Oleh : Romi Febriyanto Saputro
Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 14 September 2004
Hari ini, 14 September 2004, adalah Hari Kunjung Perpustakaan, dan pada tanggal 20 September 2004 mendatang bangsa ini akan melakukan pesta demokrasi, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden putaran ke II yang akan menentukan arah bangsa ini lima tahun ke depan. Sebagai insan yang bekerja di lingkungan perpustakaan, penulis sangat mengharapkan siapa pun nanti yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia akan membawa kemajuan bagi perkembangan dunia perpustakaan di Tanah Air.
Dalam Konggres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 9 Juni 2004, yang mengangkat tema "Posisi Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) dalam Kancah Politik Informasi di Indonesia", terungkap bahwa kondisi perpustakaan sebagai salah satu sumber informasi dan pilar pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan.
Dari seluruh perpustakaan yang ada di Indonesia, 90 persen di antaranya belum memiliki infrastruktur lengkap dalam hal sumber daya manusia, anggaran, maupun sarana dan prasarana. Kondisi memprihatinkan ini terlihat jelas pada jumlah judul dan eksemplar yang masih terbatas, penataan interior, pencahayaan perpustakaan yang tidak nyaman, serta kurangnya visi pustakawan untuk menarik pengunjung sehingga terkesan tidak ramah kepada pengunjung perpustakaan (Kompas, 10 Juni 2004).
Perpustakaan di lingkungan pendidikan tinggi pun juga tidak kalah memprihatinkan. Menurut Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VI Jawa Tengah Prof Saryadi, diperkirakan hanya 5 persen dari sekitar 200 perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah yang memiliki laboratorium dan perpustakaan yang memadai untuk menunjang penelitian. Sementara sekitar 50 persen perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah lainnya hanya memiliki fasilitas yang seadanya. Bahkan, ada yang fasilitasnya tidak layak atau tidak tersedia laboratorium dan perpustakaan (Kompas, 25 Mei 2004).
Perpustakaan yang memiliki misi meningkatkan minat baca masyarakat memang belum memperoleh perhatian yang semestinya dari pemerintah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang merupakan undang- undang terbaru, juga tidak menyebut secara tegas bahwa perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar.
Kampanye pasangan capres dan cawapres sejak putaran pertama lalu-juga yang maju ke putaran kedua ini-juga tidak pernah menyinggung sedikit pun tentang perpustakaan. Pendek kata, sepanjang 59 tahun usia republik ini, perpustakaan selalu menjadi prioritas terakhir untuk dibangun dibandingkan dengan bidang lainnya.
Kebijakan pembangunan di bidang perpustakaan memang belum jelas benar arahnya meskipun pemerintah telah membuat seperangkat aturan tentang perpustakaan nasional, perpustakaan provinsi, perpustakaan umum kabupaten/kota, perpustakaan umum kecamatan, dan perpustakaan desa. Alhasil, kebijakan tersebut hanyalah macan kertas karena hanya dilakukan dengan setengah hati.
Hal ini sangat berbeda, misalnya, dengan kebijakan di bidang kesehatan. Untuk melayani kesehatan masyarakat, di samping ada rumah sakit umum daerah di ibu kota kabupaten/kota, pemerintah juga mendirikan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di ibu kota kecamatan, lengkap dengan armada mobil puskesmas keliling yang siap menjangkau desa-desa di wilayah kecamatan masing-masing. Bahkan, untuk kecamatan yang sangat luas, pemerintah mendirikan dua unit puskesmas dalam satu kecamatan. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu pergi jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Kebijakan pembangunan di bidang perpustakaan sangat kontras dengan kebijakan pembangunan di bidang kesehatan. Pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang perpustakaan hanya sampai di tingkat kabupaten/kota dengan adanya perpustakaan umum kabupaten/kota yang dilengkapi dengan mobil/bus perpustakaan keliling yang harus melayani seluruh kecamatan dan desa yang ada di suatu kabupaten/kota. Bagaimana hasilnya? Minat baca masyarakat kita tidak mengalami perkembangan yang signifikan.
Seandainya pemerintah serius, pemerintah harus mulai dengan membangun perpustakaan umum kecamatan yang berdiri sendiri sebagaimana puskesmas dan bukan sekadar menumpang ruang di kantor camat. Perpustakaan umum kecamatan ini harus dilengkapi pula dengan armada mobil perpustakaan keliling kecamatan yang berfungsi melayani dan meningkatkan minat baca masyarakat di desa-desa yang terpencil. Seluruh perpustakaan kecamatan yang ada hendaklah dikoordinasikan oleh perpustakaan umum kabupaten/kota dengan membentuk jaringan informasi perpustakaan yang berbasis teknologi informasi (internet).
Dengan konsep jaringan perpustakaan umum kecamatan ini, perpustakaan telah memasuki medan kerja yang sebenarnya. Ini mengingat rendahnya minat baca masyarakat sebagian besar berada di desa yang jauh dari kawasan perkotaan sehingga (mereka) sulit untuk mengakses perpustakaan yang selama ini hanya berjalan lumayan baik di ibu kota kabupaten/kota.
Berjalannya perpustakaan umum kecamatan akan melahirkan beberapa dampak positif. Pertama, memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi. Kemudahan mengakses informasi berarti kemudahan dalam membuka pintu kemajuan masyarakat. Sebaliknya, kesulitan mengakses informasi berarti menutup peluang masyarakat untuk meraih kemajuan. Apalagi dalam era milenium ketiga saat ini, informasi telah menjadi sesuatu yang amat penting sehingga abad ini disebut juga dengan abad informasi.
Kedua, dapat merangsang tumbuh berkembangnya perpustakaan sekolah dan perpustakaan desa. Kondisi perpustakaan sekolah dan perpustakaan desa tak kalah memprihatinkan.
Dengan desentralisasi pembinaan perpustakaan sekolah dan desa oleh perpustakaan umum kecamatan, akan memotong rentang kendali yang terlalu panjang. Koordinasi dengan cabang dinas pendidikan kecamatan setempat untuk pembinaan perpustakaan sekolah dan koordinasi dengan kantor kecamatan setempat untuk pembinaan perpustakaan desa relatif mudah dilakukan. Ketidakjelasan instansi pembina perpustakaan sekolah dan perpustakaan desa pun dapat diakhiri.
Ketiga, meningkatkan minat baca masyarakat. Salah satu hambatan utama dalam meningkatkan minat baca masyarakat adalah tidak tersedianya sumber bacaan yang memadai di level akar rumput. Jaringan perpustakaan umum kecamatan diharapkan dapat menjadi media penghubung antara akar rumput di satu sisi dan tersedianya bahan bacaan yang sesuai di sisi lain.
Upaya peningkatan minat baca masyarakat selama ini terkesan miskoordinasi. Tidak ada keterpaduan dalam gerakan meningkatkan minat baca masyarakat. Pihak swasta, perorangan, maupun LSM berjalan sendiri dengan memunculkan taman bacaan masyarakat dan wadah tertentu, seperti Yayasan 1001 Buku yang berupaya menghimpun bantuan buku untuk masyarakat. Sementara itu, pemerintah pun terkesan setengah hati membangun perpustakaan yang memadai untuk meningkatkan minat baca masyarakat.
Sebaiknya pemerintah bersama-sama swasta, perseorangan, dan LSM mengoptimalkan dahulu konsep perpustakaan umum yang ada. Kalau konsep yang ada saja belum dioptimalkan untuk apa membentuk konsep-konsep baru untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Desa Buku yang pernah dideklarasikan di Magelang dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, kini hanyalah tinggal papan nama belaka. Tidak ada tindak lanjutnya.
Begitu juga dengan konsep prestisius Desa Wisata Buku di Rembang, untuk apa dilaksanakan kalau kondisi perpustakaan umum yang ada tidak dioptimalkan dahulu.
Sudah bukan zamannya lagi memosisikan perpustakaan "sebagai institusi pengemis" yang selalu mengharapkan bantuan buku. Paradigma ini harus dibuang jauh-jauh. Membangun perpustakaan harus sepenuh hati, seperti halnya kita membangun ekonomi negara, yang keduanya untuk berhasil perlu dukungan dana yang besar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar