29 Januari 2009

Siapa Penghancur Majapahit, Bung?

Sejarah mulanya bak segelembung ingatan dalam proses kehancurannya sendiri hingga akhirnya musnah. Maka, saya sepakat dengan kegelisahan Derek Walcott untuk berkata: ''Jika sejarah di ambang sirna, maka yang lahir adalah tirani dan kebodohan.'' Ini terbukti kala kecerobohan kebijakan Jero Wajik disambut dengan kebandelan Bupati Mojokerto Suwandi yang tetap mendukung proyek Pusat Informasi Majapahit diteruskan di Trowulan (Radar Mojokerto: 15/1/09). Bagaimana pula praktik jual-beli satu batu-bata situs seharga Rp 500 dibiarkan terjadi sejak 30 tahun silam (Radar Mojokerto: 20/1/09)? Barangkalikah ada unsur politis menjelang Pemilu 2009 (dan siapa saja yang bersilat-jurus di situ?) hingga menyorong, mengoar-koarkan, malah membesar-besarkan soal penistaan situs Majapahit itu?

Cukupkah sekarang memelihara wacana historisitas dengan cara sekadar mengelap-elap kejayaan Majapahit sekaligus menyumpahi kefasadannya saja? Sebab, wacana ini hanya berseliweran, bahkan mungkin tidak bergemuruh di batin dan kesadaran kita untuk bertindak jujur dan positif. Kejayaan Majapahit telah berakhir 700-an tahun silam dan kehancurannya juga disorong atas meluasnya pengaruh Kasultanan Demak (baca: Slamet Muljana, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara. Bhratara: Djakarta, 1968) dan gerakan tabligh Walisongo. Terbayangkah kita akan kiprah para sunan dalam mengislamkan kaum Hindu-Buddha? Cobalah tilik Babad Khadiri, tatkala Sunan Bonang mencocori Arca Butalacaya di daerah Kedah, Kediri. Juga dalam Suluk Darma Wasesa anggitan Ki Brajasastra yang mengisahkan Sunan Bonang menceceli arca berkepala kuda kembar yang merupakan karya pahat di zaman Prabu Jayabaya. Jadi, siapa lagi yang dengan tampang geram menghancurkan Majapahit, Bung? Menanggapi tulisan Muhidin M. Dahlan bertajuk ''Ayo, Hancurkan Majapahit!'' (JP,18/1/09), saya merasa ia agak paranoid dengan menyodokkan geger situs Trowulan pada kebobrokan perpustakaan Kota dan Kabupaten Mojokerto. Di dua perpustakaan tersebut, ia bercerita (anehnya perjalanan itu terjadi dua tahun lalu) menemukan hanya dua buku sejarah yang, bagi saya, sebenarnya ''salah alamat'' untuk menyinggung seabrek sengkarut ihwal kesadaran warga Mojokerto dalam memelihara peninggalan Majapahit.

Kondisi pahit perpustakaan tak bisa dijadikan satu-satunya alibi atas pengabaian situs Trowulan. Jika ditanya siapa di Mojokerto yang menghargai bacaan sejarah? Bagi saya, yang paling mendasar adalah tidak adanya tradisi literasi yang kuat dan mengakar untuk menghargai dan menopang segala warisan bangsa. Generasi muda mana sekarang yang beruntung dapat dan tergerak membaca Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa 1292-1525 (Yayasan Prapantja: 1962) karya Muhammad Yamin, dan 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai (Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, 1992) yang disusun Prof Dr Sartono Kartodirdjo dkk. Perihal dua buku ini; buku yang pertama saya peroleh dengan cara memfotokopi di Perpustakaan Kolese Ignatius Jogja. Sedang yang kedua saya dapat di Perpustakaan Pesantren Wahid Hasyim Tebuireng, yang malah lebih lengkap koleksinya ketimbang Perpustakaan Umum Mastrip Jombang.

Ada lagi buku 6000 Tahun Sang Merah Putih (Balai Pustaka: Jakarta, 1958. 349 hlm) karya Muhammad Yamin, juga ada di Perpustakaan Max Arifin di Perum Griya Japan Raya, Sooko. Buku Yamin yang mengurai telaah kritis ihwal Majapahit ini juga terdapat di Perpustakaan Kradenan, dekat Alun-alun Mojokerto. Bagi kawula muda kini, buku-buku sejarah macam itu sudah tidak lagi diminati --bahkan bacaan yang ringan sekalipun seperti novel, cersil, atau komik yang bercerita seputar Majapahit ataupun tidak. Semisal novel Senapati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto; novel serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hadi; cersil Kho Ping Hoo, Kemelut di Majapahit (37 jilid); 50 jilid cerbung karya S. Djatilaksana berjudul Gajah Kencana Manggala Majapahit (Margajaya: Surakarta, 1977); dan lain-lain sudah nyaris tidak ada di persewaan buku atau taman bacaan di Mojokerto. Hanya ada dua persewaan buku plus toko buku loak di kota yang masih bertahan. Yakni TB Taman Pustaka ''Remadja'' di Jl Kapten Pierre Tendean No. 4, milik Kiswanto Kosasih (ia akrab disebut Pak Kishiang); dan Taman Baca ''Muda'' milik pensiunan Angkatan Laut bernama Pak Padi, di Jl Majapahit No. 437. Di dua tempat persewaan ini, hanya komik Jepang dan Taiwan serta novel-novel picisan yang paling banyak disewa.

Jika pemerintah dan kaum terpelajar banyak yang tak paham dan tak menggubris sejarah Majapahit, apalagi dengan generasi mudanya? Seharusnya di luar lembaga pemerintah, perlu kiranya ada semacam lembaga independen atau LSM untuk pelestarian situs-situs Majapahit. Namun, sebagaimana kita maklumi di negeri ini, citra dan orang-orang LSM memang banyak yang tidak jelas visi-misinya dan karena itu tidak maksimal kerjanya: jika donor asing cair, mereka bekerja ''memainkan'' distribusi dananya. Jika mampet, berhenti pula.

Di Mojokerto ada satu LSM yang bergerak dalam pelestarian-perlindungan seputar peninggalan Majapahit: Yayasan Gotrah Wilwatikta. LSM ini berkandang di Perumahan Gatoel di Jl Jawa No. 78. Sebagaimana yang dilansir Koran Tempo (10/1/09), LSM ini dirintis Anam Anis sejak 2001 bersama lima kawannya. Dalam menyikapi perkara situs Trowulan, Gotrah berkomentar bahwa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim di Trowulan tersebut tidak efektif melindungi situs. Di antara mereka berargumen, ''Sudah terjadi perusakan, apa yang bisa diperbuat?'' Dalih apa pula ini. Gotrah sejatinya dan semustinya mampu bergerak lebih progresif dan kritis sejak 9 tahun lalu. Saya sempat berharap LSM ini memiliki kontribusi cemerlang. Namun saya jadi kecewa, ketika beberapa hari lalu saya diberitahu teman untuk membuka blognya: http://gotrah.multiply.com. Ternyata, blog itu cuma berisi peta Majapahit yang juga terpajang dengan warna berlumut di kantornya.

Hanyalah segelintir yang terbangun dari mimpi buruk ini. Selain keprihatinan arkeolog Mundardjito, di Mojokerto sesungguhnya menyimpan sekian sosok sebagai ''perpustakaan berjalan'' yang terus bergerak atas nama Majapahit. Di antara mereka: si pematung Ribut Sumiyono dan Nanang Muni dari Desa Jatisumber, Trowulan. Ada pula Umar Muzakky dan Muhsinun di kawasan Miji Gang III, di mana mereka serius melakukan pembuatan film dokudrama dan riset soal naskah-naskah kuno dan batas-batas wilayah Kerajaan Majapahit. Alangkah ''Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan,'' begitu ungkap Temujin, si penghancur peradaban dari tlatah Mongol itu. (*)

*) Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2009

Ayo, Hancurkan Majapahit!

Merujuk kronik Indonesia 2009, media massa pada pekan pertama tahun ini menyuguhkan dua isu ''besar'': Perang Gaza dan hancurnya situs Trowulan. Penyerbuan Israel di Jalur Gaza, Palestina, yang barbarian mencabik nalar waras sebagai masyarakat beradab dalam masyarakat ultrateknologi. Sementara ''penghancuran'' situs Trowulan oleh pemerintah atas nama pembangunan Trowulan Information Centre adalah jalan pemusnahan sejarah diri sendiri. Terutama sejarah peradaban Majapahit yang terpaku di bawah tanah Trowulan.

Arkeolog berteriak. Koran-koran menulis seram-seram. Berhalaman-halaman lagi. Banyak yang menyatakan keprihatinannya. Pemerintah lalu minta maaf dan meninjau kembali pembangunan pusat informasi ''pelestarian'' kejayaan masa silam itu.

Apa-apaan ini semua. Mengapa baru brangasan sekarang. Begitu sibuk sepertinya kiamat sejarah sudah di muka pintu. Dan mengapa pula pemerintah mesti repot sembah sujud untuk memohon maaf atas kesalahan yang sudah sangat dan sangat biasa dilakukannya.

Penghancuran ingatan atas warisan (cerita) Majapahit itu toh sudah berlangsung dengan sangat lama, sistematis, dan halus. Dan itu dilakukan pemerintah yang dibantu sikap bisu masyarakat (terpelajar) Mojokerto sendiri.

Kalau tak percaya, datangi saja dua perpustakaannya: perpustakaan kabupaten dan kota. Dua perpustakaan itu menjadi cermin terbaik bagaimana sejarah Majapahit yang menaungi kota ini menjadi cerita yang telah kehilangan pukaunya. Dua perpustakaan itu nyaris sama buruknya dengan perpustakaan Kediri dari hasil kelana saya di perpustakaan kota-kota yang pernah punya nama besar di masa silam.

Kata para pemangku buku, perpustakaan dibuat untuk mencerdaskan masyarakat. Tapi bukan sekadar itu. Perpustakaan juga dibuat sebagai benteng pertahanan ingatan (sejarah) kolektif masyarakat dari gerusan waktu. Perpustakaan adalah jangkar kesadaran dari mana masyarakat itu berasal dan bagaimana menyiasati masa depan dengan jangkar informasi kejayaan dan dosa masa lalu. Maka itulah perpustakaan mesti selalu berada di tengah kota, di jantung kesibukan masyarakat.

Tapi di perpustakaan Mojokerto (kabupaten dan kota), kisah kejayaan Majapahit hanyalah puing-puing yang tiada berguna.

Ayo, mari masuk ke perpustakaan kabupaten yang ada di Jalan RA Basuni. Jangan lupa buka sepatu/sandal. Tak tahu bagaimana asal muasal aturan yang mirip masuk musala ini. Ruangan itu tak terlalu besar dan mirip puskesmas kecamatan. Buku-buku tak tersusun rapi. Pengategorian buku awut-awutan. Di rak yang mestinya dikuasai kesusastraan juga disusupi buku-buku pendidikan wiraswasta.

Hanya satu buku tentang sejarah Kota Mojokerto di sini dengan tampang yang memelas: Sejarah Mojokerto, Sebuah Pendekatan Administratif dan Sosial Budaya. Buku yang disusun Tim Penulisan Sejarah Kabupaten Mojokerto pada 1993 itu tampak kusam. Selain karena ''ketuaan'', juga barangkali tak ada yang menjamahnya. Bayangkan, untuk menjaga warisan sejarah besar Majapahit dengan armada maritim yang demikian tangguh di masa silam itu, perpustakaan kabupaten ini cukup mempercayakannya pada satu buku itu!

Tapi, masih lumayan. Dari satu buku sekunder itu saya mencoret-coret beberapa keterangan tentang sejarah Majapahit walau tanpa meninggalkan decak kagum sama sekali. Beberapa paragraf informasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.

Sudahlah. Lupakan. Tak usah rewel menanyakan di mana Kitab Negarakertagama yang masyhur itu. Mari masuk kota, lewat Jalan Majapahit, lurus ke Raden Wijaya, dan berhenti di Gajah Mada. Tiga nama jalan itu membuat saya sedikit masygul: O, saya benar-benar berada dalam episentrum sejarah.

Apalagi, perpustakaan kota berada di salah satu bahu (Jalan) Gajah Mada. Sosok yang sumpah kuasanya menggetarkan tanah-tanah Nusantara. Ya, Gajah Mada memang jaya, tapi perpustakaannya tidak. Bahkan curiculum vitae (cv) Gajah Mada tak tercatat dalam perpustakaan kota ini. Satu-satunya buku yang saya temui adalah: Perundangan Madjapahit karya Prof Dr Slamet Muljana (Jakarta: Bharata, 1967, 167 hlm.). Di halaman buku itu masih ada stempel Proyek Pengembangan Perpustakaan Jawa Timur T.A. 1984/1985.

Saya berpikir, barangkali saja masih ada judul lain, tapi sedang dipinjam orang. Maka, saya buka katalog buku 1997 yang tertudung dalam map kuning yang sudah lecet dan sobek-sobek. Tak ada lagi. Memang cuma itu. Aneh juga, bagaimana bisa perpustakaan kabupaten dan kota bersepakat untuk seri: 1-1. Satu buku di perpustakaan kabupaten, satu buku di perpustakaan kota.

Ketimbang pulang ke Jogja dengan penuh kesal, maka kuputuskan bertahan tiga jam dalam perpustakaan yang riuh dan sempit itu. Hanya ngelangut. Membuka buku apa saja dan sesekali menimang koran. Memperhatikan dua kipas angin yang sedang tancap gas dengan didorong mesin pendingin. Mendongak ke atas. Hanya satu neon yang menyala untuk menerangi empat meja besar.

Saya memang memegang brosur tentang sejarah berdiri dan kegiatan pengurus perpustakaan yang bersisian dengan taman kanak-kanak ini. Tapi bukan mencatat apa yang ada di brosur itu yang membuat saya mesti jauh-jauh ke kota ini dengan menumpang sepeda motor. Saya ingin melihat dan merasakan langsung bagaimana kota ini memelihara sejarah dirinya sendiri dalam sebuah gedung eksotik bernama perpustakaan.

Karena kecewa itu, saya pun urung menuliskan apa pun tentang (perpustakaan) kota ini. Hingga dua tahun kemudian ketika semua orang ramai-ramai berteriak untuk menyelamatkan (situs) Majapahit dari pembangunan bergaya barbar yang ironisnya justru atas nama pembangunan pusat informasi Majapahit, catatan suram kunjungan itu pun saya tarik dari laci dan menyalinnya kembali.

Tiba-tiba suara parau novelis Ceko Milan Kundera mendengung: ''Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.''

O, Tuan Kundera, bagaimana kalau pernyataan tuan itu saya modifikasi sedikit. Jadinya begini: Untuk menyempurnakan kepahitan nasib (sejarah) Majapahit (dan Mojokerto), selain buku-buku yang merekam sejarah kota itu disingkirkan dari perpustakaan kota, seluruh situs masa silam yang menandai sejarah kota itu juga sudah harus dirusakbinasakan atau jual secuil demi secuil di pasar gelap benda purbakala.

Dengan begitu, insya Allah, tiga generasi lagi penghuni kota ini akan diserang epidemi amnesia atas kejayaan masa lalu mereka sendiri. Berdoa saja. (*)

Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku. Tinggal di Jogjakarta
Sumber Jawa Pos, 18 Januari 2009

Kisah Ibunda Barack Obama

Sukses Barack Husein Obama Jr dalam pemilu presiden AS membuat apa pun di sekitar dirinya menarik, termasuk buku Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriiving Against All Odds yang diterjemahkan menjadi Pendekar-Pendekar Besi Nusantara. Demikian juga buku yang ditulis Barack Obama sendiri yang berjudul Dreams from My Father yang juga menyebut sosok S. Ann Dunham, ibundanya. Seperti judul dalam kajian aslinya, buku ini mengulas tentang para petani yang menjadi pandai besi atau perajin logam di Jawa Tengah dan sedikit di Bali serta beberapa daerah lain di Indonesia.

Buku ini ditulis berdasar disertasi doktor S. Ann Dunham di University of Hawaii at Manoa, karenanya dianggap penting mencantumkan kata pengantar oleh Teguh Santosa dari East West Center. Pengantar ini memberi penjelasan ringkas mengenai penulisnya serta riwayat hidupnya, termasuk di dalamnya pengalaman kerjanya beberapa tahun sebagai konsultan dan sekaligus peneliti di Indonesia yang memungkinkan Ann Dunham berhubungan lebih akrab dengan objeknya, yakni para pandai besi dan perajin logam di sejumlah tempat di Jawa Tengah.

Teguh Santosa juga menceritakan sekilas tentang kehidupan perkawinan Ann Dunham dengan Barack Obama Sr, mahasiswa yang dikenalnya di Hawaii yang berasal dari Kenya. Mereka menikah pada 2 Februari. Pernikahan mereka sebenarnya ditentang orang tua Obama Sr, yakni Onyango Hussein Obama. Setelah kelahiran Barack Obama Jr pada 4 Agustus 1961, Obama Sr melanjutkan studi di Harvard University pada 1963. Dia meninggalkan istri dan anaknya. Mendapat gelar master bidang ekonomi pada 1965 dia kembali ke Kenya.

Pada 1970 dia sempat menemui Obama Jr di Honolulu yang merupakan pertemuan mereka terakhir karena pada 1982 Obama Sr tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Kenya. Akan halnya Ann, dia menikah dengan Lolo Soetoro, mahasiswa Jurusan Geografi asal Indonesia, dan keluarga itu pindah ke Indonesia. Dari pernikahan mereka lahir Maya Soetoro 15 Agustus 1970 di Jakarta. Jadi, Maya Soetoro adalah saudara tiri Presiden AS Barack Obama.

Kata pengantar kedua ditulis Alice G. Dewey yang menjadi ketua Komite PhD saat Ann menempuh program doktor. Ada juga tulisan Janny Scott yang diterjemahkan Andityas |Prabantoro. Menurut Janny, dalam diri Barack Obama tertanam pengaruh kuat ibunya, Ann Dunham Soetoro, seorang kulit putih yang cerdas dan berpikiran merdeka. Ann menikah dengan ayah Obama yang berkulit hitam. Setelah berpisah dengan suami pertama, Ann menikah dengan pemuda Jawa Lolo Soetoro dan pindah ke Indonesia bersama Obama. Sejak saat itulah, tumbuh kecintaan Ann kepada Indonesia.

Buku yang merupakan bagian-bagian terpilih dari disertasinya setebal 800 halaman itu dapat memberi gambaran tentang pandangan Ann terhadap bangsa Indonesia. Dia bekerja sebagai konsultan dan koordinator riset untuk BRI yang didanai Bank Dunia dan USAID. Dia juga bekerja sama dengan Dr Pujiwati Sayogyo dari IPB untuk pengembangan riset tentang perempuan dalam sektor pertanian. Pernah pula menjadi konsultan pembangunan desa untuk Departemen Perindustrian yang didanai USAID. Pada Mei-Juni 1978 Ann menjadi konsultan jangka pendek untuk lapangan kerja non- agrikultural ILO di Jakarta. Pernah pula mengajar kuliah singkat untuk staf Bappenas.

Dari segudang pengalaman kerja itu dia menulis disertasinya dan dinyatakan lulus pada Departement Anthropologi, University of Hawaii, Agustus 1992. Buku ini tidak sekadar menelisik kehidupan para pandai besi di Jawa Tengah tetapi juga membahas aspek kultural pekerjaan pandai besi. Dia sempat menemukan empu pembuat keris. Walau status sosial dan ekonominya di bawah para birokrat, empu itu mempunyai status spiritual lebih tinggi. Dia mendapat tempat terhormat sebagaimana dicontohkannya dalam sebuah studi kasus. Ann juga membeber kekuatan dan kelemahan para peneliti tentang Indonesia seperti Hildred Geertz, Alice Dewey, Robert Jay serta Clifford Geertz, tentang asumsi-asumsi yang mereka buat dan relevansi hasil penelitian mereka.

Dengan membaca buku ini para peneliti muda dapat memperhatikan objek-objek penelitian yang mungkin luput dari perhatian karena sering dianggap remeh dan tak ada gunanya. (*)

*) Sunaryono Basuki Ks, sastrawan, tinggal di Singaraja

Judul buku: Pendekar-Pendekar Besi Nusantara

Penulis: S. Ann Dunham

Penerbit : Mizan Bandung

Terbitan: November 2008

Tebal: 219 halaman + indeks

Sumber Jawa Pos 25 Januari 2009

Kado 10 Tahun Lepasnya Timtim





''Anda, pada suatu titik dalam perjalanan hidup, barangkali pernah terjebak jalan buntu. Anda terperangkap di persimpangan jalan. Ke kiri menuju neraka. Ke kanan mengarah ke neraka. Maju ke depan mengantarkan ke neraka. Berbalik arah Anda akan sampai di neraka juga. Tidak ada lagi yang bisa Anda lakukan. Anda sungguh mendamba jalan keluar. Dan, Anda beruntung. Malaikat penolong datang menyelamatkan Anda dari situasi kritis, dilematis, atau kematian.''

Metafora Peter Kingsley dalam buku In the Dark Places of Wisdom dengan tepat menggambarkan pergulatan Cordula Maria Rien Kuntari menekuni jurnalisme. Buku Timor Timur Satu Menit Terakhir adalah memoar Rien Kuntari saat meliput lepasnya Timor-Timur dari Indonesia. Wartawan sebuah media ibukota itu mendapat tugas untuk meliput referendum Timor Timur Juli hingga September 1999.

Jalan terjal, berkelok, dan berliku ditempuh Rien untuk bisa masuk ke markas Falintil di hutan Uai Mori, Viqueque guna mewawancarai Taur Matan Ruak. Tak hanya diterima Wakil Panglima Falintil, sayap militer CNRT, itu, Rien juga berhasil masuk sarang bawah tanah gerakan pro-kemerdekaan di lingkungan pegawai pemda. Tak heran bila jauh sebelum jajak pendapat dilaksanakan, Rien melaporkan prediksi bahwa pro-otonomi bakal kalah sekitar 70 persen.

Menurut Rien yang sudah mengunjungi lebih 50 negara itu, meliput konflik Timtim paling sulit. Lebih sulit ketimbang perang Teluk, Irak, konflik etnis di Rwanda, dan perang saudara di Vietnam. Sebab, wartawan dianggap bukan orang netral yang berada di luar gelanggang, melainkan sebagai ''pemain'' di tengah arena perang. Rien Kuntari dinilai telah melakukan dosa tak terampuni karena memberi porsi seimbang dalam pemberitaan kepada pihak pro-kemerdekaan. Ia dituduh tidak nasionalis karena menurunkan laporan tentang Falintil tepat pada HUT Falintil 24 Agustus 1994.

Rien dianggap menghapus garis batas tegas yang lama membelah jurnalis menjadi dua kubu: pro-otonomi atau pro-kemerdekaan. Keputusannya menyantuni profesionalisme, kredibilitas, dan netralitas dengan masuk ke markas Falintil telah memudarkan garis demarkasi kelompok wartawan. Berkat keberanian Rien mengambil segala risiko, sesudahnya, hampir seluruh wartawan Indonesia, bahkan TVRI, meliput HUT Falintil di markas kantonisasi mereka.

Status wartawan dengan aspirasi pribadi kadang tidak bisa satu garis. Nasionalisme dengan profesi tidak selalu berjalan seiring. Ancaman teror, intimidasi, penculikan, dan mutilasi pun menghampiri Rien Kuntari. Kalau sampai Rien tidak terpegang, ancam peneror, para wartawan media lain yang akan menanggung risiko. Itu sebabnya, saat terjadi eksodus para wartawan Indonesia ke Jakarta, di Bandara Komoro, Dili, 2 September 1999, tak satu pun yang mau menyapa Rien Kuntari. Bahkan dua karib dan tetangga rumah kontrakan, memalingkan muka pura-pura tidak mengenal Rien. Konon, itulah teror mental bagi wartawan, asing maupun lokal, agar tidak berani bekerja di Timtim. Harapannya, bila terjadi politik bumi hangus, tidak ada lagi saksi mata.

Pada 16 September 1999, Rien kembali ke Timtim mengikuti rombongan Mabes TNI. Timor Loro Sa'e (Negeri Matahari Terbit) sudah luluh lantak secara fisik maupun kejiwaan. Dengan gamblang dilukiskan panorama bekas jajahan Portugis itu sebagai ketenangan sesudah badai yang memusnahkan. Seluruh bangunan fasilitas umum hangus terbakar. Saluran air, listrik, dan telepon putus. Rumah-rumah kaum tajir dengan beranda luas dilalap api dengan nafsu yang sama dengan perataan seng-seng atap orang miskin. Penduduk kocar-kacir tercerai-berai. Gelombang pengungsian terjadi besar-besaran. Teror, pembunuhan, dan penculikan bergentayangan menghantui sekujur negeri. Hukuman telak dari pasukan pendudukan bagi masyarakat yang mau menanggung risiko besar memilih kemerdekaan. Mereka yang bertahan hanyalah kaum perempuan rombeng dan anak-anak memelas.

Timtim menjadi negeri di titik nol pasca pengumuman jajak pendapat yang dimenangi pro-kemerdekaan. Ribuan pengungsi yang menumpuk di Gereja Maria Fatima, Suai, Kabupaten Kovalima diserang kelompok pro-integrasi. Dalam kerusuhan masal itu 27 orang tewas termasuk Romo Tarsisius Dewanto SJ, Pastor Hilario Medeira Pr, dan Pastor Francisco Tavares dos Reis Pr. Romo Dewanto adalah pastor Jesuit dari Magelang yang baru tiga bulan ditahbiskan menjadi imam di Jogjakarta. Dia menjadi martir perdamaian dengan jasad hancur sulit dikenali lagi.

Romo Albrecht Karim Arbie SJ tewas ditembak di halaman Pastoran Loyola, Taibesi, Dili. Jesuit sepuh berkebangsaan Jerman itu dibunuh karena dituduh berpihak pada kelompok pro-kemerdekaan. Sabtu, 25 September 1999, Agus Mulyawan, bersama dua biarawati misionaris Italia, tiga frater calon pastor, dua remaja putri, dan seorang sopir dibunuh secara sadis di Pelabuhan Qom. Jasad para korban ditemukan di Lautem, Kabupaten Los Palos. Pembunuhan Agus bermula dari keinginan wartawan Asia Press itu keluar dari markas Falintil di Uai Mori. Taur Matan Ruak mencegah. Agus bergeming hendak pulang ke Jakarta. Sudah lama ia dipagut rindu pada keluarga.

Kematian Agus kembali menggugah kesadaran Rien Kuntari akan bahaya di pelupuk mata. Agus dan Rien memang target milisi pro-integrasi sejak Agustus 1999. Rien diungsikan Romo Josephus Ageng Marwata SJ ke Palang Merah Internasional (ICRC). Berkat lobi dan jasa baik pastor heroik itulah Rien bisa pulang ke Jakarta. Dia satu pesawat dengan German Mintapradja --satu-satunya juru kamera yang merekam prosesi pemakaman korban tragedi Lautem untuk RCTI.

Sehari setelah dievakuasi paksa ke Jakarta, awal September 1999, Rien mendapat kiriman daftar 14 orang yang dianggap berkhianat berikut hari eksekusi atas mereka. Leandro Isaac dan David Diaz Ximenes masuk dalam daftar. Kedua tokoh CNRT itu selamat karena berhasil dikontak Rien Kuntari. Xanana Gusmao memberi pujian, ''Keputusan dia tetap berada di Timtim contoh nyata bahwa kita tidak pernah bermusuhan dengan rakyat Indonesia.''

Rien Kuntari memang seorang pacifist total. Dia lebih percaya pada jalan damai untuk menyelesaikan sengketa ketimbang kekerasan bersenjata. Inilah sikap dasarnya dalam memandang Timtim. Dia tidak pernah membedakan orang. Siapa pun orang Timtim yang terancam bahaya akan ditolong. Baginya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh dunia.

Timor Timur sesudah jajak pendapat merupakan negeri yang sangat menjunjung tinggi cinta kasih sekaligus wilayah yang tidak berperikemanusiaan. Pada 2006 terjadi lagi kerusuhan horizontal. Pengusiran besar-besaran masyarakat Loro Sa'e (sektor timur) oleh masyarakat Loro Moro (sektor barat). Dendam kesumat Loro Sa'e kini tinggal menunggu momentum untuk meletus. Konflik horizontal itu dipicu kegeraman Fretelin sebagai pemenang pemilu yang terpaksa jadi partai oposisi. Pemerintahan dan parlemen dikuasai orang-orang yang di zaman pendudukan justru memihak Indonesia.

Memoar jurnalistik Rien Kuntari tentang sejarah dramatis ini merupakan kado indah, menegangkan, dan mengharukan perihal 10 tahun lepasnya Timor Timur. (*)

* J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta

Judul Buku: Timor Timur Satu Menit Terakhir

Penulis: C.M. Rien Kuntari

Penerbit: Mizan Bandung

Terbitan: Desember 2008

Tebal: 483 halaman
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2008

04 Januari 2009

Kepemimpinan Lembut nan Cerdik



Seiring dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden AS, warga dunia sangat mengharapkan perubahan gaya kepemimpinan di Gedung Putih yang pada gilirannya kelak bisa mempengaruhi situasi dunia. Gaya kepemimpinan kaum neo-konservatif AS seperti George W. Bush Jr. selama ini terbukti lebih banyak membuat warga AS merugi terus daripada untung. Kalaupun dapat untung, maka hal itu cuma dinikmati segelintir orang di sekitar Bush. Sementara akibat kebijakan Bush yang bertangan besi, sudah banyak membuat orang sengsara. Oleh karena itu, slogan Obama yang berbunyi ''Change, we believe in'' sesungguhnya merupakan pintu masuk untuk merombak gaya kepemimpinan walaupun saat ini sudah banyak pula orang yang mulai ragu pada slogan itu, untuk bisa dipraktikkan di tengah kepungan kaum neo-konservatif. Kaum ini tak mengenal pemimpin, mereka hanya tahu penguasa.

Pemimpin bukanlah penguasa karena ia lahir bukan hendak semata menguasai, melainkan pemimpin dilahirkan untuk membimbing masyarakat menuju ketenteraman dan kemakmuran. Pemimpin yang hanya ingin memakmurkan masyarakatnya dengan segala macam cara, termasuk cara kekerasan yang dihalalkan, jelas akan membawa petaka. Seperti tampak pada beberapa tahun belakangan ini ketika kepemimpinan Presiden AS George W. Bush, yang lebih menonjolkan kekerasan untuk menguasai ladang-ladang minyak di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah. Bush lebih suka cara kekerasan dengan mengeksploitasi tragedi 11 September 2001, ketimbang menggunakan pola cerdik berdiplomasi. Kepemimpinan semacam ini kontras sekali dengan masa kepresidenan Bill Clinton, yang cenderung mengedepankan cara-cara budaya dan diplomasi.

Buku ini merupakan kelanjutan karya mahaguru ilmu pemerintahan JFK School of Government Universitas Harvard, Joseph Nye. Karya Nye sebelumnya yang berjudul ''Soft Power'' (2004) menarik perhatian karena membuka kembali wacana kekuasaan yang mempunyai perlekatan dengan sejarah umat manusia. Kepemimpinan dalam sejarah umat manusia merupakan soal gaya dan karakter. Gaya kepemimpinan keras selalu mengutamakan cara-cara cepat, kasar, dan seringkali brutal. Sebaliknya, gaya kepemimpinan lembut selalu mengutamakan pendekatan dan pengaruh. Nye membedakan secara tegas antara dua gaya kepemimpinan itu sekaligus dampak yang bisa ditimbulkannya. Bagi Nye, gaya kepemimpinan ini cenderung destruktif. Gaya kepemimpinan keras (hardpower) memang bisa dijalankan secara cepat dan memaksa, seperti yang diperlihatkan para diktator dalam sejarah politik dan kekuasaan umat manusia.

Tentu saja, mencapai dan mempertahankan kekuasaan dengan cara kekerasan bukanlah jalan satu-satunya bagi seorang calon pemimpin atau pemimpin yang ingin terus berkuasa. Melainkan, dengan cara lembut pun kekuasaan bisa digenggam. Jalan lembut kekuasaan ini mewujud pada diplomasi, dialog atau negosiasi. Faktor penting dalam gaya kepemimpinan lembut ini adalah pengaruh terhadap objek kekuasaan. Jika objek itu adalah masyarakat, maka seorang pemimpin dengan gaya softpower akan lebih memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Cara damai seperti perundingan antara juru-runding RI dan GAM pada Agustus 2005 terbukti sampai sejauh ini berhasil meredam gejolak di tanah rencong itu. Memang, ada sebagian pihak yang menilai perundingan itu menunjukkan kelemahan dari pihak perunding, namun sesungguhnya efektivitas perundingan-lah yang terpenting.

Entah kebetulan atau tidak, buku Nye yang pertama itu diterbitkan setahun sebelum perjanjian Helsinki Agustus 2005 yang mengakhiri kekerasan antara RI versus GAM. Walau tidak terkait langsung dengan perjanjian itu, jelas sekali tergambar arah baru dunia saat ini ketika para pihak ingin menyelesaikan sengketa tidak melulu bersifat zero sum game, melainkan semua pihak bersengketa layak memperoleh kekuasaan untuk menang atau win-win solution.

Nye berhasil membaca tanda-tanda zaman ini bahwa kekerasan bukan lagi mode satu-satunya untuk menguasai sebuah objek. Menurutnya, kelembutan dibutuhkan dalam proses-proses penyelesaian masalah antar-pihak, utamanya untuk menggapai puncak kepemimpinan. Selain diperlukan cara lembut, ditambah pula cara cerdik tanpa kekerasan perlu bagi seorang pemimpin. Kelembutan dalam kepemimpinan menunjukkan kearifan menyelesaikan masalah. Gaya kepemimpinan lembut semacam itu kiranya sudah mulai jamak ditemui dalam forum-forum lintas negara atau ketika para pemimpin negara saling bertemu untuk membahas sebuah masalah global lainnya.

Nye bertumpu pada argumen historis, bahwa sejarah kepemimpinan umat manusia menunjukkan sang pemimpin yang selalu menggunakan kekerasan terbukti sangat mahal dan bisa menyedot sumberdaya habis-habisan. Para pemimpin dunia yang memakai kekerasan untuk meraih sekaligus mempertahankan kekuasaan terbukti harus mengeluarkan ongkos besar. Hitler (Jerman), Mussolini (Italia), Franco (Spanyol), Stalin (Rusia), dan pemimpin bengis lain perlu menguras biaya negara luar biasa besar agar bisa terus menciptakan ketakutan, teror, serta ketundukan total rakyatnya. Para diktator itu hanya memikirkan bagaimana cara efektif menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka menciptakan gaya kepemimpinan otoriter yang menghalalkan kekerasan atas nama demi stabilitas nasional. Kalaupun harus mempraktikkan rayuan kepada lawan-lawan politik, ternyata kemudian seringkali ketundukan lawan-lawan politik dari para diktator ini muncul akibat takut atau pasrah. Bukan dikarenakan merasa ikut bersama di bawah sebuah kepemimpinan.

Agaknya, belakangan ini tema kepemimpinan terus menghangat seiring dengan perkembangan sosial-politik di tanah air. Ketika Pemilu 2009 semakin dekat pada saat bersamaan mulai muncul para calon presiden alternatif. Oleh karena itu, semakin banyak latihan kepemimpinan yang diperlukan oleh seorang calon pemimpin, selain khalayak luas di luar bidang pemerintahan dan politik. Kalangan bisnis dan non-politik lainnya juga terlihat sangat berminat, terutama untuk pembentukan karakter yang bertujuan membentuk sikap seorang pemimpin. Latihan yang terstruktur dengan baik, secara berkelanjutan diharapkan bisa membangun sikap kepemimpinan dalam bidang-bidang tertentu. Akan tetapi, tulis Nye, banyak pakar yang berpendapat bahwa kepemimpinan otentik bersifat alamiah. Sejarah kuno telah menunjukkan hal itu. Para pemimpin merupakan sosok yang dilahirkan, bukan dibentuk melalui latihan. Pemimpin dilahirkan oleh komunitas, tidak dibentuk oleh latihan yang dibuat komunitas tersebut. Namun demikian, Nye cenderung sepakat pada pelatihan kepemimpinan dengan menyatakan bahwa dalam dunia modern pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan.

Menurut Nye lagi, kepemimpinan adalah seni, bukan sains. Oleh karena itu, seni memimpin merupakan perwujudan kedalaman rasa, bukan semata logika kekuasaan. Dalam praktik kepemimpinan, seni memimpin tidak hanya berasal dari mereka yang berada di puncak pemerintahan, melainkan para CEO perusahaan pun sering menyumbangkan pola kepemimpinan yang layak untuk dikaji (hlm. 74). Kepemimpinan kaku yang hanya bertumpu pada protokoler baku sekarang sudah harus ditinjau-ulang. Kepemimpinan semacam ini terbukti telah menjauhkan sang pemimpin dari mereka yang dipimpin. Mekanisme umpan-balik dalam hubungan atas-bawah yang diperlihatkan dari masukan para pekerja kepada atasan mereka bisa menjadi contoh untuk tata kelola pemerintahan yang partisipatoris.

Kepemimpinan cerdik dengan mekanisme umpan-balik tepat, bisa menggeser gaya kepemimpinan yang bertumpu pada kekuasaan keras (hard power) atau kepada kekuasaan lunak (soft power). Tidak lagi diperlukan gertakan, ancaman atau memasang muka sangar hanya untuk mempertahankan kekuasaan, melainkan cukup menunjukkan rasa empati yang tulus, sikap simpati serta dialog emansipatoris. Maka, seorang pemimpin bisa menyelami alam pikir dan rasa dari mereka yang dipimpin. Proses seperti ini bukan hanya layak dilakukan saat akan meraih kekuasaan, namun saat berada di puncak kekuasaan pun seorang pemimpin harus melakukannya jika ia hendak menaklukkan ''hati dan pikiran'' (heart and mind) yang dipimpinnya. Nye mengamati justru pada proses inilah yang tersulit sebab seringkali para pimpinan tak sadar jika ia telah menggunakan kekuasaan keras, bukan lunak. (*)

---

Judul buku : The Powers to Lead

Pengarang : Joseph S. Nye Jr

Penerbit : Oxford University Press, UK

Cetakan : I, Oktober 2008

Tebal : 226 halaman

Rosdiansyah, direktur eksekutif pada Surabaya Readers Club

Sumber Jawa Pos, 4 Desember 2009

Buku, Seni, dan Kemewahan

Buku bukan hanya barang cetakan asal jadi. Atau melulu teks yang dibaca. Buku juga adalah seni. Seluruh proses penciptaan buku hingga hadir di pangkuan para pembaca yang budiman, pastilah dikerjakan dengan kecintaan yang melimpah-limpah. Termasuk soal pameran buku. Pameran yang dibuat asal-asalan, sebagaimana yang kerap kita lihat dalam ajang pameran buku di Indonesia, pastilah pameran yang tak diselenggarakan dengan dorongan naluri seni, melainkan melulu menajdikan buku sebagai barang niaga sebagaimana kepercayaan para saudagar.

Keyakinan itu pula yang dipercayai dengan keras kepala (true belivers) oleh sebuah kelab buku di Amerika pada satu seperempat abad yang lalu. Kelab yang menghimpun para kolektor buku ini bernama Kelab Grolier. Didirikan di rumah Robert Hoe, di 11 East 33rd Street, New York. Nama kelab ini ditasbihkan setelah Jean Grolier de Servi�res, seorang jenderal terkemuka di Prancis, memberikan partisipasinya dalam bentuk saham.

Kelab ini beranggotakan para kolektor buku kawakan. Di antaranya William I. Andrews, Theodore L. de Vienne, A.W. Drake, Albert Gallup, Brayton Ives, Samuel W. Martin, E. S. Mead, Arthur B. Tornure, dan Robert Hoe. Dikomandani pertama kali Robert Hoe, saudagar mesin cetak yang tercandui oleh buku, para pecinta buku lalu bersepakat menghimpun diri dalam kelab ini karena sebuah kesadaran yang sama; membangun studi literasi dari sisi produksi buku hingga menjadi sebuah karya seni.

Kelab Grolier mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah penerbitan sebuah buku. Mereka juga mendiskusikan bagaimana cetakan buku yang baik. Dalam pertemuannya, mereka juga membahas ihwal metode penjilidan yang kuat, rapi, dan tahan lama. Pun dibahas tentang ilustrasi sampul yang menarik dan memenuhi estetika seni. Bahkan, kelab ini membahas dengan serius bagaimana media promosi buku (pamflet atau poster) dibuat dengan tak serampangan yang mengabaikan kaidah-kaidah seni.

Inilah kelab yang tak henti-hentinya mempromotori bagaimana sebuah buku tak sekadar lembaran-lembaran kertas berisi deretan tulisan, tetapi juga bagaimana buku menjadi karya seni yang layak diapresiasi.

Untuk itu, kelab ini juga menggelar pameran buku dan percetakan guna memberikan wadah apresiasi buku-buku artistik yang telah mereka kumpulkan. Di pameran ini, buku-buku tak semata dijajar berderet-deret dalam rak seperti pameran yang biasa kita lihat. Di ajang ini, buku diperlakukan dengan sangat istimewa. Buku-buku itu disusun dengan demikian artistik di sebuah galeri seni, bersanding dengan karya-karya seni lain seperti lukisan dan patung-patung. Di sini buku telah naik pangkat dari sekadar barang niaga menjadi karya seni bernilai tinggi.

Itulah yang dilakukan Balai Lelang Sidharta, Jakarta, pada 7 Desember 2008 silam, untuk menyebut satu contoh. Dalam lelang bertema Indonesia's Diversity in Fine Art itu ditampilkan semua karya seni terbaik dan berharga ratusan juta seperti patung, lukisan, keramik, seni instalasi, bahkan berlian. Di antara benda-benda seni ratusan juta rupiah itu, beberapa buku juga ikut serta di dalamnya, antara lain: Sumatra's O.K. karya C.J. Kkleingrothe (Medan, 48 hlm, Rp 7-10 juta), Histoire des Voyages karya Walckenaer C.A (1830, 537 hlm., Rp 8-12 juta) dan De Inlandsche Kunstnijverheid Vol. I: Het Vlechtwerk (S-Gravengage, 1912: De Book & Konsttdrukkerij Mouton & Co., 442 hlm., Rp 6-9 juta).

Ada juga Indie|Hindia karya Lekkerker (Gronigen, Den Haag, Batavia, ca 1930, 400 hlm.) Buku itu terdiri dari 620 ilustrasi dari foto 200 lempeng dengan keterangan dalam bahasa Belanda dan Indonesia. Dijual pula enam lembar peta Batavia lama berjudul Feestmarsch Batavia 1893 (cat air di atas kertas, 56 x 45.5 cm, Rp 3-4.5 juta).

Buku-buku itu berbanderol mahal memang. Tapi bukan di situ duduk soalnya, melainkan bahwa buku adalah karya seni yang luar biasa tingginya. Karena seni tinggi, maka buku juga mendapat harga yang pantas, seperti harga lukisan yang membobol langit. Kelab buku seperti Glorier menaruh perhatian sangat besar terhadap hal-hal demikian.

Mungkin terlalu ideal dan muluk. Tapi, paling tidak, apa yang diyakini Kelab Glorier bisa menyuntikkan semangat bagi para penggiat pameran buku di Indonesia agar memperhatikan sisi-sisi lain dari buku di luar objek komoditi perniagaan.

Buku bagi para pecintanya adalah sebuah karya, sebuah hasil olah pikir, pengejawantahan kreativitas dan ketekunan. Buku juga memiliki ruh yang bisa disampaikan dengan lebih mengeksplorasi nilai artistik yang dimilikinya. Dengan memadukan niaga dan seni, maka pencapaian tujuan keduanya termaksimalkan. Dan pameran buku pun menjadi lebih nyeni. (*)

Diana A.V. Sasa, pencinta buku, tinggal di Surabaya

Sumber Jawa Pos, 4 Januari 2009