Sejarah mulanya bak segelembung ingatan dalam proses kehancurannya sendiri hingga akhirnya musnah. Maka, saya sepakat dengan kegelisahan Derek Walcott untuk berkata: ''Jika sejarah di ambang sirna, maka yang lahir adalah tirani dan kebodohan.'' Ini terbukti kala kecerobohan kebijakan Jero Wajik disambut dengan kebandelan Bupati Mojokerto Suwandi yang tetap mendukung proyek Pusat Informasi Majapahit diteruskan di Trowulan (Radar Mojokerto: 15/1/09). Bagaimana pula praktik jual-beli satu batu-bata situs seharga Rp 500 dibiarkan terjadi sejak 30 tahun silam (Radar Mojokerto: 20/1/09)? Barangkalikah ada unsur politis menjelang Pemilu 2009 (dan siapa saja yang bersilat-jurus di situ?) hingga menyorong, mengoar-koarkan, malah membesar-besarkan soal penistaan situs Majapahit itu?
Cukupkah sekarang memelihara wacana historisitas dengan cara sekadar mengelap-elap kejayaan Majapahit sekaligus menyumpahi kefasadannya saja? Sebab, wacana ini hanya berseliweran, bahkan mungkin tidak bergemuruh di batin dan kesadaran kita untuk bertindak jujur dan positif. Kejayaan Majapahit telah berakhir 700-an tahun silam dan kehancurannya juga disorong atas meluasnya pengaruh Kasultanan Demak (baca: Slamet Muljana, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara. Bhratara: Djakarta, 1968) dan gerakan tabligh Walisongo. Terbayangkah kita akan kiprah para sunan dalam mengislamkan kaum Hindu-Buddha? Cobalah tilik Babad Khadiri, tatkala Sunan Bonang mencocori Arca Butalacaya di daerah Kedah, Kediri. Juga dalam Suluk Darma Wasesa anggitan Ki Brajasastra yang mengisahkan Sunan Bonang menceceli arca berkepala kuda kembar yang merupakan karya pahat di zaman Prabu Jayabaya. Jadi, siapa lagi yang dengan tampang geram menghancurkan Majapahit, Bung? Menanggapi tulisan Muhidin M. Dahlan bertajuk ''Ayo, Hancurkan Majapahit!'' (JP,18/1/09), saya merasa ia agak paranoid dengan menyodokkan geger situs Trowulan pada kebobrokan perpustakaan Kota dan Kabupaten Mojokerto. Di dua perpustakaan tersebut, ia bercerita (anehnya perjalanan itu terjadi dua tahun lalu) menemukan hanya dua buku sejarah yang, bagi saya, sebenarnya ''salah alamat'' untuk menyinggung seabrek sengkarut ihwal kesadaran warga Mojokerto dalam memelihara peninggalan Majapahit.
Kondisi pahit perpustakaan tak bisa dijadikan satu-satunya alibi atas pengabaian situs Trowulan. Jika ditanya siapa di Mojokerto yang menghargai bacaan sejarah? Bagi saya, yang paling mendasar adalah tidak adanya tradisi literasi yang kuat dan mengakar untuk menghargai dan menopang segala warisan bangsa. Generasi muda mana sekarang yang beruntung dapat dan tergerak membaca Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa 1292-1525 (Yayasan Prapantja: 1962) karya Muhammad Yamin, dan 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai (Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, 1992) yang disusun Prof Dr Sartono Kartodirdjo dkk. Perihal dua buku ini; buku yang pertama saya peroleh dengan cara memfotokopi di Perpustakaan Kolese Ignatius Jogja. Sedang yang kedua saya dapat di Perpustakaan Pesantren Wahid Hasyim Tebuireng, yang malah lebih lengkap koleksinya ketimbang Perpustakaan Umum Mastrip Jombang.
Ada lagi buku 6000 Tahun Sang Merah Putih (Balai Pustaka: Jakarta, 1958. 349 hlm) karya Muhammad Yamin, juga ada di Perpustakaan Max Arifin di Perum Griya Japan Raya, Sooko. Buku Yamin yang mengurai telaah kritis ihwal Majapahit ini juga terdapat di Perpustakaan Kradenan, dekat Alun-alun Mojokerto. Bagi kawula muda kini, buku-buku sejarah macam itu sudah tidak lagi diminati --bahkan bacaan yang ringan sekalipun seperti novel, cersil, atau komik yang bercerita seputar Majapahit ataupun tidak. Semisal novel Senapati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto; novel serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hadi; cersil Kho Ping Hoo, Kemelut di Majapahit (37 jilid); 50 jilid cerbung karya S. Djatilaksana berjudul Gajah Kencana Manggala Majapahit (Margajaya: Surakarta, 1977); dan lain-lain sudah nyaris tidak ada di persewaan buku atau taman bacaan di Mojokerto. Hanya ada dua persewaan buku plus toko buku loak di kota yang masih bertahan. Yakni TB Taman Pustaka ''Remadja'' di Jl Kapten Pierre Tendean No. 4, milik Kiswanto Kosasih (ia akrab disebut Pak Kishiang); dan Taman Baca ''Muda'' milik pensiunan Angkatan Laut bernama Pak Padi, di Jl Majapahit No. 437. Di dua tempat persewaan ini, hanya komik Jepang dan Taiwan serta novel-novel picisan yang paling banyak disewa.
Jika pemerintah dan kaum terpelajar banyak yang tak paham dan tak menggubris sejarah Majapahit, apalagi dengan generasi mudanya? Seharusnya di luar lembaga pemerintah, perlu kiranya ada semacam lembaga independen atau LSM untuk pelestarian situs-situs Majapahit. Namun, sebagaimana kita maklumi di negeri ini, citra dan orang-orang LSM memang banyak yang tidak jelas visi-misinya dan karena itu tidak maksimal kerjanya: jika donor asing cair, mereka bekerja ''memainkan'' distribusi dananya. Jika mampet, berhenti pula.
Di Mojokerto ada satu LSM yang bergerak dalam pelestarian-perlindungan seputar peninggalan Majapahit: Yayasan Gotrah Wilwatikta. LSM ini berkandang di Perumahan Gatoel di Jl Jawa No. 78. Sebagaimana yang dilansir Koran Tempo (10/1/09), LSM ini dirintis Anam Anis sejak 2001 bersama lima kawannya. Dalam menyikapi perkara situs Trowulan, Gotrah berkomentar bahwa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim di Trowulan tersebut tidak efektif melindungi situs. Di antara mereka berargumen, ''Sudah terjadi perusakan, apa yang bisa diperbuat?'' Dalih apa pula ini. Gotrah sejatinya dan semustinya mampu bergerak lebih progresif dan kritis sejak 9 tahun lalu. Saya sempat berharap LSM ini memiliki kontribusi cemerlang. Namun saya jadi kecewa, ketika beberapa hari lalu saya diberitahu teman untuk membuka blognya: http://gotrah.multiply.com. Ternyata, blog itu cuma berisi peta Majapahit yang juga terpajang dengan warna berlumut di kantornya.
Hanyalah segelintir yang terbangun dari mimpi buruk ini. Selain keprihatinan arkeolog Mundardjito, di Mojokerto sesungguhnya menyimpan sekian sosok sebagai ''perpustakaan berjalan'' yang terus bergerak atas nama Majapahit. Di antara mereka: si pematung Ribut Sumiyono dan Nanang Muni dari Desa Jatisumber, Trowulan. Ada pula Umar Muzakky dan Muhsinun di kawasan Miji Gang III, di mana mereka serius melakukan pembuatan film dokudrama dan riset soal naskah-naskah kuno dan batas-batas wilayah Kerajaan Majapahit. Alangkah ''Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan,'' begitu ungkap Temujin, si penghancur peradaban dari tlatah Mongol itu. (*)
*) Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar