Buku bukan hanya barang cetakan asal jadi. Atau melulu teks yang dibaca. Buku juga adalah seni. Seluruh proses penciptaan buku hingga hadir di pangkuan para pembaca yang budiman, pastilah dikerjakan dengan kecintaan yang melimpah-limpah. Termasuk soal pameran buku. Pameran yang dibuat asal-asalan, sebagaimana yang kerap kita lihat dalam ajang pameran buku di Indonesia, pastilah pameran yang tak diselenggarakan dengan dorongan naluri seni, melainkan melulu menajdikan buku sebagai barang niaga sebagaimana kepercayaan para saudagar.
Keyakinan itu pula yang dipercayai dengan keras kepala (true belivers) oleh sebuah kelab buku di Amerika pada satu seperempat abad yang lalu. Kelab yang menghimpun para kolektor buku ini bernama Kelab Grolier. Didirikan di rumah Robert Hoe, di 11 East 33rd Street, New York. Nama kelab ini ditasbihkan setelah Jean Grolier de Servi�res, seorang jenderal terkemuka di Prancis, memberikan partisipasinya dalam bentuk saham.
Kelab ini beranggotakan para kolektor buku kawakan. Di antaranya William I. Andrews, Theodore L. de Vienne, A.W. Drake, Albert Gallup, Brayton Ives, Samuel W. Martin, E. S. Mead, Arthur B. Tornure, dan Robert Hoe. Dikomandani pertama kali Robert Hoe, saudagar mesin cetak yang tercandui oleh buku, para pecinta buku lalu bersepakat menghimpun diri dalam kelab ini karena sebuah kesadaran yang sama; membangun studi literasi dari sisi produksi buku hingga menjadi sebuah karya seni.
Kelab Grolier mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah penerbitan sebuah buku. Mereka juga mendiskusikan bagaimana cetakan buku yang baik. Dalam pertemuannya, mereka juga membahas ihwal metode penjilidan yang kuat, rapi, dan tahan lama. Pun dibahas tentang ilustrasi sampul yang menarik dan memenuhi estetika seni. Bahkan, kelab ini membahas dengan serius bagaimana media promosi buku (pamflet atau poster) dibuat dengan tak serampangan yang mengabaikan kaidah-kaidah seni.
Inilah kelab yang tak henti-hentinya mempromotori bagaimana sebuah buku tak sekadar lembaran-lembaran kertas berisi deretan tulisan, tetapi juga bagaimana buku menjadi karya seni yang layak diapresiasi.
Untuk itu, kelab ini juga menggelar pameran buku dan percetakan guna memberikan wadah apresiasi buku-buku artistik yang telah mereka kumpulkan. Di pameran ini, buku-buku tak semata dijajar berderet-deret dalam rak seperti pameran yang biasa kita lihat. Di ajang ini, buku diperlakukan dengan sangat istimewa. Buku-buku itu disusun dengan demikian artistik di sebuah galeri seni, bersanding dengan karya-karya seni lain seperti lukisan dan patung-patung. Di sini buku telah naik pangkat dari sekadar barang niaga menjadi karya seni bernilai tinggi.
Itulah yang dilakukan Balai Lelang Sidharta, Jakarta, pada 7 Desember 2008 silam, untuk menyebut satu contoh. Dalam lelang bertema Indonesia's Diversity in Fine Art itu ditampilkan semua karya seni terbaik dan berharga ratusan juta seperti patung, lukisan, keramik, seni instalasi, bahkan berlian. Di antara benda-benda seni ratusan juta rupiah itu, beberapa buku juga ikut serta di dalamnya, antara lain: Sumatra's O.K. karya C.J. Kkleingrothe (Medan, 48 hlm, Rp 7-10 juta), Histoire des Voyages karya Walckenaer C.A (1830, 537 hlm., Rp 8-12 juta) dan De Inlandsche Kunstnijverheid Vol. I: Het Vlechtwerk (S-Gravengage, 1912: De Book & Konsttdrukkerij Mouton & Co., 442 hlm., Rp 6-9 juta).
Ada juga Indie|Hindia karya Lekkerker (Gronigen, Den Haag, Batavia, ca 1930, 400 hlm.) Buku itu terdiri dari 620 ilustrasi dari foto 200 lempeng dengan keterangan dalam bahasa Belanda dan Indonesia. Dijual pula enam lembar peta Batavia lama berjudul Feestmarsch Batavia 1893 (cat air di atas kertas, 56 x 45.5 cm, Rp 3-4.5 juta).
Buku-buku itu berbanderol mahal memang. Tapi bukan di situ duduk soalnya, melainkan bahwa buku adalah karya seni yang luar biasa tingginya. Karena seni tinggi, maka buku juga mendapat harga yang pantas, seperti harga lukisan yang membobol langit. Kelab buku seperti Glorier menaruh perhatian sangat besar terhadap hal-hal demikian.
Mungkin terlalu ideal dan muluk. Tapi, paling tidak, apa yang diyakini Kelab Glorier bisa menyuntikkan semangat bagi para penggiat pameran buku di Indonesia agar memperhatikan sisi-sisi lain dari buku di luar objek komoditi perniagaan.
Buku bagi para pecintanya adalah sebuah karya, sebuah hasil olah pikir, pengejawantahan kreativitas dan ketekunan. Buku juga memiliki ruh yang bisa disampaikan dengan lebih mengeksplorasi nilai artistik yang dimilikinya. Dengan memadukan niaga dan seni, maka pencapaian tujuan keduanya termaksimalkan. Dan pameran buku pun menjadi lebih nyeni. (*)
Diana A.V. Sasa, pencinta buku, tinggal di Surabaya
Sumber Jawa Pos, 4 Januari 2009
04 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar