Oleh Romi Febriyanto Saputro
Tulisan ini telah dimuat di Harian Banjarmasin Post, 2 Februari 2005
Meningkatkan minat baca masyarakat merupakan misi utama dari perpustakaan sesuai amanah pendiri bangsa ini dalam pembukaan UUD 1945, yakni ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu ciri bangsa yang cerdas adalah memiliki minat baca yang cukup tinggi. Bahkan dalam Alquran perintah untuk membaca merupakan ayat yang pertama kali turun. Hal ini berarti, tinggi rendahnya minat baca suatu bangsa akan menentukan tinggi rendahnya peradaban bangsa itu di hadapan bangsa lain di dunia.
HAR Tilaar (1999) mengungkapkan, membaca pada hakikatnya merupakan proses untuk memiliki ilmu pengetahuan. Proses memiliki ilmu pengetahuan merupakan suatu proses yang lebih dikenal dengan belajar. Belajar yang merupakan inti dari pendidikan sebagian besar didominasi kegiatan membaca. Ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat itu, tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui proses mendengar atau transisi dari sumber ilmu pengetahuan (guru) tetapi melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang hanya dapat diketahui melalui membaca.
Salah satu metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan minat baca masyarakat adalah metode pembelajaran konstruktivisme. Menurut E Mulyasa (2002), fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam penelitian dan praktik pendidikan. Daya tarik dari model konstruktivisme ini adalah pada kesederhanaannya.
Strategi pokok dari model belajar mengajar konstruktivisme adalah meaningful learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekadar mendengar, menerima, dan mengingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal, tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Strategi ini menghendaki baik siswa maupun guru memiliki kedudukan sebagai subjek belajar. Sebagai subjek belajar, keduanya dituntut aktif untuk mencari data, informasi dan interpretasi dari materi pelajaran. Siswa dituntut bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran, bukan sekadar meniru, copy paste dan menghafal yang diberikan guru. Dengan strategi ini siswa dan guru didorong memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Hasil yang diperoleh dengan strategi meaningful learning ini, akan jauh lebih baik dari pembelajaran tradisional yang oleh Paulo Freire disebut cara belajar sistem bank. Cara ini tidak akan mendorong siswa untuk gemar membaca. Selanjutnya filsuf Paulo Freire menganjurkan, proses belajar mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan cara memotivasi siswa belajar mencari data, menganalisisnya dalam arti sebenarnya.
Cara belajar sistem bank hanya akan menghasilkan pemahaman materi pelajaran yang bersifat instan dan tidak menyeluruh. Ada kalanya beberapa unsur materi pelajaran yang susah dipahami siswa, tetapi siswa terpaksa menerima begitu saja dengan menghafal. Model penerimaan materi pelajaran demikian, hanya akan menghasilkan pemahaman yang mudah terlupakan. Akibatnya proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana statis, monoton dan membosankan.
Dukungan Perpustakaan
Strategi meaningful learning sangat memerlukan dukungan perpustakaan sebagai sumber belajar. Perpustakaan diharapkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan siswa guna memperoleh hasil belajar yang optimal. Meminjam istilah dari teori dua faktor Frederick Herzberg, peran perpustakaan adalah sebagai faktor higinis. Berfungsi mencegah terjadinya ketidakpuasan siswa dalam mencari informasi dan data yang diperlukan. Faktor higinis memang tidak berkaitan langsung dengan prestasi siswa, tetapi tanpa tersedianya perpustakaan sekolah yang memadai dapat mengganggu kelancaran proses belajar mengajar.
Perpustakaan dapat dimanfaatkan siswa dan guru sebagai tempat pembelajaran di luar kelas. Kebutuhan siswa untuk melakukan active playing (belajar aktif), interpretation (interpretasi), make sense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama) dan inquiry (menyelediki) dapat dilakukan di perpustakaan sekolah. Di perpustakaan siswa juga dapat melaksanakan konsep belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar seumur hidup (life long learning).
Selama ini disadari atau tidak, peran perpustakaan seolah terpinggirkan dalam ranah pendidikan nasional. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak satu pasal pun yang melafalkan kata perpustakaan. Hal ini tentu saja merupakan fenomena yang cukup memprihatinkan. Padahal menurut Unesco, pendidikan untuk semua (education for all) dapat lebih berhasil jika dilengkapi perpustakaan.
Hubungan antara perpustakaan dan pendidikan dilukiskan dengan baik oleh Soetarno NS (2003). Menurut Soetarno, oleh karena pendidikan merupakan proses alih dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan sekolah dan perpustakaan sebagai medianya, maka perkembangan bidang pendidikan berkaitan erat dengan keberadaan perpustakaan. Sesuai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, pendidikan juga berkembang sehingga antara pendidikan dan perpustakaan bagaikan dua sisi mata uang yang sama nilainya dan tak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan mengisi.
Pendidikan Menulis
Untuk lebih menunjang keberhasilan siswa dalam meaningful learning, pendidikan menulis sebagai mata pelajaran tersendiri perlu dilakukan. Di Inggris dikenal istilah writing yang berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri. Dengan menulis sebagai mata pelajaran tersendiri, sejak kecil siswa dilatih untuk mencintai menulis. Hal ini didukung data penelitian yang dilakukan Tizard dan kawan-kawan (Suyanto, 2003), yaitu dari 108 siswa kelas 2 SD di Inggris yang memiliki kemampuan menulis di buku 24 %, menulis deskriptif 23 %, menulis cerita 19 %, menulis berita 11 %, menulis indah 10 %, menulis pada kartu ucapan 7 %, labelisasi pada gambar 3 % dan menulis puisi/drama 2 %.
Pelajaran menulis akan memotivasi siswa untuk gemar membaca. Hanya dengan rajin membaca, siswa akan memperoleh bahan informasi dan data untuk mendukung tulisannya. Pelajaran menulis layak dipertimbangkan untuk mendongkrak stagnasi minat baca masyarakat kita, termasuk di dalamnya siswa dan mahasiswa. Dengan asumsi teori X dari Douglas Mc Gregor, siswa yang sebagian besar kurang gemar membaca perlu ‘dipaksa’ membaca di perpustakaan dengan adanya pelajaran menulis ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar