan para kepala sekolah.
Semangat guru pustakawan dalam mengelola perpustakaan secara sukarela – tanpa imbalan apapun – hanya didukung oleh perhatian kepala sekolah yang “ala kadarnya”. Hal inilah yang berpotensi memadamkan semangat para guru pustakawan.
Kedua, mempersempit “ruang alasan”. Selama ini kepala sekolah selalu mengatakan tidak punya dana untuk menghidupi perpustakaan sekolah. Dengan adanya BOS alasan ini gugur sebagaimana pernah penulis ungkap dalam “Memimpikan BOS Untuk Perpustakaan” (Kompas Jateng, 27 Desember 2005).
Selain itu, alasan yang mengemuka adalah tenaga pengelola perpustakaan sekolahnya belum memahami teknik mengelola perpustakaan. Dengan adanya bintek, alasan itu kini menjadi gugur pula.
Ketiga, integrasi Kantor Perpustakaan Kabupaten Sragen ke dalam struktur organisasi Dinas P & K Kabupaten Sragen. Integrasi ini berlaku efektif pada tahun 2005.
Integrasi ini menjadikan perpustakaan kabupaten dan perpustakaan sekolah berada dalam satu atap. Integrasi ini membuat perpustakaan kabupaten dapat bergerak lebih leluasa untuk secara aktif membina perpustakaan sekolah.
Sebelum integrasi, untuk membina perpustakaan sekolah, perpustakaan kabupaten harus “kulo nuwun” dulu kepada dinas pendidikan. Kini, rantai birokrasi itu telah tiada.
Keempat, keberadaan perpustakaan sekolah merupakan salah satu standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.
Hal ini sejalan dengan penjelasan pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang dilaksanakan dengan PP No. 19 Tahun 2005. PP ini mewajibkan setiap sekolah memiliki perpustakaan sekolah.
Dengan kata lain, tanpa perpustakaan sekolah yang memadai sebuah sekolah dikatakan tidak standar. Ironisnya, masih ada sekolah yang telah memperoleh akreditasi sebagai sekolah standar nasional tetapi tidak memiliki ruang perpustakaan. Sungguh aneh tapi nyata, tanya ken… napa?
Daya Ungkit
Bintek pengelolaan perpustakaan sekolah ini pada hakekatnya merupakan gerakan psikologis untuk mencubit manajemen sekolah agar sadar dan peduli terhadap hidup –matinya perpustakaan sekolah. Jadi, bintek ini diharapkan dapat menjadi daya ungkit untuk memfungsikan kembali perpustakaan sekolah sebagaimana mestinya.
Menurut Manifesto Unesco (1999), perpustakaan sekolah berfungsi memberikan layanan belajar, buku, dan sumber-sumber lainnya yang memungkinkan semua komunitas sekolah dapat menjadi pemikir yang kritis dan pemakai informasi dalam berbagai format dan media secara efektif.
Agar daya ungkit ini semakin besar, perlu diikuti dengan beberapa langkah nyata. Pertama, kegiatan monitoring perpustakaan sekolah. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan yang diperoleh dalam bintek diaplikasikan secara nyata di lingkungan perpustakaan sekolah. Sehingga terjadinya praktik “habis bintek, ilmu dibuang” dapat dicegah.
Kedua, masukanlah anggaran dana untuk perpustakaan dalam APBS dan belanjakanlah “di jalan yang lurus”. Jangan zalimi perpustakaan sekolah ! Komitmen kepala sekolah, komite sekolah, dan para pendidik sangat dinantikan.
Dalam RUU Sistem Nasional Perpustakaan anggaran untuk perpustakaan sekolah ditetapkan minimal sebesar 5 persen dari APBS. Kelak jika RUU ini disahkan menjadi UU akan semakin memperkuat kedudukan perpustakaan sekolah.
Ketiga, alokasikan dalam APBD Pemkab anggaran dana untuk pengadaan buku bantuan bagi perpustakaan sekolah. Kalau pengadaan buku paket bisa, mengapa pengadaan buku perpustakaan tidak ? Hal ini cukup penting guna merangsang pertumbuhan koleksi buku di perpustakaan sekolah.
Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pandangan Legislatif Sragen yang menyayangkan langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) yang tidak menganggarkan dana untuk buku anak-anak menyusul minimnya koleksi buku perpustakaan sekolah (Solopos, 3 Maret 2007).
Keempat, mengintegrasikan kegiatan pembangunan perpustakaan sekolah ke dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Selama ini pembangunan sarana dan prasarana pendidikan lebih berorientasi kepada pembangunan ruang kelas, ruang guru, maupun aula. Orientasi ini sudah saatnya berubah.
Pendidikan dan perpustakaan sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integral). Seperti telah dicanangkan oleh UNESCO, bahwa pendidikan untuk semua (education for all), dapat lebih berhasil jika dilengkapi oleh perpustakaan.
Menurut Soetarno NS (2003), Oleh karena pendidikan merupakan proses alih dan pengembangan ilmu pengetahuan, dengan sekolah dan perpustakaan sebagai medianya, maka perkembangan bidang pendidikan berkaitan erat dengan keberadaan perpustakaan.
Sesuai dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka pendidikan juga berkembang, sehingga antara pendidikan dan perpustakaan bagaikan dua sisi mata uang yang sama nilainya dan tak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan mengisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar