25 Oktober 2008

Quo Vadis Pengadaan Bahan Pustaka ?

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 3 Februari 2007

Pengadaan bahan pustaka merupakan ikon penting dalam penyelenggaraan perpustakaan. Pengadaan bahan pustaka menjadi cermin baik tidaknya suatu perpustakaan. Perpustakaan yang baik harus didukung oleh jumlah koleksi yang memadai baik dari segi keragaman judul maupun jumlah eksemplar.
Pengadaan bahan pustaka mesti berorientasi pada pengguna perpustakaan. Suara pengguna perpustakaan harus lebih didengarkan daripada ego pribadi pengelola perpustakaan. Sinergi antara pengguna dan pengelola perpustakaan akan menentukan sukses tidaknya suatu pengadaan bahan pustaka.
Dalam memilih bahan pustaka, hendaknya perpustakaan memperhatikan tingkat aktualitas, keberadaan ide baru, dan kedalaman isi /pembahasan suatu buku. Perpustakaan mesti memilih buku-buku yang dapat memberikan pencerahan hidup bagi pembacanya.
Urgensi pengadaan bahan pustaka bagi sebuah perpustakaan adalah untuk menjaga kesegaran koleksi bahan pustaka. Hal ini penting guna memelihara dan meningkatkan minat baca masyarakat.
Ibarat kolam ikan, jika tidak pernah mengalami penambahan air bersih tentu akan menjadi keruh. Begitu pula dengan suatu perpustakaan. Jika tidak pernah mengadakan pembelian bahan pustaka yang baru tentu akan menjadikan pengguna bosan dengan koleksi yang ada.
Semakin sering dan semakin banyak dalam pengadaan bahan pustaka akan membuat perpustakaan semakin disayang oleh penggunanya. Sebaliknya perpustakaan yang tidak pernah memperbarui koleksinya tentu akan ditinggalkan oleh pengguna.
Realitas
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya pengadaan bahan pustaka bagi sebuah perpustakaan. Ironisnya, realitas berkata lain. Ada beberapa fenomena yang membuat pengadaan bahan pustaka menjadi tidak sehat.
Pertama, mentalitas proyek. Mentalitas proyek menyebabkan orientasi pengadaan bahan pustaka bergeser dari memuaskan kebutuhan pengguna perpustakaan menjadi memuaskan nafsu ”orang-orang proyek”.
Segala upaya ditempuh dalam rangka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Jalan pintas pun dianggap pantas. Ketika memulai kegiatan, yang ada di otak orang-orang proyek adalah bagaimana cara mendapatkan diskon yang sebesar-besarnya.
Untuk memperoleh diskon yang besar biasanya orang-orang proyek akan memilih buku-buku yang minim variasi judul maksimal dalam eksemplar. Satu judul bisa mencapai lima sampai dengan sepuluh eksemplar. Selain itu, juga minim dalam variasi penerbit. Jika buku-buku berasal hanya dari satu penerbit, maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar.
Mentalitas proyek juga menyebabkan proses seleksi bahan pustaka menjadi terabaikan. Cukup banyak perpustakaan umum maupun sekolah/perguruan tinggi yang begitu saja ”pasrah bongkokan” dengan buku-buku yang disodorkan oleh penerbit maupun distributor buku. Mereka terlalu malas untuk menyusun ribuan judul buku dari berbagai penerbit.
HaI ini merupakan suatu bentuk patologi birokrasi yang menimpa dunia perpustakaan. Model pengadaan buku yang demikian hanya akan menghasilkan “perpustakaan yang membodohkan”.
Kedua, ketidakseimbangan antara aspek sosiologi dan psikologi. Pengadaan bahan pustaka yang baik hendaknya disamping memperhatikan aspek sosiologi pembaca juga memperhatikan aspek psikologis pembaca.
Aspek sosiologi pembaca meliputi kondisi keluarga, jenjang pendidikan, jenis pekerjaan, status sosial dan lingkungan tempat tinggal pembaca. Sedangkan aspek psikologi pembaca meliputi selera pembaca dan usia pembaca. Kedua aspek ini tidak boleh dipisah-pisahkan karena merupakan satu kesatuan yang utuh (integral).
Perpustakaan sekolah dasar misalnya, yang lingkungan sosialnya didominasi oleh anak-anak usia 7 – 13 tahun, menurut aspek sosiologi harus didukung dengan buku-buku perpustakaan yang menunjang kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Untuk itu buku-buku yang diutamakan adalah buku-buku sains dan teknologi.
Namun dari aspek psikologi pengadaan bahan pustaka untuk perpustakaan sekolah dasar yang hanya berisi buku-buku sains dan teknologi akan terasa hambar. Peserta didik yang sudah dibebani dengan aneka pelajaran serius di kelas perlu sedikit relaksasi.
Tahapan untuk relaksasi ini memerlukan buku-buku yang dapat menghibur jiwa mereka. Buku-buku tentang fiksi populer, agama, dan psikologi populer dapat mengisi ruang ini sekaligus berfungsi sebagai penyedap rasa perpustakaan sekolah dasar. Penyedap rasa ini sangat berperan untuk merangsang dan menumbuhkan kembali minat baca peserta didik yang sudah lama tertimbun aneka tontonan televisi.
Keseimbangan aspek sosiologi dan psikologi ini perlu disesuaikan dengan usia peserta didik. Untuk perpustakaan sekolah dasar, koleksi dasar perpustakaan yang dianjurkan para ahli adalah 70 persen fiksi dan 30 persen non fiksi. Buku non fiksi pun diusahakan dipilih buku yang didesain dengan format yang bersahabat dengan anak.
Ketiga, prosedur pengadaan yang bertele-tele. Saat ini prosedur pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang disempurnakan dengan Perpres Nomor 32 Tahun 2005.
Tujuan Keppres ini cukup baik, yakni agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Namun, jika diterapkan dalam pengadaan bahan pustaka sedikit menimbulkan distorsi. Terutama jika menyangkut pengadaan bahan pustaka dengan nilai lebih dari Rp 50.000.000, 00 yang harus dilaksanakan dengan lelang.
Prosedur lelang sangat bertele-tele sehingga memakan banyak waktu. Mulai dari pengumuman pra/pasca kualifikasi, pengambilan dokumen pra/pasca kualifikasi, pengambalan dokumen penawaran, penjelasan (aanwijzing), pemasukan dokumen, hingga penentuan pemenang lelang minimal memakan waktu tiga bulan.
Prosedur pengadaan yang bertele-tele ini menyebabkan aktualitas bahan pustaka sedikit menurun. Karena judul bahan pustaka yang disusun pada awal tahun, baru sampai kepada pengguna pada akhir tahun anggaran.
Selain itu, jika pada pertengahan tahun ada buku baru yang terbit, perpustakaan mengalami kesulitan untuk membelinya. Ini karena pengadaan bahan pustaka harus berada dalam satu kegiatan. Tidak bisa dipisah-pisahkan mengikuti perkembangan terbaru dunia perbukuan.
Akibatnya, akses pengguna perpustakaan untuk menikmati buku yang baru terbit harus tertunda sampai tahun anggaran berikutnya.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu menerbitkan suatu peraturan khusus tentang prosedur pengadaan bahan pustaka yang dapat menjaga tingkat aktualitas bahan pustaka tanpa mengabaikan pertanggungjawaban keuangan yang bersih dan transparan. Sehingga antara bahasa perpustakaan dan bahasa keuangan dapat bertemu pada satu titik.

Tidak ada komentar: