02 Februari 2009

Revolusi Birokrasi Indonesia

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufik Effendy menyampaikan keprihatinan mengenai kondisi SDM di pemerintahan. Menurut Taufik Effendy, jumlah pegawai negeri sipil kita sudah terlampau banyak dan melebihi kebutuhan. Misalnya, Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang memiliki 20 ribu PNS padahal jumlah penduduknya hanya 200 ribu. Kota Surabaya, seharusnya cukup dilayani 6.000 PNS namun kenyataannya sekarang memiliki 25.000 PNS.
Siapapun presidennya, kualitas birokrasinya tetap memprihatinkan. Ungkapan ini sangat tepat untuk melukiskan kondisi birokrasi di Indonesia. Reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, dan kini SBY tidak banyak membawa perubahan.
Reformasi birokrasi telah menjadi lips service belaka. Menjadi pembicaraan berbagai kalangan “atas” tetapi minim implementasi di ranah akar rumput.
Reformasi birokrasi baru diartikan sebatas upaya menaikkan gaji PNS dan rasionalisasi jumlah pegawai. Kebijakan ini tidak akan pernah bisa meningkatkan kinerja PNS.
Reformasi birokrasi tak akan cukup untuk mengubah karakter birokrasi Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu ”Revolusi Birokrasi Indonesia”. Revolusi ini dapat dimulai dengan melakukan fungsionalisasi birokrasi.
Menurut Miftah Thoha (2002), lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumber daya manusianya.
Dengan demikian revolusi birokrasi pada hakekatnya merupakan revolusi sumber daya manusia (SDM). Sudah menjadi rahasia umum, kinerja SDM birokrasi kita cukup buruk. Hal ini terjadi karena SDM di birokrasi didominasi oleh tenaga administrasi umum dan minim tenaga fungsional.
Jumlah tenaga adminstrasi umum yang berlebihan membuat tolok ukur kinerja seorang pegawai menjadi tidak jelas. Ia, seolah-olah hanya menunggu pekerjaan datang. Tanpa upaya kreatif untuk jemput bola atau menghadirkan pekerjaan yang bermanfaat bagi instansinya.
Sedikitnya jumlah tenaga fungsional pada suatu instansi menyebabkan irama kerjanya cenderung lambat dan monoton. Hal ini akan terlihat jelas ketika pemerintah kita menghadapi kejadian luar biasa.
Minimnya tenaga fungsional dinas peternakan menyebabkan pemerintah agak gugup dalam menghadapi wabah flu burung. Sebagaimana yang diberitakan salah satu TV swasta, kekurangan ini telah menyebabkan lambannya proses sertifikasi dan vaksinasi unggas.
Jadi, birokrasi kita tidak dapat dikatakan kelebihan pegawai. Yang terjadi adalah birokrasi kita kelebihan jumlah pegawai yang disfungsional. Fungsionalisasi birokrasi bertujuan untuk membalik komposisi ini. Birokrasi masa depan adalah birokrasi yang didominasi oleh tenaga fungsional.
Dominasi tenaga fungsional diharapkan dapat meningkatkan laju kerja birokrasi. Birokrasi kita diharapkan dapat berbuat lebih banyak dan lebih baik lagi untuk mengatasi permasalahan yang kian hari kian bertambah kompleks.
Untuk melaksanakan fungsionalisasi birokrasi pemerintah sudah memiliki bekal. Keppres Nomor 87 Tahun 1999 mengatur dengan jelas rumpun jabatan fungsional PNS.
Menurut keppres ini, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Keppres ini menetapkan 25 jenis rumpun jabatan fungsional PNS, antara lain : rumpun matematika dan statistik, rumpun kekomputeran, rumpun ilmu hayat, rumpun pengawasan dan keamanan, dan rumpun pustakawan dan arsiparis.
Dalam setiap rumpun jabatan fungsional, terbagi menjadi jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional ketrampilan. Jabatan fungsional keahlian mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal S-1 (sarjana), sedangkan jabatan fungsional ketrampilan mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal setingkat SMA atau Diploma III..
Tugas jabatan fungsional keahlian meliputi kegiatan penelitian dan pengembangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori, serta metode operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsional yang bersangkutan.
Tugas jabatan fungsional ketrampilan meliputi kegiatan teknis operasional yang berkaitan dengan penerapan konsep atau metode operasional dari suatu bidang profesi.
Untuk mengawali fungsionalisasi birokrasi, pemerintah dapat membuat peraturan yang mewajibkan setiap PNS yang tidak menduduki jabatan struktural agar beralih ke jabatan fungsional. Dengan demikian di masa depan semua PNS di birokrasi memiliki jabatan baik itu jabatan struktural maupun fungsional. Tidak ada lagi istilah staf administrasi umum.
Jenjang karier seorang PNS dimulai dari jabatan fungsional. Mereka yang diangkat dalam jabatan struktural pun harus sudah pernah menduduki jabatan fungsional.
Kebijakan ini sangat penting guna menghasilkan pejabat struktural yang benar-benar menguasai bidang pekerjaannya. Bukan sekedar fungsi manajerial, melainkan fungsi manajerial plus.
Saat ini banyak pejabat struktural yang tidak menguasai bidang tugasnya dengan baik. Mengapa ? Karena mereka bukan berasal dari pejabat fungsional. Mereka hanya mengandalkan senioritas belaka. Mungkin inilah yang disebut dengan jenjang karir karbitan.
Fenomena kecelakaan transportasi di darat, laut, maupun udara sesungguhnya mencerminkan bahwa para pejabat struktural di bidang transportasi kurang menguasai bidang tugasnya. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa hal ini sekedar kelalaian dalam bidang pengawasan.
Kepala dinas pendidikan akan lebih tepat jika dijabat oleh mantan guru. Kepala dinas pertanian, akan lebih baik jika dijabat oleh mantan penyuluh pertanian. Kepala perpustakaan daerah juga akan lebih maju jika dijabat oleh seorang PNS yang pernah menjadi pustakawan.
Dengan menjadi pejabat fungsional, maka setiap PNS diwajibkan untuk mengumpulkan angka kredit dari setiap pekerjaan/kegiatan yang dilakukannya . Pengumpulan angka kredit inilah yang nanti akan dipergunakan sebagai syarat kenaikan pangkat setiap PNS.
Tidak ada lagi yang namanya kenaikan pangkat otomatis (reguler) empat tahunan bagi seorang PNS. Untuk naik pangkat, seorang PNS harus memenuhi jumlah angka kredit minimal yang telah ditentukan.
Makin rajin seorang PNS bekerja akan semakin cepat naik pangkat (minimal 2 tahun). Sebaliknya, bagi PNS yang malas boleh jadi pangkatnya akan jalan ditempat. Jadi, tidak ada lagi istilah RMS, rajin malas sama saja.
Untuk meningkatkan etos kerja seorang PNS, maka setiap kenaikan pangkat akan memperoleh tambahan tunjangan fungsional yang signifikan. Bukan seperti sekarang, di mana kenaikan pangkat seorang PNS hanya dihargai dengan kenaikan penghasilan “ala kadarnya”.
Dengan langkah ini, kinerja seorang PNS diharapkan akan meningkat. Karena kalau malas tidak akan bisa naik pangkat dan penghasilannya pun akan jalan di tempat.

* Romi Febriyanto Saputro, S.IP, PNS pada UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN.

Tidak ada komentar: