29 Oktober 2008

Mencubit Perpustakaan Sekolah Dengan Bintek

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Artikel ini telah dimuat di Majalah Media Pustaka, Edisi 2/ April - Juni 2008

Tanggal 25 sampai dengan 27 Januari 2007 lalu, UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen yang didukung instansi induknya Dinas P & K Kabupaten Sragen menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Perpustakaan Sekolah Angkatan ke 27 (terakhir).
Sejak angkatan pertama (26 s/d 28 Desember 2005) sampai dengan angkatan ke- 27, bintek pengelolaan perpustakaan sekolah ini sudah diikuti 744 pengelola perpustakaan sekolah dari 845 perpustakaan sekolah yang ada di Kabupaten Sragen. Pada setiap angkatan, bintek ini diikuti oleh 25 sampai dengan 30 peserta.
Materi yang diberikan dalam bintek ini merupakan materi praktis-aplikatif yang terdiri dari klasifikasi bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, katalogisasi bahan pustaka, layanan perpustakaan, dan pelestarian bahan pustaka.
Latar belakang dilaksanakannya bintek ini adalah pertama, masih cukup banyak tenaga pengelola perpustakaan sekolah yang belum memahami cara mengelola perpustakaan yang baik dan benar.
Hal ini dapat dimaklumi. Mengingat tenaga pengelola di perpustakaan sekolah sebagian besar adalah tenaga “gawat darurat”. Mereka ini pantas menyandang sebutan guru pustakawan. Artinya, disamping mengajar, mereka masih dibebani tugas mengelola perpustakaan sekolah.
Respon sebagian besar guru pustakawan ini dalam mengikuti bintek cukup baik. Hanya saja kepedulian mereka terhadap perpustakaan sekolah bertepuk sebelah tangan dengan kebijakan para kepala sekolah.
Semangat guru pustakawan dalam mengelola perpustakaan secara sukarela – tanpa imbalan apapun – hanya didukung oleh perhatian kepala sekolah yang “ala kadarnya”. Hal inilah yang berpotensi memadamkan semangat para guru pustakawan.
Kedua, mempersempit “ruang alasan”. Selama ini kepala sekolah selalu mengatakan tidak punya dana untuk menghidupi perpustakaan sekolah. Dengan adanya BOS alasan ini gugur sebagaimana pernah penulis ungkap dalam “Memimpikan BOS Untuk Perpustakaan” (Kompas Jateng, 27 Desember 2005).
Selain itu, alasan yang mengemuka adalah tenaga pengelola perpustakaan sekolahnya belum memahami teknik mengelola perpustakaan. Dengan adanya bintek, alasan itu kini menjadi gugur pula.
Ketiga, integrasi Kantor Perpustakaan Kabupaten Sragen ke dalam struktur organisasi Dinas P & K Kabupaten Sragen. Integrasi ini berlaku efektif pada tahun 2005.
Integrasi ini menjadikan perpustakaan kabupaten dan perpustakaan sekolah berada dalam satu atap. Integrasi ini membuat perpustakaan kabupaten dapat bergerak lebih leluasa untuk secara aktif membina perpustakaan sekolah.
Sebelum integrasi, untuk membina perpustakaan sekolah, perpustakaan kabupaten harus “kulo nuwun” dulu kepada dinas pendidikan. Kini, rantai birokrasi itu telah tiada.
Keempat, keberadaan perpustakaan sekolah merupakan salah satu standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.
Hal ini sejalan dengan penjelasan pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang dilaksanakan dengan PP No. 19 Tahun 2005. PP ini mewajibkan setiap sekolah memiliki perpustakaan sekolah.
Dengan kata lain, tanpa perpustakaan sekolah yang memadai sebuah sekolah dikatakan tidak standar. Ironisnya, masih ada sekolah yang telah memperoleh akreditasi sebagai sekolah standar nasional tetapi tidak memiliki ruang perpustakaan. Sungguh aneh tapi nyata, tanya ken… napa?
Daya Ungkit
Bintek pengelolaan perpustakaan sekolah ini pada hakekatnya merupakan gerakan psikologis untuk mencubit manajemen sekolah agar sadar dan peduli terhadap hidup –matinya perpustakaan sekolah. Jadi, bintek ini diharapkan dapat menjadi daya ungkit untuk memfungsikan kembali perpustakaan sekolah sebagaimana mestinya.
Menurut Manifesto Unesco (1999), perpustakaan sekolah berfungsi memberikan layanan belajar, buku, dan sumber-sumber lainnya yang memungkinkan semua komunitas sekolah dapat menjadi pemikir yang kritis dan pemakai informasi dalam berbagai format dan media secara efektif.
Agar daya ungkit ini semakin besar, perlu diikuti dengan beberapa langkah nyata. Pertama, kegiatan monitoring perpustakaan sekolah. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan yang diperoleh dalam bintek diaplikasikan secara nyata di lingkungan perpustakaan sekolah. Sehingga terjadinya praktik “habis bintek, ilmu dibuang” dapat dicegah.
Kedua, masukanlah anggaran dana untuk perpustakaan dalam APBS dan belanjakanlah “di jalan yang lurus”. Jangan zalimi perpustakaan sekolah ! Komitmen kepala sekolah, komite sekolah, dan para pendidik sangat dinantikan.
Dalam RUU Sistem Nasional Perpustakaan anggaran untuk perpustakaan sekolah ditetapkan minimal sebesar 5 persen dari APBS. Kelak jika RUU ini disahkan menjadi UU akan semakin memperkuat kedudukan perpustakaan sekolah.
Ketiga, alokasikan dalam APBD Pemkab anggaran dana untuk pengadaan buku bantuan bagi perpustakaan sekolah. Kalau pengadaan buku paket bisa, mengapa pengadaan buku perpustakaan tidak ? Hal ini cukup penting guna merangsang pertumbuhan koleksi buku di perpustakaan sekolah.
Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pandangan Legislatif Sragen yang menyayangkan langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) yang tidak menganggarkan dana untuk buku anak-anak menyusul minimnya koleksi buku perpustakaan sekolah (Solopos, 3 Maret 2007).
Keempat, mengintegrasikan kegiatan pembangunan perpustakaan sekolah ke dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Selama ini pembangunan sarana dan prasarana pendidikan lebih berorientasi kepada pembangunan ruang kelas, ruang guru, maupun aula. Orientasi ini sudah saatnya berubah.
Pendidikan dan perpustakaan sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integral). Seperti telah dicanangkan oleh UNESCO, bahwa pendidikan untuk semua (education for all), dapat lebih berhasil jika dilengkapi oleh perpustakaan.
Menurut Soetarno NS (2003), Oleh karena pendidikan merupakan proses alih dan pengembangan ilmu pengetahuan, dengan sekolah dan perpustakaan sebagai medianya, maka perkembangan bidang pendidikan berkaitan erat dengan keberadaan perpustakaan.
Sesuai dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka pendidikan juga berkembang, sehingga antara pendidikan dan perpustakaan bagaikan dua sisi mata uang yang sama nilainya dan tak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan mengisi

25 Oktober 2008

Minat Baca, Kunci Sukses PAUD

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di media online Kabar Indonesia, 23 Mei 2007

Pendidikan anak usia dini memiliki peran penting dalam sistem pendidikan nasional. Ibarat sebuah rumah, pendidikan usia dini merupakan pondasinya. Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu melipatgandakan kemampuan otak 5 – 10 kali kemampuan sebelumnya.
Salah satu rangsangan yang sangat diperlukan oleh anak usia dini adalah rangsangan untuk membaca. Rangsangan untuk membaca ini bertujuan agar anak usia dini memiliki minat baca yang tinggi meskipun mereka belum bisa membaca.
Pengalaman Marcia Thomas, seorang ibu di Memphis, Tennesse, sebagaimana dikutip Fauzil Adhim (2007), membuktikan bahwa kegiatan membacakan buku pada anak usia dini terbukti mampu melesatkan kecerdasan otak anak. Marcia Thomas bercerita, “Anak kami, Jennifer, lahir pada September 1984. Salah satu hadiah yang pertama kali kami terima adalah sebuah buku The Read –Aloud Handbook. Kami membaca bab pendahuluan dan kami sangat terkesan dengan kisah Cushla dan keluarganya. Kami lalu memutuskan untuk memberi “diet” kepada anak perempuan kami dengan sekurang-kurangnya sepuluh buku sehari.

Ketika itu, dia harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama tujuh minggu karena gangguan jantung dan bedah korektif. Begitulah, kami mulai membacakan buku kepadanya saat dia masih menjalanai perawatan intensif; dan manakala kami tidak bisa menemaninya, kami meninggalkan tape berisi rekaman cerita dan meminta kepada perawat untuk menghidupkannya buat anak kami.
Usaha Marcia Thomas yang begitu bersemangat tidaklah sia-sia. Pada usia SD, anaknya selalu memperoleh nilai tertinggi untuk pelajaran membaca. Tidak ada kegemaran yang lebih disukai oleh Jennifer melebihi membaca.
Tetapi, bukan itu yang paling membahagiakan orang tuanya. Marcia Thomas menuturkan, “Apa yang membuat cerita kami berharga adalah bahwa Jennifer lahir dengan Down Syndrome. Pada usia dua bulan , Marcia diberitahu bahwa Jennifer hampir-hampir mengalami kebutaan, tuli, dan keterbelakangan mental yang parah. Ketika dites pada usia empat tahun, IQ-nya hanya III”.
Kisah di atas menunjukkan bahwa kegiatan membacakan buku pada bayi memberikan dampak positif berupa : pertama, menumbuhkan minat baca. Bayi yang sedari awal sudah diperkenalkan dengan buku akan menganggap buku “tak lebih” sekedar permainan yang mengasyikkan. Buku akan dianggap sebagai teman bermain yang menyenangkan. Kesan ini akan terekam kuat dalam memori bayi hingga masa pertumbuhan selanjutnya.
Kedua, meningkatkan kosa kata bayi. Ketika seorang ibu membacakan buku pada bayinya, sang bayi akan merasa sedang diajak bicara oleh sang ibu. Hal ini cukup penting guna merangsang kemampuan berbicara sang bayi.

Ketiga, meningkatkan hubungan kasih sayang ibu dan anak. Membacakan buku pada bayi merupakan salah satu kegiatan untuk mengakrabkan hubungan orang tua dan anak. Anak akan merasa diperhatikan oleh orang tua.
Menumbuhkan minat membaca jauh lebih penting daripada mengajarkan agar anak usia dini “bisa” membaca. Mengapa ? Karena betapa banyak anak-anak bangsa ini yang bisa membaca tetapi miskin minat baca. Ketika masih TK mereka begitu semangat dalam membaca, tetapi tatkala menginjak SD minat bacanya “surut”.
Hal ini terjadi karena adanya mal praktik dalam pendidikan anak usia dini di tanah air. Guru dan orang tua terlalu menuntut agar anak-anak agar segera dapat membaca. Setiap hari anak-anak “didrill” dengan pelajaran membaca. Akibatnya, anak-anak mengalami overdosis.
Membaca yang semula merupakan suatu keasyikan sebagaimana sebuah permainan, kini telah berubah menjadi “monster” yang menakutkan. Membaca kini telah berubah menjadi beban. Apalagi kurikulum pendidikan kita terhitung cukup padat yang membuat anak-anak kian malas untuk membaca.
Yang tejadi saat ini jutaan peserta didik di tanah air “terpaksa” membaca agar disebut “sudah belajar”. Mereka “dipaksa” membaca agar dapat lulus ujian dengan nilai yang baik.. Padahal, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan lulusan yang terus menerus membaca sepanjang hidupnya.
Belajar membaca tanpa minat baca hanya akan melahirkan robot-robot kecil yang sekedar pandai dalam membunyikan huruf. Hal ini akan berbeda hasilnya, jika anak-anak ditumbuhkan motivasi, selera, dan keinginannya untuk membaca. Proses “bisa” membaca akan tercapai dengan sendirinya seiring dengan semakin memuncaknya minat baca.

Hambatan utama untuk menumbuhkan minat baca pada anak usia dini ini adalah minimnya akses masyarakat terhadap buku. Buku masih menjadi barang mahal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Orang tua akan merasa keberatan untuk menyisihkan “jatah hidupnya” untuk membeli buku.
Perpustakaan Desa
Untuk itu, pemerintah perlu membuat kebijakan agar para orang tua dapat mengakses buku dengan mudah dan murah. Pemerintah perlu mengaktualisasikan kembali konsep perpustakaan desa. Perpustakaan desa yang sudah diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun 2001, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akses masyarakat menengah ke bawah terhadap layanan pendidikan anak usia dini.
Pasal 2 ayat 2 dari Kepmendagri dan Otda menyebutkan bahwa Pembentukan Perpustakaan Desa harus disepakati oleh masyarakat melalui proses musyawarah di dalam forum Lembaga Masyarakat Desa dan mengikutsertakan lembaga pendidikan yang ada. Dalam hal ini perpustakaan desa dapat membuka layanan Kelompok Bermain.
Di India, tepatnya di Negara Bagian Kerala, perpustakaan desa sukses memberantas buta huruf. Prestasi India ini sekaligus membuka cakrawala berpikir kita, bahwa perpustakaan desa tidak hanya melayankan buku, namun juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah kita dapat meniru sukses India, dengan memberdayakan perpustakaan desa untuk meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini.

Fokus layanan Kelompok Bermain (KB) ini adalah mengupayakan agar anak-anak memiliki kecintaan, ketertarikan, dan “kegilaan” kepada buku. Hal ini dalam dunia pendidikan sering disebut dengan istilah pendidikan pra membaca. Untuk mewujudkan ide ini, perpustakaan desa perlu melengkapi koleksinya dengan buku-buku anak usia dini.
Pendidikan pra membaca ini sebenarnya bisa diberikan oleh siapa saja yang memiliki kecintaan kepada dunia anak dan dunia buku. Pengajar cukup memotivasi anak-anak agar memiliki minat baca yang tinggi. Motivasi dapat diberikan melalui kegiatan bermain, bernyanyi, mendongeng, maupun membacakan buku pada anak.
Agar lebih berdayaguna, perpustakaan desa juga dapat merangkul Taman Pendidikan Al Qur ‘an (TPA) untuk mengajarkan minat baca pada anak didiknya. Minat baca perlu ditumbuhkan juga pada anak-anak yang belajar Al Qur ‘an. Agar ketika mereka membaca Al Qur ‘an sungguh-sungguh dilandasi dengan minat, ketertarikan, dan kecintaan yang kuat kepada Al Qur ‘an.
Dengan demikian anak-anak akan memiliki karakter keberagamaan yang kuat. Selama ini, TPA hanya mendidik anak-anak membaca dan menghafal Al Qur ‘an tanpa dilandasi karakter. Akibatnya, ketika mereka beranjak dewasa, Al Qur ‘an hanya menjadi bacaan yang kering tanpa makna.
Memanfaatkan perpustakaan desa untuk membuka layanan Kelompok Bermain akan membawa dampak ganda, yakni meningkatkan akses masyarakat menengah ke bawah terhadap pendidikan anak usia dini sekaligus meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini itu sendiri.

Quo Vadis RUU Perpustakaan ?

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di Harian Republika, 13 Maret 2007

Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa, 23 Januari 2007, dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar menyetujui RUU tentang Perpustakaan sebagai inisiatif DPR untuk diajukan pada Pemerintah guna disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
Fraksi-fraksi di DPR menyampaikan pemandangan akhir terkait pengesahan RUU tersebut. Seluruh fraksi menyetujui RUU tentang Perpustakaan ditetapkan menjadi UU sehingga rapat paripurna berjalan mulus (Media Indonesia, 24 Januari 2007)
RUU Perpustakaan dilatarbelakangi oleh keprihatinan yang mendalam tentang kondisi perpustakaan di tanah air. Pengabaian terhadap perpustakaan terjadi hampir di semua bidang kehidupan.
Pendidikan kita telah lama meninggalkan peran perpustakaan. Pembelajaran di sekolah dibiarkan berjalan tanpa dukungan perpustakaan yang memadai. Perpustakaan sering diibaratkan sebagai “jantungnya pendidikan”.
Ironisnya, telah puluhan tahun dunia pendidikan nasional berjalan tanpa “jantung”. Akibatnya, pendidikan kita lebih berfungsi sebagai pabrik ijasah. Pendidikan kita telah gagal merangsang tumbuhnya kegemaran membaca dan belajar pada anak didik.
Otonomi daerah yang digulirkan pemerintah untuk mempercepat pembangunan di daerah, mengakibatkan tidak jelasnya kewenangan pusat dan daerah di bidang perpustakaan.
Keberagaman tafsir perpustakaan oleh pemerintah daerah – baik provinsi maupun kabupaten/kota- telah mengganggu upaya pemberdayaan perpustakaan di daerah. Otonomi daerah membuat posisi perpustakaan umum kian terpinggirkan.
RUU Perpustakaan yang terdiri dari 25 Bab dan 57 pasal ini memiliki tujuan untuk memberikan payung hukum yang jelas bagi pembangunan dan pengembangan perpustakaan di tanah air.
Selama belum diatur dengan undang-undang tersendiri, keberadaan perpustakaan hanya akan dihukumi dengan “sunah” belaka. RUU Perpustakaan diharapkan dapat membuat pemerintah lebih serius membangun dunia perpustakaan setara dengan pembangunan bidang lain.
Secara garis besar RUU ini memang telah memberi jawaban terhadap aneka masalah di seputar perpustakaan. Namun setelah membaca isinya, RUU ini terasa kurang menggigit. Isinya terlalu datar. Belum menyentuh akar permasalahan secara mendasar.
Penulis menangkap beberapa kelemahan, pertama, aspek kelembagaan/organisasi. RUU ini hanya mengatur kelembagaan perpustakaan secara normatif. Selama ini aspek kelembagaan perpustakaan masih belum jelas, masih menumpang pada peraturan perundangan lain.
Agar lebih bergigi RUU ini perlu secara tegas menentukan status eselon bagi masing-masing jenis perpustakaan. Perpustakaan umum provinsi berbentuk badan (eselon II A), perpustakaan umum kabupaten/kota berbentuk kantor (eselon III A), perpustakaan umum kecamatan berbentuk UPTD (eselon IVA), perpustakaan desa dan sekolah bereselon IV B. Dengan aturan semacam ini perpustakaan akan lebih diperhatikan oleh pemerintah daerah..
Kedua, anggaran. RUU ini hanya mengatur alokasi anggaran untuk perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi. Untuk kedua jenis perpustakaan ini ditetapkan sebesar 5 % dari anggaran sekolah/perguruan tinggi.
RUU ini lupa mengatur alokasi anggaran untuk perpustakaan daerah provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Agar perpustakaan daerah dapat berbuat banyak, anggaran untuk perpustakaan daerah juga perlu ditetapkan minimal 5 % dari APBD.
Ketiga, sumber daya manusia. Pasal 37 menyebutkan bahwa tenaga perpustakaan terdiri dari tenaga pustakawan dan non pustakawan yang terkait dengan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi.
Lagi-lagi RUU ini lupa menyentuh hakekat suatu masalah. Saat ini yang menjadi masalah adalah pemerintah daerah tidak punya niat baik untuk membuka formasi pustakawan bagi perpustakaan umum kabupaten, kecamatan, desa, dan sekolah.
Dalam setiap pengadaan CPNS, hanya segelintir pemerintah kabupaten/kota saja yang membuka formasi pustakawan. Itu pun hanya untuk perpustakaan umum kabupaten/kota, sedangkan untuk perpustakaan sekolah sampai hari ini “belum terdengar”. Perpustakaan sekolah masih menjadi “urusan sambil lalu” dari guru bahasa yang sudah memiliki banyak beban dalam pekerjaannya.
Untuk itu, RUU ini mesti menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib mengangkat tenaga pustakawan bagi seluruh perpustakaan milik pemerintah daerah. Selain itu perlu ditetapkan pula komposisi tenaga pustakawan dan non pustakawan sebesar 70 : 30 persen. Saat ini jumlah pustakawan masih cukup langka, bahkan banyak perpustakaan yang tidak memiliki tenaga khusus pustakawan.
Keempat, koleksi. Saat ini jumlah koleksi perpustakaan di tanah air rata-rata belum sebanding dengan misinya untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Perpustakaan umum kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 700.000 s/d 900.000 jiwa rata-rata hanya memiliki koleksi di bawah angka 100.000 buku dengan jumlah penambahan buku per tahun kurang dari 10.000 buku.
Pasal 13 RUU ini terlalu datar karena sekedar mewajibkan pemerintah mendukung program pengembangan koleksi perpustakaan. Kalau hanya sekedar menyediakan koleksi, pemerintah sudah lama melakukannya. Yang menjadi masalah adalah jumlah koleksi yang dianggarkan pemerintah itu sangat tidak memadai untuk meningkatkan minat baca masyarakat.
RUU Perpustakaan mesti mengatur berapa jumlah koleksi yang ideal bagi sebuah perpustakaan. Misalnya, untuk perpustakaan umum kabupaten/kota : jumlah koleksi minimal adalah sepertiga jumlah penduduk dengan penambahan koleksi per tahun sepersepuluh dari jumlah penduduk. Untuk perpustakaan sekolah : jumlah koleksi minimal adalah sepuluh kali jumlah siswa, dengan penambahan koleksi baru per tahun sepersepuluh dari jumlah siswa.
Tanpa ketentuan semacam ini, RUU ini hanya akan menjadi macan kertas belaka. Selain itu, jumlah koleksi yang tidak memadai juga akan menyulitkan pustakawan dalam mengumpulkan angka kreditnya. Efek domino bukan ?
RUU perpustakaan mestinya dibuat dengan bahasa yang tegas dan lebih “bergigi”. Karena, kalau terlalu normatif dan umum akan menimbulkan celah-celah hukum bagi pemerintah daerah guna menghindari kewajiban untuk memajukan dunia perpustakaan.
Sungguh sayang, Perpustakaan Nasional RI telah menyia-nyiakan kesempatan emas untuk melahirkan RUU Perpustakaan yang powerfull.

Kampanye Membaca Miskin Perpustakaan

Oleh Romi Febriyanto Saputro
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Genta Pustaka Vol. I Nomor 6, Juni – Juli 2007

Tanggal 20 Maret 2007 lalu, di Kota Solo dicanangkan Kampanye Ayo Giat Membaca. Kampanye membaca ini merupakan hasil kerja sama Program Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, PT Balai Pustaka, Pusat Bahasa Provinsi Jawa Tengah dan MGMP Bahasa Indonesia se-Soloraya.
Pencanangan kampanye untuk memotivasi dan mengajak masyarakat agar gemar membaca ini akan dilakukan oleh Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Dr Dendy Sugono, di Hotel Quality.
Kampanye Ayo Giat Membaca ini merupakan kampanye yang ke sekian kalinya dicanangkan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Namun, kampanye ataupun gerakan untuk meningkatkan minat baca masyarakat ini sering mengalami kemandulan.
Kampanye membaca selama ini lebih terkesan sebagai ajang tebar pesona. Pemerintahan orde baru mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan (14 September 1997), pemerintahan Megawati mencanangkan Gerakan Membaca Nasional (12 November 2003), dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat (17 Mei 2006).
Aneka macam kampanye tersebut biasanya hanya akan berhenti sebagai slogan semata. Mengapa ? Pertama, basis kampanye membaca tidak jelas. Selama ini pemerintah selalu mengatakan bahwa membaca itu penting. Tetapi, pemerintah (pura-pura?) lupa bahwa menyediakan sarana bagi rakyat untuk membaca itu juga penting.
Kampanye membaca seringkali dilakukan tanpa melibatkan perpustakaan. Padahal kampanye membaca mestinya harus berbasis perpustakaan. Mengembangkan minat baca mestinya harus diartikan dengan mengembangkan perpustakaan terlebih dahulu. Mengapa demikian ? Karena perpustakaan merupakan institusi yang paling memungkinkan untuk mendekati masyarakat dan mengajak mereka untuk mencintai dunia bacaan
Pendorong bagi bangkitnya minat baca ialah kemampuan membaca, dan pendorong bagi berseminya budaya baca adalah kebiasaan membaca, sedangkan kebiasaan membaca akan terpenuhi dan terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai baik jenis, jumlah maupun mutunya (Fuad Hasan, 2001)
Kedua, kampanye membaca hanya ditujukan kepada rakyat. Padahal rakyat belum tentu ”tidak mau membaca”. Pakar pendidikan di tanah air sering memvonis bahwa minat baca rakyat Indonesia rendah. Benarkah vonis ini ?
Minat baca masyarakat kita sebenarnya tidak serendah sebagaimana gambaran di atas. Jika kita mau mengamati papan-papan koran yang ada dipinggir jalan senantiasi ramai dibaca oleh banyak orang.
Perpustakaan keliling yang mengunjungi sekolah dasar di pedesaanpun senantiasa mendapat sambutan yang meriah dari para peserta didik. Jadi, minat baca rakyat kita tidaklah serendah sebagaimana vonis para pakar dunia pendidikan.
Akar permasalahannya terletak pada kemampuan dan kesempatan bagi rakyar untuk mengakses buku dengan cara yang murah dan mudah. Kalau rakyat disuruh membaca mestinya pemerintah konsekuen dengan membangun perpustakaan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.
Para wakil rakyat pun perlu didorong untuk membantu memberdayakan perpustakaan. Pencanangan kampanye membaca di Kota Solo ini terasa ironis. Mengingat beberapa waktu lalu rencana pembangunan gedung Perpustakaan Daerah Surakarta sukses digagalkan oleh para wakil rakyat. Rupanya, para wakil rakyat lebih takut kehilangan uang tunjangan komunikasinya daripada kehilangan minat baca rakyat yang diwakilinya.
Jadi, kampanye membaca juga perlu dilakukan terhadap unsur eksekutif maupun legislatif daerah. Agar para pembesar ini juga memiliki kesadaran untuk meningkatkan minat baca rakyatnya.
Ketiga, kampanye membaca selalu dan terlalu mengkambinghitamkan budaya lisan sebagai faktor utama rendahnya minat baca masyarakat. Hal ini menyebabkan ”segala macam dosa” dibebankan pada budaya lisan.
Jika kita membuka kembali cakrawala sejarah bangsa ini, di masa lalu banyak dilahirkan karya-karya sastra yang bernilai tinggi, yang merupakan indikator bahwa budaya tulis bukan merupakan sesuatu yang asing bagi bangsa kita.
Buku Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa pada masa Kerajaan Kahuripan; Bharatayudha yang di gubah oleh Mpu Sedah & Mpu Panuluh pada masa Kerajaan Kediri; Negarakertagama buah karya Mpu Prapanca dan Sutasoma buah karya Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit merupakan bukti bahwa budaya lisan, budaya baca, dan budaya tulis dapat bersinergi dengan baik.
Dengan demikian sesungguhnya bangsa kita pada masa lalu sudah memiliki minat baca yang cukup tinggi. Budaya tulis berkembang sebagaimana budaya lisan juga berkembang. Karya-karya besar seperti tersebut diatas tidak mungkin lahir dari masyarakat yang berbudaya baca rendah.
Jika selama ini ada stereotip sosial yang menganggap minat baca masyarakat kita rendah, maka hal ini perlu kita kaji kembali. Keengganan masyarakat untuk membaca disebabkan oleh beberapa alasan : pertama, kualitas perpustakaan di Indonesia pada umumnya masih memprihatinkan sehingga masyarakat belum terpuaskan oleh koleksi yang ada.
Kedua, terbatasnya koleksi non buku di perpustakaan. Untuk perpustakaan umum kabupaten/kota pada umumnya belum didukung oleh jumlah surat kabar, tabloid, majalah, dan jurnal ilmiah yang memadai. sehingga masih sering mengecewakan masyarakat. Padahal sebagai salah satu pusat informasi perpustakaan perlu ditunjang oleh koleksi surat kabar dan majalah yang bervariasi.
Dengan koleksi surat kabar dan majalah yang beragam diharapkan mampu menampung sebagian besar informasi yang diperlukan masyarakat dan meminimalkan kekecewaan masyarakat yang tidak menemukan informasi yang diinginkannya.
Ketiga, keterbatasan masyarakat di daerah terpencil dalam mengakses sumber bacaan. Masyarakat di daerah terpencil dan pedalaman sebenarnya juga haus informasi. Namun karena kesulitan mereka untuk mengakses informasi dan sumber bacaan menjadikan mereka seakan-akan tidak memiliki minat baca yang tinggi.
Perpustakaan keliling yang desain awalnya memang untuk melayani minat baca masyarakat di daerah terpencil perlu dibangun kembali secara profesional dan lebih serius, tidak sekedar menggugurkan kewajiban.
Apalagi untuk kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan peran aktif perpustakaan keliling sangat dinantikan. Realitas di lapangan menunjukan bahwa kelemahan utama dari perpustakaan keliling adalah koleksi bahan pustaka dan jangkauan wilayah operasinya masih terbatas.

Quo Vadis Pengadaan Bahan Pustaka ?

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 3 Februari 2007

Pengadaan bahan pustaka merupakan ikon penting dalam penyelenggaraan perpustakaan. Pengadaan bahan pustaka menjadi cermin baik tidaknya suatu perpustakaan. Perpustakaan yang baik harus didukung oleh jumlah koleksi yang memadai baik dari segi keragaman judul maupun jumlah eksemplar.
Pengadaan bahan pustaka mesti berorientasi pada pengguna perpustakaan. Suara pengguna perpustakaan harus lebih didengarkan daripada ego pribadi pengelola perpustakaan. Sinergi antara pengguna dan pengelola perpustakaan akan menentukan sukses tidaknya suatu pengadaan bahan pustaka.
Dalam memilih bahan pustaka, hendaknya perpustakaan memperhatikan tingkat aktualitas, keberadaan ide baru, dan kedalaman isi /pembahasan suatu buku. Perpustakaan mesti memilih buku-buku yang dapat memberikan pencerahan hidup bagi pembacanya.
Urgensi pengadaan bahan pustaka bagi sebuah perpustakaan adalah untuk menjaga kesegaran koleksi bahan pustaka. Hal ini penting guna memelihara dan meningkatkan minat baca masyarakat.
Ibarat kolam ikan, jika tidak pernah mengalami penambahan air bersih tentu akan menjadi keruh. Begitu pula dengan suatu perpustakaan. Jika tidak pernah mengadakan pembelian bahan pustaka yang baru tentu akan menjadikan pengguna bosan dengan koleksi yang ada.
Semakin sering dan semakin banyak dalam pengadaan bahan pustaka akan membuat perpustakaan semakin disayang oleh penggunanya. Sebaliknya perpustakaan yang tidak pernah memperbarui koleksinya tentu akan ditinggalkan oleh pengguna.
Realitas
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya pengadaan bahan pustaka bagi sebuah perpustakaan. Ironisnya, realitas berkata lain. Ada beberapa fenomena yang membuat pengadaan bahan pustaka menjadi tidak sehat.
Pertama, mentalitas proyek. Mentalitas proyek menyebabkan orientasi pengadaan bahan pustaka bergeser dari memuaskan kebutuhan pengguna perpustakaan menjadi memuaskan nafsu ”orang-orang proyek”.
Segala upaya ditempuh dalam rangka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Jalan pintas pun dianggap pantas. Ketika memulai kegiatan, yang ada di otak orang-orang proyek adalah bagaimana cara mendapatkan diskon yang sebesar-besarnya.
Untuk memperoleh diskon yang besar biasanya orang-orang proyek akan memilih buku-buku yang minim variasi judul maksimal dalam eksemplar. Satu judul bisa mencapai lima sampai dengan sepuluh eksemplar. Selain itu, juga minim dalam variasi penerbit. Jika buku-buku berasal hanya dari satu penerbit, maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar.
Mentalitas proyek juga menyebabkan proses seleksi bahan pustaka menjadi terabaikan. Cukup banyak perpustakaan umum maupun sekolah/perguruan tinggi yang begitu saja ”pasrah bongkokan” dengan buku-buku yang disodorkan oleh penerbit maupun distributor buku. Mereka terlalu malas untuk menyusun ribuan judul buku dari berbagai penerbit.
HaI ini merupakan suatu bentuk patologi birokrasi yang menimpa dunia perpustakaan. Model pengadaan buku yang demikian hanya akan menghasilkan “perpustakaan yang membodohkan”.
Kedua, ketidakseimbangan antara aspek sosiologi dan psikologi. Pengadaan bahan pustaka yang baik hendaknya disamping memperhatikan aspek sosiologi pembaca juga memperhatikan aspek psikologis pembaca.
Aspek sosiologi pembaca meliputi kondisi keluarga, jenjang pendidikan, jenis pekerjaan, status sosial dan lingkungan tempat tinggal pembaca. Sedangkan aspek psikologi pembaca meliputi selera pembaca dan usia pembaca. Kedua aspek ini tidak boleh dipisah-pisahkan karena merupakan satu kesatuan yang utuh (integral).
Perpustakaan sekolah dasar misalnya, yang lingkungan sosialnya didominasi oleh anak-anak usia 7 – 13 tahun, menurut aspek sosiologi harus didukung dengan buku-buku perpustakaan yang menunjang kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Untuk itu buku-buku yang diutamakan adalah buku-buku sains dan teknologi.
Namun dari aspek psikologi pengadaan bahan pustaka untuk perpustakaan sekolah dasar yang hanya berisi buku-buku sains dan teknologi akan terasa hambar. Peserta didik yang sudah dibebani dengan aneka pelajaran serius di kelas perlu sedikit relaksasi.
Tahapan untuk relaksasi ini memerlukan buku-buku yang dapat menghibur jiwa mereka. Buku-buku tentang fiksi populer, agama, dan psikologi populer dapat mengisi ruang ini sekaligus berfungsi sebagai penyedap rasa perpustakaan sekolah dasar. Penyedap rasa ini sangat berperan untuk merangsang dan menumbuhkan kembali minat baca peserta didik yang sudah lama tertimbun aneka tontonan televisi.
Keseimbangan aspek sosiologi dan psikologi ini perlu disesuaikan dengan usia peserta didik. Untuk perpustakaan sekolah dasar, koleksi dasar perpustakaan yang dianjurkan para ahli adalah 70 persen fiksi dan 30 persen non fiksi. Buku non fiksi pun diusahakan dipilih buku yang didesain dengan format yang bersahabat dengan anak.
Ketiga, prosedur pengadaan yang bertele-tele. Saat ini prosedur pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang disempurnakan dengan Perpres Nomor 32 Tahun 2005.
Tujuan Keppres ini cukup baik, yakni agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Namun, jika diterapkan dalam pengadaan bahan pustaka sedikit menimbulkan distorsi. Terutama jika menyangkut pengadaan bahan pustaka dengan nilai lebih dari Rp 50.000.000, 00 yang harus dilaksanakan dengan lelang.
Prosedur lelang sangat bertele-tele sehingga memakan banyak waktu. Mulai dari pengumuman pra/pasca kualifikasi, pengambilan dokumen pra/pasca kualifikasi, pengambalan dokumen penawaran, penjelasan (aanwijzing), pemasukan dokumen, hingga penentuan pemenang lelang minimal memakan waktu tiga bulan.
Prosedur pengadaan yang bertele-tele ini menyebabkan aktualitas bahan pustaka sedikit menurun. Karena judul bahan pustaka yang disusun pada awal tahun, baru sampai kepada pengguna pada akhir tahun anggaran.
Selain itu, jika pada pertengahan tahun ada buku baru yang terbit, perpustakaan mengalami kesulitan untuk membelinya. Ini karena pengadaan bahan pustaka harus berada dalam satu kegiatan. Tidak bisa dipisah-pisahkan mengikuti perkembangan terbaru dunia perbukuan.
Akibatnya, akses pengguna perpustakaan untuk menikmati buku yang baru terbit harus tertunda sampai tahun anggaran berikutnya.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu menerbitkan suatu peraturan khusus tentang prosedur pengadaan bahan pustaka yang dapat menjaga tingkat aktualitas bahan pustaka tanpa mengabaikan pertanggungjawaban keuangan yang bersih dan transparan. Sehingga antara bahasa perpustakaan dan bahasa keuangan dapat bertemu pada satu titik.

PAUD Berbasis Perpustakaan

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Media Pustaka, Edisi 8/ Desember 2006

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan kunci utama sukses tidaknya sebuah program pendidikan nasional suatu bangsa. Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu melipatgandakan kemampuan otak 5 – 10 kali kemampuan sebelumnya.
Ironisnya, pemerintah kita terhitung terlambat dalam memberikan perhatian kepada anak usia dini. Mereka dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam kondisi “ala kadarnya”. Sampai saat ini diperkirakan 80 persen anak usia dini belum tersentuh PAUD. Tatkala anak usia dini di Singapura sudah terjangkau semuanya dengan PAUD, anak usia dini di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh ancaman gizi buruk.
Data tahun 2002 menunjukkan 1,3 juta anak Indonesia mengalami kekurangan gizi. Padahal menurut Azrul Anwar (2002) setiap anak dengan gizi buruk beresiko kehilangan IQ hingga 10 – 13 poin. Ini berarti bangsa kita beresiko kehilangan IQ sekitar 22 juta poin.
Secara kualitas maupun kuantitas PAUD masih belum bisa berjalan sesuai dengan harapan. PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal seperti Taman Kanak-Kanan dan sejenisnya hanya bisa diakses oleh golongan menengah ke atas. Masyarakat menengah ke bawah lebih suka langsung menyekolahkan anaknya ke jenjang Sekolah Dasar untuk menghemat biaya. Bagi masyarakat lapisan ini masih bisa titip anak ke Taman Pendidikan Al Quran di Masjid sudah merasa “legaaa”.
Yang memprihatinkan saat ini muncul gejala komersialisasi pendidikan anak usia dini dengan menjamurnya TK “unggulan dan terpadu”. Bagi masyarakat “pas-pasan” jangan harap bisa menyekolahkan anaknya di TK “unggulan dan terpadu” ini. Di kota kecil saja sudah berkisar 2 jutaan, di kota sedang seperti Solo berkisar 5 jutaan, dan di kota besar seperti Jakarta konon mencapai angka 10 jutaan atau mungkin bisa lebih.
Selain gejala komersialisasi, pendidikan anak usia dini juga diwarnai oleh pembebanan yang “overdosis” terhadap anak. Anak usia dini memperoleh perlakuan yang sama dengan anak usia sekolah dasar. Pembelajaran terlalu fokus pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Orang tua dan guru akan senang sekali jika balita maupun batitanya sudah lancar membaca dan menulis. Sebaliknya akan merasa gundah jika balita dan batitanya belum lancar membaca dan menulis.
Salah kaprah ini terus berlanjut ketika sang anak harus mengikuti tes/ujian masuk SD (Sekolah Dasar). Cukup banyak SD favorit yang menyaring calon siswa dengan menguji kemampuan baca-tulisnya. Seolah hendak mengatakan bahwa syarat masuk SD tersebut adalah sudah lancar baca-tulis. Sehingga guru SD Klas 1 nanti tak perlu repot-repot mengajari peserta didik baca dan tulis. Padahal orang tua menyekolahkan anak ke SD adalah supaya anaknya diajari baca dan tulis.
Dunia anak adalah dunia bermain. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) harus bertitik tolak dari kaidah ini. Pembelajaran anak usia dini harus dibedakan dengan pembelajaran anak usia sekolah dasar. Nuansa bermain tak boleh hilang dari model pembelajaran anak usia dini.
Pembebanan yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Fauzil Adhim (2006) menyebutnya dengan “semangati jangan bebani”.
PAUD Berbasis Perpustakaan
Perpustakaan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan akses anak usia dini terhadap PAUD. Perpustakaan umum kabupaten/kota dapat membuka layanan khusus anak. Layanan anak ini diberi ruang tersendiri yang terpisah dengan layanan remaja dan dewasa. Layanan anak ini sangat relevan jika dikaitkan dengan visi dan misi perpustakaan yaitu meningkatkan minat baca masyarakat. Membuka layanan anak berarti merupakan upaya untuk menumbuhkan minat baca sejak usia dini.
Ruang layanan anak dapat disulap menjadi dunia yang layak bagi anak-anak. Dunia, di mana semua anak memiliki peluang cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual mereka dalam lingkungan yang aman dan supportif. Dunia yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, spiritual, sosial, emosional, kognitif dan budaya anak-anak sebagai prioritas nasional dan global.
Alat permainan edukatif dapat menjadi pilihan cerdas perpustakaan untuk membuat anak-anak betah bermain di ruang layanan anak. Penggunaan alat permainan edukatif ini memiliki manfaat, pertama, untuk membantu perkembangan emosi sosial anak. Balok bangunan, aneka macam mozaik, puzel lantai, dan papan permainan menurut para ahli sangat bermanfaat bagi anak untuk belajar menguasai emosi sosialnya.
Kedua, untuk mengembangkan kemampuan motorik halus seorang anak. Dalam hal ini dapat digunakan lilin, bikar, papan tulis, kertas, alat tulis, alat pasang memasang, kerikil, dan gunting. Penggunaan alat permaianan ini sangat penting untuk meningkatkan koordinasi antara mata dan tangan. Ini bertujuan agar anak dapat membuat garis lurus horizontal, garis lurus vertikal, garis miring kanan, garis miring kiri, garis lengkung, maupun lingkaran.
Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar seorang anak, yaitu kemampuan menggunakan otot besar. Arena mandi bola (melempar dan menagkap bola), titian bambu (meniti sambil melihat lurus ke depan), perosotan, ayunan, dan lompat tali merupakan kegiatan permainan yang dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh dengan tangkas dan tegas.
Keempat, untuk mengembangkan kemampuan berbahasa seperti mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menyimak. Untuk meningkatkan kecerdasan berbahasa ini dapat dipergunakan kumpulan gambar binatang, gambar tumbuhan, gambar pemandangan alam, gambar panca indera, gambar anatomi tubuh, gambar huruf, gambar angka, dan cerita bergambar.
Agar anak-anak semakin menikmati perpustakaan, maka di ruang layanan anak dapat di gelar layanan mendongeng. Mendongeng merupakan tradisi lisan tertua di dunia yang hingga kini belum tergantikan oleh tayangan televisi maupun VCD sekalipun. Ada nuansa khas tersendiri dalam mendongeng, yaitu terciptanya komunikasi dua arah antara pendongeng dan anak-anak. Inilah yang tidak dapat dilakukan oleh televisi maupun VCD.
Prosesi mendongeng tak perlu disampaikan sampai tamat, cukup sampai pertengahan. Hal ini bertujuan agar sang anak yang mencari dan belajar “membaca” sendiri buku tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi antara tradisi lisan dan tradisi baca.
Layanan anak usia dini oleh perpustakaan ini memiliki beberapa keunggulan, pertama, bersifat gratis. Bagi masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK dapat memanfaatkan layanan ini.
Kedua, bersifat terbuka. Ruang layanan anak dapat diakses oleh siapapun tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, suku, ras, dan golongan. Golongan menengah ke bawah yang selama ini terpinggirkan dapat memanfaatkan ruang layananan anak ini untuk memberi kesempatan kepada batita dan balitanya bermain sambil belajar. Berekreasi di perpustakaan.
Ketiga, menumbuhkan semangat membaca sejak dini. Dengan bermain di perpustakaan anak-anak sudah diperkenalkan sejak dini bahwa perpustakaan dengan segala aktivitas di dalamnya merupakan tempat yang menyenangkan. Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan anak tidak menganggap membaca, menulis, dan berhitung sebagai pekerjaanyang membosankan melainkan menyenangkan.

Menjadi Pustakawan, Mengapa Takut ?

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Jateng, 3 Oktober 2006

Sejak 5 September sampai 2 Desember 2006, Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah Jateng menyelenggarakan Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli. Diklat ini diperuntukkan bagi PNS dengan kualifikasi pendidikan S-1 non-Perpustakaan yang berminat menjadi pustakawan.
Menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132/Kep/M Pan/2002, pustakawan adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak setas penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi, dan informasi instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya.
Tugas pokok pejabat pustakawan meliputi pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka, pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi, serta pengkajian pengembangan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi.
Sampai saat ini, jabatan fungsional pustakawan di lingkungan pemerintah daerah (kabupaten/kota) memang masih langka. Bahkan beberapa perpustakaan umum daerah nihil dari jabatan ini. Bukan karena tak diperlukan, melainkan lebih disebabkan rendahnya minat PNS menjadi pustakawan.
Fenomena ini terjadi karena, pertama, sebagian besar PNS lebih mendambakan jabatan struktural daripada jabatan fungsional pustakawan. Selain tunjangan jabatan struktural lebih besar, faktor "gengsi" juga turut berperan. Lagi pula, pejabat struktural lebih berpeluang untuk mendapat tambahan fasilitas dan "penghasilan". Kedua, tunjangan jabatan fungsional pustakawan yang tak berbeda jauh dengan tunjangan staf umum. Saat ini tunjangan jabatan fungsional pustakawan tingkat ahli dengan golongan ruang III/a - III/b sebesar Rp 202.000. Hal ini tak berbeda jauh dengan tunjangan staf umum sebesar Rp 185.000 untuk golongan ruang yang sama. Padahal, beban pekerjaan seorang pustakawan jelas lebih tinggi daripada staf umum.
Seorang PNS yang hanya menjadi staf meskipun "ongkang-ongkang" saja sudah mendapat Rp 185.000. Hal inilah yang sering dirasakan kurang adil oleh teman-teman pustakawan.
Ketiga, problematika angka kredit. Angka kredit untuk kegiatan rutin pustakawan tergolong rendah. Melakukan klasifikasi sederhana setiap judul hanya dihargai 0,003 angka kredit. Sementara itu, untuk klasifikasi kompleks setiap judul hanya dihargai 0,007 angka kredit. Hal ini berarti jika seorang pustakawan melakukan klasifikasi 1.000 (seribu) judul buku, hanya akan memperoleh tiga sampai tujuh angka kredit.
Kondisi ini diperparah dengan belum idealnya jumlah pengadaan bahan pustaka di perpustakaan umum daerah. Akibatnya, pustakawan akan kesulitan mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya.
Keempat, panjangnya birokrasi pengurusan penetapan angka kredit(PAK). Pustakawan di perpustakaan daerah untuk mengurus PAK harus pergi ke Perpustakaan Daerah Provinsi Jateng. Ini karena pemerintah daerah belum memiliki Tim Penilai Angka Kredit sendiri. Untuk membentuk tim penilai angka kredit setidaknya harus ada 15 orang pustakawan di sebuah daerah.

Agar pustakawan menjadi jabatan fungsional yang menarik, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan. Hal ini dilakukan dengan menaikkan tunjangan funsional pustakawan minimal Rp 500.000 perbulan, dan kenaikan tunjangan sebesar Rp 100.000 setiap kenaikan pangkat. Tunjangan fungsional sebesar ini sangat layak jika dikaitkan dengan tiga fungsi ideal yang harus diemban oleh seorang pustakawan, yaitu sebagai agen informasi, ilmuwan, dan pendidik.
Juga ilmuwan
Sebagai ilmuwan, pustakawan harus mampu memberdayakan informasi bukan sekadar melayankan informasi. Andy Alayyubi (2001) mengungkapkan bahwa pustakawan yang ideal selain profesional ia juga seorang ilmuwan.
Selama ini, khususnya di lembaga-lembaga riset, pekerjaan pustakawan hanya menyediakan informasi bagi para ilmuwan. Para pustakawan sudah merasa puas bila para ilmuwan sudah mendapatkan informasi yang dicarinya.
Fenomena ini harus diubah. Kalau kita pikirkan lagi, kita seharusnya mempertanyakan, mengapa pustakawan selalu menjadi "pembantu" ilmuwan kalau semua keperluan "majikan" kita miliki. Yah, pustakawan mempunyai keperluan ilmuwan dalam bentuk informasi. Keilmuwanan pustakawan akan terbukti jika ia mampu melahirkan karya tulis. Kegiatanmenulis ini merupakan lahanbasah dalam memperoleh angkakredit. Kelemahan pustakawan saat ini, mereka hanya terfokus pada kegiatan rutin yang celakanya memiliki angka kredit kecil.
Pustakawan juga sebagai seorang pendidik. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain (termasuk pustakawan) yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Ketiga fungsi pustakawan di atas memerlukan dukungan pemerintah daerah dengan cara meningkatkan jumlah pengadaan bahan pustaka baru di perpustakaan umum daerah. Tanpa langkah seperti ini, pustakawan akan kesulitan mengumpulkan angka kredit.
Sementara itu, kebijakan Perpustakaan Nasional yang memberlakukan nilai angka kredit yang sama untuk pustakawan yang bekerja pada perpustakaan yang berbeda jenisnya perlu ditinjau ulang.

24 Oktober 2008

Memimpikan BOS Untuk Perpustakaan

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di Kompas Jateng, 27 Desember 2005

Sosialisasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ala Dik Doank di berbagai stasiun televisi sedikit menggelitik perhatian penulis yang bekerja di dunia perpustakaan. Dalam Iklan layanan masyarakat tersebut dijelaskan alokasi penggunaan dana BOS, pertama, buku perpustakaan. Kedua, uang ujian. Ketiga, alat tulis sekolah. Penulis sangat tertarik dengan alokasi pertama, yaitu buku perpustakaan.
Penyebutan buku perpustakaan dalam alokasi penggunaan dana BOS cukup melegakan, mengingat selama ini jarang sekali institusi pendidikan nasional menyebut-nyebut istilah perpustakaan. Seolah-olah perpustakaan bukan merupakan bagian dari pendidikan. Hal ini tampak dalam sosialisasi pendidikan sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua, yang posternya tidak menggambarkan sedikitpun peran perpustakaan. Poster yang beredar luas di masyarakat tersebut berbunyi “ Mari Belajar Sepanjang Hayat”. Alangkah baiknya jika berbunyi “ Mari Belajar Sepanjang Hayat di Perpustakaan”.
Tidak adanya kepedulian dunia pendidikan nasional pada perpustakaan membawa imbas pada institusi di bawahnnya. Nasib perpustakaan sekolah, misalnya, tetap saja memprihatinkan. Selama ini perpustakaan sekolah mengalami marginalisasi dan diskriminasi oleh manajemen sekolah khususnya dan birokrasi pendidikan pada umumnya. Manajemen sekolah lebih tertarik kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat proyekisme, seperti pembangunan ruang kelas, kantor guru, maupun aula. Sehingga lahirlah setiap tahun yang namanya uang gedung bagi siswa baru. Sementara itu, birokrasi pendidikan di daerah lebih suka menggeluti pengadaan buku paket yang secara teknis mudah dilaksanakan, lagi pula “sangat menguntungkan”.
Harapan Baru
Keberadaan BOS memberikan setetes harapan bagi perpustakaan sekolah untuk mengembangkan diri. Keterbatasan dana yang selama ini melanda sebagian besar perpustakaan sekolah seharusnya dapat di atasi dengan adanya BOS ini. Dalam konteks pengembangan perpustakaan sekolah, BOS dialokasikan untuk, pertama, pengadaan bahan pustaka. Koleksi bahan pustaka di perpustakaan sekolah saat ini cenderung didominasi oleh buku paket dari pemerintah.
Telah terjadi salah kaprah yang cukup parah tentang perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah diidentikkan sebagai gudang buku paket belaka. Padahal urusan buku paket semestinya bukan menjadi urusan perpustakaan sekolah melainkan guru masing-masing bidang studi/kelas. Mengapa ? Karena sejatinya perpustakaan sekolah bertugas menyediakan buku – buku penunjang pelajaran yang lebih mengutamakan keragaman judul. Bukan seperti buku paket yang kaya eksemplar tetapi miskin judul. Untuk itulah perpustakaan sekolah mesti diberi energi dana agar dapat membeli buku-buku yang bermutu sebagai penajam dari buku pelajaran yang ada.
Kedua, peningkatan sumber daya manusia. Keluhan klasik perpustakaan sekolah adalah minimnya kualitas dan kuantitas petugas pengelola perpustakaan sekolah. Kepala sekolah biasanya memberikan tugas sampingan mengelola perpustakaan kepada guru bahasa Indonesia karena tidak memiliki tenaga khusus perpustakaan. Atau menjadikan perpustakaan sekolah sebagai piala bergilir, artinya pengelolaannya digilirkan pada semua guru yang ada.
Akibatnya tidak ada kesinambungan dalam membangun perpustakaan sekolah. Yang ada adalah spontanisme, temporerisme, dan daruratisme. Ketika sang guru. yang diperbantukan di perpustakaan sekolah memiliki komitmen yang tinggi terhadap perpustakaan, perpustakaan akan maju. Sebaliknya, jika sang guru apatis terhadap perpustakaan, maka perpustakaan sekolah akan kembali berjalan mundur.
Untuk mengatasi masalah ini, BOS dapat dipergunakan untuk menggaji tenaga full time untuk mengelola perpustakaan sekolah. Saat ini cukup banyak alumnus D-3 dan S-1 Ilmu Perpustakaan yang belum terserap oleh dunia kerja. Jika konsep ini berjalan, maka akan mengurangi angka pengangguran di kalangan alumnus Ilmu Perpustakaan sekaligus dapat meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah. Dengan demikian perpustakaan sekolah tidak lagi hanya menjadi urusan sampingan para guru yang sudah barang tentu sibuk mengajar.
Ketiga, pengadaan sarana dan prasarana perpustakaan sekolah yang layak. Jujur saja perpustakaan sekolah merupakan kawasan tertinggal dan menderita kekurangan gizi di lingkungan sekolah. Indikator ketertinggalan ini terlihat pada jumlah meja-kursi baca, jumlah rak buku, luas ruangan perpustakaan, dan ketiadaan komputer untuk mendukung kinerja perpustakaan. Seyogyanya BOS dapat dipergunakan untuk melengkapi sarana dan prasarana perpustakaan sekolah sehingga tampilan perpustakaan sekolah dapat lebih cantik dan menarik.
Realitas Lama
“Harapan baru realitas lama”, ungkapan ini cocok untuk melukiskan hubungan antara BOS dan perpustakaan sekolah. Keberadaan BOS yang diharapakan dapat menyuntikkan energi kehidupan bagi perpustakaan sekolah bertepuk sebelah tangan dengan kenyataan yang ada. Perpustakaan sekolah hanya mendapatkan sedikit cipratan dana BOS. Tak berbeda jauh dengan era sebelum BOS.
Ketika rekan kerja penulis sedang melaksanakan layanan perpustakaan keliling di salah satu Sekolah Dasar di Kabupaten Sragen didapat keterangan bahwa setiap bulan perpustakaan sekolah hanya mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 100.000, 00. Alokasi dana yang diteima ini masih kalah daripada alokasi yang diterima kegiatan Pramuka dan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang masing-masing menerima Rp 200.000, 00. Padahal perpustakaan sekolah jelas memiliki ruang lingkup tugas yang lebih luas daripada kedua bidang kegiatan tersebut.
Alokasi dana sekecil itu menunjukkan bahwa manajemen sekolah masih menganut paradigma lama yang memandang sebelah mata keberadaan perpustakaan sekolah. Dana sekecil itu hanya akan menghasilkan perpustakaan sekolah yang menderita gizi buruk, perpustakaan yang sakit.
Padahal petugas pengelola perpustakaan tersebut yang juga seorang guru itu dikenal sangat militan dalam mengelola perpustakaan. Cintanya pada perpustakaan membuatnya rela membiayai pengadaan kartu buku dan anggota untuk perpustakaan sekolah. Bahkan dengan serius ia mengatakan agar kelak jika ia meninggal dunia, uang sumbangan kematiannya dipergunakan untuk membeli meja study currel. Suatu ungkapan yang merupakan reaksi terhadap aksi manajemen sekolah yang tidak berpihak kepada perpustakaan sekolah.
Jadi, problem perpustakaan sekolah sesungguhnya bukan pada ketiadaan dana, dan bukan pula ketiadaan tenaga pengelola, melainkan pada “political will” manajemen sekolah. Dapat tambahan dana BOS pun tidak dipergunakan untuk memberdayakan perpustakaan sekolah. Seandainya ada “political will” dari manajemen sekolah, dana, sarana prasarana, bahan pustaka, dan tenaga pengelola bukanlah masalah yang serius. Kunci untuk menyelesaikan semua masalah ini ada pada political will manajemen sekolah. Siapa yang mau serius memberdayakan perpustakaan sekolah, tentu akan menemukan jalan lain ke sana.
Manajemen sekolah rupanya belum menyadari bahwa lingkungan sekolah sebagai daya ungkit mengubah budaya lisan ke arah budaya tulisan atau membaca (Tilaar, 1999). Daya ungkit ini mempunyai kekuatan yang sangat besar oleh sebab dia lahir dari suatu lingkungan yang akan merangsang secara terus menerus kebutuhan dan kebiasaan untuk membaca. Apabila kebutuhan ini telah lahir kemudian dikembangkan melalui lingkungan-lingkungan yang kondusif untuk perkembangannya, maka budaya membaca akan menular ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat pada umumnya.

Quo Vadis Perpustakaan Umum Kota Semarang

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Artikel ini telah dimuat Kompas Jateng, 21 Desember 2005

Selama ini jika berbicara tentang perpustakaan di kota Semarang, maka secara otomatis akan menunjuk kepada Perpusda Jawa Tengah yang terletak di Jl Sriwijaya . Padahal, di Kota Semarang sebenarnya juga ada satu lagi jenis perpustakaan yang dimiliki pemerintah, yaitu Perpustakaan Umum Kota Semarang yang berada di gedung bekas Bank BDNI dekat Tugu Muda. Perpustakaan inilah yang sejatinya bertugas untuk melayani masyarakat Semarang karena dibiayai dari APBD Pemkot Semarang.
Keberadaan Perpustakaan Umum Kota Semarang memang berada di bawah bayang-bayang Perpusda Jateng yang sama-sama melayani peminjaman buku untuk masyarakat Semarang. Ibarat toko kelontong dan supermarket, tentu Perpusda Jateng lebih banyak menarik minat baca masyarakat Semarang daripada Perpustakaan Umum Kota Semarang. Hal ini terbukti dengan minimnya jumlah pengunjung Perpustakaan Umum Kota Semarang.
Dalam hal ini telah terjadi duplikasi peran. Peran Perpusda Jateng seharusnya adalah melayani dan meningkatkan minat baca masyarakat Jawa Tengah melalui seluruh perpustakaan umum kota/kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Sementara itu, peran Perpustakaan Umum Kota Semarang adalah melayani dan meningkatkan minat baca masyarakat Semarang.
Perpusda Jateng semestinya berkonsentrasi untuk membina dan mengembangkan seluruh perpustakaan umum di Jawa Tengah agar tumbuh dan berkembang seperti halnya Perpustakaan Umum Kabupaten Wonosobo yang tiap hari dikunjungi tak kurang seribu orang - setara dengan jumlah pengunjung Perpusda Jateng. Pembuatan jaringan informasi perpustakaan yang menghubungkan seluruh perpustakaan umum kabupaten/kota juga merupakan tugas Perpusda Jateng yang layak diprioritaskan.
Sementara itu untuk layanan peminjaman buku serahkan saja seluruhnya kepada Perpustakaan Umum Kota Semarang. Perpusda Jateng cukup mengembangkan layanan referensi dan deposit yang sangat berguna untuk dunia penelitian dan penulisan ilmiah di tanah air. Peran ini sama dengan peran yang diambil oleh Perpustakaan Nasional RI yang hanya bersifat layanan referensi (baca di tempat).
Keberadaan Perpusda Jateng yang juga melayani peminjaman buku seperti saat ini telah meninabobokkan Pemkot Semarang. Lokasi perpustakaan umum yang bolak-balik pindah dari bekas Bank BDNI ke Balai Kota merupakan indikator lemahnya perhatian yang diberikan. Oleh karena itu jika Perpusda Jateng tidak lagi melayani peminjaman buku, maka Pemkot Semarang harus konsekuen dengan membangun dan memberdayakan Perpustakaan Umum Kota Semarang sehingga sejajar dengan Perpustakaan Umum Kabupaten Wonosobo.

Perpusda Jateng, Alternatif Ruang Bermain Anak-anak

Oleh Romi Febriyanto Saputro
Artikel ini telah dimuat di Kompas Jateng, 31 Mei 2005

Ruang bermain untuk anak-anak di Kota Semarang memang masih sangat minim sebagaimana dikeluhkan Eddy Prianto dalam artikel Kota Kita 3 Mei 2005. Penulis sepakat dengan Eddy Prianto bahwa selama ini kita memang alpa memberikan zona bermain untuk anak-anak kita. Padahal dunia anak adalah dunia bermain, suatu pengalaman indah yang tidak mungkin terulang ketika anak-anak memasuki alam dewasa.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Perpustakaan Daerah Jawa Tengah yang terletak berdekatan dengan Taman Budaya Raden Saleh dapat dijadikan alternatif ruang bermain untuk anak. Hal ini mengingat salah satu fungsi penting perpustakaan adalah fungsi rekreasi.
Fungsi rekreasi ini perlu dikembangkan oleh perpustakaan untuk menampilkan wajah perpustakaan yang indah, sejuk, dan bersahabat dengan anak, dalam upaya menumbuhkan minat baca anak-anak sejak dini.
Perpustakaan perlu didesain sebagai tempat yang menyenangkan bagi anak-anak dengan memberikan suatu ruang khusus untuk anak-anak.
Saat ini Perpustakaan Daerah Jawa Tengah telah memiliki ruang layanan khusus anak-anak. Keberadaan ruang layanan anak ini tentu saja kurang memenuhi syarat sebagai arena bermain anak yang ideal. Karena itu, perlu dikembangkan dengan membangun arena bermain yang berada di luar gedung perpustakaan.
Merger halaman Perpustakaan daerah Jawa Tengah ditambah dengan areal Taman Budaya Raden Saleh dapat disulap menjadi arena bermain anak yang ideal. Aneka jenis sarana permaianan, baik yang dianggap tradisional maupun modern, dapat digelar di tempat ini.
Dalam hal ini, penulis tidak terlalu mempermasalahkan jenis permainan karena yang lebih penting bukan soal tradisional atau modern, melainkan bagaimana permainan tersebut dapat membawa manfaat positif bagi perkembangan psikologis anak. Sinergi Perpustakaan Daerah Jawa Tengah dengan pengelola Taman Budaya Raden Saleh sangat dibutuhkan untuk terlaksananya ide di atas.
Disamping itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang diharapkan mampu berperan aktif memfasilitasi terwujudnya arena bermain anak yang bersinergi dengan perpustakaan.
Perpustakaan yang dikelilingi ruang bermain anak yang terbuka untuk umum dapat dijadikan model/percontohan pembangunan perpustakaan yang ideal. Dengan demikian, aspek pengembangan minat baca masyarakat dapat bersatu dengan aspek rekreasi bagi anak-anak.
Sementara anak-anak bermain di areal taman bermain, orang tua dapat menunggu sambil membaca koran, majalah, atau buku milik perpustakaan. Untuk makin memanjakan anak-anak, Perpustakaan Daerah Jawa Tengah dapat membuka layanan mendongeng bagi anak-anak di areal terbuka.
Bagaimanapun, seni mendongeng tetap memiliki sisi yang menarik yang tidak dimiliki oleh tayangan layar kaca maupun VCD. Taman bermain ini dapat berfungsi sebagai arena belajar dan diskusi yang sejuk bagi setiap warga Kota Semarang.
Keberadaan Taman Budaya Raden Saleh juga akan semakin terjaga kelestariannya dengan taman bermain ini. Pengelola Taman Budaya Raden Saleh dapat menggelar pertunjukan budaya khusus untuk anak-anak agar tidak luntur cintanya kepada budaya bangsa sendiri oleh terpaan angin globalisasi modern. Jadi, ruang bermain ini dapat mengakomodasi beberapa fungsi sekaligus : taman bacaan, taman budaya dan taman bermain. Perpustakaan yang dikemas satu paket dengan taman bermain akan menimbulkan kesan mendalam di hati anak-anak.
Menurut Unicef (2002), dunia yang layak bagi anak-anak adalah dunia di mana semua anak mendapatkan awal kehidupan yang sebaik mungkin dan mempunyai akses kepada pendidikan dasar yang bermutu.
Kini kita nantikan respon pihak-pihak terkait untuk mewujudkan ide ini, dunia yang layak bagi anak-anak.

Refleksi 25 Tahun Perpustakaan Nasional RI : MENUJU TOTAL QUALITY SERVICES

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah ditetapkan sebagai Juara III Lomba Menulis Artikel Dalam Rangka Memperingati Seperempat Abad Perpustakaan Nasional RI, 17 Mei 2005.

A.Pendahuluan
Tanggal 17 Mei 2005 nanti merupakan hari yang bersejarah bagi dunia perpustakaan di tanah air. Karena 25 tahun yang lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan , Daoed Joesoef secara resmi mencanangkan berdirinya Perpustakaan Nasional RI. Pada awalnya berdirinya Perpustakaan Nasional RI masih berada dalam naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setingkat eselon II di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Ketika didirikan, Perpustakaan Nasional RI merupakan hasil merger dari empat perpustakaan besar di Jakarta, yaitu Perpustakaan Museum Nasioanl, Perpustakaan Sejarah, Politik, dan Sosial (SPS), Perpustakaan Wilayah DKI Jakarta, dan Bidang Bibliografi dan Deposit, Pusat Pembinaan Perpustakaan.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1989, tanggal 6 Maret 1989 menetapkan Perpustakaan Nasional RI, setelah digabung dengan Pusat Pembinaan Perpustakaan, menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan status kelembagaan yang baru ini, secara resmi pula Perpustakaan Nasional RI lepas dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penyempurnaan susunan organisasi, tugas, dan fungsi Perpustakaan Nasional RI dalam rangka menghadapi era globalisasi dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 1997, tanggal 29 Desember 1997.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan perpustakaan boleh dikatakan terlambat. Ibu Pertiwi yang dilahirkan secara merdeka tahun 1945, baru melahirkan perpustakaan nasional 35 tahun kemudian (1980). Ironisnya lagi, pemerintah membutuhkan waktu 9 tahun untuk mengakui perpustakaan nasional sebagai “anak kandung” yang sejajar dengan “anak-anak” yang lain dengan status mandiri (LPND, tahun 1989).
Bandingkan dengan Malaysia, yang merdeka pada tahun 1963, telah mampu melahirkan Perpustakaan Negera Malaysia pada tahun 1971. Jepang yang hancur lebur di bombardir bom atom sekutu tahun 1945, telah melahirkan Perpustakaan Nasional 3 tahun kemudian (1948).
B. Dampak Keterlambatan
Keterlambatan pemerintah untuk memberdayakan institusi pusat informasi dan minat baca ternyata berakibat fatal, berupa lahirnya suatu masyarakat yang jauh dari budaya membaca. Padahal, menurut H.A.R Tilaar (1999), membaca pada hakekatnya merupakan proses untuk memiliki ilmu pengetahuan. Proses memiliki ilmu pengetahuan merupakan suatu proses yang lebih dikenal dengan belajar. Belajar yang merupakan inti dari pendidikan sebagian besar didominasi oleh kegiatan membaca. Ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat itu tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui proses mendengar atau proses transisi dari sumber ilmu pengetahuan (guru) tetapi melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang hanya dapat diketahui melalui proses membaca.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses belajar adalah proses membaca. Proses membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia (give meaning to the world). Hal ini berarti bahwa pemberi arti itu sendiri terus berkembang. Perkembangan arti, yang dikenal sebagai wawasan dari arti tersebut, berkembang melalui bacaan baik bersumber dari buku maupun bacaan melalui media elektronika. Pemberian arti terhadap dunia melalui “document vision” yaitu dengan jalan membaca, atau dengan cara visual dari alat-alat media elektronika.
Ironisnya, masyarakat kita sudah terlanjur tenggelam dalam budaya irasional, klenik, pornografi, dan hedonisme. Mereka larut dalam budaya yang steril dari budaya ilmu, ilmiah, dan rasional. Tayangan televisi yang didominasi oleh tayangan klenik dan misteri menunjukkan bahwa masyarakat belum mampu membebaskan diri dari tradisi takhayul. Anehnya lagi, di negeri ini pornografi dan kekerasan telah menjadi acara penghibur masyarakat melalui layar kaca.
Bandingkan dengan tradisi masyarakat negara-negara yang sudah maju mereka lebih tertarik untuk menyelidiki dan mengekspos tayangan televisi yang lebih bertradisi ilmiah, semacam discovery channel dan harunyahya channel dengan mengungkap berbagai rahasia kehidupan binatang. Tradisi ilmiah tidak dapat dibangun dengan sekejap mata, melainkan bertitik tolak dari tradisi membaca. Tradisi membaca fungsional inilah yang sejak lama memperoleh perhatian dari pemerintahan negara-negara maju, sehingga mampu menghasilkan masyarakat yang bercorak ilmiah dan rasional.
Namun, dengan segala keterlambatan yang ada, Perpustakaan Nasional RI kini memiliki peluang yang relatif besar untuk bersaing dengan bidang pembangunan lainnya dalam memberikan layanan kepada publik. Usia 25 tahun merupakan usia yang masih muda, kalau diibaratkan sebagai manusia. Perpustakaan Nasional RI mestinya harus memiliki semangat kepemudaan ini yang dicirikan dengan heroisme, revolusioner, kreatif, dan inovatif dalam mengembangkan diri sebagai pelayan publik di bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi.
Alvin Toffler mengatakan siapa yang menguasai informasi berarti telah menguasai dunia. Perpustakaan nasional sebagai pusat informasi sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menuju jendela kemajuan peradaban. Masyarakat yang “melek” informasi tentu akan lebih mudah memberdayakan dirinya sendiri dan lingkungannya. Sebaliknya, masyarakat yang “buta” informasi akan sulit untuk memberdayakan dirinya sendiri, bahkan pada titik kritis ia akan “dipedayai” oleh orang/bangsa lain sang penguasa informasi. Fenomena TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri yang cenderung buta informasi membuktikan hal ini. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi karena minimnya akses terhadap informasi.
C. Ruang Lingkup Layanan
Menurut Renstra Perpustakaan Nasional RI 2002 – 2004, visi Perpustakaan Nasional RI adalah pemberdayaan potensi perpustakaan dalam meningkatkan kualitas kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan visi tersebut, ditempuh misi : pertama, membina, mengembangkan, dan mendayagunakan semua jenis perpustakaan; kedua, melestarikan bahan pustaka (karya cetak dan karya rekam) sebagai hasil budaya bangsa; ketiga, menyelenggarakan layanan perpustakaan.
Dari visi dan misi di atas, penulis sangat tertarik dengan misi yang ke –3, yaitu menyelenggarakan layanan perpustakaan. Layanan perpustakaan ini diselenggarakan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan bangsa. Jadi, Perpustakaan Nasional RI memiliki peranan yang cukup signifikan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa ini dengan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan yang dimilikinya.
Tolok ukur kesuksesan suatu organisasi dapat dilihat sejauh mana ia mampu melayani masyarakat dengan baik. Tanpa bermaksud mengecilkan fungsi lainnya, fungsi layanan inilah yang semestinya lebih dikedepankan oleh Perpustakaan Nasional RI daripada fungsi pembinaan, pengembangan, dan pelestarian. Mengingat keberadaan suatu perpustakaan hakekatnya adalah untuk melayani masyarakat.
Mengingat kedudukannya selaku perpustakaan yang berskala nasional, maka tolok ukur kebrhasilan pencapaian visi dan misi Perpustakaan Nasional RI ialah adanya kepuasan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia terhadap kinerja dan layanan yang ditunjukkan oleh Perpustakaan Nasional RI.
Jadi, Perpustakaan Nasional RI jangan hanya sebatas memberikan layanan kepada masyarakat se-Jabotabek saja, melainkan masyarakat se-Indonesia yang merasa perlu dilayani oleh jasa Perpustakaan Nasional RI. Keadaan dan luasnya geografis republik tercinta ini, tentu bukanlah suatu halangan bagi Perpustakaan Nasional RI untuk memberikan layanan yang terbaik kepada publik. Mengingat saat ini adalah era teknologi informasi yang mampu menembus sekat waktu dan tempat, bukan hanya dalam satu negara saja, bahkan antar negara.
Selain itu, terjalinnya komunikasi yang baik antara Perpustakaan Nasional RI dengan perpustakaan daerah provinsi, perpustakaan umum kabupaten/kota, perpustakaan kecamatan/desa, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan perguruan tinggi juga menunjukkan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Artinya, selaku institusi pembina seluruh perpustakaan di tanah air secara moral Perpustakaan Nasional RI turut bertanggung jawab terhadap kualitas layanan yang diberikan oleh perpustakaan “dibawahnya”. Dengan kata lain peningkatan kualitas perpustakaan di tanah air merupakan tanggung jawab Perpustakaan Nasional RI sebagai bentuk layanan tidak langsung kepada masyarakat. Sebagaimana juga Departemen Pendidikan Nasional merupakan penanggung jawab utama keberhasilan pendidikan di tanah air, yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan di daerah.
Otonomi daerah yang mulai digulirkan sejak tahun 1999, sering menjadi kambing hitam tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara Perpustakaan Nasional RI dengan perpustakaan di daerah. Dalam setiap tantangan. Pada hakekatnya selalu tersimpan peluang.
Begitu juga dengan otonomi daerah, bukanlah penghalang bagi Perpustakaan Nasional RI untuk bergerilya ke daerah “untuk menyadarkan” Bupati, DPRD, Dinas Pendidikan, dan perangkat daerah lainnya agar memberikan ruang dan tempat yang terhormat kepada perpustakaan. Perpustakaan Nasional RI jangan hanya mengadakan kegiatan seminar di pusat saja, melainkan perlu turun gunung membangunkan elit pemerintah kabupaten/kota yang masih “tidur minatnya” untuk mengembangkan perpustakaan di daerahnya.
D. Aplikasi Total Quality Services (TQS)
Fandy Tjiptono (1997), dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Total Quality Service” mengungkapkan, ada tiga kunci memberikan layanan pelanggan yang unggul. Konsep ini, jika diterapkan dalam konteks layanan perpustakaan terhadap pengguna perpustakaan menjadi, pertama, kemampuan memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat pengguna perpustakaan. Termasuk di dalamnya memahami tipe-tipe pengguna perpustakaan.
Setidaknya ada ima tipe pengguna perpustakaan, yaitu (1) prospek, yaitu orang-orang yang mengenal manfaat perpustakaan, tetapi belum pernah mengunjungi dan memanfaatkan jasa perpustakaan. (2) Pengunjung, yaitu prospek yang telah yakin untuk mengunjungi perpustakaan tersebut, minimal satu kali. Tetapi, pengunjung masih belum membuat keputusan untuk memanfaatkan ataupun meminjam koleksi bahan pustaka. (3) Pemakai, yaitu orang yang memanfaatkan ataupun meminjam koleksi bahan pustaka yang dimiliki oleh perpustakaan. (4). Klien, yaitu orang yang secara rutin mengakses, memanfaatkan, dan meminjam koleksi bahan pustaka di perpustakaan. (5). Penganjur, ialah pemakai yang sedemikian puasnya dengan layanan yang diberikan oleh perpustakaan, sehingga ia akan menceritakan kepada siapa saja tentang betapa memuaskannya layanan perpustakaan tersebut.
Kedua, pengembangan database yang lebih akurat daripada pesaing jasa informasi lainnya (mencakup data kebutuhan dan keinginan setiap segmen pemakai dan perubahan kondisi persaingan). Database koleksi bahan pustaka yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasioanal RI harus mampu bersaing dengan situs pencari lainnya. Terutama untuk artikel dan jurnal ilmiah hingga saat ini masih sulit diakses dari situs milik Perpustakaan Nasioanal RI. Selama ini penelusur internet lebih mudah mendapatkan artikel/jurnal ilmiah yang diperlukan melalui situs pencari lainnya semacam yahoo.com dan google.com. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari Perpustakaan Nasioanal RI , agar tidak menjadi “perpustakaan ketinggalan kereta”.
Ketiga, pemanfaatan informasi-informasi yang diperoleh dari riset pengguna perpustakaan dalam suatu kerangka strategik yang diwujudkan dalam pengembangan relationship marketing, yang bercirikan : (1) berfokus pada customer retention, (2) orientasi pada manfaat jasa perpustakaan, (3) layanan pemakai sangat diperhatikan dan ditekankan, (4) komitmen terhadap pengguna perpustakaan sangat tinggi, (5) kontak dengan pengguna perpustakaan sangat tinggi dan (6) kuaitas jasa perpustakaan memperoleh perhatian semua pihak. Untuk menopang riset pengguna perpustakaan ini, situs internet milik Perpustakaan Nasioanal RI perlu membuka fasilitas mailing list sebagai arena komunikasi dan diskusi antara pengguna perpustakaan dengan Perpustakaan Nasioanal RI maupun antar pengguna perpustakaan.
Dalam Total Quality Services, ada tiga level harapan pengguna perpustakaan mengenai kualitas. Level pertama, harapan pengguna perpustakaan yang paling sederhana dan berbentuk asumsi. Misalnya, (a) Saya berharap dapat menemukan artikel jurnal ilmiah di situs milik Perpustakaan Nasioanal RI untuk referensi penulisan skripsi saya. (b) Saya berharap dapat mengakses situs pnri.go.id dengan mudah.
Level kedua, harapan yang lebih tinggi daripada level satu, yang dicerminkan dalam pemenuhan persyaratan/spesisifikasi. Seperti (a) Afifah berharap dilayani dengan ramah oleh petugas Perpustakaan Nasioanal RI. (b) Ketika berkunjung ke Perpustakaan Nasioanal RI, Lastri dilayani oleh pustakawan yang sangat ramah, informative, dan berwawasan luas.
Level ketiga, harapan yang lebih tinggi daripada level satu dan dua, yaitu yang menuntut suatu kesenangan atas jasa yang sangat bagus sehingga membuat seseorang tertarik. Misalnya : (a) Sembilan puluh persen informasi yang saya perlukan untuk menulis thesis ini, kudapatkan dari Perpustakaan Nasioanal RI. (b) Habib sangat berharap koleksi bahan pustaka Perpustakaan Nasioanal RI dapat berdiri sejajar dengan Perpustakaan Nasioanal negara-negara maju. (c) Ilham sangat mengharapkan agar setiap email yang ia kirim ke Perpustakaan Nasioanal RI segera mendapat jawaban yang memadai.
Harapan masyarakat pengguna perpustakaan ini perlu diperhatikan dengan baik oleh pihak manajemen perpustakaan. Jangan sampai perpustakaan mengecewakan masyarakat pengguna perpustakaan. Adanya kekecewaan masyarakat biasanya bersumber pada beberapa hal, yaitu masyarakat keliru mengkomunikasikan jasa yang diinginkan, masyarakat keliru menafsirkan signal-signal perpustakaan, miskomunikasi rekomendasi dari mulut ke mulut, kinerja petugas perpustakaan yang buruk, dan miskomunikasi yang dipropagandakan oleh penyedia jasa informasi lainnya.
E. Strategi TQS Dalam Memelihara Kualitas Layanan
Strategi untuk memelihara kuaitas jasa/layanan perpustakaan mencakup, pertama, atribut layanan pengguna perpustakaan. Layanan perpustakaan harus tepat waktu, akurat, penuh perhatian dan keramahan, mengingat layanan tidak berwujud fisik (intangible) dan merupakan fungsi dari persepsi. Selain itu, layanan juga bersifat tidak tahan lama (perishable), sangat variatif (variable), dan tidak terpisahkan antara koleksi bahan pustaka dan pengguna perpustakaan.
Atribut-atribut layanan ini dapat dirangkum dalam akronim COMFORT, yaitu Caring (peduli), Observant (suka memperhatikan), Mindful (hati-hati/cermat), Friendly (ramah), Obliging (bersedia membantu), Responsible (tanggung jawab), dan Tacful (bijaksana). Aplikasi atribut-atribut ini sangat tergantung pada keterampilan hubungan antar pribadi, komunikasi, pemberdayaan, pengetahuan, sensitivitas, pemahaman, dan berbagai macam perilaku external.
Kedua, sistem umpan balik untuk meningkatkan kualitas layanan terhadap pengguna perpustakaan. Umpan balik sangat diperlukan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan yang berkesinambungan. Untuk itu, perpustakaan perlu mengembangkan system yang responsive terhadap kebutuhan, keinginan, dan harapan pengguna perpustakaan. Informasi umpan balik harus difokuskan pada hal-hal berikut : (a) memahami persepsi pengguna perpustakaan terhadap perpustakaan, (b) mengukur dan memperbaiki kinerja perpustakaan, (c) mengubah bidang-bidang terkuat perpustakaan menjadi factor pembeda dengan penyedia jasa informasi lainnya, (d) mengubah kelemahan menjadi peluang untuk berkembang, sebelum pesaing lain melakukannya dan (e) menunjukkan komitmen perpustakaan pada kualitas dan para pengguna perpustakaan.
Salah satu umpan balik yang perlu diperhatikan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah penanganan keluhan pengguna perpustakaan. Dalam menghadapi pengguna yang tidak puas dengan layanan yang diberikan, perpustakaan perlu menumbuhkan empati untuk mendinginkan suasana. Perpustakaan perlu mendengarkan keluhan pengguna tentang kekecewaannya yang tidak menemukan informasi yang dicarinya. Perpustakaan tidak perlu sibuk membela diri dalam menghadapi keluhan dari pengguna, melainkan berusaha mencari solusi yang terbaik bagi pengguna perpustakaan.
Keluhan dari pengguna harus segera ditanggapi oleh pihak perpustakaan, jika tidak, perpustakaan akan ditinggalkan oleh penggunanya. Citra perpustakaan yang sudah semakin baik di mata publik, janganlah dicemari dengan keterlambatan penanganan keluhan. Dengan penanganan keluhan yang cepat tepat diharapkan dapat mengeliminasi sebagian besar ruang kekecewaan publik terhadap perpustakaan. Perpustakaan jangan sampai terkontaminasi oleh patologi birokrasi yang terkenal dengan layanan yang bertela-tele, lambat, tidak jelas, dan berkomitmen rendah terhadap publik.
Ketiga, strategi Relationship Marketing, yaitu strategi di mana transaksi informasi yang terjadi antara perpustakaan dan pengguna perpustakaan dapat terus berlanjut, tidak hanya berlangsung sekali saja. Dengan kata lain perpustakaan perlu memberdayakan pengguna perpustakaan sedemikian sehingga timbulah kesetiaan para pengguna perpustakaan terhadap perpustakaan. Perpustakaan dapat memfasilitasi pembentukan kelompok pembaca, klub buku, kelompok penggemar buku, maupun kelompok diskusi berdasarkan selera pembaca terhadap buku-buku tertentu.
Komunitas social semacam ini sudah lama dibentuk oleh penerbit buku untuk menjaga loyalitas pembeli buku terhadap pihak penerbit. Penerbit Gramedia, misalnya merupakan penerbit yang sudah cukup lama berkecimpung dalam pembentukan klub buku. Tahun 1995 Gramedia Book Club (GBC) didirikan dan sejak tahun 1999 tidak hanya GBC, penerbit ini menawarkan VIP Card yang banyak memberikan kemudahan bagi anggotanya. Tujuannya, tak lain adalah untuk memupuk ikatan dengan pelanggan setia Gramedia di manapun berada (Kompas, 19 Maret 2005).
Perpustakaan Nasional RI dapat meniru langkah penerbit ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan tertentu kepada komunitas penggemar buku yang difasilitasi pembentukannya oleh perpustakaan. Perpustakaan dapat mengirimkan informasi terbaru yang dimilikinya maupun kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh perpustakaan.
Kemudahan lain dapat berupa pemberian kartu anggota khusus yang dapat dipergunakan untuk mengakses perpustakaan di seluruh tanah air yang memiliki ikatan jaringan dengan Perpustakaan Nasional RI. Walaupun Perpustakaan Nasional RI tidak melayani peminjaman bahan pustaka, namun pendataan, registrasi, dan pemberdayaan keanggotaan perpustakaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahkan, merupakan suatu keharusan di era globalisasi informasi ini.
Untuk memanjakan anggota komunitas penggemar buku yang dinaunginya, situs internet Perpustakaan Nasional RI hendaknya membuka kegiatan mailing list sebagai sarana komunikasi bagi penggemar buku tersebut. Di dunia maya, mailing list yang mempersatukan para penggemar buku cukup banyak ditemukan seperti tintin_id@yahoogroups.comyang hingga saat ini beranggotakan 200 orang. Mailing list ini merupakan ajang komunikasi dan diskusi Komunitas Tintin Indonesia yang dipersatukan oleh kecintaannya terhadap komik petualangan tintin yang sangat terkenal pada tahun 1975. Penggemar Karl May pun juga memiliki mailing list tersendiri, bahkan memiliki situs tersendiri indokarlmay.com. Seandainya pihak perpustakaan “tanggap ing sasmita”, mailing list semacam ini mestinya muncul di situs pnri. Go.id
Loyalitas pengguna kepada perpustakaan juga dapat ditempuh dengan memberi wadah bagi penulis-penulis pemula dalam situs pnri. Go.id. Situs milik Perpustakaan Nasional RI ini dapat membuka layanan khusus tentang dunia tulis – menulis yang meliputi : teknik penulisan artikel, novel, puisi, maupun karya tulis lainnya. Pembukaan layanan khusus tentang kepenulisan ini sangat penting, mengingat budaya menulis merupakan tindak lanjut dari budaya membaca yang menjadi misi perpustakaan. Mengembangkan budaya baca tanpa diikuti dengan budaya tulis, ibarat “membangun rumah tanpa atap”, sangat rentan terhadap terpaan angin budaya lainnya.
Pengembangan budaya tulis ini juga sangat bermanfaat bagi para pustakawan di tanah air yang rata-rata memiliki kelemahan dalam dunia tulis menulis. Untuk meningkatkan tradisi menulis pustakawan, situs pnri.go.id setiap hari dapat memajang artikel karya pustakawan pada halaman beranda sebagai bentuk kepedulian perpustakaan kepada para pustakawan. Dengan demikian, ajang ini dapat merangsang para pustakawan untuk beajar menuangkan idenya dalam bentuk tulisan. Tradisi menulis ini sangat penting bagi pustakawan karena memiliki angka kredit yang cukup tinggi. Kalau situs lain seperti penulislepas.com dapat melakukan hal ini, kenapa Perpustakaan Nasional RI tidak ?
F. Penutup
Tanpa mengurangi nilai penting fungsi lainnya, aspek layanan merupakan suatu fungsi yang harus dikedepankan oleh Perpustakaan Nasional RI. Mengingat keberadaan dan kehadiran perpustakaan adalah untuk melayani kepentingan masyarakat. Sedangkan aspek fungsi lainnya seperti pembinaan, pengembangan, dan pendayagunaan perpustakaan serta pelestarian bahan pustaka merupakan suatu katalisator untuk mewujudkan layanan prima perpustakaan. Layanan prima perpustakaan merupakan kunci pembuka menuju masyarakat Indonesia yang berbudaya membaca (reading society) dan berbudaya belajar (learning society).
Bibliografi
Kompas, 19 Maret 2005. “Memberdayakan Anggota Melalui Klub Buku”
Sutrano NS. 2003. Perpustakaan dan Masyarakat, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera.
Tjiptono, Fandy. 1997. Prinsip-Prinsip Total Quality Service (TQS), Yogyakarta : Andi.
Toffler, Alvin. The Third Wave, London, Collins, 1980.
www.pnri.go.id

Perpustakaan Dan Meaningful Learning

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di Harian Banjarmasin Post, 2 Februari 2005

Meningkatkan minat baca masyarakat merupakan misi utama dari perpustakaan sesuai amanah pendiri bangsa ini dalam pembukaan UUD 1945, yakni ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu ciri bangsa yang cerdas adalah memiliki minat baca yang cukup tinggi. Bahkan dalam Alquran perintah untuk membaca merupakan ayat yang pertama kali turun. Hal ini berarti, tinggi rendahnya minat baca suatu bangsa akan menentukan tinggi rendahnya peradaban bangsa itu di hadapan bangsa lain di dunia.
HAR Tilaar (1999) mengungkapkan, membaca pada hakikatnya merupakan proses untuk memiliki ilmu pengetahuan. Proses memiliki ilmu pengetahuan merupakan suatu proses yang lebih dikenal dengan belajar. Belajar yang merupakan inti dari pendidikan sebagian besar didominasi kegiatan membaca. Ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat itu, tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui proses mendengar atau transisi dari sumber ilmu pengetahuan (guru) tetapi melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang hanya dapat diketahui melalui membaca.
Salah satu metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan minat baca masyarakat adalah metode pembelajaran konstruktivisme. Menurut E Mulyasa (2002), fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam penelitian dan praktik pendidikan. Daya tarik dari model konstruktivisme ini adalah pada kesederhanaannya.

Strategi pokok dari model belajar mengajar konstruktivisme adalah meaningful learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekadar mendengar, menerima, dan mengingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal, tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Strategi ini menghendaki baik siswa maupun guru memiliki kedudukan sebagai subjek belajar. Sebagai subjek belajar, keduanya dituntut aktif untuk mencari data, informasi dan interpretasi dari materi pelajaran. Siswa dituntut bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran, bukan sekadar meniru, copy paste dan menghafal yang diberikan guru. Dengan strategi ini siswa dan guru didorong memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Hasil yang diperoleh dengan strategi meaningful learning ini, akan jauh lebih baik dari pembelajaran tradisional yang oleh Paulo Freire disebut cara belajar sistem bank. Cara ini tidak akan mendorong siswa untuk gemar membaca. Selanjutnya filsuf Paulo Freire menganjurkan, proses belajar mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan cara memotivasi siswa belajar mencari data, menganalisisnya dalam arti sebenarnya.
Cara belajar sistem bank hanya akan menghasilkan pemahaman materi pelajaran yang bersifat instan dan tidak menyeluruh. Ada kalanya beberapa unsur materi pelajaran yang susah dipahami siswa, tetapi siswa terpaksa menerima begitu saja dengan menghafal. Model penerimaan materi pelajaran demikian, hanya akan menghasilkan pemahaman yang mudah terlupakan. Akibatnya proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana statis, monoton dan membosankan.
Dukungan Perpustakaan
Strategi meaningful learning sangat memerlukan dukungan perpustakaan sebagai sumber belajar. Perpustakaan diharapkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan siswa guna memperoleh hasil belajar yang optimal. Meminjam istilah dari teori dua faktor Frederick Herzberg, peran perpustakaan adalah sebagai faktor higinis. Berfungsi mencegah terjadinya ketidakpuasan siswa dalam mencari informasi dan data yang diperlukan. Faktor higinis memang tidak berkaitan langsung dengan prestasi siswa, tetapi tanpa tersedianya perpustakaan sekolah yang memadai dapat mengganggu kelancaran proses belajar mengajar.
Perpustakaan dapat dimanfaatkan siswa dan guru sebagai tempat pembelajaran di luar kelas. Kebutuhan siswa untuk melakukan active playing (belajar aktif), interpretation (interpretasi), make sense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama) dan inquiry (menyelediki) dapat dilakukan di perpustakaan sekolah. Di perpustakaan siswa juga dapat melaksanakan konsep belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar seumur hidup (life long learning).
Selama ini disadari atau tidak, peran perpustakaan seolah terpinggirkan dalam ranah pendidikan nasional. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak satu pasal pun yang melafalkan kata perpustakaan. Hal ini tentu saja merupakan fenomena yang cukup memprihatinkan. Padahal menurut Unesco, pendidikan untuk semua (education for all) dapat lebih berhasil jika dilengkapi perpustakaan.
Hubungan antara perpustakaan dan pendidikan dilukiskan dengan baik oleh Soetarno NS (2003). Menurut Soetarno, oleh karena pendidikan merupakan proses alih dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan sekolah dan perpustakaan sebagai medianya, maka perkembangan bidang pendidikan berkaitan erat dengan keberadaan perpustakaan. Sesuai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, pendidikan juga berkembang sehingga antara pendidikan dan perpustakaan bagaikan dua sisi mata uang yang sama nilainya dan tak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan mengisi.
Pendidikan Menulis
Untuk lebih menunjang keberhasilan siswa dalam meaningful learning, pendidikan menulis sebagai mata pelajaran tersendiri perlu dilakukan. Di Inggris dikenal istilah writing yang berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri. Dengan menulis sebagai mata pelajaran tersendiri, sejak kecil siswa dilatih untuk mencintai menulis. Hal ini didukung data penelitian yang dilakukan Tizard dan kawan-kawan (Suyanto, 2003), yaitu dari 108 siswa kelas 2 SD di Inggris yang memiliki kemampuan menulis di buku 24 %, menulis deskriptif 23 %, menulis cerita 19 %, menulis berita 11 %, menulis indah 10 %, menulis pada kartu ucapan 7 %, labelisasi pada gambar 3 % dan menulis puisi/drama 2 %.
Pelajaran menulis akan memotivasi siswa untuk gemar membaca. Hanya dengan rajin membaca, siswa akan memperoleh bahan informasi dan data untuk mendukung tulisannya. Pelajaran menulis layak dipertimbangkan untuk mendongkrak stagnasi minat baca masyarakat kita, termasuk di dalamnya siswa dan mahasiswa. Dengan asumsi teori X dari Douglas Mc Gregor, siswa yang sebagian besar kurang gemar membaca perlu ‘dipaksa’ membaca di perpustakaan dengan adanya pelajaran menulis ini.

Bebaskan Pendidikan dari Belenggu Buku Paket

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 11 Oktober 2004

Komite Sanksi Bank Dunia telah mengeluarkan daftar hitam berisi nama 10 individu dan 26 perusahaan yang dianggap telah melakukan praktik curang dan korupsi dalam pelaksanaan Proyek Pengembangan Buku dan Bacaan (Book and Reading Development Project/BRDP) di Indonesia senilai 53.232.000 dollar AS, yang didanai Bank Dunia. Dengan dimasukkan dalam daftar hitam, perusahaan-perusahaan itu tidak berhak lagi menerima kontrak baru yang didanai oleh Bank Dunia selama periode yang ditetapkan, yakni 2-15 tahun. Selain itu, Bank Dunia juga meminta Pemerintah RI mengembalikan 10 juta dollar AS dari pinjaman proyek yang dinilai terindikasi kecurangan atau dikorupsi itu (Kompas, 30 September 2004).
Terlepas dari kebenaran berita di atas, proyek pengadaan buku paket memang rawan terhadap ancaman praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebab, pengadaan buku paket menyangkut dana yang sangat besar jumlahnya dengan tingkat kesulitan yang relatif rendah. Dalam hal ini, pihak penerbit hanya membuat beberapa judul buku, kemudian menggandakan ribuan kali sesuai pesanan. Virus KKN memang ibarat (maaf) bau kentut yang menyengat, tetapi tidak dapat dilihat wujudnya.
Buku adalah kunci utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi dalam dunia pendidikan kita ternyata identik dengan permasalahan. Selain itu, satu hal lagi yang cukup mengganggu wajah dunia pendidikan kita adalah penjualan buku pelajaran secara langsung oleh penerbit kepada pihak sekolah. Nuansa nepotisme antara penerbit dan pihak sekolah sangat kental karena seolah-olah pihak sekolah menggantikan peran toko buku untuk mendistribusikan buku pelajaran. Pihak penerbit biasanya akan memberikan komisi tertentu kepada pihak sekolah untuk setiap buku pelajaran yang terjual.
Praktik pengadaan buku paket/pelajaran dalam dunia pendidikan kita cenderung tidak sehat. Model pengadaan buku paket/pelajaran seperti yang terjadi saat ini hanya akan memasung otoritas guru. Guru dipaksa dan terpaksa menggunakan buku paket/pelajaran yang sudah ditetapkan oleh pemerintah walaupun terkadang tidak sesuai dengan kondisi dan latar belakang anak didiknya.
Begitu pula praktik penjualan buku pelajaran oleh penerbit langsung ke sekolah hanya akan membebani siswa dari kalangan keluarga tidak mampu. Model pengadaan buku seperti ini jelas mengabaikan hakikat pendidikan itu sendiri dan lebih kental nuansa bisnisnya. Mengeruk keuntungan dari lahan pendidikan.
Praktik pengadaan buku paket/pelajaran seperti ini harus segera diakhiri. Pemerintah dapat menggantikan proyek pengadaan buku paket dengan uang bantuan pembelian buku pelajaran untuk murid, terutama dari kalangan yang tidak mampu. Murid diberi kebebasan untuk membeli buku pelajaran di toko buku setelah memperoleh saran, masukan, dan arahan dari guru. Biar mereka sendiri yang membeli buku pelajaran yang sesuai dengan selera masing-masing. Buku yang sudah dibeli oleh murid pada akhir tahun ajaran dikembalikan kepada pihak sekolah untuk dipergunakan oleh adik kelasnya.
Penjualan buku pelajaran secara langsung ke pihak sekolah oleh penerbit harus pula dilarang. Dalam hal ini, penerbit telah merendahkan martabat pihak sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi institusi bisnis. Pendidikan yang mestinya bersifat sosial telah mengalami metamorfosis dengan roh kapitalis. Kapitalisme pendidikan ini pada akhirnya hanya akan membebani orangtua murid.

Penghapusan proyek buku paket/pelajaran, baik yang disponsori oleh pemerintah maupun penerbit buku, dalam berbagai bentuk dan wujudnya akan melahirkan beberapa dampak positif. Pertama, mengembalikan otoritas dan martabat sang guru. Kedua, membudayakan pengajaran multi-arah. Ketiga, meningkatkan minat baca murid. Minat baca murid akan terus stagnan selama murid dikondisikan harus berpedoman dan merasa cukup hanya dengan satu macam buku paket/pelajaran saja.
Proses belajar-mengajar selama ini, diakui atau tidak, cenderung didominasi oleh pengajaran searah. Murid hanya dijadikan obyek yang harus menerima apa pun yang disampaikan guru, termasuk jenis buku ajar yang harus digunakan. Dengan membebaskan murid menggunakan buku ajar yang berbeda-beda, maka akan membuka ruang untuk berdiskusi, berdialog, dan berkomunikasi. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan berlangsung dinamis, terbuka, dan demokratis.
Filsuf Paulo Freire menganjurkan agar proses belajar-mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan cara memotivasi siswa belajar mencari data, menganalisis data-data tersebut dalam arti yang sebenarnya.
Pengajaran multi-arah berarti mengajak murid berpikir dan memahami materi pelajaran. Bukan sekadar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setelah memahami materi pelajaran, barulah terbentuk pengetahuan baru yang masuk akal. Sesuatu yang masuk akal akan lebih tahan lama dalam memori ingatan murid. Bahkan jika lupa sekalipun akan mudah mengingatnya kembali.

Jangan lupa, minat baca murid akan terus stagnan selama murid dikondisikan harus berpedoman dan merasa cukup hanya dengan satu macam buku paket/pelajaran. Dengan buku pelajaran yang berbeda-beda dalam satu kelas, murid akan terdorong untuk membandingkan dan membaca berbagai referensi yang ada. Dan, jika murid merasa belum cukup dengan buku pelajaran yang ada di dalam kelas, mereka pun tentu akan melirik perpustakaan sekolah untuk memperkaya pengetahuannya.
Meningkatnya minat baca murid diharapkan dapat merangsang pihak sekolah untuk lebih meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah yang ada. Pihak sekolah diharapkan dapat meletakkan posisi perpustakaan sekolah di tempat yang terhormat. Perpustakaan sekolah sudah selayaknya dijadikan pusat kegiatan belajar yang bersifat pluralitas untuk kegiatan belajar aktif, kerja sama, riset, dan interpretasi. Dengan demikian, diharapkan pendidikan di dalam sekolah akan mampu melahirkan generasi yang berbudaya membaca yang akan memberi pengaruh kepada masyarakat.

Menyambut Hari Kunjung Perpustakaan Membangun Perpustakaan "Model Puskesmas"

Oleh : Romi Febriyanto Saputro

Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 14 September 2004

Hari ini, 14 September 2004, adalah Hari Kunjung Perpustakaan, dan pada tanggal 20 September 2004 mendatang bangsa ini akan melakukan pesta demokrasi, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden putaran ke II yang akan menentukan arah bangsa ini lima tahun ke depan. Sebagai insan yang bekerja di lingkungan perpustakaan, penulis sangat mengharapkan siapa pun nanti yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia akan membawa kemajuan bagi perkembangan dunia perpustakaan di Tanah Air.
Dalam Konggres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 9 Juni 2004, yang mengangkat tema "Posisi Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) dalam Kancah Politik Informasi di Indonesia", terungkap bahwa kondisi perpustakaan sebagai salah satu sumber informasi dan pilar pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan.
Dari seluruh perpustakaan yang ada di Indonesia, 90 persen di antaranya belum memiliki infrastruktur lengkap dalam hal sumber daya manusia, anggaran, maupun sarana dan prasarana. Kondisi memprihatinkan ini terlihat jelas pada jumlah judul dan eksemplar yang masih terbatas, penataan interior, pencahayaan perpustakaan yang tidak nyaman, serta kurangnya visi pustakawan untuk menarik pengunjung sehingga terkesan tidak ramah kepada pengunjung perpustakaan (Kompas, 10 Juni 2004).

Perpustakaan di lingkungan pendidikan tinggi pun juga tidak kalah memprihatinkan. Menurut Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VI Jawa Tengah Prof Saryadi, diperkirakan hanya 5 persen dari sekitar 200 perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah yang memiliki laboratorium dan perpustakaan yang memadai untuk menunjang penelitian. Sementara sekitar 50 persen perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah lainnya hanya memiliki fasilitas yang seadanya. Bahkan, ada yang fasilitasnya tidak layak atau tidak tersedia laboratorium dan perpustakaan (Kompas, 25 Mei 2004).
Perpustakaan yang memiliki misi meningkatkan minat baca masyarakat memang belum memperoleh perhatian yang semestinya dari pemerintah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang merupakan undang- undang terbaru, juga tidak menyebut secara tegas bahwa perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar.
Kampanye pasangan capres dan cawapres sejak putaran pertama lalu-juga yang maju ke putaran kedua ini-juga tidak pernah menyinggung sedikit pun tentang perpustakaan. Pendek kata, sepanjang 59 tahun usia republik ini, perpustakaan selalu menjadi prioritas terakhir untuk dibangun dibandingkan dengan bidang lainnya.
Kebijakan pembangunan di bidang perpustakaan memang belum jelas benar arahnya meskipun pemerintah telah membuat seperangkat aturan tentang perpustakaan nasional, perpustakaan provinsi, perpustakaan umum kabupaten/kota, perpustakaan umum kecamatan, dan perpustakaan desa. Alhasil, kebijakan tersebut hanyalah macan kertas karena hanya dilakukan dengan setengah hati.
Hal ini sangat berbeda, misalnya, dengan kebijakan di bidang kesehatan. Untuk melayani kesehatan masyarakat, di samping ada rumah sakit umum daerah di ibu kota kabupaten/kota, pemerintah juga mendirikan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di ibu kota kecamatan, lengkap dengan armada mobil puskesmas keliling yang siap menjangkau desa-desa di wilayah kecamatan masing-masing. Bahkan, untuk kecamatan yang sangat luas, pemerintah mendirikan dua unit puskesmas dalam satu kecamatan. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu pergi jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Kebijakan pembangunan di bidang perpustakaan sangat kontras dengan kebijakan pembangunan di bidang kesehatan. Pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang perpustakaan hanya sampai di tingkat kabupaten/kota dengan adanya perpustakaan umum kabupaten/kota yang dilengkapi dengan mobil/bus perpustakaan keliling yang harus melayani seluruh kecamatan dan desa yang ada di suatu kabupaten/kota. Bagaimana hasilnya? Minat baca masyarakat kita tidak mengalami perkembangan yang signifikan.
Seandainya pemerintah serius, pemerintah harus mulai dengan membangun perpustakaan umum kecamatan yang berdiri sendiri sebagaimana puskesmas dan bukan sekadar menumpang ruang di kantor camat. Perpustakaan umum kecamatan ini harus dilengkapi pula dengan armada mobil perpustakaan keliling kecamatan yang berfungsi melayani dan meningkatkan minat baca masyarakat di desa-desa yang terpencil. Seluruh perpustakaan kecamatan yang ada hendaklah dikoordinasikan oleh perpustakaan umum kabupaten/kota dengan membentuk jaringan informasi perpustakaan yang berbasis teknologi informasi (internet).
Dengan konsep jaringan perpustakaan umum kecamatan ini, perpustakaan telah memasuki medan kerja yang sebenarnya. Ini mengingat rendahnya minat baca masyarakat sebagian besar berada di desa yang jauh dari kawasan perkotaan sehingga (mereka) sulit untuk mengakses perpustakaan yang selama ini hanya berjalan lumayan baik di ibu kota kabupaten/kota.
Berjalannya perpustakaan umum kecamatan akan melahirkan beberapa dampak positif. Pertama, memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi. Kemudahan mengakses informasi berarti kemudahan dalam membuka pintu kemajuan masyarakat. Sebaliknya, kesulitan mengakses informasi berarti menutup peluang masyarakat untuk meraih kemajuan. Apalagi dalam era milenium ketiga saat ini, informasi telah menjadi sesuatu yang amat penting sehingga abad ini disebut juga dengan abad informasi.
Kedua, dapat merangsang tumbuh berkembangnya perpustakaan sekolah dan perpustakaan desa. Kondisi perpustakaan sekolah dan perpustakaan desa tak kalah memprihatinkan.
Dengan desentralisasi pembinaan perpustakaan sekolah dan desa oleh perpustakaan umum kecamatan, akan memotong rentang kendali yang terlalu panjang. Koordinasi dengan cabang dinas pendidikan kecamatan setempat untuk pembinaan perpustakaan sekolah dan koordinasi dengan kantor kecamatan setempat untuk pembinaan perpustakaan desa relatif mudah dilakukan. Ketidakjelasan instansi pembina perpustakaan sekolah dan perpustakaan desa pun dapat diakhiri.
Ketiga, meningkatkan minat baca masyarakat. Salah satu hambatan utama dalam meningkatkan minat baca masyarakat adalah tidak tersedianya sumber bacaan yang memadai di level akar rumput. Jaringan perpustakaan umum kecamatan diharapkan dapat menjadi media penghubung antara akar rumput di satu sisi dan tersedianya bahan bacaan yang sesuai di sisi lain.
Upaya peningkatan minat baca masyarakat selama ini terkesan miskoordinasi. Tidak ada keterpaduan dalam gerakan meningkatkan minat baca masyarakat. Pihak swasta, perorangan, maupun LSM berjalan sendiri dengan memunculkan taman bacaan masyarakat dan wadah tertentu, seperti Yayasan 1001 Buku yang berupaya menghimpun bantuan buku untuk masyarakat. Sementara itu, pemerintah pun terkesan setengah hati membangun perpustakaan yang memadai untuk meningkatkan minat baca masyarakat.
Sebaiknya pemerintah bersama-sama swasta, perseorangan, dan LSM mengoptimalkan dahulu konsep perpustakaan umum yang ada. Kalau konsep yang ada saja belum dioptimalkan untuk apa membentuk konsep-konsep baru untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Desa Buku yang pernah dideklarasikan di Magelang dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, kini hanyalah tinggal papan nama belaka. Tidak ada tindak lanjutnya.
Begitu juga dengan konsep prestisius Desa Wisata Buku di Rembang, untuk apa dilaksanakan kalau kondisi perpustakaan umum yang ada tidak dioptimalkan dahulu.
Sudah bukan zamannya lagi memosisikan perpustakaan "sebagai institusi pengemis" yang selalu mengharapkan bantuan buku. Paradigma ini harus dibuang jauh-jauh. Membangun perpustakaan harus sepenuh hati, seperti halnya kita membangun ekonomi negara, yang keduanya untuk berhasil perlu dukungan dana yang besar.