Oleh Romi Febriyanto Saputro
Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 11 Oktober 2004
Komite Sanksi Bank Dunia telah mengeluarkan daftar hitam berisi nama 10 individu dan 26 perusahaan yang dianggap telah melakukan praktik curang dan korupsi dalam pelaksanaan Proyek Pengembangan Buku dan Bacaan (Book and Reading Development Project/BRDP) di Indonesia senilai 53.232.000 dollar AS, yang didanai Bank Dunia. Dengan dimasukkan dalam daftar hitam, perusahaan-perusahaan itu tidak berhak lagi menerima kontrak baru yang didanai oleh Bank Dunia selama periode yang ditetapkan, yakni 2-15 tahun. Selain itu, Bank Dunia juga meminta Pemerintah RI mengembalikan 10 juta dollar AS dari pinjaman proyek yang dinilai terindikasi kecurangan atau dikorupsi itu (Kompas, 30 September 2004).
Terlepas dari kebenaran berita di atas, proyek pengadaan buku paket memang rawan terhadap ancaman praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebab, pengadaan buku paket menyangkut dana yang sangat besar jumlahnya dengan tingkat kesulitan yang relatif rendah. Dalam hal ini, pihak penerbit hanya membuat beberapa judul buku, kemudian menggandakan ribuan kali sesuai pesanan. Virus KKN memang ibarat (maaf) bau kentut yang menyengat, tetapi tidak dapat dilihat wujudnya.
Buku adalah kunci utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi dalam dunia pendidikan kita ternyata identik dengan permasalahan. Selain itu, satu hal lagi yang cukup mengganggu wajah dunia pendidikan kita adalah penjualan buku pelajaran secara langsung oleh penerbit kepada pihak sekolah. Nuansa nepotisme antara penerbit dan pihak sekolah sangat kental karena seolah-olah pihak sekolah menggantikan peran toko buku untuk mendistribusikan buku pelajaran. Pihak penerbit biasanya akan memberikan komisi tertentu kepada pihak sekolah untuk setiap buku pelajaran yang terjual.
Praktik pengadaan buku paket/pelajaran dalam dunia pendidikan kita cenderung tidak sehat. Model pengadaan buku paket/pelajaran seperti yang terjadi saat ini hanya akan memasung otoritas guru. Guru dipaksa dan terpaksa menggunakan buku paket/pelajaran yang sudah ditetapkan oleh pemerintah walaupun terkadang tidak sesuai dengan kondisi dan latar belakang anak didiknya.
Begitu pula praktik penjualan buku pelajaran oleh penerbit langsung ke sekolah hanya akan membebani siswa dari kalangan keluarga tidak mampu. Model pengadaan buku seperti ini jelas mengabaikan hakikat pendidikan itu sendiri dan lebih kental nuansa bisnisnya. Mengeruk keuntungan dari lahan pendidikan.
Praktik pengadaan buku paket/pelajaran seperti ini harus segera diakhiri. Pemerintah dapat menggantikan proyek pengadaan buku paket dengan uang bantuan pembelian buku pelajaran untuk murid, terutama dari kalangan yang tidak mampu. Murid diberi kebebasan untuk membeli buku pelajaran di toko buku setelah memperoleh saran, masukan, dan arahan dari guru. Biar mereka sendiri yang membeli buku pelajaran yang sesuai dengan selera masing-masing. Buku yang sudah dibeli oleh murid pada akhir tahun ajaran dikembalikan kepada pihak sekolah untuk dipergunakan oleh adik kelasnya.
Penjualan buku pelajaran secara langsung ke pihak sekolah oleh penerbit harus pula dilarang. Dalam hal ini, penerbit telah merendahkan martabat pihak sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi institusi bisnis. Pendidikan yang mestinya bersifat sosial telah mengalami metamorfosis dengan roh kapitalis. Kapitalisme pendidikan ini pada akhirnya hanya akan membebani orangtua murid.
Penghapusan proyek buku paket/pelajaran, baik yang disponsori oleh pemerintah maupun penerbit buku, dalam berbagai bentuk dan wujudnya akan melahirkan beberapa dampak positif. Pertama, mengembalikan otoritas dan martabat sang guru. Kedua, membudayakan pengajaran multi-arah. Ketiga, meningkatkan minat baca murid. Minat baca murid akan terus stagnan selama murid dikondisikan harus berpedoman dan merasa cukup hanya dengan satu macam buku paket/pelajaran saja.
Proses belajar-mengajar selama ini, diakui atau tidak, cenderung didominasi oleh pengajaran searah. Murid hanya dijadikan obyek yang harus menerima apa pun yang disampaikan guru, termasuk jenis buku ajar yang harus digunakan. Dengan membebaskan murid menggunakan buku ajar yang berbeda-beda, maka akan membuka ruang untuk berdiskusi, berdialog, dan berkomunikasi. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan berlangsung dinamis, terbuka, dan demokratis.
Filsuf Paulo Freire menganjurkan agar proses belajar-mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan cara memotivasi siswa belajar mencari data, menganalisis data-data tersebut dalam arti yang sebenarnya.
Pengajaran multi-arah berarti mengajak murid berpikir dan memahami materi pelajaran. Bukan sekadar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setelah memahami materi pelajaran, barulah terbentuk pengetahuan baru yang masuk akal. Sesuatu yang masuk akal akan lebih tahan lama dalam memori ingatan murid. Bahkan jika lupa sekalipun akan mudah mengingatnya kembali.
Jangan lupa, minat baca murid akan terus stagnan selama murid dikondisikan harus berpedoman dan merasa cukup hanya dengan satu macam buku paket/pelajaran. Dengan buku pelajaran yang berbeda-beda dalam satu kelas, murid akan terdorong untuk membandingkan dan membaca berbagai referensi yang ada. Dan, jika murid merasa belum cukup dengan buku pelajaran yang ada di dalam kelas, mereka pun tentu akan melirik perpustakaan sekolah untuk memperkaya pengetahuannya.
Meningkatnya minat baca murid diharapkan dapat merangsang pihak sekolah untuk lebih meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah yang ada. Pihak sekolah diharapkan dapat meletakkan posisi perpustakaan sekolah di tempat yang terhormat. Perpustakaan sekolah sudah selayaknya dijadikan pusat kegiatan belajar yang bersifat pluralitas untuk kegiatan belajar aktif, kerja sama, riset, dan interpretasi. Dengan demikian, diharapkan pendidikan di dalam sekolah akan mampu melahirkan generasi yang berbudaya membaca yang akan memberi pengaruh kepada masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar