Oleh Romi Febriyanto Saputro
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Jateng, 3 Oktober 2006
Sejak 5 September sampai 2 Desember 2006, Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah Jateng menyelenggarakan Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli. Diklat ini diperuntukkan bagi PNS dengan kualifikasi pendidikan S-1 non-Perpustakaan yang berminat menjadi pustakawan.
Menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132/Kep/M Pan/2002, pustakawan adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak setas penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi, dan informasi instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya.
Tugas pokok pejabat pustakawan meliputi pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka, pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi, serta pengkajian pengembangan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi.
Sampai saat ini, jabatan fungsional pustakawan di lingkungan pemerintah daerah (kabupaten/kota) memang masih langka. Bahkan beberapa perpustakaan umum daerah nihil dari jabatan ini. Bukan karena tak diperlukan, melainkan lebih disebabkan rendahnya minat PNS menjadi pustakawan.
Fenomena ini terjadi karena, pertama, sebagian besar PNS lebih mendambakan jabatan struktural daripada jabatan fungsional pustakawan. Selain tunjangan jabatan struktural lebih besar, faktor "gengsi" juga turut berperan. Lagi pula, pejabat struktural lebih berpeluang untuk mendapat tambahan fasilitas dan "penghasilan". Kedua, tunjangan jabatan fungsional pustakawan yang tak berbeda jauh dengan tunjangan staf umum. Saat ini tunjangan jabatan fungsional pustakawan tingkat ahli dengan golongan ruang III/a - III/b sebesar Rp 202.000. Hal ini tak berbeda jauh dengan tunjangan staf umum sebesar Rp 185.000 untuk golongan ruang yang sama. Padahal, beban pekerjaan seorang pustakawan jelas lebih tinggi daripada staf umum.
Seorang PNS yang hanya menjadi staf meskipun "ongkang-ongkang" saja sudah mendapat Rp 185.000. Hal inilah yang sering dirasakan kurang adil oleh teman-teman pustakawan.
Ketiga, problematika angka kredit. Angka kredit untuk kegiatan rutin pustakawan tergolong rendah. Melakukan klasifikasi sederhana setiap judul hanya dihargai 0,003 angka kredit. Sementara itu, untuk klasifikasi kompleks setiap judul hanya dihargai 0,007 angka kredit. Hal ini berarti jika seorang pustakawan melakukan klasifikasi 1.000 (seribu) judul buku, hanya akan memperoleh tiga sampai tujuh angka kredit.
Kondisi ini diperparah dengan belum idealnya jumlah pengadaan bahan pustaka di perpustakaan umum daerah. Akibatnya, pustakawan akan kesulitan mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya.
Keempat, panjangnya birokrasi pengurusan penetapan angka kredit(PAK). Pustakawan di perpustakaan daerah untuk mengurus PAK harus pergi ke Perpustakaan Daerah Provinsi Jateng. Ini karena pemerintah daerah belum memiliki Tim Penilai Angka Kredit sendiri. Untuk membentuk tim penilai angka kredit setidaknya harus ada 15 orang pustakawan di sebuah daerah.
Agar pustakawan menjadi jabatan fungsional yang menarik, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan. Hal ini dilakukan dengan menaikkan tunjangan funsional pustakawan minimal Rp 500.000 perbulan, dan kenaikan tunjangan sebesar Rp 100.000 setiap kenaikan pangkat. Tunjangan fungsional sebesar ini sangat layak jika dikaitkan dengan tiga fungsi ideal yang harus diemban oleh seorang pustakawan, yaitu sebagai agen informasi, ilmuwan, dan pendidik.
Juga ilmuwan
Sebagai ilmuwan, pustakawan harus mampu memberdayakan informasi bukan sekadar melayankan informasi. Andy Alayyubi (2001) mengungkapkan bahwa pustakawan yang ideal selain profesional ia juga seorang ilmuwan.
Selama ini, khususnya di lembaga-lembaga riset, pekerjaan pustakawan hanya menyediakan informasi bagi para ilmuwan. Para pustakawan sudah merasa puas bila para ilmuwan sudah mendapatkan informasi yang dicarinya.
Fenomena ini harus diubah. Kalau kita pikirkan lagi, kita seharusnya mempertanyakan, mengapa pustakawan selalu menjadi "pembantu" ilmuwan kalau semua keperluan "majikan" kita miliki. Yah, pustakawan mempunyai keperluan ilmuwan dalam bentuk informasi. Keilmuwanan pustakawan akan terbukti jika ia mampu melahirkan karya tulis. Kegiatanmenulis ini merupakan lahanbasah dalam memperoleh angkakredit. Kelemahan pustakawan saat ini, mereka hanya terfokus pada kegiatan rutin yang celakanya memiliki angka kredit kecil.
Pustakawan juga sebagai seorang pendidik. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain (termasuk pustakawan) yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Ketiga fungsi pustakawan di atas memerlukan dukungan pemerintah daerah dengan cara meningkatkan jumlah pengadaan bahan pustaka baru di perpustakaan umum daerah. Tanpa langkah seperti ini, pustakawan akan kesulitan mengumpulkan angka kredit.
Sementara itu, kebijakan Perpustakaan Nasional yang memberlakukan nilai angka kredit yang sama untuk pustakawan yang bekerja pada perpustakaan yang berbeda jenisnya perlu ditinjau ulang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
saya baru membaca artikel anda. isinya sangat bagus. semuanya menggambarkan mayoritas keadaan perpustakaan sekolah saat ini. semoga saja pihak sekolah bisa merealisasikan UU No 43/ 2007 tentang perpustakaan yang menyatakan 5% dana bos dapat dialokasikan untuk perpustakaan. agar tujuan pendidikan tercapai.
Posting Komentar